WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Kisah tentang Sister Gulshan Esther

Artikel Islam

Kisah tentang Sister Gulshan Esther (Gulshan Fatima), seorang keturunan langsung
Muhammad melalui putrinya Fatima.
KE MEKAH
Dalam keadaan yang biasa, tidak akan terbit keinginan dalam hatiku untuk mengunjungi Inggris
pada musim semi tahun 1966 itu. Saya Gulshan Fatima, yang adalah puteri bungsu dari sebuah
keluarga Islam Sayed yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad melalui puterinya
Fatima.
sepanjang masa hidupku selama ini menjalani suatu peri kehidupan yang sunyi dan tersendiri di
dalam sebuah rumah di Punjab, Pakistan. Keadaanku seperti ini bukanlah merupakan satusatunya
alasan kenapa saya dibesarkan di bagian rumah yang terpisah (purdah) sejak berusia 7
tahun, menaati ajaran Islam Shiah orthodoks, tapi juga karena saya adalah sorang yang lumpuh
dan bahkan tidak sanggup meninggalkan kamarku sendiri tanpa dibantu. Saya mengenakan
kerudung untuk menutupi wajahku dari pandangan para pria, karena hal ini hanya diperbolehkan
bagi kaum keluargaku yang dekat misalnya ayah, kedua kakak lelaki dan pamanku.
Bagian terlama dari masa 14 tahun pertama waktu awal hidupku yang suram, dibatasi oleh
dinding-dinding yang mengelilingi halaman rumah kami yang luas di Jhang, kira-kira 450 km (250
mil) dari Lahore dan dinding-dinding ini merupakan batas-batas gerak dan pandangan bagiku.
Ayahlah yang membawa aku ke Inggris - beliau sendiri memandang rendah orang-orang Inggris
karena mereka menyembah tiga allah dan bukannya Allah Yang Maha Esa. Malah beliau tidak
memperbolehkan saya mempelajari bahasa kafir itu waktu saya diajar oleh guruku Razia, karena
takut jangan sampai saya tercemar oleh dosa dan dapat menjauhkan saya dari iman
kepercayaan kami.
Walau pun demikian beliau tokh membawa saya ke Inggris setelah kami mengeluarkan banyak
biaya dan usaha pengobatan dan perawatanku di tanah air/rumah guna mendapatkan
pengobatan/pelayanan medis yang terbaik. Beliau melakukan usaha-usaha dan hal-hal ini karena
adanya dorongan kasih-sayang serta keprihatinannya yang begitu besar untuk kebahagiaanku di
masa datang.
Namun waktu kami mendarat di lapangan terbang Heathrow pada April itu, betapa kami tidak
menyadarai akan datangnya kesulitan serta kesedihan yang bakal menimpa keluarga kami. Yang
aneh kemudiannya ialah, saya, anak lumpuh yang dinilai dan dianggap paling lemah dari anakanak
ayah, pada akhirnya malah menjadi yang terkuat dari antara anak-anak ayah, pada
akhirnya malah menjadi yang terkuat dari semua kami serta menjadi batu karang yang
menghancurkan semua yang telah beliau pelihara dan jaga dengan penuh kasih-sayang. Bahkan
sesudah saya dewasa ini, dengan memejamkan mataku dapat muncul suatu gambaran
didepanku yaitu ayahku, Aba-jan tercinta begitu tinggi, kurus, mengenakan jubah hitam yang
dijahit rapih beleher jenjang dihiasi kancing-kancing emas di atas celana longgar dan memakai
ikat kepala putih, dijalin dengan sutera biru. Kenanganku terhadap beliau muncul sama halnya
dulu beliau begitu sering masuk ke kamarku untuk mengajar saya tentang agama kami.
Saya teringat ketika beliau berdri di sisi tempat tidurku yang ditempatkan berseberangan dengan
tempat digantungnya gambar Rumah Allah di Mekkah yaitu tempat paling suci bagi kami yaitu
Kaabah yang menurut kisahnya dibangun oleh Nabi Ibrahim dan dipugar oleh Nabi Muhammad.
Ayah mengambil Al Quran suci dari rak penyimpanannya di tempat yang paling tinggi letaknya di
dalam kamarku karena tidak diperbolehkan sesuatu barang lain lebih tinggi dari Al Quran.
Pertama-tama beliu akan mencium kain sutera penutup yang berwarna hijau seraya mengucapan
"Bismillah i-Rahman-ir-Rahim (saya memulainya dalam nama Allah Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang). Lalu beliau akan membuka tutup sutera hijau tapi sebelum ini beliau harus
sudah mengambil air wudhu dan dengan khidmat melaksanakan pencucian menurut tata-cara
agama yang perlu dilakukan sebelum menyentuh atau membawa kitab suci tersebut. Beliau
mengulangi lagi ucapan Bismillah, kemudian menempatkan Al Quran di atas sebuah dudukan
khusus berbentuk huruf X, menyentuhnya dengan ujung-ujung jarinya. Beliau duduk sedemikian
caranya sehingga sambil bersandar di kursi saya dapat memandang ke Kitab itu.
Sebelumnya saya pun harus sudah melaksanakan wudhu dengan bantuan pembantu wanitaku.
Dengan telunjuknya Ayah menelusuri huruf-huruf suci bertulisan arab dekoratif dan saya, yang
ingin sekali menyenangkan hati beliau, mengulanginya mengikuti beliau membaca Al Fatiha.
Pembukaan ini adalah kata-kata yang mengikat erat seluruh umat Islam di mana pun mereka
berada. "Puji bagi Allah, Tuhan Pencipta, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja di Hari
Penghakiman. Engkau sendirilah yang kami sembah dan padaMu sendirilah kami memohon do"a
meminta pertolongan. Tunjukkanlah kami kearah jalan yang lurus, jalan bagi mereka yang
Engkau Kasihi, bukannya bagi mereka yang Engkau murkai atau bagi mereka yang telah
murtad".
Hari ini kami membaca Sura Al Imran : "Ya Allah tiada Tuhan lain selain Dia Yang Hidup dan
Kekal". "Ia telah mewahyukan ke padamu kitab berisi kebenaran yang mengukuhkan Kitab-Kitab
Suci yang mendahuluinya, karena Ia telah mewahyukan Taurat dan Injil sebagai petunjuk bagi
umat manusia untuk membedakan yang baik dari yang jahat". Saya menjalani tahapan hidup
sebagaimana yang ditempuh oleh setiap kanak-kanak Islam sewaktu mereka dibesarkan dalam
suatu keluarga Orthodoks sejak awal masa kanak-kanak - membaca Al Quran suci dalam tulisan
Arab.
Kami umat Islam memahami bahwa Kitab tersebut tidak boleh diterjemahkan, tidak seperti halnya
buku yang lain tanpa mengalami kehilangan pengertiannya yang sebenarnya oleh karena nilai
yang keramat.
Ketika saya telah hampir menyelesaikan pembacaannya untuk pertama kalinya - sekitar umur 7
tahun, yang merupakan umur yang dinilai mulai memperlihatkan gejala kewaspadaan - maka
diadakan suatu jamuan - kami menamakannya "amin" dari Al Quran suci dimana anggotaanggota
keluarga, kawan-kawan serta para tetangga diundang.
Dibagian tengah halaman terbuka dari bungalow kami, para pria duduk di tempat yang
dipisahkan dari para wanita oleh sebuah tirai pemisah di situlah guru agama (mullah) akan
mengucapkan doa yang menandakan sampainya saya pada suatu tahap baru yang penting
dalam hidup ini dan pada saat itu para wanita yang duduk dibagian dalam dari halaman itu akan
menghentikan bisik-bisik antara mereka untuk mengikuti upacara tersebut.
Sekarang kami telah sampai pada akhir pembacaan Sura itu, lalu ayah memandangku dengan
senyum tersungging di bibirnya: "kau telah melakukannya dengan baik, Beiti (anak perempun
kecil)" katanya: "sekarang jawablah pertanyaan-pertanyaan ini":
+ "Dimanakah Allah?" Dengan malu-malu saya mengulangi pelajaran yang telah saya ketahui
dengan baik: "Allah ada di mana-mana".
+ "Adakah Allah mengetahui semua tindak tandukmu di dunia?" "Ya, Allah tahu akan segala
tindak-tanduk yang saya lakukan difunia, mau yang baik demikian pula yang buruk/jahat. Ia
malah mengetahui segala pikiran yang saya rahasiakan."
+ "Adakah yang telah Allah lakukan bagimu? "Allah telah menciptakan saya, begitupun seluruh
dunia. Ia mencintai saya dan membuatku senang. Ia akan memberi pahala bagiku disorga bagi
semua tingkah-laku saya yang baik serta menghukumku dalam neraka bagi semua perbuatanku
yang jahat".
+ "Bagaimana caranya engkau memperoleh cintaNya Allah?". "Saya dapat memperoleh cinta
kasih Allah dengan penyerahan penuh kepada Ke-hendakNya, serta mematuhi perintahperintahNya."
+ "Bagaimana engkau dapat mengetahui akan Kehendak serta perintah - perintah Allah?" "Saya
dapat mengetahui Kehendak dan Perintah Allah dalam Al Quran suci dan juga Hadist dari Nabi
kita Muhammad (kiranya damai dan berkat Allah menyertainya)."
+ "Bagus sekali kata ayah. Sekarang apakah ada sesuatu yang ingin kau ketahui? "Ya ayah,
katakanlah kenapa Islam lebih baik dari agama lainnya? Saya menanyakan hal ini bukannya
karena saya mempunyai suatu pengetahuan tentang agama lain tetapi karena saya ingin
mendengar sendiri dari ayahku penjelasan tentang agama kami. Jawaban ayah jelas dan tegas.
+ "Gulshan, saya mau mau engkau mengingat akan hal ini. Agama kita lebih besar dari agama
lainnya karena:
Pertama-tama, kemenangan Allah adalah Muhammad yang membawa berita terakhir dari Tuhan
bagi umat manusia dan tidak ada lagi diperlukan Nabi lain sesudahnya.
Kedua, Muhammad adalah sahabat Allah. Ia menghancurkan semua berhala dan semua orang
dirubahnya dari penyembah berhala menjadi penganut agama Islam.
Ketiga, Allah mengaruniakan Al Quran kepada Muhammad setelah semua Kitab Suci lainnya. Ini
adalah Firman Tuhan Yang terakhir dan kita harus mematuhinya. Semua tulisan lainnya tidak
lengkap.
Saya mendengarkan penjelasan beliau yang membentuk tulisan-tulisan sendiri dalam loh pikiran
dan hatiku. Jika masih ada waktu, saya masih meminta beliau menjelaskan kepadaku tentang
gambar yang tergantung di kamarku. Bagaimana menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah
yang merupakan maknit ke arah mana setiap umat Islam berkiblat sewaktu berdoa lima kali
sehari. Di dalam kotaku, kamipun berkiblat kesana, sewaktu muazzin mengumandangkan azzan
dari kubah mesjid. Suara tersebut memantul sepanjang jalan-jalan mengatasi keributan lalu-lintas
dan bazzar serta memasuki jendela-jendela kami yang dipasangkan gorden, baik diwaktu fajar,
tengah hari, sore serta malam, memanggil umat yang setia untuk berdoa dengan deklarasi Islam
yang pertama : "Allah Maha Besar"!!! Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul
Allah". Ayah memberikan penjelasan tentang semua ini.
Beliau telah dua kali menunaikan ibadah haji : sekali sendirian dan kami berikutnya bersama
istrinya: ibuku. Bagi setiap umat Islam merupakan kewajiban untuk menunaikannya sekali
seumur hidupnya atau lebih sering kalau mampu. Menunaikan ibadah haji adalah rukun ke lima
dari rukun Islam yang mempersatukan berjuta-juta umat Islam dari berbagai negara yang
berbeda serta memberi keyakinan terhadap kesinambungan bagi iman kami.
"Apakah saya akan ke Mekah, ayah?" tanyaku. Beliau tertawa seraya membungkuk untuk
mencium keningku. "Engkau akan kesana, Gulshan kecil, apabila kau sudah lebih besar dan
barangkali......... Ayah tidak menyelesaikan kalimat tersebut, namun saya mengerti bahwa beliau
hendak mengatakan......... apabila doa kita untukmu telah dijawab.
Dengan berpedoman pada perintah-perintah ini saya belajar berbakti kepada Allah terikat dengan
agamaku serta tradisinya, memiliki perasaan bangga yang menyala-nyala terhadap garis
keturunan nenek moyangku sejak Nabi Muhammad melalui menantunya Ali, dengan memahami
akan martabat ayahku yang bukan hanya merupakan kepala keluarga tapi juga sebagai
keturunan Nabi, seorang Sayed dan seorang Shah. Beliau juga adalah seorang Pir, pemimpin
agama serta seorang tuan-tanah yang memiliki tanah yang luas di pedalaman dan sebuah
bungalow luas yang dikelilingi halaman-halaman di pinggiran kota kediaman kami. Saya mulai
memahami kenapa keluarga kami begitu disegani, termasuk oleh para pemuka agama (mullah),
atau maulvi yang datang bertanya pada ayah mengenai masalah keagamaan yang tidak
dimengertinya.
Sambil mengenangkan kembali semuanya, kini saya dapat melihat akan adanya suatu maksud
yang terkandung selama masa saya terkungkung sebegitu lama seumpama kuncup bunga
mawar di pekarangan kami yang dipelihara begitu baik oleh tukang kebun. Namaku GULSHAN,
dalam bahasa Urdu artinya tempat bunga-bungaan berkembang, yaitu halaman. Keadaan saya
malah merupakan sebuah tanaman yang sakit-sakitan untuk dapat menyandang nama seperti
itu, juga dipelihara dengan penuh kasih oleh ayahku. Beliau mencintai kami semua - dua
puteranya Safdar Shah dan Alim Shah serta ketiga putrinya, Anis Bibi, Samina dan saya sendiri.
Walaupun beliau kecewa karena waktu lahir ternyata saya seorang perempuan, kemudian waktu
berumur 6 bulan menjadi lumpuh karena terserang penyakit typhus, namun ayah tetap
mencintaiku, malah kurasakan melebihi kasihnya terhadap saudara-saudaraku yang lainnya.
Bukankah ibuku pada saat-saat akhir hayatnya di pembaringan kematiannya mengajukan
permintaan kepada ayah untuk memelihara saya? "Saya memohon kepadamu Sah-ji, janganlah
kawin lagi demi si Gulshan kecil" pinta ibu sambil menghembuskan napasnya yang terakhir.
Beliau ingin melindungiku, karena kehadiran seorang ibu tiri dan anak-anaknya akan
menyebabkan hak warisan bagi anak perempuan dari istri pertama akan berkurang tambahan
pula mereka dapat memperlakukannya dengan buruk jika anak perempuan itu sakit-sakitan,
apalagi kalau sampai tidak kawin.
Telah bertahun-tahun lamanya sejak ayah berjanji pada ibuku dan beliau tetap menepatinya
walaupun ayah hidup disuatu tempat dimana seorang pria diijinkan beristri sampai empat orang
sesuai Al Quran, jika ia cukup kaya untuk memperlakukan masing-masing istrinya secara adil.
Keadaan seperti inilah yang merupakan pola kehidupanku sampai waktu saya mengunjungi
Inggris pada usia 14 tahun, Secara terselubung, keadaan ini justru secara berangsur-angsur
merobah segala sesuatu, tersusun menjadi gerakan yang merupakan mata-rantai yang mebawa
dampak tidak terduga. Tentu saja saya tidak merasakan firasat bahwa hal ini akan terjadi pada
waktu saya menunggu dalam sebuah kamar hotel di London pada hari ketiga sejak kami tiba
disana ditemani para pembantuku Salima dan Sema.
Waktu itu kami menantikan keputusan seorang dokter spesialis, seorang Inggris, yang
direkomendasikan kepada ayahku, ketika beliau mencari-cari pengobatan bagiku di Pakistan.
Jika saya dapat disembuhkan dari penyakit yang telah melumpuhkan bagian kiri tubuhku sejak
bayi, maka saya akan bebas untuk menikah dengan sepupuku yang telah dipertunangankan
dengan saya sejak berusia 3 bulan dan sekarang sedang menunggu-nunggu di Multan Punjab,
menantikan berita kesembuhanku. Jika tidak sembuh, maka pertunanganku akan diputuskan dan
perasaan maluku akan lebih besar lagi dibandingkan dengan keadaan bila dikawinkan lalu
diceraikan suamiku.
Kami mendengarkan bunyi langkah mendekat, Salima dan Sema berlompatan berdiri dan
dengan gugup mengatur "dopatta"nya yang panjang berbentuk seperti selendang. Salima
menarik gaunku sampai keatas wajahku dan saya sendiri berbaring di atas alas tempat tidurku.
Saya menggigil namun bukan karena kedinginan. Malah terpaksa saya mengatupkan gigiku agar
berhenti gemeretak. Pintu terbuka dan ayah masuk bersama dokter, selamat pagi sapanya
dengan suara yang amat menyenangkan dan sopan. Saya tidak dapat melihat wajah dokter
David tersebut, namun rasanya beliau adalah seorang yang berwibawa dan terpelajar. Tangantanganya
yang koko kuat mengangkat gaunku keatas lalu melakuka pengujian pada lengan kiriku
yang lemas, sesudah itu pada kakiku yang sudah tidak berdaya.
Tidak ada obat untuk sakit ini - kecuali doa, kata dr.David kepada ayahku. Rasanya tidak
terdengar ada ucapan yang salah pada kata akhirnya yang lemah itu. Sambil berbaring di dipan
terdengar olehku dokter Inggris yang asing itu menyebut nama Allah. Saya bingung. Bagaimana
gerangan ia mengetahui tentang Allah? Dari cara-caranya baik dan simpatik saya merasakan
bahwa beliau sedang membangkitkan harapan kami terhadap kesembuhanku, malah ia
mengajarkan kepada kami cara berdoa. Ayah mengantarkannya sampai ke pintu. Ketika kembali
beliau berkata: "Alangkah baik bagi orang Inggris itu mengajari kita caranya berdoa". Salima
membalikkan "dopat"ta"ku seraya membantuku duduk. "Ayah, apakah beliau tidak dapat
membuat keadaanku menjadi lebih baik?" Saya tidak dapat menahan suaraku agar tidak
terdengar gemetar. Air mata menumpuk di pelupuk mataku. Ayah mengusap tanganku yang tidak
berdaya. Katanya dengan cepat:"Hanya ada satu jalan lagi sekarang. Mari kita mengetuk pintu
sorga. Kita akan pergi ke Mekkah sesuai rencana kita. Allah akan mendengar doa-doa kita dan
kita masih dapat pulang dengan perasaan syukur".
Beliau tersenyum padaku dan saya berusaha tersenyum kembali. Kesedihanku sama besar
dengan kesedihannya namun beliau tidak berputus asa. Pada suaranya terdengar adanya
harapan baru. Tentu saja di Rumah Allah atau pada mata-air Zam-Zam, mata-air kesembuhan,
bukankah kita akan memperoleh apa yang menjadi keinginan hati kita?
Kami masih tinggal lagi di hotel itu beberapa hari dan kesempatan ini dignakan ayah untuk
mengurus penerbangan kami ke jedah, lapangan terbang yang biasanya digunakan para jemaah
haji untuk menuju Mekkah. Sebelum itu beliau belum mengurus hal ini karena masih menunggu
hasil pengobatan yang telah dianjurkan bagiku. Kunjungan ini telah beliau rencanakan
sedemikian agar bertepatan dengan masa menjelang bulan hanji tahunan sehingga sesudah
pengobatan kami dapat menuju Mekkah untuk mengucap syukur.
Selama waktu penantian ini ayah berkesempatan mengunjungi kawan-kawan masyarakat
Pakistan atau sebaliknya mereka datang mengunjungi beliau. Biasanya para wanita dari
keluarga-keluarga tersebut akan mengunjungi saya. Tapi saya merasa malu dengan keadaanku
serta tidak terbiasa menemui tamu-tamu asing di rumah sehingga hanya sedikit dari mereka yang
datang mengetuk pintu kamarku.
Siapakah yang suka melihat lengan yang layu, kulit yang menghitam berkeriput dan lemahlunglai
serta jari-jarinya terjalin bersama dengan otot sehingga bentuknya seperti selai?. Pada
usia di mana kawan-kawan sebayaku mulai berangan-angan tentang hari, waktu mereka akan
mengenakan gaun pengantin berwarna merah dengan sulaman emas kemudian berjalan-jalan
mengenakan perhiasan dengan membawa mas-kawin yang bagus ke rumah suaminya, maka
keadaanku sebaliknya sedang menghadapi masa-depan yang sunyi, terputus dari hubungan
dengan kawan-kawan sebaya/sejenisku, suatu makluk non-manusia, tidak akan pernah sembuh
menjadi perempuan yang sempurna, ditudungi dengan kerudung yang memalukan.
Tempat kami terletak pada tingkat dua hotel itu, kamarnya menyenangkan persis di sebelah
kamar ayah. Ruangan itu beralaskan permadani tebal, mempunyai kamar mandi sendiri. Di
samping merawatku serta mencuci pakaian-pakaian dalam kami dengan tangan di kamar mandi,
Salima dan Sema yang tidur di kamarku di atas tempat tidur lipat secara bergantin duduk
menjaga dan melayani kebutuhanku, hampir tidak ada tugas lain lagi untuk mereka kerjakan
namun, sambil membaca buku-buku, melaksanakan sholat 5 waktu, jam rasanya berjalan cukup
cepat karena disamping mencuci pakaian, maka memberi makan bagi seorang cacat selalu
membutuhkan waktu yang lebih lama.
Saya pernah mendengarkan keduanya berkasak-kusuk menggelikan. Sesekali mereka
menyelinap ke lobby bawah, namun terlalu takut untuk keluar sendirian. Mereka merasa puas
dengan melewatkan waktu-waktunya seperti itu,berkesempatan melihat dunia luar melalui
jendela dan melaporkan padaku apa yang mereka lihat. Reaksi-reaksinya polos sebagaimana
layaknya gadis-gadis desa Pakistan dan hal ini membuat saya tertawa. "Oh lihat kota yang indah
ini" kata Salima, banyak orang lalu-lalang dan banyak sekali mobil." Kemudian Sema menjerit:
"Oh, para wanita tidak mepunyai perasaan malu. Mereka tidak menutupi kakinya. Lelaki dan
perempuan berjalan bersama, bergandengan tangan. Mereka berciuman. Oh, mereka langsung
ke neraka."
Kami telah diajarkan tentang peraturan-peraturan yang ketat tentang tata-cara berpakaian serta
berperi-laku sejak kecil. Kami menutup diri kami dengan sopan dari leher sampai pergelangan
kaki mengenakan "shalwar kameeze" dari Punjab - jubah longgar dan celana panjang yang
ujungnya terkumpul di pergelangan kaki. Mengelilingi leher kami mengenakan sehelai selendang
lebar atau dopatta yang dapat berfungsi sebagai penutup kepala bila diperlukan atau pun ditarik
menutupi wajah dan dengan demikian kami pun dapat menutupi diri memakai syal bila dingin.
Jika kami harus keluar maka kami mengenakan burka - sebuah kerudung panjang yang tidak
tembus pandang, menutupi diri kami dari kepala sampai ke tumit, terkumpul menjadi sepotong
pelindung kepala yang mempunyai celah di depan untuk keperluan melihat dan mendengarkan
lalu-lintas.
Pada waktu itu kami tidak mempertanyakan tentang aturan-aturan yang diberikan kepada kami
dan tentu saja takut untuk menentang kebiasaan-kebiasaan tersebut. Pada kenyataannya, kami
merasakan bahwa kerudung itu merupakan pelindung. Kami dapat melihat ke dunia luar
sebagaimana adanya, tapi dunia tidak dapat melihat kami. Waktu kami menyaksikan bagaimana
para wanita di London memamerkan dirinya mengenakan Mini-skirt yang tidak sopan dimana
ujungnya cukup jauh diatas lutut, maka jelas bagi kami bertiga bahwa kota ini merupakan kota
yang paling maksiat di dunia. Di negeri kami, terutama dikotaku, untuk bercakap-cakap dengan
seorang pria yang bukan kerabat dekat ataupun kepada pembantu pria dapat menyebabkan kami
dianggap hina.
Manfaat "purdah" secara menyeluruh tentu saja sebagai pelindung kehormatan keluarga. Tidak
boleh terlihat adanya gejala atau noda sedikitpun yang mencurigakan melekat pada diri para
puteri keluarga Islam. Hukuman terhadap kesembronoan dalam hal ini bisa fatal. Tiga kali dalam
sehari seorang pelayan mengantarkan makanan dengan menggunakan rak-dorong. Pembantuku
akan mengambil dari pelayan iu didepan pintu. Kadang-kadang seorang pembantu wanita Inggris
menyertainya, diwaktu mana saya akan menutup mataku agar tidak melihat kaki-kakinya. Saya
mulai bosan dengan makanan-makanan hotel itu. Tiap hari ayah memesan masakan ayam bagi
kami karena inilah yang halal, daging yang diperkenankan, dipotong mengikuti tata-cara yang
diperbolehkan oleh agama. Babi merupakan daging yang haram dan dilarang, bahkan untuk
menyebut kata "babi" saja dapat menyebabkan mulut menjadi najis. Sampai sekarang saya
masih menggunakan kata Punyabi "barla" yang berarti "barang luar" jika berbicara tentang
binatang itu. Jadi dapat dibayangkan betapa kuatnya pengaruh hasil didikan dasar sejak kecil.
Setiap daging yang lainpun dapat dicurigai bahwa mungkin dimasak memakai minyak babi.
Sayur-sayuran dihidangkan bersama ayam ditambah pelezatnya es krim. Minuman kami coca
cola dan cukup banyak persedian di dalam kamar. Saya mengharapkan kiranya muncul masakan
memakai bumbu "kari" atau "kebab" namun sia-sia saja, begitu juga buah-buahan misalnya buah
persik atau mangga dari pepohonan dihalaman rumahku.
Ayah membantu membangkitkan kegembiranku dengan membawa saya berkeliling keluar
sebentar, 2 atau 3 kali. Sekali saya diajak berkeliling sekitar hotel dan 2 kali bersama kedua
pembantuku memakai taksi. Beliau memberikan penjelasan padaku tentang kenapa orang-orang
Inggris berbeda dengan kami ialah : Negeri ini adalah sebuah negeri Kristen. Mereka percaya
pada Nabi Isa, Yesus Kristus sebagai Anak Allah. Tentu saja mereka salah, karena Allah tidak
pernah kawin dan bagaimana mungkin Ia beranak?. Tetapi mereka juga adalah umat yang
memiliki sebuah kitab suci sebagaimana halnya dengan kita. Umat Islam dan umat Kristen
mendasarkan Imannya pada Kitab Suci yang sama itu. Hal ini merupakan teka-teki bagiku.
Kenapa kita mempunyai dasar Kitab Suci yang sama namun perbedaannya begitu banyak?
Mereka bebas melakukan banyak hal, sedangkan tidak demikian dengan kita kata ayah.
"Mereka bebas makan daging babi serta minum minuman keras. Tidak ada pembatasan antara
pria dan wanita. Mereka hidup bersama tanpa nikah dan bila anak-anaknya dewasa, mereka
tidak menghormati orang-tuanya. Namun mereka orang-orang baik, sangat tepat waktu serta
memiliki prinsip-prinsip yang baik. Bila berjanji mereka menepatinya, tidak seperti orang Asia.
Ayah berpengalaman dan terpandang dalam bidang perdagangan. Beliau selalu berhubungan
dengan orang-orang asing dalam mengekspor katun yang ditanam di Pakistan. "Kita dapat saja
berbeda agama dengan mereka, namun, mereka merupakan orang-orang yang simpatik bila
bekerjsama serta memiliki perasaan peri-kemanusiaan" kata ayah mengakhiri penjelasannya.
Saya merenungkan kontrakdisi tentang orang Inggris ini - bangsa yang memiliki kasih, tinggal di
negara yang orang-orangnya lemah-lembut dimana hujan sering turun dan Kitab Sucinya
memberikan begitu banyak kemerdekaan bagi mereka. Malah Kitab Suci kami masih punya
kaitan dengan Kitab Sucinya. Apakah sebenarnya kunci perbedaan ini? Bagi seorang gadis 14
tahun, hal ini masih terlalu dalam - pertanyaan itu saya hilangkan dari pikiranku lalu bersiap-siap
menyongsong perjalanan berikutnya. Diperlukan Waktu bertahun-tahun lamanya bagiku sebelum
hal ini menjadi jelas dan sesudah menemukan kejelasannya itu maka saya tidak dapat
menganggap pertanyaan tersebut sebagai hal yang sepele.
Bersambung ..........

0 komentar:

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker