WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Apa Isi wasiat Nabi saat Nabi sakit ?

Nabi ingin berwasiat tetapi tidak jadi, mengapa Nabi tidak jadi berwasiat? Apa yang ingin disampaikan Nabi dalam wasiatnya? Episode yang tak pernah diungkap oleh syiah. Banyak peristiwa yang terjadi saat Nabi sakit. Ada peristiwa yang diekspose, dan ada pula yang sengaja ditutupi. Agar mendapat gambaran yang utuh, pembaca harus menelaah seluruh riwayat yang ada.

Salah satunya adalah peristiwa wasiat hari kamis. Di mana pada hari itu Nabi ingin berwasiat, dan meminta untuk diambilkan pena dan kertas, tapi ahlulbait yang saat itu berada di sekitar Nabi, tidak beranjak mentaati perintahNya. Akhirnya Nabi pun tidak jadi wasiat. Nabi tidak jadi berwasiat bukan karena takut pada Umar, atau pada siapa pun juga.
Meski tidak ada bukti apa pun, dan Nabi tidak jadi berwasiat, ada juga yang mengklaim bahwa Nabi hendak menuliskan wasiat pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Sekali lagi, klaim ini tidak memiliki bukti. Di sini kita bertanya-tanya lagi, mengapa teman-teman syiah kali ini kehilangan sikap kritisnya.

Peristiwa hari kamis terjadi menjelang wafatnya Nabi. Jauh hari sebelumnya, saat Nabi tinggal di mekkah, Nabi tetap berdakwah menjelaskan kesesatan kaum Quraisy. Seperti syiah yang marah ketika hakekat kesesatannya diungkap, kaum Quraisy pun murka pada Nabi, berusaha sekuat tenaga agar bisa membungkam mulut Nabi yang membuat repot mereka. Mereka ingin membungkam mulut Nabi yang melaksanakan perintah Allah, agar tidak menjelaskan kesesatan kaum Quraisy lagi. Tetapi upaya itu gagal total. Nabi tetap melaksanakan perintah Allah untuk menyampaikan Islam, meski dihadapi oleh gangguan dan serangan dari kaum Quraisy, dari mulai psywar dengan isu-isu sampai dengan serangan fisik. Sebagian peristiwa itu direkam oleh baris-baris buku sejarah kehidupan Nabi.

Apakah Nabi yang tetap teguh menjelaskan kesesatan Quraisy meski menghadapi gangguan, tidak jadi menyampaikan wasiatnya hanya karena Umar bin Khattab? Dalam gambaran teman-teman syiah, Umar bin Khattab sengaja menghalangi Nabi agar tidak jadi berwasiat. Padahal, yang dikatakan Umar hanyalah : Nabi telah sakit parah, cukup bagi kami Kitab Allah.

Ini yang sering kita dengar dan kita baca. Namun ada riwayat yang tidak pernah tereskpos, tentang peristiwa yang terjadi pada hari-hari terakhir kehidupan Nabi, saat Nabi sakit menjelang wafatnya. Riwayat ini tercantum dalam kitab shahih Muslim. Kitab yang juga memuat riwayat peristiwa hari kamis. Tetapi hadits ini selalu dilupakan. Hadits ini membuat kita memiliki pemahaman yang utuh. Tanpa data yang lengkap, hasil kesimpulan kita akan keliru. Data yang lengkap adalah syarat mutlak agar kesimpulan kita pas.

عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مَرَضِهِ « ادْعِى لِى أَبَا بَكْرٍ وَأَخَاكِ حَتَّى أَكْتُبَ كِتَابًا فَإِنِّى أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ وَيَقُولَ قَائِلٌ أَنَا أَوْلَى. وَيَأْبَى اللَّهُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلاَّ أَبَا بَكْرٍ ».

Dari Az Zuhri, dari Urwah dari Aisyah mengatakan : Rasulullah berkata padaku saat sakitnya : panggillah Abubakar dan saudaramu agar aku menulis tulisan wasiat, karena aku takut ada yang berangan-angan, dan ada yang mengatakan : aku lebih layak, Allah dan orang beriman enggan kecuali pada Abubakar.

Ternyata bukan di hari kamis saja Nabi ingin berwasiat. Ada lagi saat-saat Nabi ingin berwasiat. Tapi kali ini isi wasiat jelas. Nabi takut jika ada yang merasa lebih dari Abubakar. Nabi takut ada orang yang merasa lebih berhak dari Abubakar. Tetapi Nabi tidak jadi berwasiat, karena berita dari langit telah turun, menyebutkan bahwa kelak Abubakar yang akan menjadi khalifah. Allah dan orang beriman enggan kecuali Abubakar yang menjadi khalifah.

Ini bukti kuat yang melemahkan seluruh pendapat syiah. Ketika Allah dan orang beriman enggan kecuali Abubakar yang menjadi khalifah, seluruh orang syiah menghendaki Ali yang menjadi khalifah. Dan yang terjadi adalah kehendak Allah, bukan kehendak syiah. Namun syiah sampai hari ini masih belum bisa menerima ketentuan Allah. Kalimat yang disampaikan oleh Nabi adalah kalimat berita, yang memberitahu kita tentang apa yang terjadi di hari depan. Namun kalimat berita ini mengandung perintah, yaitu perintah untuk mengikuti apa yang diridhai Allah, dan perintah untuk selalu bersama orang beriman, dan tidak menyimpang dari jalan mereka. Allah mengancam orang yang menyimpang dari jalan kaum beriman:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. QS. an-Nisa' (4) : 115

Syiah bukan lagi menyimpang dari jalan kaum mukminin yang meridhai Abubakar, tetapi mengkafirkan sahabat Nabi karena tidak membaiat Ali menjadi khalifah. Ketika orang mukmin dianggap kafir, maka sesungguhnya yang menganggap kafir itulah yang kafir.

Meski tercantum dalam shahih Muslim, riwayat ini tidak pernah terungkap pada pembahasan saat-saat akhir kehidupan Nabi, apalagi pada pembahasan kamis kelabu. Karena jelas riwayat ini mementahkan seluruh argumen syiah tentang wasiat Nabi. Syiah tidak suka dengan keputusan Allah, yang disampaikan oleh Rasul dan diikuti oleh orang-orang beriman saat itu. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa para sahabat adalah kaum beriman.

Salah Faham terhhadat Salaffi

Pepatah lama mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Demikianlah, kadang seorang membenci sesuatu, padahal ia tidak mengenal apa yang ia benci itu. Bisa jadi bila ia mengenalnya, bukan benci namun cinta yang diberikan. Demikianlah yang terjadi pada dakwah Salafiyah atau disebut juga Salafi. Banyak orang bergunjing tentang Salafi, padahal ia tidak mengenal bagaimana sebenarnya Salafi atau dakwah salaf itu. Hasilnya, timbullah tuduhan dan anggapan-anggapan buruk yang keji. Bahkan sampai ada yang menuduh bahwa Salafi adalah aliran sesat! Sungguh Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Kenalilah Istilah Salafi

Salaf secara bahasa arab artinya ‘setiap amalan shalih yang telah lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu nenek moyang atau kerabat’ (Lihat Qomus Al Muhith, Fairuz Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya” (HR. Bukhari-Muslim)

Tiga generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat, generasi tabi’in dan generasi tabi’ut tabi’in. Sering disebut juga generasi Salafus Shalih. Tidak ada yang meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling memahami Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Maka bila kita ingin memahami Islam dengan benar, tentunya kita merujuk pada pemahaman orang-orang yang ada pada 3 generasi tersebut. Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata, “Seseorang yang mencari teladan, hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang yang paling mulia hatinya, paling mendalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya, paling benar bimbingannya, paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, dan untuk menegakkan agamanya. Kenalilah keutamaan mereka. Ikutilah jalan hidup mereka karena sungguh mereka berada pada jalan yang lurus.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Kemudian dalam kaidah bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim nisbah, yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ‘ya’ yang di-tasydid dan di-kasroh, untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku, negara asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat Mulakhos Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah, Fuad Ni’mah). Misalnya yang sering kita dengar seperti ulama hadits terkemuka Al-Bukhari, yang merupakan nisbah kepada kota Bukhara (nama kota di Uzbekistan) karena Al-Bukhari memang berasal dari sana. Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri pada madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya adalah orang-orang yang menisbahkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata lain “Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka”. (Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, hal. 10)

Sehingga dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama dengan mengambil sumber ajaran Islam dari 3 generasi awal umat Islam tadi, DENGAN SENDIRINYA ia seorang Salafi. Tanpa harus mendaftar, tanpa berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus ikut pengajian tertentu, dan tanpa harus memakai busana khas tertentu. Maka Anda yang sedang membaca artikel ini pun seorang Salafi bila anda selama ini mencontoh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam beragama.

Jika pembaca sekalian memahami penjelasan di atas, maka seharusnya telah jelas bahwa dakwah salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Dakwah Salafiyyah adalah Islam yang hakiki. Mengapa? Karena dari manakah kita mengambil sumber pemahaman Al Qur’an dan hadits selain dari para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Apakah ada sumber lain yang lebih terpercaya? Apakah Islam dipahami dengan selera dan pemahaman masing-masing orang? Bahkan jika seseorang dalam memahami Al Qur’an dan hadits mengambil sumber dari yang lain, maka dapat dipastikan ia telah mengambil jalan yang salah. Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilaly setelah menjelaskan surat An Nisa ayat 115 berkata, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mu’minin adalah jalan keselamatan. Dan ayat ini dalil bahwa pemahaman para sahabat mengenai agama Islam adalah hujjah terhadap pemahaman yang lain. Orang yang mengambil pemahaman selain pemahaman para sahabat, berarti ia telah mengalami penyimpangan, menapaki jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Salah Kaprah Tentang Salafi

Di tengah masyarakat, banyak sekali beredar syubhat (kerancuan) dan kalimat-kalimat miring tentang Salafi. Dan ini tidak lepas dari dua kemungkinan. Sebagaimana dijelaskan Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri ketika ditanya tentang sebuah syubhat, “Kerancuan tentang Salafi yang berkembang di masyarakat ini tidak lepas dari 2 kemungkinan: Disebabkan ketidak-pahaman atau disebabkan adanya i’tikad yang buruk. Jika karena tidak paham, maka perkaranya mudah. Karena seseorang yang tidak paham namun i’tikad baik, jika dijelaskan padanya kebenaran ia akan menerima, jika telah jelas baginya kebenaran dengan dalilnya, ia akan menerima. Adapun kemungkinan yang kedua, pada hakikatnya ini disebabkan oleh fanatik golongan dan taklid buta, -dan ini yang lebih banyak terjadi- dari orang-orang ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan pelaku bid’ah yang mereka memandang bahwa manhaj salaf akan membuka tabir penyimpangan mereka.” (Ushul Wa Qowa’id Fii Manhajis Salafi, Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri )

Dalam kesempatan kali ini akan kita bahas beberapa kerancuan tersebut.

1. Salafi Bukanlah Sekte, Aliran, Partai atau Organisasi Massa

Sebagian orang mengira Salafi adalah sebuah sekte, aliran sebagaimana Jama’ah Tabligh, Ahmadiyah, Naqsabandiyah, LDII, dll. Atau sebuah organisasi massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah. Salafi bukanlah sekte, aliran, partai atau organisasi massa, namun salafi adalah manhaj (metode beragama), sehingga semua orang di seluruh pelosok dunia di manapun dan kapanpun adalah seorang salafi jika ia beragama Islam dengan manhaj salaf tanpa dibatasi keanggotaan.

Sebagian orang juga mengira dakwah Salafiyyah adalah gerakan yang dicetuskan dan didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Ini pun kesalahan besar! Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid yang ringkasnya, “Dakwah salafiyyah tidak didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud, tidak juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh Imam Mazhab yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh sahabat, bukan pula oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, dan bukan didirikan oleh seorang Nabi pun. Melainkan dakwah Salafiyah ini didirikan oleh Allah Ta’ala. Karena para Nabi dan orang sesudah mereka menyampaikan syariat yang berasal dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan nash dan ijma” (Ushul Wa Qowaid Fii Manhajis Salaf)

Oleh karena itu, dalam dakwah salafiyyah tidak ada ketua umum Salafi, Salafi Cabang Jogja, Salafi Daerah, Tata tertib Salafi, AD ART Salafi, Alur Kaderisasi Salafi, dan tidak ada muassis (tokoh pendiri) Salafi. Tidak ada pendiri Salafi melainkan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada AD-ART Salafi melainkan Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.

2. Salafi Gemar Mengkafirkan dan Membid’ahkan?

Musuh utama seorang muslim adalah kekufuran dan kesyirikan, karena tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya hanya menyembah Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh kesyirikan adalah kezaliman yang paling besar” [QS. Luqman: 13]. Setelah itu, musuh kedua terbesar seorang muslim adalah perkara baru dalam agama, disebut juga bid’ah. Karena jika orang dibiarkan membuat perkara baru dalam beragama, akan hancurlah Islam karena adanya peraturan, ketentuan, ritual baru yang dibuat oleh orang-orang belakangan. Padahal Islam telah sempurna tidak butuh penambahan dan pengurangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim)

Maka tentu tidak bisa disalahkan ketika ada da’i yang secara intens mendakwahkan tentang bahaya syirik dan bid’ah, mengenalkan bentuk-bentuk kesyirikan dan kebid’ahan agar umat terhindar darinya. Bahkan inilah bentuk sayang dan perhatian terhadap umat.

Kemudian, para ulama melarang umat Islam untuk sembarang memvonis bid’ah, sesat apalagi kafir kepada individu tertentu. Karena vonis yang demikian bukanlah perkara remeh. Diperlukan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dalam hal ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata, “Dalil-dalil terkadang menunjukkan bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.” (Fitnah At Takfir, Muhammad Nashiruddin Al Albani)

Dari sini jelaslah bahwa menjelaskan perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur bukan berarti memvonis semua pelakunya itu per individu pasti kafir. Begitu juga menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis pelakunya pasti ahlul bid’ah. Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan: “Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per individu terkena ancaman tersebut” (Ushul Wa Dhawabith Fi At Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh)

3. Salafi Memecah-Belah Ummat?

Untuk menjelaskan permasalahan ini, perlu pembaca ketahui tentang 3 hal pokok. Pertama, perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103). Kedua, perpecahan umat adalah suatu hal yang memang dipastikan terjadi dan bahkan sudah terjadi. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Ketiga, persatuan Islam bukanlah semata-mata persatuan badan, kumpul bersama, dengan keadaan aqidah yang berbeda-beda. Mentoleransi segala bentuk penyimpangan, yang penting masih mengaku Islam. Bukan itu persatuan Islam yang diharapkan. Perhatikan baik-baik hadits tadi, saat umat Islam berpecah belah seolah-olah Rasulullah memerintahkan untuk bersatu pada satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh para sahabat, inilah manhaj salaf.

Sehingga ketika ada seorang yang menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam beragama yang dianut sebagian kelompok, aliran, partai atau ormas Islam, bukanlah upaya untuk memecah belah ummat. Melainkan sebuah upaya untuk mengajak ummat BERSATU di satu jalan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut. Bahkan adanya bermacam aliran, sekte, partai dan ormas Islam itulah yang menyebabkan perpecahan ummat. Karena mereka tentu akan loyal kepada tokoh-tokoh mereka masing-masing, loyal kepada peraturan mereka masing-masing, loyal kepada tradisi mereka masing-masing, bukan loyal kepada Islam!!

Selain itu, jika ada saudara kita yang terjerumus dalam kesalahan, siapa lagi yang hendak mengoreksi kalau bukan kita sesama muslim? Tidak akan kita temukan orang kuffar yang melakukannya. Dan bukankah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Agama adalah nasehat” (HR. Muslim). Dan jika koreksi itu benar, bukankah wajib menerimanya dan menghempas jauh kesombongan? Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

4. Salafi Aliran Sesat?

Orang yang menuduh dakwah salafiyyah sebagai aliran sesat, seperti dijelaskan oleh Syaikh Ubaid, bisa jadi ia memang orang awam yang belum mengenal apa itu salafi, atau bisa jadi ia orang benci kepada dakwah salafiyyah karena dakwah ini telah membuka tabir yang selama ini menutupi penyimpangan-penyimpangan yang dimilikinya.

Anggapan ini sama sekali tidak benar karena dua hal. Pertama, dakwah salafiyyah bukan aliran atau sekte tertentu dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan. Kedua, sebagaimana telah diketahui bahwa sesuatu dikatakan tersesat jika ia telah tersasar dari jalan yang benar, dan menempuh jalan yang salah. Maka bagi yang menuduh hendaknya mendatangkan bukti bahwa dakwah salafiyyah menyimpang dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang benar. Niscaya mereka tidak akan bisa mendatangkan buktinya.

Sebagaimana yang dijelaskan Majelis Ulama Indonesia Jakarta Utara dalam menanggapi kalimat-kalimat miring yang menuduh bahwa salafi adalah aliran sesat, dalam surat edaran MUI Jakarta Utara tanggal 8 April 2009 berjudul “Pandangan MUI Kota Administrasi Jakarta Utara tentang Salaf/Salafi”. Dalam surat edaran tersebut ditetapkan:

a) Pertama, penjelasan tentang Salaf/Salafi:

  1. Salaf/Salafi tidak termasuk ke dalam 10 kriteria sesat yang telah ditetapkan oleh MUI. Sehingga Salaf/Salafi bukanlah merupakan sekte atau aliran sesat sebagaimana yang berkembang belakangan ini,
  2. Salaf/Salafi adalah nama yang diambil dari kata salaf yang secara bahasa berarti orang-orang terdahulu, dalam istilah adalah orang-orang terdahulu yang mendahului kaum muslimin dalam Iman, Islam dst. mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka,
  3. Penamaan salafi ini bukanlah penamaan yang baru saja muncul, namun sejak dahulu ada,
  4. Dakwah salaf adalah ajakan untuk memurnikan agama Islam dengan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan pemahaman para sahabat Radhiallahu’anhum.

b) Kedua, nasehat dan tausiah kepada masyarakat:

  1. Hendaknya masyarakat tidak mudah melontarkan kata sesat kepada suatu dakwah tanpa di klarifikasi terlebih dahulu,
  2. Hendaknya masyarakat tidak terprovokasi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggung jawab,
  3. Kepada para da’i, ustadz, tokoh agama serta tokoh masyarakat hendaknya dapat menenangkan serta memberikan penjelasan yang objektif tentang masalah ini kepada masyarakat,
  4. Hendaknya masyarakat tidak bertindak anarkis dan main hakim sendiri, sebagaimana terjadi di beberapa daerah.

(Surat edaran MUI, “Pandangan MUI Kota Administrasi Jakarta Utara tentang Salaf/Salafi”, 8 April 2009)

Nasihat Untuk Ummat

Terakhir, agama adalah nasehat. Maka penulis menasehati diri sendiri dan kaum muslimin sekalian untuk menjadi Salafi. Bagaimana caranya? Menjadi seorang Salafi adalah dengan menjalankan Islam sesuai dengan apa yang telah dituntunkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan dipahami oleh generasi Salafus Shalih. Dan wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk ber-Islam dengan manhaj salaf. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semua diampuni oleh Allah. Wajib mengikuti metode beragama para sahabat, perkataan mereka dan aqidah mereka sebenar-benarnya” (I’lamul muwaqqi’in, (120/4), dinukil dari Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, Abdussalam Bin Salim As Suhaimi)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat.

Tawasul Syar’i Vs Tawasul Syirik

Oleh: Adika Mianoki

Tawasul artinya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk rasul-Nya, dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan diridhoi-Nya. Atau dengan kata lain seseorang melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya. Namun, sebagian kaum muslimin salah dalam memahami tawasul. Mereka bertawasul dengan orang-orang shalih dan wali yang sudah mati. Inilah yang mereka anggap sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah. Padahal hal tersebut dapat menjerumuskan mereka ke lembah kesyirikan.

Tawasul yang Diperbolehkan

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu diketahui bahwa tawasul dibagi menjadi dua yaitu tawasul syar’i dan tawasul bid’i. Tawasul syar’i adalah tawasul yang ditetapkan oleh syariat, yakni yang memiliki dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi. Maksudnya mengambil wasilah (perantara) untuk terkabulnya doa, yakni seseorang yang berdoa mengambil sebab-sebab yang dapat menjadikan terkabulnya doa. Sedangkan tawasul bid’i adalah tawasul yang tidak terdapat dalil yang membolehkannya, bahkan di antaranya merupakan perbuatan kesyirikan. Jenis tawasul syar’i yaitu:

Pertama: Bertawasul dengan zat Allah yang Maha Suci, dengan nama-nama-Nya yang baik, dengan sifat-sifat-Nya, atau dengan perbuatan-Nya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (QS. Al A’raf:180). Dalilnya juga adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “… Aku memohon dengan setiap nama-Mu, yang Engkau memberi nama diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau sembunyikan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…” (H.R Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, Silsilah Ash Shahihah no. 199).

Kedua: Bertawasul dengan amal shalih. Bertawasul dengan amal sholih juga diperbolehkan. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al Baqarah:127). Adapun dalil dari hadits yakni dalam kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal shalih yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. Ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang bertawasul dengan amal sholih.

Ketiga: Bertawasul dengan doa orang lain. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala ketika mengkisahkan anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam (yang artinya), “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)“.(QS. Yusuf:97). Sedangkan dalil dari hadits adalah doa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Ukasyah bin Mihson radhiyallhu ‘anhu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menjadikan ‘Ukasyah termasuk tujuh puluh ribu golongan yang masuk surga tanpa hisab.

Para Sahabat Bertawasul dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam

Semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, di antara para sahabat ada yang bertawasul dengan beliau. Seorang arab badui pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat beliau sedang berkhotbah dan ia meminta didoakan oleh beliau. Demikian pula yang dilakukan sahabat ‘Ukasyah bin Mihson adalah contoh bertawasul lewat perantaraan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang perlu diingat, yang dilakukan oleh para sahabat tersebut adalah saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah wafatnya beliau, maka hal ini tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, ketika di masa khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu terjadi kekeringan, mereka tidak meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah untuk meminta hujan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tiada. Namun ‘Umar meminta kepada ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami maka Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan kepada kami” (H.R Bukhori). Akhirnya, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan hujan kepada mereka melalui perantaraan do’a Abbas.

Bertawasul dengan Do’a, Bukan Dengan Zat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun yang dimaksud tawasul dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bertawasul dengan doa dan syafaat Nabi”. Beliau melanjutkan lagi, “ Adapun tawasul dengan doa dan syafaat sebagaimana yang dilakukan ‘Umar adalah bertawasul dengan doa, bukan bertawasul dengan zat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu merupakan tawasul dengan zat beliau, maka tentu bertawasul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada dengan ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu. Ketika mereka berpaling dari bertawasul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka bertawasul dengan ‘Abbas, maka dari sini kita ketahui bahwa bertawasul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berlaku ketika beliau masih hidup dan terlarang setelah wafatnya beliau.” Maka nyatalah kebatilan perbuatan sebagian kaum muslimin yang bertawasul dengan zat dan kedudukan orang-orang shalih yang telah meninggal.

Tawasul Terlarang

Tawasul yang terlarang adalah tawasul yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana Allah sebutkan dalam Al Quran (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” (QS. Az Zumar:3). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (QS. Yunus:18). Kedua ayat di atas menggambarkan kondisi kaum musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyembah selain Allah sebagai perantara, mendekatkan mereka kepada Allah dan memberi syafaat bagi mereka. Mereka tidak semata-mata meminta kepada sesembahan mereka, namun sesembahan mereka hanyalah sebagai perantara dan pemberi syafaat. Kondisi ini sama persis dengan yang dilakukan kaum musyrikin zaman kita. Mereka menganggap wali yang sudah meninggal dapat menjadi perantara dan pemberi syafaat bagi mereka.

Bertawasul dengan Kedudukan Orang Shalih

Sebagian orang melakukan tawasul dengan jah (kedudukan) orang shalih yang sudah meninggal. Mereka mengatakan, “Demi kehormatan Nabi-Mu atau demi kehormatan wali fulan…”. Tawasul yang demikian ini terlarang, ditinjau dari dua sisi. Pertama, berarti dia telah bersumpah dengan selain Allah, sedangkan bersumpah dengan selain Allah adalah haram, bahkan termasuk syirik yaitu syirik asghar (syirik kecil). Kedua, orang itu berarti mempunyai keyakinan bahwa seseorang memiliki hak atas diri Allah. Padahal seseorang itu tidaklah memiliki hak selain yang telah Allah anugerahkan kepadanya.

Pembaca yang dirahmati Allah, inilah beberapa fenomena tawasul yang tersebar di masyarakat. Sebagiannya salah dalam memahami dan mengamalkan tawasul sehingga terjerumus dalam keharaman, bahkan kesyirikan. Wallahul musta’an.

[Diringkas dengan sedikit perubahan dan tambahan dari Kitab Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 215-222 karya Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, cetakan pertama 1428/2007, oleh Adika Mianoki]

Hukum Nikah Siri, Sirih atau Syar’i

Rencana penerapan RUU nikah siri atau disebut juga sirih, memicu gelombang pro dan kontra. Bagaimana syariat memandang tentang hakekat ini? Bagaimana sikap yang benar? Dan apakah kita termasuk menentang pemerintah jika melakukan hak tersebut? Insyaalloh antum bisa mendapatkan jawaban yang cukup. Silahkan download rekaman jawaban oleh Ust Kholid Syamhudi Lc pada acara SMS Berjawab 22 Februari 2010, yang disiarkan langsung di Radio SuaraQuran Solo setiap Senin Pkl 20.00-21.30

Download

Download2

Kajian “Penghalang Dalam Menuntut Ilmu” Ust Abu Izzi Hafidzahulloh

Dauroh sehari yang diselenggarakan di Ma’had Al Ukhuwah Sukoharjo ini adalah kegiatan rutin LBA Lembaga Bahasa Arab Surakarta yang diikuti kurang lebih 130 peserta pada hari ahad 7Rabiul Awwal/21 Februari 2010. Membahas tulisan karya Syaikh Sholih Alusy Syaikh Hafidzahulloh, disebutkan tentang 7 (tujuh) hal yang menjadi seseorang untuk mencari dan bersemangat dalam ilmu. Silahkan Download disini

Sesi 1
Sesi 2
Sesi 3

Silsilah Cahaya Sunnah Ust Abu Qotadah

Kajian Berseri yang disampaikan Ust Abu Qotadah seputar makna dan hakekat sunnah dan ahlussunnah. Menjelaskan tentang hakekat dari Ahlussunnah wal jama’ah, sifat-sifat mereka dan bagaimana kita bisa menjadi pengikut sunnah sejati. Nikmat sunnah yang Alloh berikan kepada kita dalah kenikmatan yang sangat besar sebagaimana nikmat selamatnya kita dengan adanya islam.Disertai tanya jawab dari pendengar Radio Suaraquran Fm. Silahkan download disini

Kajian 1 Nikmat Sunnah

Kajian 2 Hakekat Sunnah

Kajian 3 Makna Ahlussunnah

Kajian 4 Nama Ahlussunnah

Pendidikan Anak Ust Abdulloh Taslim MA

Pendidikan anak merupakan hal yang sangat penting dalam islam, bahkan merupakan pilar utama dalam islam. Banyak contoh dari Rasululloh صلى الله عليه وسلم tentang metode pendidikan anak, bahkan ajaran islam tidak bisa dibandingkan teori di luar islam dalam menjadikan anak sholih dan sholihah. Maka para orangtua perlu menyadari untuk kembali menjadikan anaknya adalah amanah yanh harus dididik agar menjadi generasi yang baik, karena keutamaan mendidik anak sangatlah besar dan amalan yang sangat utama. Bagaimana menyikapi keadaan zaman ini agar selamat anak-anak kita dari pengaruhnya? Apa solusi islam dalam menyikapi pendidikan modern saat ini? Insyaalloh antum temukan dalam kajian ini, direkam tanggal 5 maret 2010 di Studio Suaraquran.

Download

Bahasan Tuntas Seputar Syafaat Ust Abdulloh Zaen MA

Syafaat Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam di akherat adalah hal yang diyakini oleh ahlussunnah wal jama’ah, keyakinan ini berdasarkan al kitab dan sunnah shohihah. Para ulama menjelaskan tentang bagaimana cara kita mendapatkan syafaat dan bagaimana mendapatkan syafaat di akherat kelak. Tetapi ada beberapa penyimpangan terhadap perkara yang telah jelas dan gamblang ini, ada yang mengingkari syafaat secara mutlak, ada yang sebagiannya, ada pula yang meminta syafaat kepada selain Alloh Ta’ala. Ust abdulloh Zaen MA menjelaskan secara gamblang dalam kajian berseri di Radio Suaraquran Solo. Silahkan Download di bawah ini

01 Makna Syafaat

02 Jenis Syafaat

03 Pemberi Syafaat

04 Syarat Dapat Syafaat

05 Amalan Penyebab Syafaat

06 Penyimpangan Dalam Syafaat

Dauroh Tahsin Tajwid Ust Abu Humaid Arif Syarifuddin Lc

Al Quran diturunkan dengan sebaik-baik bahasa, diturunkan dalam tujuh huruf. Ketika Al Qura’an sampai kepada orang-orang ‘ajam (non arab) mulai banyak terjadi takhriif dan taskhif terhadap bacaan al Quran. Oleh karena itu ulama, mulai menyusun ilmu tajwid dan penjelasannnya. Maka menjadi wajib bagi seorang muslim untuk mengetahui hukum tajwid sebelum membaca al Quran. Ma’had Al Ukhuwah Sukoharjo mengadakan Dauroh Tahsin bagi pengajar tahfidz yang diadakan selama dua hari bersama Al Ust Abu Humaid Arif Syarifuddin Lc, pengajar Islamic Center Bin Baz Jogjakarta. Silahkan download dibawah ini

Majlis 1 Majlis 4 Majlis 7

Majlis 2 Majlis 5 Majlis 8

Majlis 3 Majlis 6 Majlis 9

Sifat Mu’min Sejati Ust Abu Ihsan Al Atsari , Download kajian

eorang mu’min itu dikenal karena amalannya, Sebagaimana Alloh Ta’ala sifatkan dalam banyak ayat al Quran, yang khusyu’ dalam sholatnya, menepati janji, menunaikan amanah dan beberapa amalan lainnnya. Maka seorang mukmin akan disibukkan dengan amal sholih setiap hari bahkan setiap menitnya akan senantiasa diisi dengan amalan yang dituntunkan oleh islam. Begitu beragam amalan yang harus diketahui, buku “Panduan Amal Sehari Semalam” yang disusun oleh Al Ustadz Abu Ihsan Al Atsary Hafidzahulloh , dibahas sendiri oleh penulisnya dalam kajian beberapa waktu lalu. Silahkan download dibawah Ini

Sesi Materi

Sesi Tanya Jawab

Berdakwah Dengan Akhlak Mulia Ust Abul Hammad Muhsan Lc

Berdakwah adalah amalan yang besar tanggung jawab sebagaimana juga Alloh Ta’ala menjanjikan pahala yang besar. Da’wah adalah amalan yang mulia, karena inilah pekerjaan para nabi dan rasul yang bertugas untuk menyeru kepada peribadahan kepada Alloh Ta’ala saja. Akan tetapi kita dapati dari banyak manusia yang menyimpang dalam dakwah ini, sehingga membuat manusia lari dari kebenaran atau larut kedalam dosa dan bid’ah. Asal dalam dakwah haruslah dengan lemah lembut dan sikap yang baik, bukan dengan kata kasar dan perilaku keras. Patutlah bagi kita untuk mendengar nasehat Muhaddits Zaman ini, Syaikh Abdul Muhsin Al Badr Hafidzahulloh Ta’ala tentang keadaan dakwah di akhir zaman ini, dalam kitab ini beliau tegas dan jelas menjelaskan bagaimana pentingnya menjaga akhlak mulia dalam dakwah tauhid ini. Silahkan turun muat dibawah ini. Semoga bermanfaat

Sesi I

Sesi II

Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia

Oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)

الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah mengabarkan:

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)

Fitnah (godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Godaan dunia dan harta
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.

Sumber: majalah asy syariah

Download Audio: BERDAKWAH DENGAN AKHLAK MULIA (Ust. Abul Hammad Muhsan, Lc.) [PENTING]

Berdakwah adalah amalan yang besar tanggung jawab sebagaimana juga Alloh Ta’ala menjanjikan pahala yang besar. Da’wah adalah amalan yang mulia, karena inilah pekerjaan para nabi dan rasul yang bertugas untuk menyeru kepada peribadahan kepada Alloh Ta’ala saja. Akan tetapi kita dapati dari banyak manusia yang menyimpang dalam dakwah ini, sehingga membuat manusia lari dari kebenaran atau larut kedalam dosa dan bid’ah. Asal dalam dakwah haruslah dengan lemah lembut dan sikap yang baik, bukan dengan kata kasar dan perilaku keras. Patutlah bagi kita untuk mendengar nasehat Muhaddits Zaman ini, Syaikh Abdul Muhsin Al Badr Hafidzahulloh Ta’ala tentang keadaan dakwah di akhir zaman ini, dalam kitab ini beliau tegas dan jelas menjelaskan bagaimana pentingnya menjaga akhlak mulia dalam dakwah tauhid ini.

Silakan download pembahasan kajian tersebut yang disampaikan oleh Ustadz Abul Hammad Muhsan, Lc. (Dosen STDI Imam Asy Sayfi’i, Jember) yang diselenggarakan di Ma’had Al Ukhuwah, Sukoharjo, Solo (Ahad, 14 Maret 2010) dalam rangkaian kajian bulanan Radio Suara Quran 94.4 FM Solo. Semoga bermanfaat.

BERDAKWAH DENGAN AKHLAK MULIA 01

BERDAKWAH DENGAN AKHLAK MULIA 02

Sekadar Info:

Nantikan insya Allah, dauroh syar’iyyah dua hari pada pekan kedua di bulan April di Karangpandan, Karanganyar, Surakarta, bersama Al Ustadz Ali Musri, Al Ustadz Abdullah Taslim, dan Al Ustadz Abu Sa’ad.

Waspadai Syiah, Mereka Siap Menikam dari Belakang

Oleh Al-Ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc.

Syi’ah dulu diimpor dari Iran dengan malu-malu kucing; diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Muncul gerakan reformasi tahun 1998, Syi’ah pun menggeliat. Paham dari Persia ini pun mengemas ajarannya dengan berbagai caranya. Dari kemasan ilmiah hingga kemasan syahwat. Hasilnya, banyak anak mudah yang terpedaya.

Banyak yang tidak tahu dan tidak mau tahu tentang bahaya di balik kemasan ajaran Syi’ah. Wajar karena bungkus taqiyahnya begitu kuat. Hakikatnya Syi’ah berbeda dengan kita, ahlussunnah. Kita Ahlussunnah wal jamaah mencintai ahli bait (keluarga Rasulullah e), tidak pilih kasih baik terhadap istri-istri Rasul (ummahatul mukminin) atau dari paman-paman Rasul apalagi dari anak cucu beliau (dari Fatimah ke bawah). Kami membicarakan Syi’ah bukan berarti membicarakan keluarga Rasul. Kami akan mengungkap orang-orang yang mengkultuskan keluarga Rasul (ahli bait), dalam hal ini yang disponsori oleh Abdullah bin Saba’. Orang ini berasal dari Yahudi kemudian pura-pura masuk Islam dan merusak akidah Islam sejak Khalifah Ustman hingga sekarang. Dia letakkan dasar-dasar kesyirikan dan kekufuran; seperti pengkultusan ahli bait di atas para nabi bahkan sampai dituhankan. Bukan kepada Ali saja sampai keluarga Rasul seperti Fatimah dan Zaenab seterusnya. Ketika haji, mereka hanya membuat keributan di sekitar Baqi, mereka menangis sambil meratap ya.. Fatimah ya.. Zaenab.

1. Tentang Al-Quran mereka menuduh Ahlussunnah telah mengurangi dan menambahi. Ditulis oleh ulama Syi’ah buku berjudul Fashlul Khithab fi Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab. Husain bin Muhammad Taqi al-Nuri al-Thabari. Menurut ulama Syi’ah, kaumnya boleh membaca al-Quran sekarang (Utsmani) hingga datang imam ke-12 untuk mengajarinya. Menurut akidah mereka mush-haf yang dibawa imam tersebut tebalnya tiga kali lipat dari al-Quran sekarang.

Jadi kalau ada yang berkampanye penyatuan Suni Syi’ah bagaimana mungkin? Syi’ah meragukan al-Quran kita yang sekarang ini, sedangkan menurut Rasulullah barangsiapa yang ragu dengan al-Quran adalah kafir.

2. Akidah terhadap para sahabat terutama kepada Abu Bakar, Umar dan Ustman. Orang Syi’ah meyakini al-Jibtu dan Thaghut adalah Abu Bakar dan Umar, bahkan disebutkan dalam doa ‘dua berhala Quraisy’ dalam kitab mereka (Miftahul Janan) halaman 114, yang terjemahnya ‘Wahai Allah limpahkanlah shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya. Kutuklah dua berhala, dua sesembahan, dua tukang sihir Quraisy beserta kedua anak wanita keduanya.’ Yang dimaksudkan di sini adalah Aisyah dan Hafshah semoga Allah meridhai semua amin.

Termasuk keyakinan mereka adalah setelah Rasulullah e meninggal para sahabat kafir kecuali beberapa sahabat yang bisa dihitung dengan jari. Al-Khuthuth al-Aridhah. Al-Sayid Muhibbuddin al-Khathib halaman 19-20. Hal tersebuit bertentangan dengan akidah Ahlussunnah bahwa kita harus mencintai para sahabat, mengikutinya serta tidak boleh mencela, dan meyakini bahwa semua sahabat adalah adil dan selalu mendoakan kebaikan.

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي

“Allah melaknat orang yang mencela sahabatku.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam Al-Mu’jam.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Bagimana akidah Syi’ah terhadap Umar? Saking bencinya terhadap Umar, waktu Sayidina Umar dibunuh oleh Abu Luluah si Majusi itu, mereka menjadikan hari terbunuhnya Umar sebagai hari raya bagi Syi’ah. Pelaku pembunuhan dianggap sebagai sang pamberani. Hal ini disebabkan Umar lah yang menaklukkan Persia yang sekarang menjadi Iran. Ini simpulan dari Al-Khuthuth al-Aridhah. Al-Sayid Muhibbuddin al-Khathib halaman 20.

Akidah Syi’ah dalam Menanti Kedatangan Imam ke-12 (Imam Mahdi)

Menurut Syi’ah, setelah Imam Mahdi turun atau datang atau bangkit dari tidurnya kemudian Allah membangkitkan penguasa umat Islam yang telah lalu terutama Khalifah Abu Bakar dan Umar yang mereka juluki berhala quraisy yang dianggap telah merampas hak Ali dan keturunannya (sebagai khalifah atau pemegang kekuasaan umat Islam). Menurut keyakinan orang Syi’ah bahwa Imam Mahdi akan membalas dan memerintah untuk membunuh dan memusnahkan setiap 500 orang secara bersama-sama. Akhirnya hingga ia genap membunuh sebanyak 3000 penguasa Islam. Hal ini, masih menurut mereka, akan terjadi sebelum hari kebangkitan atau kiamat kelak. Dikutip dari Al-Khuthuth al-Aridhah. Al-Sayid Muhibbuddin al-Khathib halaman 21-22.

Syi’ah meyakini bahwa pengetahuan tentang yang ghaib adalah hak imam mereka saja, adapun para nabi tidak punya hak. Bahkan mereka sampai menempatkan imam mereka pada posisi tuhan.

Bagaimana dengan Ahlussunnah? Masalah ghaib adalah khusus milik Allah. Adapun Nabi mendapat petunjuk dari Allah hanya pada saat dharurat. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَاشَاء

“…, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. … .” (Al-Baqarah:255)

Akidah Syi’ah tentang Keluarga Rasul (Alul Bait)

Menurut Syi’ah ahli bait Rasulullah e terbatas pada Ali dan sebagian anak beliau saja beserta cucu-cucu beliau tersebut. Sementara ahli bait menurut Ahlussunnah adalah pengikut Islam. Ada juga yang mengatakan mereka yang paling bertakwa di antara umatnya. Disebutkan juga ahli bait adalah keluarga Rasul yang beriman dari Bani Hasyim dan Bani Abdulmuththalib, termasuk istri-istri Rasulullah e.

Siy’ah dan Taqiyah

Taqiyah adalah kondisi luar seseorang dengan yang ada di dalam batinnya tidaklah sama. Memang taqiyah juga dikenal di kalangan Ahlussunnah. Hanya saja menurut Ahlussunnah taqiyah digunakan untuk menghindarkan diri dari musuh-musuh Islam alias orang kafir atau ketika perang maupun kondisi yang sangat membahayakan orang Islam. Sementara itu menurut Syi’ah bahwa Taqiyah wajib dilakukan. Jadi taqiyah adalah salah satu prinsip agama mereka. Taqiyah dilakukan kepada orang selain Syi’ah, seperti ungkapan bahwa Quran Syi’ah adalah sama dengan Quran Ahlussunnah. Padahal ungkapan ini hanyalah kepura-puraan mereka. Mereka juga bertaqiyah dengan pura-pura mengakui pemerintahan Islam selain Syi’ah. Padahal kakikatnya orang Syi’ah sangat membenci dan menganggap telah merampas.

Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang Syi’ah adalah melakukan kawin mut’ah (kawin kontrak), tidak melakukan shalat Jumat sebelum datangnya imam ke-12, suka berdebat membahas tentang wasiat Rasulullah e, dan tidak mau menampakkan kesyi’ahannya dengan menyimpan semua akidahnya di dalam dada dengan cara taqiyah. Orang Syi’ah begitu bersemangat melontarkan slogan ‘La syarqiyah wala gharbiyah walakin islamiyah’diterjemahkan dengan ‘tidak Syi’ah tidak juga Suni tetapi Islam’, sesudah terpola dengan tidak mempermasalahkan Syi’ah barulah dimuati dengan akidah Syi’ah.

SAudaraku kaum Muslimin. Perlu diketahui bahwa di antara kota-kota yang dijadikan sebagai pusat penyebaran ajaran Syi’ah adalah Bandung, Pekalongan, dan Bangil. Silakan periksa lebih detil lagi keberadaan yayasan Syi’ah di seluruh Indoensia, bias dicek lewat internet. Tidak rahasia lagi bahwa pada waktu Khumaini berkuasa banyak ulama Suni di Iran yang dibantai dan disiksa, masjid-masjid Muslim pun dihancurkan.

Perlu juga diingat bahwa antara Syi’ah dan Yahudi adalah bersaudara. Karena memang pencetus Syi’ah adalah Abdullah bin Saba yang Yahudi. Ia pura-pura masuk Islam, karena tidak senang melihat persatuan umat Islam dalam Ahlussunnah pada waktu itu. PErhatikan sejarah terbunuhnya Utsman dan pembunuhan-pembunuhan berikutnya. Sejarah kontemporer juga menguatkan bukti sejarah lampau. Bukan sebuah rahasia jika masuknya Amerika ke Afghanistan tidak lain karena dibantu oleh kaum Syi’ah. Sebelumnya juga begitu, hancurnya Irak pun dengan peran serta kaum Syi’ah Irak dan Iran, hingga sekarang kekuasaan dipegang oleh orang Syi’ah yang menjadi boneka negara penjajah—tidak layak dilupakan kisah sepak terjang pengkhianatan Alqomah yang Syi’ah bekerja sama dengan Tartar meluluhlantakkan Baghdad pada zaman dahulu.

Perhatikan pula perilaku Syi’ah di Palestina, perhatikan orang di dalam Hamas. Lihat pula Libanon. Untuk memancing Amerika masuk, Syi’ah lewat tentaranya, ‘Hizbullah’ melakukan gerakan pura-pura melawan Amerika. Kemudian setelah Amerika lewat Israel melakukan serangan balik mereka lari hingga yang dibantai adalah penduduk yang Ahlussunnah. Akhir-akhir ini Yaman dan perbatasan Saudi Arabia juga digoncang oleh ulah Syi’ah. Orang Syi’ah pura-pura menyerang. Jika terjadi perang mereka berharap akan masuklah Yahudi/Amerika dengan alasan keamanan.

Komentar Ulama tentang Syi’ah

Bagaimana para ulama rabbaniyin berusaha menyelamatkan umat dari pengaruh dan cengkeraman paham Syi’ah? Di antara yang dilakukan adalah menjelaskan tentang kerusahan dan bahaya ajaran Syi’ah. Berikut adalah perkataan sebagian ulama:

  • Perkataan Al-Qadhi Abu Ya’la

“Adapun Syi’ah Rafidhah apabila mengkafirkan dan memfasikkan sahabat berarti jelas masuk neraka dan termasuk kafir.” (Al-Mu’tamid hal. 267. Fatawa al-Ulama fisy Syi’ah al-Rawafidhi hal. 84.

  • Perkataan Ibnu Hazm al-Zhahiri

“Adapun perkataan mereka (nashara), mereka menuduh bahwa Rafidhah (Syi’ah) telah mengganti al-Quran. Sedangkan RAfidhah tidak termasuk kaum Muslimin. Sesungguhnya Syi’ah adalah golongan yang baru muncul 25 tahun setelah wafatnya RAsulullah e. Rafidhah adalah golongan yang berjalan seperti jalannya Yahudi dan Nashara dalam kebohongan dan dusta.” (Al-Fashlu fil Milal wan Nihal II/213)

“Tidak ada perslisihan di antara firqah-firqah yang menisbatkan kepada Islam baik Ahlussunnah, Mu’tazilah, Khawarij, Murjiah dan Zaidiyah; semuanya bersepakat harus mengambil dalil dari al-Quran yang Ahlussunnah. Hanya Rafidhah ekstrim yang menyelisihi. Kelompok ini kafir dan musyrik menurut para ulama Islam.” (Al-Ihkam Libni Hazm I/96) (Fatawa al-Ulama fisy Syi’ah al-Rawafidhi hal. 84)

  • Perkataan Al-Qadhi Iyadh

“Kami memutuskan tentang kekafiran Rafidhah ekstrim yang mengatakan bahwa imam-imam mereka lebih mulia dari para nabi. Kami mengkafirkan orang yang mengingkari al-Quran atau hurufnya atau mengubahnya atau menambah sebagaimana halnya telah dilakukan oleh kelompok kebatinan dan Isma’iliyah.” (Fatawa al-Ulama fisy Syi’’h al-Rawafidhi hal. 84)

  • Perkataan Al-Shan’ani

“Umat Islam telah bersepakat untuk mengkafirkan Syi’ah Imamiyah. Karena mereka meyakini bahwa sahabat telah sesat di samping mereka juga mengingkari ijma’ (sahabat). Mereka juga telah menjuluki shabat dengan sesuatu yang tidak layak bagi sahabat itu sendiri.” (Al-Ansab II/341) (Fatawa al-Ulama fisy Syi’ah al-Rawafidhi hal. 85)

  • Perkataan Ibnu Taimiyah

“Barangsiapa yang menuduh bahwa al-Quran ayatnya ada yang ditambahi atau dikurangi atau disimpan atau menuduh mentakwil batiniyah yang menggugurkan amalan-amalan yang disyariatkan tidak ada khilaf tentang kekafiran mereka. Barangsiapa menyangka bahwa para sahabat telah murtad setelah Rasulullah e wafat, kecuali tinggal beberapa orang yang tidak sampai 27 orang, atau menuduh kebanyakan sahabat adalah fasik, maka tidak diragukan lagi orang semacam ini telah kafir. Karena telah mendustakan nash al-Quran (dalam al-Quran Allah meridhai dan memuji mereka/para sahabat).” (Al-Sharimul Maslul hal. 586-587)

“Sesungguhnya [Syi’ah] lebih jelek dari ahli hawa dan lebih layak untuk diperangi daripada Khawarij.” (Majmu’ al-Fatawa XXVIII/482) (Fatawa al-Ulama fisy Syi’ah al-Rawafidhi hal. 85)

  • Fatwa Lajnah Daimah

Soal: Penanya tinggal di perbatasan utara. Di wilayah tersebut ada beebrapa markas Irak. Di dalamnya ada orang yang beraliran Syi’ah ja’fariyah. Sebagian ada yang membolehkan makan sembelihannya, sebagian lagi melarangnya. Kami tanyakan apakah boleh memakan sembelihannya sedangkan jelas mereka itu pada waktu susah dan senang selalu meminta kepada Ali, Hasan, Husain, dan sayid-sayidnya.

Jawaban: Kalau keadaannya seperti yang disebutkan oleh penanya—mereka memohon kepada Ali, Hasan, Husain, dan sayidnya—berarti termasuk musyrik, murtad dari Islam; wal’iyadzubillah. Jadi, tidak halal memakan sembelihan mereka, karena status sembelihannya seperti bangkai. Sekalipun mereka menyebut bismillah saat menyembelih.

Wabillahit taufiq wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbibi wa sallam.

Ketua: Syaikh Abdulaziz bin Baz

Wakil: Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota: Abdullah bin Ghadyan dan Abdullah bin Qu’ud

Fatwa al-Lajnah al-Daimah hal. 15

  • Syaikh Muhammad Nashituddin al-Albani

“Bismillahirrahmanirrahim. Setelah kami pelajari lima pernyataan yang terdapat di dalam kitab yang berjudul “’Ruhullah’ al-Khumaini”, ingin kami jelaskan hukum tentag isinya. Kami berkata dengan nama Allah yang Esa dan kami meminta pertolongan kepada-Nya. Bahwa setiap pernyataan dari lima poin yang terdapat dalam buku ‘Ruhullah’ al-Khumaini tersebut adalah jelas perkataan kufur dan syirik. Kalimat-kalimatnya menyelisihi al-Quran dan al-Sunnah maupun ijma’ kaum Muslimin. Karena kelima perkara tersebut dharurat maka harus diketahui oleh kaum Muslimin. Jadi, siapa yang berkata seperti hal tersebut dengan keyakinan, sekalipun hanya sebagian, berarti termasuk musyrik. Orang itu kafir meskipun melakukan puasa dan shalat serta mengira dirinya muslim. … . Kami heran selalu saja ada orang yang mengaku dirinya sebagai Ahlussunnah tetapi mengadakan ta’awun (saling membantu) dengan Khumaini dalam urusan dakwah. Bahkan ada yang mendukung dalam penegakan negara mereka di bumi kaum Muslimin. Apakah orang-orang tersebut memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa hal tersebut adalah kufur dan sesat. Mereka termasuk perusak. Bukankah Allah tidak senang terhadap orang-orang yang merusak?!….. (Nafsul (?) Kitab hal. 79)

  • Syaikh Bin Baz

Pertanyaan: Berangkat dari pengetahuan Syaikh tentang sejarah Rafidhah (Syi’ah), apa sikap Syaikh terhadap pemikiran pendekatan antara Alussunnah dan Syi’ah?

Jawaban: “Pendekatan antara Syi’ah dan Ahlussunnah tidaklah mungkin. Karena akidahnya saja memang sudah berbeda. Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah ialah men-tauhid-kan Allah secara ikhlas beribadah karena Allah l. Allah adalah Dzat yang mengetahui hal yang ghaib. Ahlussunnah juga tidak menyekutukan Allah sedikit pun—baik dengan malaikat maupun dengan rasul dan nabi yang diutus—dan bahwa hanya Allahlah yang tahu hal-hal yang ghaib. Termasuk akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mencintai para sahabat. Sahabat adalah orang yang paling mulia di antara makhluk yang ada,di bawah kemuliaan para nabi. Di antara jajaran para sahabat yang paling mulia adalah Abu Bakar, kemudian Umar, disusul Utsman dan Ali.

Sedangkan Rafidhah/Syi’ah menyelisihi semua keyakinan lurus tersebut. Jadi, tidak mungkin Syi’ah bersatu dengan Ahlussunnah sebagaimana Yahudi dan Nashara atau penuembah berhala dengan Ahlussunnah. Demikian pula Rafidhah dan Ahlussunnah tidak mungkin bersatu disebabkab sudah berbeda akidah, sebagaimana sudah dijelaskan.” (Fatawa al-Ulama fisy Syi’ah al-Rawafidh hal. 78)

Demikianlah bahaya dan kerusakan Syi’ah, berikut pandangan ulama dari zaman dahulu hingga sekarang. Yang jelas kewaspadaan dan pembenahan internal kaum muslimin mendesak dilakukan. Jelas dai Syi’ah selalu bergerak dari hari ke hari memanfaatkan berbagai momentum dan sarana. Di Indonesia Negara Iran telah membangun Islamic Cultural Center (ICC), sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Dari sinilah kemudian disebar lembaga yang bernama Iranian Cornen (IC). Menurut sebuah sumber di antara yang aktif mengajar di ICC adalah akak beradik Umar shihab (seorang ketua MUI) dan Umar Shihab (penulis Tafsir Misbah). Jalaluddin Rahmat (akrab disapa Kang Jalal), Haidar Baqir, dan O Hashem (salah satu penulis yang secara serius menfitnah Abu Hurairah). Juga ikut sejumlah keturunan alawiyin seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus.

Di antara perguruan tinggi yang memiliki Iranian Corner, masih menurut sumber yang sama, adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas ahmad dahlan Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak cukup di situ dana Negara Iran juga digelontorkan dengan menawarkan bea siswa kepada para pemuda untuk belajar ke Iran. Tidak kurang ada 300 mahasiswa Indonesia yang tengah digodog di Iran, sementara sejulah 200-an yang lain sudah pulang ke Indonesia dengan mengemban tugas menyebar ajaran Syi’ah lewat pengajian, PT, maupun membuat yayasan. Sebut saja Ahmad Baraqbah dengan pondoknya Al-Hadi Pekalongan, Husain al-Kaff dengan Yayasan Al-Jawwad Bandung, dan masih ada puluhan yayasan Syi’ah yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Ya, paham Syi’ah Rafidhah sedang mengepung Indonesia, masihkan kita akan lengah dan lemah?!

Rujukan:

  1. Mas-alatut Taqrib baina Ahlissunah wasy Syi’ah. Dr. Nashir Abdullah bin Ali al-Ghifari. Dua jilid.
  2. Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi Al-Adyani wal Madzahib wal Ahzab al-Mu’ashirah. Dua jilid. Dr. Mani’ bin Hammad al-Juhni.
  3. Al-Khuthuth al-Aridhah. Al-Sayid Muhibbuddin al-Khathib.
  4. ‘Aqa-idusy Syi’ah fil Mizan. Muhammad Kamil al-Hasyimi.
  5. Shuratani al-Mutadhatani ‘inda Ahlissunnah wasy Syi’ah al-Imamiyah. Abul HAsan al-Nadwi.
  6. Al-Tasyayu’ baina Mafhumil A-immah wal Mafhumil Farisi. Muhammad al-Yandari.
  7. Al-Tahrafu al-Dini fi Irani. Abdul Jalil.
  8. Al-Muamarah ‘alal Ka’bah minal Qaramithah ilal Khumaini Tarikh wa Wasya-iq. Dr. Abdul Mun’im al-Namiri.
  9. Hakikat Syi’ah, terjemahan. Abdullah bin Abdillah al-Maushuli.
  10. Bantahan dan PEringatan Atas Syi’ah Rafidhah, terjemahan. Al-Imam Muhammad bin Abdilwahhab.
  11. Sikap Ahlul Bait Terhadap Sahabat Nabi, terjemahan. Muhammad bin Ali al-Syaukani.

Sumber Buku Syi’ah:

  1. Fashlul Khithab fi Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab. Husain bin Muhammad Taqi al-Nuri al-Thabari.
  2. Al-Ushulu minal Kafi. Al-Kulaini al-Razi. Dua jilid.

Khawarij Kontemporer

Pada abad ini, sungguh pemikiran takfir telah tersebar begitu dahsyat, kekuatannya melampaui abad-abad sebelumnya. Pemikiran takfir tersebar ditengah-tengah kaum muslimin, sehingga penyakit ini menjangkiti begitu banyak orang yang sebelumnya tidak dikenal banyak melakukan bid’ah. Diantara sumber dan sebab tersebarnya adalah sebagian kelompok dakwah modern yang asasnya bukan sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan bercampur aduk didalamnya berbagai bid’ah dan kesesatan, baik dikarenakan buruknya tujuan pendirinya, maupun karena kebodohan mereka tentang agama.

Kemudian muncullah banyak buku hasil produksi kelompok-kelompok tersebut, yang dikenal dengan buku-buku pemikiran. Buku-buku tersebut telah merusak aqidah sejumlah besar kaum muslimin, sehinga menyelewengkan mereka dari ajaran agama. Buku-buku tersebut menilai bahwa masyarakat muslim dewasa ini adalah masyarakat jahiliyyah dan kafir, karena mereka telah membuang Islam kebelakang punggung mereka, dan mereka telah memeluk kekufuran yang nyata, dan tidak ada seorangpun, diantara individu-idividu umat yang selamat dari vonis kafir ini, baik pemerintah maupun rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda. Fenomena ini memiliki peran terbesar, dalam mewujudkan generasi abad ini yang terdidik berdasarkan kepada buku-buku tersebut, hingga bibit-bibit ide untuk mengkafirkan seluruh masyarakat Islam dewasa ini tertanam di dalam jiwa-jiwa mereka, sehingga kesesatan tersebut menjadi suatu keyakinan yang kokoh bagi mereka, dan tidak perlu ditanyakan lagi tentang fitnah dan keburukan yang akan muncul dari balik keyakaninan ini.

Saya tidak ingin memperbanyak dalam memberikan permisalan dari buku tersebut, tentang teks dan perkataan mengenai pengkafiran masyarakat Islam dewasa ini, akan tetapi saya hanya ingin menyebutkan sebagian contoh dan bukti yang ada di dalam buku-buku Sayyid Quthub rahimahullah, karena dialah Imam yang diagungkan oleh mayoritas Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang terpengaruh dengan manhaj mereka, terlebih lagi buku orang ini paling luas penyebarannya, dan paling kuat pengaruhnya, jika dibandingkan dengan buku-buku lain yang sejenis, sampai-sampai sebagian orang yang menisbatkan diri mereka kepada sunnah, terfitnah oleh buku-bukunya. Pada hakekatnya, buku-buku Ikhwanul Muslimin penuh dengan ungkapan-ungkapan pengkafiran pemerintah dan masyarakat muslim dewasa ini.

Diantara teks pengkafiran Sayyid Quthub terhadap seluruh masyarakat Islam dewasa ini, adalah yang tercantum di “Ma’aalim Fith Thoriq” : “Dan hakekat permasalahannya, adalah perkara kufur dan iman, syirik dan tauhid, jahiliyah dan Islam, dan inilah yang harus diperjelas …. Sesungguhnya, manusia (sekarang) bukanlah kaum muslimin (sebagaimana yang mereka akui), dan mereka hidup dalam kehidupan jahiliyyah. Jika ada orang yang suka menipu dirinya, atau menipu orang lain, kemudian berkeyakinan bahwa Islam bisa tegak berdampingan dengan kejahiliyyahan ini, maka terserah dia. Akan tetapi, ketertipuan atau penipuannya, tidak akan merubah hakekat kenyataan sedikitpun. Ini bukan Islam, dan mereka bukan kaum muslimin” [2]

Sayyid Quthub berkata di dalam Fii Zhilalil Qur’an : “Sungguh, waktu terus berputar seperti ketika agama ini datang membawa kalimat Laa ilaha illallah kepada manusia. Sungguh manusia (sekarang) telah murtad, beralih kepada peribadatan kepada para hamba dan kepada kedholiman berbagai agama, berpaling dari Laa ilaha illallah, meskipun masih ada sekelompok orang yang memperdengarkan Laa ilaaha illallah”

Manusia seluruhnya dan termasuk di dalamnya, mereka yang senantiasa mendengung-dengungkan ditempat adzan, baik dibelahan timur maupun barat bumi, kalimat : Laa ilaaha illallah, tanpa bukti dan konsekwensi …., dan mereka adalah yang berat dosanya, dan paling keras siksaannya pada hari kiamat, karena mereka telah murtad menuju peribadatan hamba, setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, dan setelah memeluk agama Allah”[3]

Sayyid Quthub berkata : “Sesungguhnya, sekarang ini tidak ada satu negara atau masyrakat muslim pun di muka bumi, kaidah berinteraksi dengan mereka adalah dengan syari’at Allah dan fiqih Islam” [4]

Teks-teks yang gamblang seperti diatas, masih banyak di dalam buku-buku Sayyid Quthub. Itu semua tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, karena maksud semuanya adalah mengkafirkan para ulama, pemerintah dan (seluruh) individu umat Islam, sampai para tukang adzan (muadzdzin), mereka semuanya menurut Sayyid Quthub adalah kaum kafir lagi murtad, dosanya lebih berat, dan adzab mereka lebih keras dari selainnya.

Maka, dari buku-buku ini dan sejenisnya, sebagian pengikut takfir masa ini menimba manhaj mereka, ide pengkafiran masyarakat muslim, beserta akibat-akibatnya, seperti pembajakan, peledakan dan pembunuhan terhadap jiwa yang dilarang, diberbagai negeri kaum muslimin dan yang diluar mereka.

Kenyataan ini telah diakui oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dan mereka tulisakan di buku-buku mereka.

Al-Qardhawi mengatakan : “ Pada fase ini, muncul buku-buku Sayyid Quthub yang mewakili fase terakhir pemikiran takfirnya, yang dengan cepat mengkafirkan masyarakat …. serta pengumuman jihad penyerangan atas seluruh manusia”.

Farid Abdul Kholiq mengatakan : “Sesungguhnya pemikiran takfir tumbuh diantara para pemuda Ikhwanul Muslimin yang berada di penjara Al-Qonathir [5], pada akhir tahun lima puluhan dan permulaan enam puluhan. Mereka itu terpengaruh oleh pemikiran dan tulisan Sayyid Quthub, sehingga mereka berkesimpulan bahwa masyarakat dalam keadaan jahiliyyah, para pemimpinnya telah kafir, karena mengingkari Allah sebagai Hakim tunggal, buktinya mereka tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Begitu pula rakyatnya kafir, jika meridhoi hal tersebut”.

Salim Al-Bahnasawy [6] berkata : “Sayyid Quthub telah mengadopsi sebagian pendapat Al-Maududi serta menampilkannya dalam tulisan-tulisannya, dan lebih khusus pada juz ke-7 dari tafsir Fii Zhilalil Qur’an, kemudian datang suatu kaum berkesimpulan atas dasar hal itu, bahwa kaum muslimin telah kafir, karena mereka mengucapkan syahadat tanpa mengetahui maknanya, dan tanpa mengamalkan isinya, sehingga meskipun mereka sholat, puasa, haji dan menyangka bahwa diri mereka kaum muslimin, maka sama sekali tidak merubah kekafiran mereka” [7]

Ali Jarisyah [8] menetapkan bahwa kaum takfiriyin (suka mengkafirkan kaum muslimin), asalnya mereka adalah dari kelompok Ikhwanul Muslimin, kemudian mereka memisahkan diri dari Ikhwanul Muslimin dan mengkafirkan Iikhwanul Muslimin.

Teksnya : “Dalam pembicaraan, sekelompok orang telah memisahkan diri dari kelompok besar Islam, ketika mereka berada di penjara. Meskipun demikian, kelompok kecil tersebut juga mengkafirkan kelompok besar, karena kelompok kecil ini tetap berpegang pada pendapat mereka dalam pengkafiran peguasa, staf-stafnya, serta seluruh masyarakat. Dari kelompok pecahan tersebut terpecah lagi menjadi kelompok-kelompok yang banyak, yang satu megkafirkan yang lainnya” [9]

Al-Bahnasawi menjelaskan perpecahan kelompok ini di dalam diri mereka sendiri dalam berinteraksi dengan kaum muslimin, maka dia mengatakan : “Ketika itu, terpecah pengikut pemikiran ini menjadi dua:

[1]. Kelompok yang tidak menampakkan pengkafiran atas orang-orang yang menyelisihi mereka, sehingga kaum muslimin yang tidak sependapat dengan mereka, tidak kafir, boleh shalat dibelakang mereka,isteri-isteri pengikut pemikiran ini juga tidak kafir, sehinga tidak perlu membatalkan akad pernikahan mereka.

[2]. Kelompok yang memisahkan diri dengan terang-terangan, dan mengumumkan pengkafiran atas saudara-saudaranya yang tidak mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi pemikiran ini, diantaranya kelompok Ikhwanul Muslimin.

Inilah kelompok yang terkenal dengan sebutan “Jama’ah Takfir dan Hijrah”, akan tetapi mereka menamakan diri dengan nama “Jama’atul Mukminn” atau “ Al-Jama’ah Al-Mukminah”.

Adapun kelompok pertama lebih memilih untuk tidak menampakkan manhaj mereka, dengan menjalankan dua kaidah : Memisahkan diri secara perlahan, dan (bergerak di) masa-masa lemah (fase Mekkah)” [10]

Pada hakekatnya, pemikiran yang Al-Bahnasawi berusaha membantahnya , yang dimiliki oleh Jama’ah At-Tafkir wal-Hijrah adalah pemikiran Ikhwanul Muslimin, bahkan itulah pemikiran dan keyakinan Sayyid Quthub. Motivasi Al-Bahnasawi melakukan hal ini, adalah kebesaran cinta dan sayangnya kepada Sayyid Quthub, sebagaimana hal itu nampak di dalam bukunya, dengan berusaha melepaskan keterkaitan Sayyid Quhub dengan keyakinan tafkir [11], meskipun dia telah mengakui bahwa aqidah ini diambil dari buku-buku Sayyid Quthub, dan Sayyid Quthub mengadopsinya dari Al-Maududi.

Diantara bukti hal ini, adalah keterus terangan Sayyid Quthub sendiri akan wajibnya mengembargo masyarakat muslim, yang dia sebut sebagai masyarakat jahiliyyah. Dia juga mewajibkan untuk mengasingkan diri, bahkan dari masjid-masjid, yang dia menyebutnya sebagai tempat-tempat ibadah jahiliyyah, seraya mengatakan : “Dan disinilah Allah membimbing kita untuk menjauhi tempat-tempat ibadah jahiliyyah, dan menjadikan rumah-rumah keluarga muslim sebagai masjid. Anda akan merasakan di dalamnya benar-benar terpisah dari masyarakat jahiliyyah” [12]

Dia juga mengatakan : “Sungguh tiada keselamatan bagi seorang muslim di seluruh dunia dari tertimpa adzab, kecuali dengan memisahkan diri baik secara aqidah, perasaan maupun metode hidup dari orang-orang jahiliyyah dari kaummnya, sampai Allah mengizinkan berdirinya negara Islam yang mereka pegang teguh” [13]

Pada hakekatnya, aqidah pengkafiran masyarakat muslim ini, dan menganggap mereka sebagai masyarakat jahiliyyah lagi kafir, tidak hanya dimiliki oleh Saayid Qutuhub saja, akan tetapi itulah keyakinan yang bibit-bibitnya sudah tertanam kuat dan tersebar luas pada para pemimpin Ikhwanul Muslimin. Diantara pengusung pemikiran ini yang paling menonjol adalah Muhammad Quthub[14], yang telah mengkhususkan pembahasan ini dalam bukunya yang terkenal, “Jahiliyyatul Qorni Isyrin” (Jahiliyah abad ke-20). Pada berbagai tempat di dalam bukunya ini, Muhammad Quthub terang-terangan mengkafirkan masyarakat muslim dewasa ini

Muhamad Quthub mengatakan : “Adapun keadaan yang dinamakan dunia Islam, maka hal itu sebagian keadaannya berbeda dengan kondisinya di Eropa, akan tetapi pada akhirnya akan bertemu dengannya, sebagaimana jahiliyyah bertemu dengan jahiliyyah di setiap tempat dimuka bumi, dan disetiap masa, meskipun sifat-sifatnya sedikit berbeda, yang membedakan jahiliyyah yang ini dengan yang itu, serta membedakan antara keadaan ini dengan keadaan itu.

Islam di dunia ini (sekarang) asing bagi manusia, seperti keterasingannya pada awal munculnya di era jahiliyyah jazirah arab dahulu, dan jahiliyyah yang sekarang[15] melebihi yang terdahulu, Islam dibenci oleh banyak orang.

Setapak demi setapak pada pasal ini kita akan berbicara tentang kelompok-kelompok manusia yang berbeda-beda, agar bisa kita jelaskan, kenapa mereka membenci Islam [16]

Kemudian dia menyebutkan, diantara kelompok-kelompok tersebut yang membenci Islam adalah kelompok thogut, dan yang dimaksud adalah para penguasa, kelompok cendekiawan, seniman dan para penulis, tukang dongeng, para penyair, anak-anak pria dan wanita.[17]

Setelah itu, dia mengatakan : “Derajat kebenciannya sama, antara yang membangkang dengan yang lemah” [18]

Lalu dia bertanya-tanya : “Maka, jika demikian, apakah yang masih tersisa dari kaum muslimin?! [19]

Kemudian dia mencatat hasilnya : “Sungguh manusia pada generasi ini, telah kafir padahal mereka mengetahuinya” [20]

Dan tidaklah buku-buku para pemimpin Ikhwanul Muslimin yang lain keadaannya lebih baik dari buku-buku Sayyid Quthub dan saudaranya. Dan hal itu bukanlah suatu hal yang mengherankan, karena Sayyid Quthub menurut mereka adalah Imam yang diagungkan, Syaikhul Islam, pembaharu agama abad ini. Hal ini juga diikuti simpatisan mereka, maka bagaimana mungkin mereka akan menyelisihi idola mereka ?!

Dan tidaklah keadaan Al-Maududi dan para pengikutnya di Pakistan, India dan lainnya lebih baik dari kelompok Ikhwanul Muslimin, bahkan sebagian peneliti buku-buku Al-Maududi menjelaskan bahwa Sayyid Quthub mengadopsi pemikiran dan manhajnya dari Al-Maududi saja, sebagaimana perkataan Al-Bahnasawi yang terdahulu.

Yang terakhir, sesungguhnya saya memperingatkan dengan keras kepada setiap pemuda yang memiliki kecemburuan terhadap agamanya untuk tidak membaca buku-buku pemikiran tersebut, yang namanya saja sudah menunjukkan betapa jauhnya buku-buku tersebut dari agama. Karena buku-buku pemikiran, sebagaimana penamaan mereka, yakni buku-buku yang dihasilkan dari berbagai pemikiran dan pendapat pengarangnya, kadar bahanya buku-buku ini tidak lebih rendah dari buku-buku filsafat yang dilarang oleh salaf, bahkan lebih dahsyat. Buku-buku ini tidak berdiri diatas dalil dan tidak selaras dengan pemahaman salaf, bahkan merupakan pencampuran (kolaborasi) antara berbagai bid’ah dan kesesatan. Ciri khas yang menonjol dari buku-buku tersebut adalah memprovokasi dan menyeru umat untuk memberontak dan membangkang penguasa, dengan mempropagandakan kekafiran dan kemurtadan penguasa dari agama, serta menjadikan para pemuda tersebut disibukkan dengan politik dan masuk dalam konflik, sehingga keburukan dan bahayanya buku-buku ini begitu besar, dan begitu banyak orang-orang yang terfitnah oleh buku-buku ini, dan tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah semata. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. [21]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 24 Th V Dzulqo’dah 4127H. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya, Jl Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]
__________
Footenotes
[1]. Dialihbahasakan oleh Abu Zahroh Imam Wahyudi Lc, dari buku At-Takfir wa Dhowabithuh” karya Prof Dr Ibrahim bin Amir Ar-Rauhaily, dosen fakultas Da’wah wa Ushuludin, Universitas Islam Madinah hal : 37-45. Tulisan ini kami muat sebagai jawaban atas orang-orang yang menyatakan Khowarij sekarang ini, sudah punah (-pent)
[2]. Ma’alim Fith Thoriq hal : 158
[3]. Fii Zhilalil Qur’an (2/1057)
[4]. Idem (4/2122)
[5]. Penjara ini ada di Kairo, Mesir (-pent)
[6]. Penulis dari kalangan Ikhwanul Muslimin, pernah tinggal di Kuwait. (-pent)
[7]. Al-Hukmu wa Qodhiyah Takfiril Muslimin hal : 50
[8]. Penulis dari kalangan Ikhwanul Muslimin, lulusan Fakultas Hukum, Kairo
[9]. Al-Ittijaahat Al-Fikriyah Al-Mu’aashiroh hal : 279
[10]. Al-Hukmu wa Qodhiyah Takfiril Muslimin hal : 34-35
[11]. Al-Hukmu wa Qodhiyah Takfiril Muslimin hal : 50, 56, 66, 73, 74,76, 112
[12]. Fii Zhilalil Qur’an 3/1816
[13] idem 4/2122
[14]. Adik kandung Saayid Quthub, lulusan Fakultas Bahasa Inggris di Universitas Kairo Mesir, kemudian mendapatkan gelar Diploma dalam bidang Psikologi. Dialah yang mengusung dan mengembangkan pemikiran Sayyid Quthub di Saudi Arabia, ketika ia mengajar di Universitas Umul Quro, Mekkah. Sehingga tidak mengherankan apabila muncul dari sana tokoh-tokoh yang berpemikiran takfir akan tetapi berbaju salaf, semisal Dr Safar Hawali dll. Allahu Musta’an. (-pent)
[15]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mensifati zaman secara mutlak, maka tidak ada masa jahiliyah setelah diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena senantiasa akan ada segolongan dari umatnya yang akan nampak di atas kebenaran sampai kiamat nanti” (Iqtidho’ush Shirothol Mustaqim : 1/259)
Dr Nashir bin Abdul Karim Al-Aql (pentahqiq buku diatas) mengomentari : “Atas dasar ini, maka menggunakan istilah Jahiliyah dengan mutlak untuk kaum muslimin secara umum, atau untuk suatu negeri kaum muslimin, atau untuk suatu masyarakat muslim, tanpa perincian keadaan, perbuatan, tindakan atau individu tertentu, merupakan suatu kesalahan dan peremehan, yang sudah sepatutnya seorang muslim menjauhinya. Adapun yang disampaikan oleh beberapa penulis, penyusun dan pemikir bahwa semua atau semua masyarakat muslim adalah masyarakat jahiliyyah (tanpa perincian atau pengkhususan siapa yang menurut syari’at berhak menyandang istilah tersebut), maka itu bukanlah metode yang selamat, bahkan menyelisihi kaidah-kaidah syari’at dan manhaj As-Salaf Ash-Shalih. (editor).
[16]. Jahiliyatul Qornil ‘Isyrin hal :328-329
[17]. Idem : 329-331
[18]. Idem hal 337
[19]. Idem hal 337
[20]. Idem hal 351
[21]. Lihatlah fatwa larangan sebagian ulama masa kini dari membaca buku-buku tersebut, seperti dalam kitab “Al-Ajwibah Al-Mufidah An-Manahijid Dakwal Al-Jadidah” oleh Syaikh Sholih Al-Fauzan, dikumpulkan oleh Jamal Furaihan Al-Haritsi. Juga buku “Fatawa Al-Akabir” dikumpulkan dan dikomentari oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Rhamadhany. (-pent)

Sumber: almanhaj.or.id

Labels

comment

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker