WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Mungkinkah Ada Kompromi Antara Ayat yang Menyatakan Allah Di Atas Langit dan Allah Dekat

Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih kamaa yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

canyon1Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah mengatakan,

Tidak diragukan lagi bahwa nash-nash (dalil tegas) telah menerangkan mengenai ketinggian Dzat Allah di atas seluruh makhluk-Nya dan Allah juga bersama mereka. Semua dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang qoth’i (pasti) dari sisi pendalilan (dalalah) maupun shohihnya (tsubut).

Allah Ta’ala telah menggabungkan antara keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya dan kebersamaan-Nya dengan makhluk-Nya pada firman-Nya berikut.

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia menempat tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hadid [57] : 4).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa Dia beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy dan ‘Arsy adalah makhluk-Nya yang paling tinggi. Selain itu, Allah juga menetapkan bahwa Dia senantiasa bersama kita. Dalam kedua dalil ini sama sekali tidak ada pertentangan. Kompromi antara keduanya sangat mungkin sekali. Penjelasan mungkinnya ada kompromi adalah sebagai berikut.

Pertama; kompromi antara dua dalil yang ada sangatlah mungkin karena nash-nash yang ada menunjukkan tidak mustahilnya hal ini. Siapa yang menyangka tidak mungkinnya hal ini, dia berarti telah keliru. Hendaklah dia memandang kembali dalil-dalil yang ada berulang kali sambil meminta pertolongan pada Allah, mintalah hidayah dan taufik pada-Nya, juga curahkanlah segala usaha untuk mengetahui kebenaran. Jika telah jelas kebenaran di hadapanmu, pujilah Allah karena hal ini. Jika memang engkau belum menemukannya, serahkanlah pada ahlinya yaitu orang yang berilmu dan katakanlah : Aku telah mengimani hal ini. Semuanya adalah dari Rabb kami.

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al Baqarah [2]: 32)

Kedua; sifat ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya dan sifat kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya tidak saling bertentangan. Ma’iyyah (kebersamaan) tidaklah melazimkan sesuatu itu akan bercampur atau bersatu dalam satu tempat sebagaimana yang dijelaskan dahulu. Sesuatu mungkin saja berada tinggi, namun juga tetap dikatakan bersama.

Sebagaimana kita juga mungkin mengatakan: “Kami terus berjalan dan bulan masih tetap bersama kami.” Padahal bulan berada di atas sana, namun masih dikatakan bersama. Contoh sifat ketinggian dan sifat kebersamaan semacam ini tidaklah bertentangan baik secara lafazh maupun makna. Orang yang diajak bicara pasti mengetahui maksud dari kebersamaan di sini. Tidak mungkin ada yang mengatakan bahwa bulan berada di bumi. Jika memang digabungkan atau dikompromikannya sifat ketinggian dan sifat kebersamaan pada makhluk, maka hal ini lebih mungkin lagi bagi Allah karena Dia-lah Dzat yang Maha Besar, Maha Agung dan tidak serupa dengan makhluk-Nya.

Ketiga; jika seandainya makna sifat ketinggian dan kebersamaan saling bertentangan pada makhluk, maka ini belum tentu saling bertentangan di sisi Allah. Karena ingatlah bahwa “tidak ada satupun yang serupa dengan Allah dalam setiap sifat-Nya.”

Jika kita telah mengetahui perbedaan makhluk dan Allah selaku pencipta, maka tidak mungkin kita menyamakan Allah dan makhluk-Nya. Kebersamaan Allah tidaklah mungkin berarti Dia bercampur dengan makhluk atau berada pada satu tempat dengan mereka. Alasannya, karena Dzat Allah berada di ketinggian, tidak satupun makhluk yang meliputi diri-Nya, bahkan Allah-lah yang meliputi makhluk-Nya.

Kesimpulan: Cara mengkompromi berbagai dalil yang menyatakan keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya dan kebersamaan atau kedekatan Allah adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah,

“Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah tidaklah bertentangan denga ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam setiap sifat-sifat-Nya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.”

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Kejujuran seorang Doktor


Berikut ini ceramah salah seorang Doktor yang sangat menginginkan kebaikan bagi saudara-saudaranya -yang kini telah mabuk dengan khamr demokrasi-, sungguh sebuah kejujuran dan pengakuan yang tulus dari seorang tokoh pergerakan mengenai rusaknya manhaj haraki dalam mengatasi problematika umat di negeri ini… Allahul musta’an.

Dr. Daud Rasyid MA -semoga Allah menambahkan petunjuk kepadanya- (KIK Al Hikmah tanggal 16 November 2008)

Ba’da tahmid wa sholawat

Ayyuhal muslimuun, ikhwah fillah yang dirahmati Allah, syukur alhamdulillah yang tidak henti-hentinya kita panjatkan kehadirat Allah SWT -subhanahu wa ta’ala- yang masih meneguhkan semangat kita walaupun dari sana sini SMS ataupun panggilan ataupun lobi-lobi untuk orang-orang tertentu agar tidak ikut dan tidak berhubungan dengan forum kader peduli, tetapi ternyata alhamdulillah ana lihat mesjid ini, dari sejak pertemuan yang lalu bahkan makin penuh. Ada apa ini, antum ini semua? Makin ditakut-takuti makin penuh, makin banyak yang hadir. Sebenarnya ini menunjukkan sebuah kerinduan kepada asshoolatudda’wah (orisinalitas dakwah).

Kita ingin kembali kepada materi-materi yang dulu kita pelajari sejak awal. Al walaa-u lillaah, al baroo’ ‘an kulli ath-Thowaghit. Berpihak kepada Allah. Innama waliyyukumullaahu warrasuuluhu walladziina aamanu, sesungguhnya wali kamu itu adalah Allah, rasulNya dan orang-orang beriman.

Sekarang sudah menjadikan pahlawan orang-orang yang tak jelas arah hidupnya. Dijadikan sebagai tokoh, sebagai wali. Diangkat nama-nama orang yang dalam sejarah telah tercatat permusuhan mereka itu kepada Islam.

Kenapa dulu syari’at Islam terganjal pada tahun 45? Dalam Piagam Jakarta, kita semua tahu sejarah. Padahal pada waktu diproklamasikannya itu kemerdekaan, dasar-dasar daripada negara ini, itu didasarkan kepada Undang-undang Dasar 45 yang mengacu kepada Piagam Jakarta. Yang intinya, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Tanggal 18, sehari, berubahlah itu, dicoretlah itu. Oleh siapa? Kelompok nasionalis yang kita tahu siapa. Mereka inilah yang ditokohkan sebagai pahlawan sekarang dan dalam iklan-iklan di televisi itu.

Jadi kita ini berubah 180 derajat, dari sebuah jama’ah (kelompok) umat Islam yang ingin mengerahkan wala’ nya kepada Allah menjadi berwala’ kepada syaithon dan thowaaghiit. Na’udzubillaahi min dzalik. Kita tidak mau. Saya yakin inilah yang mendasari kehadiran antum.

Sebenarnya ikhwah fillah, ana mencium perubahan ini sudah sejak awal, pada waktu adanya mukernas di Depok, di mana diundang berorasi bekas musuh kita — yang sudah meninggal — tokoh sekuler di Indonesia. Antum masih ingat? Disuruh, diminta, dihormati, diagungkan untuk berorasi. Saya tidak perlu sebut nama, karena antum semua sudah tahu, betul ndak?

Pada waktu itu hari Jum’at. Ana gak habis pikir, pusing kepala. Apa dasarnya ini orang diundang? Yang dulu kita ludahi, yang dulu kita hujat sebagai tokoh sekuler, tiba-tiba disambut, dihormati, diagungkan seperti guru. Laa hawla wala quwwata illa billaah. Pada saat itu betul-betul ana, secara pribadi, hati ini tersayat-sayat. Seperti meludah, dijilat kembali ludahnya.

Oleh karena itu, pada saat itu, ana ingat kembali ini ceritanya. Begitu dia naik, ana langsung keluar. Ditahanlah ana oleh tiga orang. “Ustadz, ustadz, tunggu dulu, sebentar saja ustadz!”

“Oh tidak ada. Tidak pantas bagiku untuk menghormati, menghadapi muka orang yang dulu memusuhi Islam. “

Waktu itu dia diagungkan, dijadikan rujukan sebagai bapak intelektual Indonesia. Dan seperti orang yang mengilhami gerakannya yang disebut dengan partai da’wah.

Dari situ saja, waktu itu, saya sudah mulai membayangkan, ini bagaimanapun ke depannya akan menjadi kelompok sekuler. Sudah mulai hilang rambu-rambu yang dipelajari, al walaa-u lillaah. Maka hari demi hari makin menunjukkan. Betul kata salah seorang ikhwah kita di dalam forum SMS itu, hari-hari ini belakangan terus akan memberitahukan kepada engkau, apa yang dulunya engkau tak tahu. Apa yang dulunya masih tertutup rahasia, hari ke depan akan makin lama makin tersingkap rahasia tabir-tabir yang dulu tersembunyi.

Kita mengira bahwa kita itu berjalan di atas sebuah thariiqudda’wah yang shahihah, thariiqul anbiya wal mursaliin, ‘ibadatullaahi wahdah, al kufru liththaghuut. Tetapi ternyata belakangan kitapun diajak berdamai, cair, lemah lembut. Menunjukkan wajah yang senyum kepada orang-orang mujrimin yang menghancurkan negara ini, yang menjual negara ini. Kitapun disuruh untuk berbaik-baik kepada mereka. Bagaimana mungkin seorang kader da’wah bisa menerima seperti itu?

Oleh karenanya ikhwah fillaah rahimakumullaah, mari kita tetap berpegang. Perbanyak antum tilawatil Qur’an, insyaAllah orang-orang yang terus senantiasa berpegang kepada kitabullah, ini tidak akan mau tergelincir. “Laa tajtami’u ummati ‘ala dhalaalah”, kata nabi kita SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam- . “Tidak akan mungkin ummatku bersatu dalam sebuah kesesatan.”

Jadi mudah-mudahan kita ini penyelamat agar saudara-saudara kita yang lain tidak sampai sesat. Kita ini sebagai pengontrol mereka. Sekali lagi kita ingin tegaskan, kita ini bukan mau merebut sebuah qiyadah. Apa yang mau direbut? Kita ndak punya kemampuan apa-apa. Kita ini bukan mau mengganjal, kita ini bukan mau menggagalkan, tidak. Tetapi jalan da’wah yang sudah dari awal dibangun secara benar, ini jangan sampai miring, seperti orang yang mabuk, tidak lihat jelas jalannya yang mana yang harus ditempuh, ke kiri atau ke kanan. Kita tidak mau seperti itu, karena semuanya kita ini punya patokan, punya dasar kitabullah, sunnah rasulillah. Tidak akan lahir mujtahid-mujtahid baru yang akan mempunyai ta’wil-ta’wil untuk menjustifikasi kebijakan-kenijakan yang nyeleneh dan kontroversial. Tidak bisa itu, dan itu tidak akan kita biarkan. Dan kalau kita tetap dituduh sebagai orang-orang yang ingin menggembosi, yang ingin menciptakan jama’ah baru, biarlah mereka nanti tahu bahwa kita tidak punya keinginan untuk membuat apa-apa yang baru. Kita hanya ingin meluruskan jalan yang sudah ada.

Oleh karenanya mereka seharusnya membuka hati dan harusnya mereka itu berterimakasih ada yang mengingatkan. Kan begitu seharusnya? Mereka harusnya ruju’ kepada yang benar. Berterimakasih, bukan justru menteror, beberapa saudara kita diteror lewat SMS, dan seterusnya dan seterusnya. Maka oleh karena itu, kita tidak akan berhenti dalam menegakkan amal amru bil ma’ruf wan nahi ‘anil munkar, kapanpun dan di manapun.

Dan kita yakin, insyaAllah, dengan do’a-do’a kita, kita berdo’a agar ikhwah kita akan kembali seluruhnya ke jalan yang benar. Dan kita tidak perlu berdo’a agar mereka celaka, tidak. Mereka itu sedang menghadapi sebuah cobaan yang disebut dengan dunia. Supaya mereka sadar akan cobaan itu, dan tidak larut tergelincir, akhirnya mereka pun terpental dari jalan da’wah. Nanti, akhirnya yang disebut oleh Said Hawwa,al mutasaqithuuna fii thariiqidda’wah, jangan dibalik, jangan dibilang kita ini orang-orang yang berguguran di jalan da’wah. Sekarang ada pemutarbalikan istilah, orang lurus dibilang bengkok, yang bengkok dibilang lurus. Ini berarti kacamata sudah tidak benar. Kalau kacamata sudah tidak benar, itu memang betul. Hitam kelihatan putih, putih kelihatan hitam.

Jadi oleh karenanya, sekali lagi, mari kita tamassuk bi kitabillaah. Apa yang dulu biasa kita lakukan, tilawatil Qur’an adalah merupakan tugas seorang akh untuk berusaha mengkhatamkan Qur’an itu minimal satu bulan sekali. Ini adalah tugas-tugas kita sebagai akh di dalam jama’ah ini. Begitu juga ikhwah, kita menghidupkan sunnah, jangan kita anggap kecil, sepele sunnah-sunnah. Sunnah-sunnah nabi itu semuanya mulia. Rasulullah sudah berpesan kepada kita, jangan kamu anggap sepele. “Taroktu fiikum Amroini, Maa intamassaktum bihima Lan tadhillu ba’di abada”. Biar orang lain menyepelekan sunnah, menganggap bahwa dirinya sudah berubah, kita sudah maju, kita sudah meninggalkan masa lalu.

Oh tidak, kita tetap katakan, kita ini tetap dulu seperti yang dulu juga. Kapanpun dan di manapun kita hidup, tetap saja manhaj yang kita pakai manhaj yang lama. Manhajudda’wah anbiya wal mursaliin yang mengajak orang kepada ‘ibadatullaah, al waahidil qahhaar. Ikhwah fillah rahimakumullah, kalaupun awalnya kita mau berpartai tujuannya adalah untuk mengajak orang menyembah Allah, bukan mau mencari kekuasaan. Tak ada gunanya mencari kekuasaan. Apa gunanya kekuasaan kalau akhirnya membuat kita celaka. Karena Allah pun mengatakannya dalam al Qur’an
“Wa ‘adallaahulladzina amanu minkum wa ‘amilushshaalihaati, layastakhlifannahum fil ardhi, kamastakhlafalladzina min qablihim, wa layumakkinanna lahum diinahumulladzirtadha lahum, wa layubaddi lannahum min ba’di khawfi him amna ; ya’buduunani la yusyrikuuna bi syai-an”

Allah menjanjikan kepada orang beriman dan beramal sholeh. Antum ndak usah ribut, pusing kepala cari kekuasan. Itu sudah janji Allah, akan dikasihnya. Ndak usah sampai kamu mengorbankan idealisme menjual tokoh-tokoh orang. Akhirnya sekarang yang punya tokoh pada marah semua. Malu tidak itu? Malu sekali. NU nya marah, Muhammadiyahnya marah, orang nasionalisnya marah. Sudah tidak ada harga diri lagi. Tokoh orang disanjung-sanjung seolah-olah tidak punya tokoh kamu itu.

Padahal kita itu, qudwatuna Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kita tidak perlu kepada tokoh-tokoh. Semua tokoh itu ada cacatnya, betul tidak? Yang bersih dari cacat Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kenapa kamu sibuk menokohkan orang? Semua mereka itu punya cacat, yang cacatnya itu tidak tanggung-tanggung.

Oleh karenanya, kita kembali kepada manhaj, Allaahu ghayatuna, warrasul qaa’iduna. Rasulullah itu pemimpin kita yang insyaAllah tidak akan ada sesuatu yang negatif pada diri Rasulullah SAW -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kenapa kita sibuk mencari tokoh di luar tokoh yang sudah diajarkan kepada kita?

Kembali kepada ayat yang tadi, Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh, akan diberinya kekuasaan. Nah ini dia… Jadi kamu tidak usah pusing, sibuk, menjilat ke sana ke mari mencari perhatian orang. Ada pepatah Arab, “Kullun yadda’i hubban bi Laila, wa Laila la tuqirru bi wahid”, Semua laki-laki mengatakan Laila cinta pada saya, tetapi Laila tidak pernah mengakui satu orangpun diantara mereka. Malu sekali.

Jadi Allah akan memberikan yang namanya kekuasaan itu, layastakhlifannahum, istikhlaaf, sebagaimana yang diberikannya kepada ummat sebelum kamu, wa layumakkinanna lahum diinahumulladzirtadha lahum, akan memberikan tamkiin, akan memantapkan posisi diin ini di muka bumi, kemudian wa la yubadilannahum min ba’di khawfi him amna, akan diganti Allah rasa takut menjadi rasa aman, tapi syaratnya apa? ya’buduunani la yusyrikuuna bi syai-an.

Sekarang kita itu sudah mulai menyerempet-nyerempet ke syirik, betul tidak? Mengakui nasionalisme yang dibuat oleh orang-orang nasionalis yang tidak mengenal Allah, yang tidak bertauhid kepada Allah Ta’ala. Jadi kita sudah mulai nyerempet ke situ. Yang tadinya faham tentang tauhid, yang tadinya memusuhi syirik tapi sekarang sudah berubah. Bagaimana kita mau mendapatkan kekuasaan dari Allah Ta’ala? Yakin ana gak bakalan. Tidak bakal dikasih Allaah Ta’ala itu. Karena sudah dikatakan demikian, “ya’buduunani la yusyrikuna bi syai-an”. Mereka menyembah Aku dan tidak mensekutukan Aku dengan segala sesuatu apapun.

Oleh karena itu, apapun namanya kita ini, mau jam’iyah mau jama’ah mau hizbiyyah, tugas kita adalah mengajak orang untuk ‘ibadatillaahi wahdah. Sekarang sesudah jadi partai, berani gak mengajak orang ke tauhid? Berani gak mengajak orang supaya menyembah Allah? Tidak berani. Sesudah jadi partai akan berbicara dengan bahasa-bahasa politik.

Dipikir mereka, mereka akan bisa diberikan Allah kekuasaan. Oh tidak. Jadi selama kita tidak menempuh jalur, manhaj, cara, thariiqah yang dilakukan oleh para pendahulu kita dari ummat ini, maka Allah tidak akan kasih. Kalaupun dikasihNya nanti, ya kekuasaan yang akhirnya menghancurkan kita. Ada yang mau? Saya yakin semua kita tidak akan mau. Gara-gara kekuasaan iman kita tergadai. Gara-gara kekuasaan aqidah kita larut. Gara-gara kekuasaan yang haram menjadi halal. Tidak, lebih bagus kita tidak punya kekuasaan

Ikhwah fillah rahimakumullah, jadi pertemuan kita ini sebenarnya ingin menghidupkan kembali apa yang dulu, yang biasa kita pelajari. Syahadatain, memantapkan makna syahadatain itu kembali. Di mana lagi ada pengertian ilaah al marghuub fihi? Sudah ndak ada lagi itu materi-materi seperti itu. Pertemuan-pertemuan hanya dicekoki dengan pilkada di sini, pilkada di sana, menghadapi 2009, yang tidak ada hubungannya dengan keimanan.

Oleh karenanya banyak para ikhwah itu mengeluh, datang ikut liqo tetapi iman tidak terasa bertambah. Bahkan pulang liqo, pusing kepala. Kalau dulu datang liqo, pulang, semangat keimanan membara, kecintaan kepada Allah SWT -subhanahu wata’ala-. Sehingga habis malam itu dihabiskan untuk sujud kepada Allah dan berdiri di hadapan Allah. Sekarang, karena terlalu larut malam membicarakan masalah agenda-agenda, pulang tengah malam, tidur, subuhpun lewat. Apakah begitu kader da’wah?

Jadi oleh karenanya ikhwah fillah rahimakumullah, biarpun sebagian saudara kita menuduh ini sebuah upaya untuk menggembosi, kita katakan kepada mereka, tidak ada penggembosan. Yang ada adalah penyadaran. Ana, antum semua, mari kita sama-sama menyadarkan saudara-saudara kita yang sedang larut dengan dunia. Kembalilah wahai ikhwah ke jalan yang benar, dan kami semuanya saudaramu. Tidak ada keinginan diantara kami untuk memecah-belah dan untuk menimbulkan permusuhan. Apabila kembali jama’ah ini kepada khithah yang aslinya, insyaAllah, Allah akan memberikan kemenangan itu di luar yang kita perhitungkan.

Allaahu akbar!

Catatan : Tulisan ini bisa dibaca di buku Pak Hartono Ahmad Jaiz ‘Rekayasa Pembusukan Islam’, penerbit Nahimunkar. Dan ia bersumber dari milis dan blog kader-kader PKS sendiri, di antaranya Forum Kader Peduli. Insya Allah bisa dipercaya keotentikannya.

Salafiyah dan Politik


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilaly

Sesungguhnya salafiyah meniadakan untuk uluran apa saja kepada Hizbiyah Siyasiyyah (gerakan politik) yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan bukan sebagai wasilah (perantara), mereka yang berusaha mencapai kekuasaan dengan segala makar, kelicikan dan tipu daya, serta menjadikan Islam sebagai syiar (simbol). Jika mereka telah mencapai apa saja yang diinginkan, merekapun berpaling dari jalan Islam!

Yang demikian itu karena makna politik didalam benak mereka adalah :

Kemampuan memperdaya dan menipu, dan seni membentuk jawaban-jawaban yang bermuatan (politis), serta perbuatan-perbuatan yang mempunyai halusinasi, yang diibaratkan dalam bentuk bejana yang diletakkan didalamnya baik itu warna, rasa dan baunya.

Politik seperti ini dalam pandangan salafiyyin (mereka yang mengikuti pemahaman salafus shalih) serupa dengan kemunafikan ; karena dalam politik seperti ini ada sikap tidak konsisten pada aqidah, mereka mengotori jiwa Islam, merusak keimanan, melepaskan ikatan Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Bara’ (kebencian), serta menipu kaum muslimin, para dai yang fajir (jahat) tersebut menjadikan politik sebagai tangga saja, mereka menggembor-gemborkan dakwaan untuk menolak kedzaliman, menolong kaum muslimin, meringankan bahaya atau menghilangkan kemungkaran. Dan kami telah melihat kebanyakan mereka itu berubah dan tidak merubah. Dan orang yang berbuat seperti cara mereka, tidak akan keluar dengan selamat dari permainan politik, dan tidak akan kembali dengan kemenangan.

Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa salafiyyah (dakwah yang menyeru kepada Al Qurân dan sunnah dengan pemahaman sahabat nabi) tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidak memahami keadaan/kondisi mereka, tidak berusaha dengan sunguh-sungguh memulai kehidupan Islam yang berlandaskan kepada Manhaj Nubuwah (ajaran nabi), kemudian setelah itu mewujudkan hukum Allah Subhanahu wa Taâala dimuka bumi, agar agama itu seluruhnya menjadi milik Allah Subhanahu wa Taâala tiada sekutu bagi-Nya, agar tersebar keadilan dimana-mana. Oleh karena itu salafiyah menjadikan hal diatas sebagai salah satu dari tujuan-tujuannya, berusaha merealisasikan, beramal untuk mencapainya, serta mengajak kaum muslimin, khususnya para daâi salafi untuk bersatu di atasnya, agar kalimat mereka satu.

Meskipun demikian, kami melihat sebagian orang yang masih ingusan, menyangka/menuduh bahwasan dakwah salafiyyah pada saat ini tidak ada politik didalam manhajnya ! Dia beralasan bahwa memulai kehidupan Islam bukan dari tujuan mereka, yang tercantum pada sampul belakang kitab-kitab mereka.

Sesungguhnya tuduhan ini hanyalah untuk merobohkan dakwah Salafiyyah, sekalipun ia berusaha mengatakan akan mendirikannya, semua itu ia lakukan untuk mengelabui teman-temannya. Di bawah ini ada keterangan yang sepatutnya untuk diketahui:

[1]. Sesungguhnya memulai kehidupan Islam diatas Manhaj Nubuwah (ajaran nabi) dan menumbuhkan masyarakat Rabbani, dan merealisasikan hukum Allah Azza wa Jalla dimuka bumi adalah hal yang ditegaskan oleh dakwah salafiyah, karena dakwah salafiyah akarnya kembali kepada generasi sahabat, dan metodenya adalah dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh ulama Rabbani. Manhaj salafiyah dalam merubah adalah seperti para sahabat nabi dan ulama, yaitu dengan mengikuti sunnah bukan berbuat bidâh. Dan manhaj seperti ini bertolak belakang dengan dakwah-dakwah masa kini yang mendakwahkan telah mendahului dalam segalanya dan dakwah-dakwah ini bagaikan tunas yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tegak sedikitpun.

[2]. Sesungguhnya tujuan umum yang ditegaskan dakwah salafiyyah semuanya untuk merubah (kepada yang baik) :

[a]. Mengembalikan umat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat Nabi, ini adalah merubah kondisi umat.

[b]. Membersihkan kotoran yang masih melekat pada kehidupan kaum muslimin berupa kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya. Memperingatkan mereka dari perbuatan bid’ah yang munkar dan pemikiran-pemikiran batil yang masuk, mensucikan sunnah dari riwayat-riwayat yang dhaâif dan palsu yang mengotori kebersihan Islam dan menghalangi kemajuan kaum muslimin, ini dalam rangka merubah kondisi umat.

[c]. Menyeru kaum muslimin untuk mengamalkan hukum-hukum Islam, berhias dengan keutamaan-keutamaan dan adab-adab agama yang membuahkan ridha Allah di dunia dan akhirat, serta mewujudkan kebahagiaan dan kemuliaan bagi mereka : ini juga dalam rangka merubah kondisi umat.

[d]. Dan sesungguhnya menghidupkan ijtihad yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman sahabat Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam untuk menghilangkan sikap fanatik madzhab, serta melenyapkan fanatik golongan agar kaum muslimin kembali bersaudara, dan bersatu diatas ajaran Allah Azza wa Jalla sebagai saudara, ini juga merubah kondisi umat.

[3]. Ini yang pertama, adapun hal lainnya, sesungguhnya tujuan-tujuan itu semuanya untuk memulai kehidupan Islam akan tetapi diatas manhaj Nubuwah (metode nabi), dan penyebutan masalah ini pada pembahasan setelahnya adalah termasuk dalam bab penyebutan hal yang khusus sesudah hal yang umum.

[4]. Adapun sesudah itu sesungguhnya salafiyyin menempuh manhaj (metode) perubahan berdasarkan Al-Qur’an yang tidak terdapat kebatilan didalamnya yaitu firman Allah Azza wa Jalla :

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah diri-diri mereka.” [Ar-Ra'du : 11]

Maka medan perubahan ini adalah jiwa-jiwa manusia agar jiwa-jiwa itu tegak, istiqomah diatas manhaj Allah Subhanahu wa Taâala, dan siap untuk menjadi pemimpin.

Allah Subhanahu wa Taâala telah berjanji untuk mengokohkan (Islam dan kaum muslimin) tapi dengan syarat mereka mau merubah diri-diri mereka sendiri :

“Artinya : Jika kalian menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian.” [Muhammad : 7]

Oleh karena itu kami melihat guru kami Syaikh Al-Albani memuji kata-kata yang masyhur dibawah ini :

“Tegakkanlah daulah Islam dalam jiwa-jiwa kalian niscaya daulah Islam itu akan tegak dibumi kalian.”

Beliau memuji kalimat tersebut karena sesuai dengan Al Qurâan dalam metode memperbaiki masyarakat bukan lantaran beliau terpengaruh dengan pencetusnya.

Barangkali ada orang yang akan berkata : Sesungguhnya metode ât-Tashfiyah dan Tarbiyah (mensucikan dan mendidik) itu tidak jelas, untuk orang-orang seperti ini telah dikatakan : “Sesungguhnya manhaj ini lebih terang dari matahari akan tetapi terkadang mata mengingkari cahaya matahari karena tertutup dengan debu.”

Sesungguhnya manhaj ini adalah metode Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Taâala mengutus beliau untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya dan melahirkan umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kebaikan serta melarang kemungkaran dan beriman kepada Allah Azza wa jalla.

“Artinya : Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya pada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (As-Sunnah).” [Al-Jumu'ah : 2]

Sesungguhnya ini adalah ilmu dan tazkiyah (pensucian) dan kita tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan tashfiyah (pemurnian), dan sekali-kali tidak akan bisa mewujudkan pensucian melainkan dengan tarbiyah (mendidik). Ini adalah pemahaman para pewaris Nabi, umat yang adil, yang mana Allah menyingkapkan kekaburan dengan mereka dan menghilangkan serta menghancurkan kezaliman, sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits yang hasan.

“Artinya : Ilmu ini akan dibawah oleh orang-orang yang adil, mereka meniadakan penyimpangan orang-orang yangmelampaui batas, melenyapkan orang-orang yang batil dan orang-orang yang bodoh.”

Manhaj salaf menyelamatkan para pemuda/generasi umat dari jaring-jaring hizbiyyah, sebagaimana dalam hadits Bukhari dan Muslim :

“Artinya : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taâala tidak mencabut ilmu sesudah Allah memberikan kepada kalian akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan kematian para ulama hingga jika tidak tersisa seorang ulama manusia menjadikan pemuka-pemuka mereka orang-orang yang bodoh lalu mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa ilmu hingga mereka menyesatkan dan mereka sendiri tersesat.”

Dakwah salafiyyah tidak mengarahkan untuk bentrok (secara frontal) dengan para penguasa dan undang-undang karena dakwah ini menginginkan perbaikan dan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki. Karena hukum dan penguasa bukanlah tujuan menurut dakwah salafiyah tetapi hal itu adalah wasilah/sarana untuk beribadah kepada Allah semata dan agar agama ini menjadi milik Allah seluruhnya.

Bentrok dengan penguasa/kudeta dapat mengakibatkan urusan yang lebih besar, jika tidak percaya maka lihatlah fakta!

Demikian juga sesungguhnya peraturan Islam harus mempunyai penopang dan pembela dari rencana busuk musuh-musuh Islam dan para dai yang menghalangi jalannya :

Artinya : Dialah yang menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang yang beriman. [Al-Anfal : 62]

Dan tidaklah kaum muslimin menjadi penopang para rasul sesudah Allah, melainkan jika mereka terdidik diatas manhaj Rasulullah Shallallahu âlaihi wa sallam dan sahabat-sahabat beliau (semoga Allah meridhai mereka)..(contoh) jihad Afghanistan, jihad ini mempunyai pembela dan penopangnya dari rakyat Afghanistan…akan tetapi kaidah tashfiyah dan tarbiyah ini terlalaikan dengan perlawanan (terhadap musuh) sebelum tarbiyah, sehingga tatkala mencapai singgasana kekuasaan bercerai-berailah sesudah sebelumnya kuat, bermusuhan di antara mereka dan mereka menjadi lemah, dan hilang kekuatan mereka, runtuh dan hancur, dan para musuh pengintai mereka menunggu kesempatan.

Jika demikian (kenyataannya) haruslah dilakukan tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah (pendidikan) diatas manhaj Nabawi yang bersih yang terlahirkan darinya generasi yang menjadikan Muhammad Shallallahu âalaihi wa sallam dan para sahabatnya sebagai panutan.

Di samping itu sesungguhnya salafiyyin tidak mengingkari orang-orang yang melakukan perubahan, akan tetapi mereka mengingkari metode perubahan, yang tidak bisa mengenyangkan dan tidak bisa menghilangkan rasa lapar, bahkan orang-orang yang tergesa-gesa dan orang-orang yang mengambil manfaat (dunia) menaiki metode itu untuk mengorbankan para pemuda muslim, mereka membuat kerusakan yang pada akhirnya mereka berguguran di sarang musuh dengan sebab ketergesa-gesaan mereka, dan sunnah Allah Azza wa jalla menimpa mereka sebagaimana yang dikatakan para ulama.

“Artinya : Barangsiapa tergesa-gesa sebelum waktunya maka diharamkan mendapatkannya.”

Salafiyyun menolak metode-metode yang mendukung ahli batil serta menghina kaum muslimin menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah, berkelompok-kelompok (berpartai-partai), permusuhan di antara mereka sangat sengit. Kemudian dilecehkannya aqidah serta syariat Islam.

Inilah yang diingkari salafiyyin, dan mereka selalu memperingatkan darinya, pendorong mereka dalam hal ini seluruhnya adalah firman Allah Subhanahu wa Taâala.

“Artinya : Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada petunjuk bagiku melainkan denga pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali.” [Hud : 88]

Dan Allahlah yang menjanjikan ..

[Diterjemahkan dari majalah al-Asholah edisi 18 hal 29]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyah, Edisi 10/Th II/2004/1425H]

Sumber :

http://www.almanhaj.or.id/content/1567/slash/0

“SEPUTAR HIZBUT TAHRIR”

Oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly

Alih Bahasa & catatan kaki : Abu salma bin at-Tirnaatiy as-Salafiy

Berkenaan dengan Hizbut Tahrir yang merupakan partai yang didirikan oleh Taqiyyudin an-Nabhany[1], kami memiliki sejumlah pandangan terhadap partai ini, sebagai berikut:

1. Bahwa mereka tidak menerima ‘khobarul ahad’[2] dalam permasalahan aqidah[3], hal inilah yang menyebabkan mereka keluar dari Ahlus Sunnah pada perkara aqidah[4]. Karena menerima hadits adalah suatu prinsip penting, sedangkan mereka tidak menerima perkataan Rasulullah dalam perkara aqidah. Mereka tidak mengimani, sebagai contohnya, adanya siksa kubur, mereka tidak mengimani munculnya Dajjal, turunnya Isa al-Masih, dan banyak lagi yang tak mereka imani yang tersebut dalam hadits.[5] Hal ini tentunya adalah suatu hal yang bathil, karena hadits ahad yang shohih, yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, jujur, bersambung sanadnya mulai dari awal sampai akhir, tidak menyelisihi sesuatu yang lebih terpercaya (tsiqoh) dan tidak mengandung ‘illat (kelemahan yang tersembunyi), maka hadits yang memenuhi kelima syarat ini adalah (khobar) yang membuahkan ilmu (yakin), sedangkan mereka menyatakan hadits ini hanya membuahkan dhon (dugaan/asumsi) belaka. Bantahan terhadap mereka dalam masalah ini secara terperinci, bisa ditemukan pada bukuku yang berjudul, al-Adillah wa asy-Syawaahid fi wujuubi al-akhdzi bi khobar al-wahid fi al-ahkam wa al-aqo^id. Dalam buku ini aku menyebutkan bukti-bukti pendapat mereka dari kitab mereka yang berjudul ad-Dusiyah dan kubantah secara mendetail. Barang siapa yang menghendaki pembahasan mendalam tentang hal ini, silakan merujuk ke kitabku tersebut. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kaum muslimin.

2. Partai ini, menuduh Ahlus Sunnah sebagai Jabbariyah yang mereka paparkan secara terang-terangan dalam kitab mereka, ad-Dusiyah, pada pembahasan al-Qodho’ wal Qodar[6], sebagai berikut: “..Jika kita tilik Ahlus Sunnah, yang beranggapan bahwa merekalah yang memiliki pandangan yang keluar dari antara kotoran dan darah, maka merekalah jabariyyah.[7]

Inilah kejahilan mereka terhadap bagian penting dari aqidah, dimana Ahlus Sunnah senantiasa menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan dan mengingkari apa-apa yang telah Allah ingkari. (Sedangkan) mereka menetapkan bahwa seorang hamba memiliki kehendak yang bebas, kecuali hal-hal yang tidak mungkin melainkan karena kehendak Allah, Yang Maha Sempurna dan terbebas dari segala kekurangan, Yang Maha Tinggi. Ada suatu bukti yang kuat tentang tuduhan ini, kami telah menyebutkannya sebagian dalam bantahan kami terhadap mereka dalam buku ál-Jama’ah al-Islamiyyah.[8]

3. Partai ini juga memiliki beberapa pendapat yang ganjil. Sebagai contoh, mereka memperbolehkan fotografi telanjang dan mereka mengizinkan melihat foto tersebut[9], padahal hal ini mengandung bahaya yang besar terhadap perkara syari’ah. Mengenai hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita menggambarkan wanita lain kepada suaminya seolah-olah ia dapat melihatnya.” Sabda Nabi “seolah-olah ia dapat melihatnya.” adalah tidak langsung melihatnya, namun wanita tersebut tergambar dalam imajinasinya, jadi letak pengharamannya adalah pada munculnya imajinasi tersebut. Lantas, bagaimanakah dengan dengan gambar yang berada langsung secara fisik di depan orang yang memandangnya?! Yang mana gambar itu memperlihatkan hal yang menarik perhatian, mempertontonkan tubuh wanita, bahkan membuka auratnya… tidakkah ini lebih haram?

Kedua, walaupun foto atau gambar tersebut tidak bergerak dan tidak dapat merasakan, namun tetap merupakan gambar yang nyata, dan kebugilan adalah sesuatu yang diharamkan. Lantas, bagaimana bisa kita memperbolehkan memandang sesuatu yang haram?!

Selanjutnya, memandang gambar-gambar demikian ini akan membangkitkan naluri kebinatangan dan kecenderungan syaithaniyyah pada seseorang. Sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram. Bahkan perkara ini telah melampaui batas di antara mereka hingga kepada tingkatan bolehnya mencium wanita ajnabiyah[10], ini sesuatu yang sangat berbahaya!!!

4. Yang lebih berbahaya lagi, mereka telah mengarahkan seluruh perhatiannya untuk melawan hukkam (pemerintah)[11]. (Mereka sering berkoar-koar), “Pemerintahan ini adalah kaki tangan Amerika, pemerintahan ini adalah boneka Inggris”[12] seolah-olah tak ada satupun (pemerintahan) di dunia ini melainkan (kaki tangan) Amerika dan Inggris. Dan seolah-olah hanya Amerika dan Inggris yang mengatur (menguasai) permasalahan dunia. Hal ini menyebabkan ummat menyimpang dari pemahaman yang benar tentang dien mereka dan jauh dari manhaj Allah dalam merubah perkara ini. Mereka beranggapan, jika mereka merubah pemerintah, mereka akan memperoleh apa yang mereka inginkan[13]. Hal ini berlawanan dengan sunnah kauniyah yang ditetapkan Allah tentang (metode) perubahan yang terjadi diantara makhluk hidup.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu yang merubah keadaan mereka sendiri.” (ar-Ra’du 13:11)

Jika kita berangan-angan bahwa pemerintahan akan berubah, sementara masyarakatnya sendiri tidak beriman terhadap Dien mereka, yang akan terjadi adalah masyarakatnya sendiri yang akan melakukan revolusi (pemberontakan), sebagaimana yang telah terjadi. Sebagai contoh, akhir-akhir ini di Rusia, Negara ini didirikan dengan cara kekuatan tirani dan penindasan terhadap rakyatnya melalui pembunuhan, dan lain sebagainya. Kita akan mendapatkan bahwa masyarakatnya tidak akan mendukung pemerintahannya, bahkan melawannya. Memang, hukum Allah harus ditegakkan di atas permukaan bumi, amanah ini harus diemban dan dijaga oleh orang-orang mu’min. “Dialah Allah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’minin”. (al-Anfal 8:62). Kita tidak menunggu Timur maupun Barat menolong Dien ini, namun ummat ini sendiri yang harus menjadi pengembannya dan mempertahankan Dien ini.

Inilah gambaran singkat tentang Hizbut Tahrir, dan tentunya mereka berdebat tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, tanpa Kitab, dan tanpa cahaya. Kita telah sering duduk dengan mereka, diantara yang pernah kami utarakan kepada salah seorang dari mereka ketika mendikusikan khobarul ahad adalah, kita mengatakan “Telah jelas atasmu bahwa yang haq adalah wajib menerima khobarul ahad, jadi apakah kau akan menerimanya?”, dia menjawab, “Tidak, karena aku harus tetap berpegang dengan pandangan partai.” Mereka membuat peraturan, bahwa jika pandangan partai berlawanan dengan pandanganmu, kamu harus berpegang dengan pandangan partai, tidak dengan pandanganmu sendiri[14]. Maka kami katakan, lantas, apa hasil dari diskusi denganmu ini? Jika engkau tidak mau menyerahkan pandangan partai secara pasrah kepada hujjah yang nyata. Mereka menetapkan suatu peraturan, yakni seseorang harus mempertahankan pendapat Imam atau negerinya. Adapun jika menyangkut masalah dosa, dimana pemerintah, kholifah ataupun kelompok bisa berlaku benar bisa juga salah, maka jika suatu kesalahan yang dilakukan, bagaimana bisa ia tetap bertahan dengannya padahal ia mengetahui bahwa hal itu haram?!.

Bayangkan, sebagai contoh, bahwa ada suatu pemerintah yang bermadzhab Hanafiyyah yang berpendapat bahwa meminum sedikit alkohol atau dalam jumlah yang tidak sampai memabukkan adalah boleh, namun yang dilarang adalah jika berlebihan sehingga memabukkan. Apakah seseorang dalam hal ini harus berpegang dengan pendapat imamnya? Atau, contoh lain, Imamnya berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana menimpa Imam Ahmad, apakah lantas ia kemudian harus menerima pendapat imamnya?? Dan praktek beliau (Imam Ahmad) adalah berlawanan dengan hal ini.

Demikianlah ulasan singkat tentang Hizbut Tahrir, mereka tidaklah mengikuti islam (secara kaafah) namun hanya mengemban ide-ide islam saja, mereka memiliki pendapat-pendapat yang aneh (dan bathil)[15], sebagai contoh, mereka tidak memerintahkan isteri-isteri mereka untuk berpakaian secara islami[16], dikarenakan mereka berpandangan bahwa kaum pria tidak memiliki otoritas terhadap wanita sampai tegaknya khilafah. Tentu saja hal ini menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana seorang lelaki harus berupaya keras menyelamatkan keluarganya dari api neraka, “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim 66:6).

Disalin dari : “Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir”


[1] Beliau adalah Syaikh Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Ismail an-Nabhany Rahimahullah, seorang pemikir Islam yang aqidahnya terpengaruh oleh Asy’ariyyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah. Beliau adalah cucu dari seorang shufi ghulat (sufi ekstrim) yang terkenal, Yusuf bin Ismail an-Nabhany, penulis kitab Jami’ Karomaat al-Awliyaa’ dan Syawahidul Haqq fil istighotsah bi sayyidil kholqi yang penuh dengan keganjilan-keganjilan shufiyyah yang banyak diadopsi kesultanan Utsmaniyyah. Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi telah membantahnya dalam Ghoyatul amaaniy fi roddi ‘alan Nabhany. Beliau dilahirkan tahun 1905 di desa Ijzim, dekat kota Hifa. Beliau menghafal al-Qur’an dan belajar fiqh pada ayahnya, Syaikh Ibrahim an-Nabhany Rahimahullah. Beliau alumnus al-Azhar Mesir dan pernah menjabat sebagai Qodhi di Mahkamah Syari’ah, dan pada tahun 1950 beliau menjadi anggota Mahkamah Isti’naf asy-Syari’ah. Tanggal 10 Desember 1977 beliau wafat di Libanon dengan meninggalkan karangan yang cukup banyak dan karyanya menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, diantaranya :

- Nidhomul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)

- Nidhomul hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)

- Nidhomul Iqtishodi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)

- Nidhomul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam)

- At-Takattul Hizby (Pembentukan Partai)

- Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah 3 jilid (Kepribadian Islam)

- Nida’ul haar ila aalamil Islamy (Seruan kepada dunia Islam)

Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab di atas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat mu’tazilah. Sebagian besar kitab-kitab di atas telah diterjemahkan oleh penerbit Pustaka Thoriqul Izzah dan al-Izzah, penerbit yang menyebarkan faham Hizbut Tahrir.

[baca : al-Jama’at al-Islamiyyah hal. 287, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah hal. 10 dan Hizbut Tahrir hal 27-29), dan Mawsu’ah al-Muyassarah hal. 344]

[2] Dalam Taisir Mustholahul Hadits karya DR. Mahmud Thohhan, dikatakan : Hadits dari sisi sampainya kepada kita ada dua, yakni Mutawattir dan Ahad. Khobar Mutawattir adalah yang diriwayatkan sekelompok perawi yang banyak (tiap thobaqot tidak kurang dari 10 orang menurut pendapat yang terpilih) yang menurut adat tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Sedangkan khobar ahad adalah khobar yang tidak sampai derajat mutawattir.

[3] Hizbut Tahrir menyatakan di dalam kitab ad-Dusiyah hal. 3 : “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy dan boleh dengan dalil qoth’iy kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qoth’iy, tidak boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qoth’iy maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya dhonniy maka haram bagi tiap muslim mengimaninya…, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qoyh’iy…”

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa aqidah adalah “Pembenaran secara pasti sesuai dengan kenyataan menurut dalil”, maka menetapkan aqidah haruslah dengan dalil qoth’iy dan tidak boleh dengan dalil dhonniy. Mereka mensyaratkan dua sisi dalam menerima suatu berita keimanan atau aqoid, yakni :

- Ats-Tsubut (ketetapan asalnya) harus qoth’iy tidak boleh dhonniy. Menurut mereka khobar mutawattir adalah qoth’iy ats-tsubut sedangkan khobar ahad adalah dhonniy ats-tsubut, sehingga khobar ahad tak boleh dijadikan dasar dalam aqidah.

- Ad-Dilalah (penunjukan lafadh nash) harus qoth’iy tidak boleh dhonniy. Menurut mereka, nash-nash dalil walaupun dari al-Qur’an atau hadits mutawattir yang qoth’iy ats-tsubut belum tentu qoth’iy ad-dilalah, jika menimbulkan interpretasi yang berbeda dari lafadh yang sama, maka dikatakan lafadh tersebut dhonniy ad-dilalah dan tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara aqidah. Sehingga masalah sifat-sifat Allah menurut mereka adalah dhonniy ad-dilalah dan tidak bisa dijadikan perkara aqoid.

Mereka berargumentasi bahwa dhon itu adalah persangkaan belaka dan kebathilan, berangkat dari QS an-Najm : 23, 27 dan 28, Yunus : 36 dan 68, an-Nisa’ 157, al-An’am : 116 dan 148, Shod : 27, al-Jatsiyah : 32, Fushshilat : 22-23, Jin : 5 dan al-Baqoroh : 78. Namun pendapat mereka ini sangat lemah, dan al-Imam al-Albany telah membantahnya dalam artikel yang berjudul Hizbut Tahrir al-Mu’tazilah al-Judud yang dimuat dalam majalah as-Salafiyyah no 2 tahun 1417 hal. 17-23 dan telah diterjemahkan dalam majalah as-Sunnah edisi 3, tahun III 1428/1998 M. dengan judul Hizbut Tahrir Neo Mu’tazilah hal. 43-55. demikian pula dalam al-Hadits hujjah binafsiha, dan lain-lain. [baca : al-Jamaa’at al-Islamiyyah hal. 295, al-Istidlal bidh dhonni fil aqidah]

[4] Ada tiga pendapat tentang apakah khobar ahad bisa dijadikan rujukan ‘ilmu ataukah tidak, yaitu :

Pendapat pertama, menyatakan khobarul wahid bisa membuahkan faidah ilmu sepenuhnya tanpa ada pembatasan dan berlaku pada setiap riwayat yang dibawakan. Pendapat ini dinisbatkan kepada sebagian ulama’ bermadzhab Dhahiri. Pendapat ini lemah dan tertolak.

Pendapat kedua, menyatakan khobarul ahad tidak bisa membuahkan faidah ilmu sama sekali, walaupun disertai dengan qorinah ataupun tidak. Ini pendapat dari kalangan ahlul kalam (mu’tazilah) dan ushuliyyun. Pendapat inipun juga tertolak dan lemah.

Pendapat ketiga, menyatakan khobarul ahad bisa membuahkan ilmu jika disertai dengan qorinah-qorinah. Inilah pendapat sebagiam madzhab Dhohiri (lihat al-Ihkam fi ushulil ahkam I/14 karya Imam Ibnu Hazm adh-Dhahiri), para Muhadditsin dan Imam Madzhab, serta jumhur ahlus sunnah wal jama’ah.

Baca : Manhajul Istidlal ‘ala masaaill I’tiqod ‘inda ahlis sunnah wal Jama’ah, dan Asyratus sa’ah (Tanda-tanda hari kiamat, Yusuf bin Abdullah al-Wabil, Pustaka Mantiq, hal 38-45)

[5] Baca majalah al-Furqon edisi 8 tahun II hal 4-8 dan edisi 9 tahun II hal. 4-9 yang berjudul Mu’tazilah mengguncang aqidah. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa, hadits tentang siksa kubur, pertanyaan Munkar-Nakir, keluarnya Dajjal, turunnya Isa bin Maryam dan munculnya Imam Mahdi adalah hadits mutawattir ma’nawy.

[6] Mengenai perkara al-Qodho’ wal Qodar, Hizbut Tahrir memiliki pandangan tersendiri yang mereka klaim berbeda dengan pemahaman Ahlus Sunnah, Qodariyah maupun Jabariyyah. Taqiyuddin an-Nabhany berkata dalam Nidhomil Islam hal. 15, “Masalah Qodho’ dan Qodar sungguh telah memainkan peranan penting dalam madzhab-madzhab Islam. Ahlus Sunnah berpendapat yang ringkasnya mengatakan bahwa manusia itu memiliki kasb ikhtiary di dalam perbuatannya, yang mana mereka dihisab karena kasb ikhtiary tersebut. Sedangkan mu’tazilah berpandangan yang ringkasnya adalah manusia sendiri yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya karena ia sendiri yang menciptakannya. Adapun jabariyyah memiliki pendapat sendiri yang ringkasnya adalah Allahlah yang menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia dipaksa melakukan perbuatannya dan tidak mampu berikhtiar bagaikan bulu yang diterbangkan angin ke mana saja.” Beliau melanjutkan dalam paragraf berikutnya, “…Ternyata asas ini tidak berkaitan dengan perbuatan manusia dilihat dari apakah diciptakan oleh Allah atau oleh manusia itu sendiri, juga tidak berkaitan dengan Ilmu Allah dipandang dari sisi kenyataan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya, dimana ilmunya meliputi segala perbuatan hamba, dan tidak pula terkait dengan irodah Allah yang iradah-Nya berkaitan dengan perbuatan hamba sehingga perbuatan tersebut terjadi dengan adanya irodah Allah, juga tidak berhubungan dengan perbuatan hamba dalam lauhul mahfudz, sehingga mau tidak mau ia harus melakukan sesuai dengan apa yang tertulis… Memang benar!!! Semua perkara di atas bukanlah dasar dalam pembahasan al-Qodho’ wal Qodar.”

Bandingkanlah pembahasan Qodho’ wal Qodar metodenya HT dengan metode para ulama ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka, yang membahas masalah Qodho’ wal Qodar ini secara tafshil (terperinci) dan ilmiyah serta lebih rasional dibandingkan metodenya HT maupun kelompok lainnya. Ahlus sunnah berpendapat bahwa Allah memiliki dua macam irodah, yakni irodah kauniyah dan irodah syar’iyyah. Adapun kelompok Mu’tazilah dan Qodariyah, mereka menolak adanya irodah kauniyah, karena jika demikian,menurut pendapat mereka Allah itu dhalim. Mereka bertujuan tanzih (mensucikan) Allah namun mereka terjebak dalam filsafat rasionalis.

[7] Teksnya dalam ad-Dusiyah hal 21-22 sebagai berikut, “Mereka (Ahlus Sunnah) menganggap bahwa pandangan mereka adalah pandangan yang baru, bukan pandangan mu’tazilah dan bukan pula jabariyah. Mereka (Ahlus Sunnah) berkata tentang pandangan mereka (yakni al-Kasb) bahwa pandangan mereka tersebut bagaikan susu yang bersih yang keluar diantara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.”

Kalimat yang diitalickan di atas mengacu pada QS an-Nahl (16) : 66, yang merupakan kinayah. Maksudkan adalah mereka (HT) beranggapan bahwa ahlus sunnah mengklaim pendapatnya bagaikan susu murni, yakni pendapat yang benar, yang keluar diantara kotoran (kinayah bagi pendapatnya mu’tazilah) dan darah (kinayah bagi pendapatnya jabbariyah). Tuduhan mereka ini dimentahkan dan dibantah secara mendetail oleh Syaikh Salim dalam al-Jamaa’at al-Islamiyyah hal. 329-342.

[8] Al-Jamaa’at al-Islamiyyah fii dhou’il Kitaabi wa Sunnah, tentang Hizbut Tahrir, hal. 325-389.

[9] Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang gambar wanita bukan mahram, walaupun dengan syahwat sebagaimana dalam nusyrah (selebaran resmi Hizbut Tahrir) no 16/Syawwal/1388H atau 4/1/1969M. yang berisi. “Memikirkan dengan syahwat, berkhayal dengan syahwat ataupun memandangi foto wanita dengan syahwat tidak haram, demikian pula pergi menonton bioskop adalah tidak haram, dikarenakan yang ditonton hanyalah gambar (benda mati) yang bergerak.”. Demikian pula dalam nusyrah no 21/Jumadil awwal/1390 atau 24/7/1970M, dikatakan, “Sesungguhnya memandang gambar wanita baik dari cermin, di kartu, di surat kabar ataupun yang semisalnya tidaklah haram”.

Jika ada yang membantah hal ini dengan alasan bahwa nusyroh tersebut sudah lama, dan telah dianulir, maka kita jawab, dimanakah bantahan (anulir) dan revisi tersebut??? Jika memang benar pendapat HT ini direvisi kenapa tidak diterangkan ke ummat secara nyata bahwa HT (secara internasional) mengharamkan foto wanita???. Maka kita tidak heran melihat publikasi, majalah atau selebaran mereka penuh dengan gambar-gambar wanita, sebab menurut madzhab mereka hal ini tidak haram.

[10] Hizbut Tahrir berpendapat bahwa mencium wanita ajnabiyah (bukan mahram) adalah mubah tidak haram, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970M. Beberapa syabab yang pernah saya konfirmasi, termasuk mantan murabbi saya juga pernah menjelaskan bahwa isu tentang bolehnya mencium wanita ajnabiyah ini adalah suatu kesalahfahaman. Karena isu ini muncul ketika seorang musyrif Hizbut Tahrir di bandara terlihat mencium mutarobbiah (santri binaan wanita)-nya, yang menurut mereka mutarobbiah yang dicium tersebut adalah saudara perempuan kandung sang musyrif. Wallahu a’lam tentang benar atau tidaknya klarifikasi ini, namun yang pasti Hizbut Tahrir memperbolehkannya dalam nusyrahnya.

[11] Hal ini diantara yang membedakan antara ahlus sunnah dengan mereka dalam mensikapi ‘umara’ dan hukkam. Di dalam Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal. 36 dikatakan, “Hizb tidak berkompromi dengan para penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi dan perundang-undangan mereka walau dengan alasan kelancaran da’wah. Sebab syara’ mengharamkan mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur sehingga harus dimusnahkan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan dhalim…”

Dalam hal 37, “…Hizb juga menolak membantu mereka melakukan ishlah baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang moral…”

Dalam hal 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”

[12] Bukan hanya dengungan-dengungan ini saja yang mereka gembar-gemborkan terhadap hukkam atau penguasa kaum muslimin, mereka juga mengatakan bahwa seluruh negri Islam saat ini adalah Darul kufur wal Harb, sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal 5, “Adapun kondisi negeri-negeri yang hidup di dalamnya kaum muslimin saat ini di seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul islam.”

Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy berkata dalam kitabnya, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah li ahammi mabadi^il hizbi wa roddu ‘ilmiy mufashshsal hawla khobari wahid hal 47, “Aku bertanya dengan salah seorang diantara mereka (Hizbut Tahrir) : “Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan Madinah? Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wa Harb??”, Dia menjawab, “Termasuk darul Kufur dan Harb!”, aku berkata lagi, “Lantas apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur??? Lantas dimanakah Darul Iman jika Makkah dan Madinah termasuk darul Kufur!!” Diapun kebingungan… Ada Seorang juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir), “Apakah ada Darul Islam di dunia saat ini?” mereka menjawab, “Tidak ada!!!”, ia bertanya lagi, “Saya ingin berhijrah, kemanakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada darul Islam)???” Mereka kebingungan menjawabnya. [Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Hijrah akan senantiasa ada hingga hari kiamat”]

[13] Inilah manhaj Hizbut Tahrir yang sangat kentara sekali. Mereka lebih memprioritaskan penegakkan Daulah Islamiyyah dan kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid. Mereka telah menjadikan penegakkan daulah saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen serta mendesak. Mereka berpandangan bahwa segala kemerosotan, kehancuran dan kekacauan yang melanda ummat saat ini dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi ummat dari kaum kuffar, yakni daulah khilafah. Maka semenjak kesultanan Utsmani runtuh, pada tahun 1924 di Turki, maka ummat islam semuanya dalam keadaan berdosa dan ummat wajib ‘ain mengembalikannya. Mereka mengkonsentrasikan segala daya dan upaya untuk meraih kembali kekuasaan, namun mereka lupa…atau mereka sengaja melupakan… bahwa segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa ummat islam ini dikarenakan kelalaian dan kejahilan ummat ini sendiri terhadap diennya. Bagaimana mungkin Allah akan menghancurkan ummat ini dan mencabut kekuasaan mereka jika tidak karena ummat manusia ini sendiri yang melupakan dan melalaikan Allah. Dengan jelas Allah telah menjanjikan kepada ummat ini kekhilafahan dan memperteguh kekuasaan mereka, sebagaimana dalam QS an-Nur ayat 55, “Allah telah berjanji terhadap orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholih, Dia sungguh benar-benar akan meneguhkanmu dengan kekhalifahan di muka bumi sebagaimana Allah memberikan kekhalifahan kepada orang-orang sebelummu, Allah juga akan memperteguh agamamu yang Ia ridha sebagai agama kalian, dan Ia sungguh akan mengganti bagi kalian, rasa takut kalian dengan keamanan sentausa.” namun dengan syarat, “Ya’buduwnaniy laa yusyrikuuna biy syai^aa” yang artinya, “Mereka menyembah-Ku semata dan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.” (baca QS an-Nur (24) : 55). Inilah kuncinya, menegakkan Tauhid dan memerangi kesyirikan, atau dengan kata lain ’Tarbiyah’ (pembinaan) wa Tashifiyah (pemurnian). Inilah perbedaan manhaj Hizbut Tahrir yang juz’iy (parsial) dengan manhaj salaf yang kulliyat (integral). Bandingkan manhaj mereka dengan manhaj salaf dengan membaca at-Tashfiyah wa Tarbiyah karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby (telah diterjemahkan oleh Pustaka Imam Bukhori Solo), dan Manhajul Anbiya’ fid Da’wati ila Allah karya Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi (beliau adalah Imam Jarh wa Ta’dil, telah diterjemahkan oleh Maktabah Salafy Press) dan kitab-kitab lainnya.

[14] Dalam buku Mengenal Hizbut Tahrir, terbitan Pustakah Thoriqul Izzah, hal 21 dikatakan tentang keanggotaan Hizbut Tahrir, “Cara mengikat individu-individu di dalam hizb adalah dengan memeluk aqidah islam, matang dalam tsaqofah hizb dan mengambil serta menetapkan ide-ide dan pendapat hizb

[15] Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang ganjil amatlah banyak sekali dan bertebaran di dalam kitab-kitab mereka. Di sini saya sebutkan beberapa diantaranya :

- Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nidhomul Ijtima’iy fil islam (Sistem pergaulan dalam Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, hal. 67), “Seorang pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada penghalang di antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat dengan nusyrah su’al jawab mereka no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970, no 8/Muharam/1390 atau 16/3/1970 dan nusyroh al-ajwibah wal as^ilah tanggal 26/4/1970.

- Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena menurut mereka wajah tidak termasuk aurot. Taqiyuddin berkata dalam Sistem pergaulan dalam Islam hal 61, “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.’ (an-Nur (24) : 30), maksudnya tentu adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah.”

- Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik) sebagaimana dalam Nusyrah jawab wa su’al no 9 (20/Safar/1390 atau 26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurot dan nyanyian mubah hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun hadits-hadits yang warid mengenai larangan musik adalah tidak shohih haditsnya. Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang memperbolehkan musik adalah shohih”.

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut Tahrir lainnya. Sungguh suatu musibah besar bagi syabab islam yang tersamarkan dengan keganjilan-keganjilan fiqhiyyah seperti ini…

[16] Contohnya adalah Hizbut Tahrir memperbolehkan wanita berpakaian dengan celana, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al (2/Muharam/1392 atau 27/2/1972M). Akhowat Hizbut Tahrir juga terkenal dengan pakaiannya yang bercorak dan bermotif serta berwarna-warni menarik perhatian, hal ini jelas menyelisihi hikmah disyariatkannya jilbab muslimah.

Shalat Orang Yang Sakit

Seorang hamba terkadang diuji oleh Allah dengan sakit yang menimpanya, sakit tersebut bisa berupa sakit yang ringan tetapi tidak sedikit pula seorang hamba yang diuji oleh Allah dengan diberi sakit yang menyebabkan hamba tersebut harus dirawat dirumah sakit sehingga menghabiskan hari-harinya dengan beristirahat diatas dipan. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin dibagi menjadi dua golongan yang berkenaan tentang kewajiban shalat yang harus dilakukannya sebagai seorang muslim, yaitu (1) enggan melaksanakan shalat karena alasan sakitnya -baik sakit ringan atau berat- dan (2) memaksakan diri shalat layaknya ketika masih sehat sehingga sakitnya tambah parah atau tidak kunjung sembuh. Lalu bagaimana sebenarnya hukum melaksanakan ibadah shalat bagi orang yang sakit dan bagaimana tata caranya? berikut pembahasanya. Semoga bermanfaat.

Shalat Orang Yang Sakit

Oleh. Ust. Kholid Syamhudi

Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tak ada satupun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah azza wa jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.al-Baqoroh: 286)

Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin untuk agar bertaqwa sesuai dengan kemampuan mereka. Allah berfirman,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

Orang yang sakit tidak sama dengan orang yang sehat. Masing-masing harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuannya. Dari sini, nampaklah keindahan dan kemudahan syariat Islam.

Diantara kewajiban agung yang wajib dilakukan orang yang sakit adalah shalat. Banyak sekali kaum muslimin yang terkadang meninggalkan shalat dengan dalih sakit atau memaksakan diri melakukan shalat dengan tata cara yang biasa dilakukan orang sehat.

Akhirnya, mereka pun merasa berat dan merasa terbebani dengan ibadah shalat. Untuk itu, solusinya adalah mengetahui hukum-hukum dan tata cara shalat bagi orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.

Hukum-Hukum Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit

Diantara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut:

1. Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya[1], sebagaimana diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

Dan sabda Nabi shollallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Imron bin Husain:“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau shollallahu’alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Bukhori no.1117)

2. Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan menjama’ (menggabung) shalat, shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ baik dengan jama’ taqdim atau takhir,[2] dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:

“Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam telah menjama’ antara Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas radliyallahu’anhu: “Mengapa beliau berbuat demikian?” Beliau radliyallahu’anhu menjawab: “Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR. Muslim no. 705)

Dalam hadits diatas jelas Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam membolehkan kita menjama’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqah) dan sakit adalah masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat Dzuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempercepat Isya’.[3]

3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun selama akalnya masih baik[4]

4. Orang sakit yang berat shalat jama’ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya jka shalat di masjid, maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah[5]. Imam ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu kerena nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di masjid dan berkata:

“Perintahkan Abu Bakar radliyallahu’anhu agar mengimami shalat. (Muttafaqun ‘alaihi)[6]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Yang Sakit

Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagai berikut:

a. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah azza wa jalla berfirman:

وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ….

”Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ ”(QS. Al-Baqarah: 238)

Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais radliyallahu’anha yang berbunyi:

”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 319)

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.[7]

Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ”Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang, ataupun manusia.”[8]

b. Orang yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud, ia tetap wajib berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan ruku’ dengan menundukkan badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.[9]

c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits ’Imron bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, ”Para ulama terlah berijma’ bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.[10]

d. Orang yang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk.[11] Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: ”Yang benar adalah, kesulitan (masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

…….يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …..

”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah:185)

Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa, demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk”[12]. Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya, berdasarkan hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:

”Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat dengan bersila”.[13]

Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirasy.[14]

Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.[15]

Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumumam hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; dahi –beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-, kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqqun a’alaihi).

Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.[16]

e. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya adalah dengan cara berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ’Imran bin al-Husain radliyallahu’anhu:

”Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Al-Bukhori no.1117)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah bagi keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:

”Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya.” (HR. Muslim no.396).

Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya, sujud lebih rendah daripada ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

  1. Melakukannya dengan mata. Apabila ruku’, ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata ”sami’allahu liman hamidah” lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
  2. Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
  3. Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan, ”Yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman”:

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

f. Orang yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.[17]

g. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklah ia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah/ 2:286).

h. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

i. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.

j. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.[18]

k. Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadits Jabir radliyallahu’anhu yang berbunyi:

”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imaa’) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”[19]

Inilah sebagian hukum yang menjelaskan tata cara shalat bagi orang sakit, mudah-mudahan dapat memberikan bimbingan kepada mereka. Dengan harapan, setelah ini mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya.

Sumber: majalah as-Sunnah edisi 12 th XII, Rabiul awwal 1430 H/ maret 2009 M hal.40-44

Footnote


[1] Lihat Fatawa Lajnah ad-Daimah 9/70 (no. 10527)

[2] Lihat Manhaj as-Salikin hal.82

[3] Hal ini ada dalam hadits Hamnah bintu Jahsy yang diriwayatkan Abu Daud dan dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 188 lihat juga Shahih Fikih Sunnah 1/514

[4] Lihat Fatawa Lajnah ad-Daimah 8/69 (no. 782)

[5] Lihat Manhaj as-Salikin hlm. 82

[6] Lihat Shahih Fikih Sunnah 1/512-513

[7] Lihat al-Mughni 2/571

[8] Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’ 4/459

[9] Lihat al-Mughni 2/572

[10] Al-Mughni 2/570

[11] Al-Mughni 2/571

[12] Syarhu al-Mumti’ 4/461

[13] HR. An-Nasa’i no.1662 dan dishahihkan al-Albani dalam shahih Sunan an-Nasa’i 1/538

[14] Lihat syarhu al-Mumti’ 4/462-463

[15] Demikian yang dirajihkan (dikuatkan) Syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarhu al-Mumti’ 4/463

[16] Syarhu al’Mumti’ 4/466-467

[17] Ibid 4/465

[18] Lihat al-Mughni 2/577, Majmuu’ Fatawa Syaikh bin Baaz 12/243 dan syarhu al-Mumti’ 4/472-473

[19] HR. al-Baihaqi dalam sunan al-Kubro 2/306 dan syaikh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no.323 menyatakan: yang pasti bahwa hadits ini dengan kumpulnya jalan periwayatannya adalah shahih

Labels

comment

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker