WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Tahukah Kamu…?


bersin

TAHUKAH KAMU… bahwa ketika menjumpai orang yang bersin lebih dari tiga kali, maka tidak ada tasymit untuk orang yang bersin tadi…

Menurut Ismail bin Marsyud bin Ibrahim ar-Rumaih ada beberapa orang yang menggugurkan kewajiban kita untuk ber tasymit (mendoakan orang yang bersin), salah satunya adalah kepada yang bersin lebih dari tiga kali. Berkata beliau,

“Maka tidak ada tasymit untuknya sebab dia dikategorikan sedang sakit terkena influenza.” (Ismail bin Marsyud bin Ibrahim ar-Rumaih, Adaabut Tatsaa-ub wal ‘Uthaas, Daar ash-Shumai’i, Riyadh, Cet. I, 1992, terj. Isma’il ‘Ali bin Jabal, Adab Menguap dan Bersin, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Bogor, Cet. I, Agustus 2004, hal. 46).

Kemudian beliau melanjutkan dengan hadits ini

“Jika salah seorang diantara kalian bersin, hendaklah bertasymit bagi yang mendengarnya. Jika lebih dari tiga berarti dia sedang influenza, maka tidak ada tasymit setelah tiga kali.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani di
Shahiihul Jaami’ (I/179 no. 684) (diambil dari buku Adab Menguap dan Bersin, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Bogor, Cet. I, Agustus 2004,. hal. 47).

Semoga bermanfaat…

Penyejuk Hati Insan Berbudi (5)


Judul Kajian
Kajian Kitab Bahjah Al Qulub Al Abrar Wa Qurrotu ‘Uyun Al Akhyar
Karya: Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah

Tema
Iman Kepada Takdir dan Keutamaan Da’wah

Tingkat
Pemula

Waktu dan Tempat
di Masjid Al Ashri, Yogyakarta
Pada tanggal 1- 20 Ramadhan 1428

Pemateri
Ustadz Aris Munandar, Ss.
(Pengajar Al Madinah International University dan Pengajar Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)

Kajian kali ini membahas hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

‏المؤمن القوي خير، وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف‏.‏ وفي كلٍّ خير‏.‏ احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تَعْجَز ‏.‏ وإن أصابك شيء فلا تقل‏:‏ لو أني فعلت كذا، كان كذا وكذا، ولكن قل‏:‏ قدَّر الله، وما شاء فعل، فإن لَوْ تفتح عمل الشيطان

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun setiap mereka memiliki kebaikan. Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, lalu memintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Jika engkau tertimpa musibah janganlah berkata: ‘Seandainya saya berbuat begini maka tentu tidak terjadi begitu’. Namun katakanlah: ‘Allah telah menakdirkan musibah ini. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi’. Karena perkataan ‘Seandainya begini dan begitu…’ dapat menjerumuskan dalam perbuatan syaithan” [HR. Muslim]

Banyak orang mengira bahwa yang dimaksud orang beriman yang kuat dalam hadits ini adalah orang yang kuat badannya. Padahal zhahir hadits menunjukkan Al Qowi adalah sifat dari Al Mu’min. Maka kuat yang dimaksud dari hadits ini adalah kuat imannya. Maka hadits ini adalah dalil bahwa iman itu bertingkat-tingkat.

Dalam hadits ini juga terdapat nasehat yang indah dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تَعْجَز

Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, lalu memintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah

Syaikh As Sa’di berkata: “Nasehat ini adalah kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat”.

manfaat dan mafsadat

Oleh: al-Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf


الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلَّا بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ

وَلَا يَنْهَى إِلَّا عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ

Syari’at tidak memerintahkan kecuali sebuah kemaslahatan murni atau yang rojih
Dan tidak melarang kecuali yang murni sebuah mafsadat atau yang rojih



Makna Kaidah

Asy-Syari’ adalah pembuat syari’at, yaitu Alloh, baik langsung dari al-Qur‘an ataupun lewat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam sunnah beliau. Karena sunnah beliau pun pada dasarnya adalah wahyu dari Alloh. Sebagaimana firman-Nya:

Dan tiadalah yang dia (Muhammad) ucapkan itu (al-Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. an-Najm [53]: 3-4)

Kholishoh adalah murni sebuah kemaslahatan, tanpa ada unsur mafsadat dan madhorot sedikit pun. Begitu pula sesuatu yang mengandung sebuah mafsadat yang murni tanpa ada maslahat sedikit pun.

Rojihah adalah sebuah kemaslahatan yang masih mengandung sedikit mafsadat, namun maslahatnya jauh lebih besar. Begitu pula sebaliknya, sebuah mafsadat yang sedikit mengandung kemaslahatan namun mafsadatnya jauh lebih besar.

Jadi, makna kaidah ini adalah bahwa Alloh dan Rosul-Nya tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali apabila mengandung sebuah kemaslahatan murni tanpa ada unsur mafsadat sedikit pun atau sebuah maslahat besar meskipun ada sedikit mafsadatnya. Demikian pula, Alloh dan Rosul-Nya tidak akan melarang sesuatu kecuali apabila mengandung mafsadat murni tanpa ada kemaslahatan sedikit pun atau sebuah mafsadat besar meskipun sedikit berbalutkan kemaslahatan.

Dalil Kaidah
Banyak sekali dalil dari al Qur‘an dan as sunnah yang menunjukkan atas kaidah ini. Bahkan hal ini disepakati oleh para ulama’. Diantara yang menunjukkan atas kaidah ini adalah:
Firman Alloh:

Sesungguhnya Alloh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Alloh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an-Nahl [16]: 90)

Pada ayat ini Alloh memerintah dan melarang. Perhatikanlah yang diperintahkan Alloh, semuanya adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan. Juga perhatikanlah yang dilarang oleh-Nya, semuanya mengandung mafsadat (kerusakan).

Semua perintah serta larangan dalam al-Qur‘an dan sunnah pun demikian. Tidak ada satu pun perintah melainkan pasti mengandung maslahat dan sebaliknya tidak ada satu pun larangan melainkan mengandung mafsadat. Di antara sabda Rosululloh yang menunjukkan atas hal ini adalah:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ (وَفِيْ رِوَايَةٍ: صَالِحَ) الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhori dalam Adab Mufrod: 273, al-Hakim: 2/613, Ahmad: 2/318. Lihat ash-Shohihah: 45)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah untuk membawa dan menyempurnakan kemuliaan akhlak. Sedangkan kesempurnaan akhlak tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya kemaslahatan dan hilangnya mafsadat.

Dalil-dalil lainnya masih banyak. Oleh karena itu, para ulama sepakat atas hal ini. Bahkan mayoritas ulama menegaskan bahwa syari’at ini dibangun atas dasar kaidah ini dan semua hukum serta cabang-cabangnya kembali pada kaidah dasar ini. (Lihat Syarah Qowa’id Sa’diyyah hlm. 23)

Syaikh Abdurrohman as-Sa’di Rohimahulloh berkata: “Ini adalah dasar yang mencakup semua syari’at Islam, tidak ada yang tertinggal sedikit pun baik yang berhubungan dengan masalah ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berhubungan dengan hak Alloh ataupun hak makhluk.” (al-Qowa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 9)

Macam-Macam Maslahat dan Mafsadat
Kalau dicermati, maka kaidah ini mencakup empat hal:
Pertama: Maslahat murni.
Contohnya iman kepada Alloh serta mentauhidkan-Nya. Ini adalah sebuah kemaslahatan murni bagi hati, jiwa, bahkan badan baik untuk dunia maupun akhirat.

Kedua: Mafsadat murni.
Contohnya kemusyrikan dan kekafiran. Ini adalah mafsadat murni baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat baik bagi jiwa maupun badan. Namun, perlu diingat, maslahat dan mafsadat yang dimaksud dalam kaidah ini adalah maslahat dan mafsadat dalam tinjauan syar’i.

Ketiga: Maslahat rojih.
Contohnya jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir. Banyak maslahat besar yang diraih dengan berjuang membela agama Alloh untuk menghancurkan kekuatan kafir. Namun, banyaknya keutamaan ini terkadang mengandung beberapa mafsadat dalam kehidupan dunia seseorang. Oleh karena itu, terkadang jiwa agak berat untuk menjalankannya. Alloh berfirman:

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqoroh [2]: 216)

Namun, bagi yang diberi taufiq oleh Alloh untuk menjalankannya niscaya akan mendapatkan banyak sekali keutamaan dunia maupun akhirat atau salah satu dari keduanya. Alloh memerintahkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk berkata kepada orang-orang kafir:

Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Alloh akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu.” (QS. at-Taubah [9]: 52)

Keempat: Mafsadat rojih.
Contohnya khomr (minuman keras) dan perjudian. Alloh berfirman:

Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. al-Baqoroh [2]: 219)

Oleh karena itu, Alloh kemudian melarangnya secara mutlak sebagaimana dalam firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Ma‘idah [2]: 90-91)

Apabila Maslahat dan Mafsadat Berbenturan

Masalah ini tidak lepas dari tiga kemungkinan:
Kemungkinan Pertama:
Benturan antara dua kemaslahatan yang tidak mungkin keduanya dikerjakan. Solusinya, kerjakanlah maslahat yang lebih besar meskipun dengan meninggalkan yang lebih kecil.

Kemungkinan Kedua:
Benturan antara dua mafsadat yang tidak mungkin keduanya ditinggalkan. Solusinya, tinggalkanlah mafsadat yang lebih besar meskipun dengan mengerjakan mafsadat yang lebih kecil.
Syaikh as-Sa’di Rohimahulloh meringkaskan masalah ini dalam kaidah beliau:

الدِّيْنُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمَصَالِحِ فِيْ جَلْبِهَا واَلدَّرْءِ لِلْقَبَائِحِ

فَإِذَا تَزَاحَمَ عَدَدُ الْمَصَالِحِ يُقَدَّمُ الْأَعْلَى مِنَ الْمَصَالِحِ


وَضِدُّهُ تَزَاحُمُ الْمَفَاسِدِ فَارْتَكِبْ الْأَدْنَى مِنَ الْمَفَاسِدِ

Agama ini dibangun atas dasar meraih kemaslahatan
Juga untuk menolak sebuah mafsadat
Maka jika beberapa maslahat benturan
Harus dikedepankan maslahat yang paling besar
Kebalikannya, jika benturan antara beberapa mafsadat
Maka kerjakan mafsadat yang paling ringan.

Kemungkinan Ketiga:
Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka menghindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut.
2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya.
Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’atkan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat menegakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar.
3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah maslahat).

Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).

Contoh penerapan kaidah:
Syaikh Abdurrohman as-Sa’di Rohimahulloh berkata: “Berdasarkan kaidah ini, semua ilmu dan penemuan teknologi modern yang bermanfaat untuk kehidupan manusia baik untuk urusan agama maupun dunia mereka, maka itu termasuk apa yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, juga termasuk apa yang dicintai oleh Alloh dan Rosul-Nya serta termasuk nikmat Alloh yang diberikan kepada para hamba-Nya karena itu semua mengandung maslahat yang dhoruri maupun sekadar sebagai penyempurna sebuah kemaslahatan. Sebab itu, peranti faksimile dan segala penemuan lainnya sangat sesuai dengan kaidah ini. Sebagiannya termasuk perkara yang wajib, sebagiannya lagi ada yang sunnah juga ada yang mubah, itu semua tergantung pada maksud dan hasilnya nanti. Yang mana ini masuk dalam kaidah besar:


الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
(Perantara itu mempunyai hukum maksud dan tujuannya).” (al-Qowa’id hlm. 12)
Kaidah ini insya Alloh akan kita bahas pada edisi mendatang.

Wallohu A’lam.

sumber: http://alfurqon.co.id (silahkan merujuk ke web tersebut untuk mengambil faidah yang lebih banyak)

Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Cina

Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Benarkah menuntut ilmu harus sampai ke Cina?

Benarkah menuntut ilmu harus sampai ke Cina?

Dalam sebuah majalah yang pernah penulis baca, dikisahkan bahwa ada seorang muballigh dari Cina berceramah di hadapan jama’ah Indonesia. Dia mengemukakan hadits ini seraya berkomentar: “Bapak-bapak, ibu-ibu, seharusnya banyak bersyukur karena bapak ibu tidak perlu repot-repot pergi ke Cina, karena orang Cina-nya sudah datang ke sini.”(!)

Sepanjang ingatan penulis pula, hadits ini tercantum dalam buku pelajaran kurikulum Madrasah Tsanawiyah pada masa penulis, entah kalau sekarang. Akan tetapi, ketika ada seorang kawan menyampaikan hadits ini sewaktu latihan ceramah, ada seorang ustadz yang menegur: “Untuk apa menuntut ilmu ke Cina? Ilmu apa yang mau dicari di sana? Ilmu dunia atau agama?”

Yang patut ditanyakan, apakah hadits yang kondang ini shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam? Inilah yang akan menjadi pembahasan kita pada edisi kali ini. Semoga bermanfaat.

Teks Hadits

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ

“Carilah ilmu sekalipun di negeri Cina.”

Derajat Hadits
BATIL.

Hadits di atas diriwayatkan oleh: Ibnu Adi (2/207), Abu Nu’aim (Akhbar Ashbahan: 2/106), al-Khotib (Tarikh: 9/364 dan ar-Rihlah: 1/2), al-Baihaqi (al-Madkhol: 241, 324), Ibnu Abdil Barr (Jami’ Bayanil Ilmi: 1/7-8) dari jalan Hasan bin Athiyah (ia berkata):
Menceritakan kepada kami Abu A’tikah Tharif bin Sulaiman dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam). Mereka semunya menambahkan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia telah disepakati akan kelemahannya. Al-Bukhori Rohimahulloh berkata: “Munkarul hadits.” An-Nasa‘i Rohimahulloh berkata: “Tidak terpercaya.” Abu Hatim Rohimahulloh berkata: “Haditsnya hancur.”

Al-Marwazi Rohimahulloh bercerita: “Hadits ini pernah disebutkan di sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras. Ibnul Jauzi Rohimahulloh mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan berkata: Ibnu Hibban berkata: ‘Hadits batil, tidak ada asalnya.’ Dan disetujui as-Sakhowi.” (al-Maqoshid al-Hasanah hlm. 63)

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits batil dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 416)

Mengkritik Matan Hadits

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rohimahulloh—setelah menjelaskan lemahnya hadits ini—berkata:

“Seandainya hadits ini shohih maka ia tidaklah menunjukkan tentang keutamaan negeri Cina dan penduduknya karena maksud hadits ini—kalaulah memang shohih—adalah anjuran untuk menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh (1). Alasannya, menuntut ilmu merupakan perkara yang sangat penting karena ilmu merupakan penyebab kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang mengamalkannya. Jadi, bukanlah maksud hadits ini adalah negeri Cina itu sendiri melainkan karena Cina adalah negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjadikannya sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas bagi orang yang mau memperhatikan hadits ini.” (at-Tuhfatul Karimah Fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah hlm. 60)

Tambahannya Shohih?
Adapun tambahan dalam hadits ini dengan lafazh:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

Tentang tambahan di atas Syaikh al-Albani Rohimahulloh berkata: “Lafazh ini diriwayatkan dalam banyak sekali jalur dari Anas Rodhiyallohu ‘anhu sehingga bisa terangkat ke derajat hasan sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh al-Mizzi. Saya telah mengumpulkan hingga sekarang sampai delapan jalur. Selain Anas, hadits juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat lainnya seperti: Ibnu Umar, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Ali. Saya sekarang sedang mengumpulkan jalur-jalur lainnya dan menelitinya sehingga bisa menghukumi statusnya secara benar baik shohih, hasan, atau lemah. Setelah itu, saya mempelajarinya dan mampu mencapai kurang lebih dua puluh jalur dalam kitab Takhrij Musykilah al-Faqr (48-62) dan saya menyimpulkan bahwa hadits ini derajatnya hasan.” (at-Tuhfatul Karimah Fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah hlm. 60)

Al-Hafizh as-Suyuthi Rohimahulloh juga telah mengumpulkan jalur-jalur hadits ini dalam sebuah risalah khusus, Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun ’Ala Kulli Muslimin, yang disunting Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dan dicetak oleh Dar Ammar, Yordania.

Namun, perlu kami ingatkan di sini, bahwa hadits ini memiliki tambahan yang populer padahal tidak ada asalnya yaitu lafazh “dan muslimah”.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah.”

Tambahan lafazh وَمُسْلِمَةٍ tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Syaikh al-Albani Rohimahulloh berkata: “Hadits ini masyhur pada zaman sekarang dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ padahal tidak ada asalnya sedikit pun. Hal ini ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhowi. Beliau berkata dalam al-Maqoshid al-Hasanah (hlm. 277):

‘Sebagian penulis telah memasukkan hadits ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalan hadits sedikit pun.’” (Takhrij Musykilatul Faqr hlm. 48-62)

Walaupun begitu, makna tambahan ini benar, karena perintah menuntut ilmu mencakup kaum pria dan wanita. Syaikh Muhammad Rosyid Ridho Rohimahulloh berkata:
“Hadits menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim juga mencakup wanita dengan kesepakatan ulama Islam, sekalipun tidak ada tambahan lafazh dan muslimah. Akan tetapi, matan-nya adalah shohih dengan kesepakatan ulama.” (Huquq Nisa’ Fil Islam hlm. 18)

Semoga Alloh merahmati al-Hafizh Ibnul Jauzi tatkala berkata:
“Saya selalu menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu agama karena ilmu adalah cahaya yang menyinari. Hanya, saya memandang bahwa para wanita lebih utama dengan anjuran ini dikarenakan jauhnya mereka dari ilmu dan menguatnya hawa nafsu pada diri mereka.” Lanjutnya: “Wanita adalah manusia yang dibebani seperti kaum pria, maka wajib atasnya menuntut ilmu agar dapat menjalankan kewajiban dengan penuh keyakinan.” (Ahkam Nisa‘ hlm. 8-11)

Sejarah telah mencatat nama-nama harum para wanita yang menjadi para ulama dalam bidang agama, al-Qur‘an, hadits, syair, kedokteran, dan sebagainya. (Lihat kisah-kisah mereka dalam kitab Huquq Mar‘ah kar. Dr. Nawwal binti Abdulloh hlm. 285-293, ’Inayah Nisa‘ Bil Hadits Nabawi kar. Syaikh Masyhur Hasan Salman)

Hadits-Hadits Lemah Tentang Ilmu
Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim. Namun, bukanlah hal itu berarti kita menganjurkan mereka dan memompa semangat mereka dengan hadits-hadits dusta yang disandarkan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia seperti yang dilakukan oleh banyak penceramah dan penulis. Misalnya hadits:

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ

“Carilah ilmu sejak bayi hingga ke liang kubur.”

TIDAK ADA ASALNYA. Demikianlah yang ditegaskan Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz. (Lihat Ahadits Mardudah kar. Sa’id bin Sholih al-Ghomidi hlm. 12)
Juga:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

“Barang siapa yang menghendaki dunia maka hendaknya dia berilmu. Dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka hendaknya dia berilmu. Dan barang siapa yang menghendaki dunia dan akhirat maka hendaknya dia berilmu.”

TIDAK ADA ASALNYA. Yang benar ini adalah ucapan Imam asy-Syafi’i bukan ucapan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dan masih banyak lagi hadits lemah lainnya yang sering dibawakan untuk menganjurkan manusia agar bersemangat menuntut ilmu (2). Sekali lagi, kita tidak butuh kepada hadits-hadits lemah. Cukuplah bagi kita dalil-dalil dari al-Qur‘an, hadits yang shohih, dan ucapan para ulama. (Lihat kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi kar. Imam Ibnu Abdil Barr dan Miftah Dar Sa’adah kar. Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah)

Penutup
Pembicaraan tentang ilmu panjang sekali. Namun, satu poin penting yang ingin kami tekankan di sini, bahwa banyak para penulis dan penceramah tatkala membawakan dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits—baik yang shohih maupun tidak shohih—tentang menuntut ilmu mereka memaksudkannya untuk ilmu dunia. Hal itu adalah suatu kesalahan, karena setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil tersebut maksudnya adalah ilmu agama, ilmu tentang al-Qur‘an dan sunnah(3). Kita memang tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitektur, pertanian, perekonomian, dan sebagainya tetapi ilmu-ilmu duniawi itu bukanlah yang dimaksudkan dalam dalil-dalil tersebut. Hukumnya (ilmu-ilmu duniawi itu) tergantung pada tujuannya. Apabila ilmu-ilmu duniawi tersebut digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila digunakan dalam kejelekan maka jelek. Perhatikanlah hal ini baik-baik, semoga Alloh menambahkan ilmu bagimu(4) .

sumber: http://alfurqon.co.id (silahkan mengunjungi web tersebut untuk mengambil manfaat yang lebih banyak)
__________________________________________________
(1) Oleh karenanya, rihlah (melakukan perjalanan jauh) untuk menuntut ilmu adalah kebiasaan para ulama salaf (dahulu) dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang menempuh perjalanan berbulan-bulan hanya untuk mencari satu hadits. Kisah-kisah tentang mereka begitu banyak yang sebagiannya telah dikumpulkan oleh al-Khothib al-Baghdadi dalam kitabnya, ar-Rihlah li Tholib Hadits. Cukuplah sebagai contoh, perjalanan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk menemui Nabi Khidhir ‘Alaihissalam dalam rangka menuntut ilmu yang disebutkan oleh Alloh dalam Surat al-Kahfi. Wallohu A’lam.
(2) Lihat buku karangan penulis, Hadits-Hadits Dho’if Populer, hlm. 53-61 cet. Media Tarbiyah, Bogor.
(3) Al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali Rohimahulloh berkata: “Ilmu yang bermanfaat adalah mempelajari al-Qur‘an dan sunnah serta memahami makna kandungan keduanya dengan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Demikian pula dalam masalah hukum halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan sebagainya.” (Fadhlu Ilmi Salaf ’Ala Ilmi Kholaf hlm. 26). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani Rohimahulloh berkata: “Maksud ilmu adalah ilmu syar’i yang mengajarkan pengetahuan tentang kewajiban seorang hamba dalam ibadah dan mu’amalahnya.” (Fathul Bari: 1/92)
(4) Lihat Kitabul Ilmi kar. Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin hlm. 13-14.

Saudariku, Engkaukah Mawar Indah di Taman Itu?

Oleh : al-Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami


Engkaukah mawar itu ??

Bunga mawar itu melalui malam hari dengan kekhusyu’an. Tidak menguncup setelah mekarnya meski diterpa angin dinginnya malam. Mawar itu telah mekar bukan hanya sejak hari kemarin. Dan akan senantiasa indah di kala malam, pagi dan di sepanjang hari. Siapa yang tidak tertegun melihat keelokan sekuntum mawar yang tumbuh subur, mekar dan basah oleh embun pagi, bahkan tak ‘kan layu oleh tatapan sinar mentari? Serasa segar dan meneduhkan pandangan mata. Semua hati ingin memilikinya, lalu menanamnya di taman sendiri. Namun ke manakah ia harus dicari?

Seorang wanita di sisi seorang suami laksana mawar di taman. Suamilah yang akan menikmati keelokannya, dan hanya untuk suami mawar itu tampil menggoda. Sebab suami adalah pemilik yang merawat dan yang memeliharanya. Namun wanita mana yang elok seelok mawar di taman yang hanya mekar untuk suami?

Pertanyaan tersebut tidak akan didapatkan jawabannya selain sifat-sifat keelokannya yang disebutkan oleh Alloh . Ialah sifat isteri sholihah. Ialah isteri idaman dan isteri pujaan. Ialah isteri yang elok bahkan lebih elok dari sekuntum mawar yang mekar dan menawan. Ia lebih anggun dan jauh lebih anggun dari warna-warninya mawar di taman pasutri. Ialah yang Alloh firmankan dalam ayat al-Qur’an:

… maka wanita yang sholih ialah yang taat kepada Alloh lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Alloh telah memelihara (mereka)…. (QS. an-Nisa’ [4]: 34)

Alloh menyebut kesholihan seorang wanita itu ada pada dua sifat saja. Ialah seorang qonitah yang berarti taat dan hafizhoh yang berarti pemelihara.

Aduhai betapa sejuk dan menawannya sebuah taman pasutri yang makmur oleh kesholihan isteri yang senantiasa taat pada perintah dan anjuran kebaikan Alloh Robbnya juga taat pada perintah dan anjuran kebaikan suaminya. Betapa tenteram hati suami sebagai pemilik dan penguasa taman yang dihiasi oleh seorang qonitah. Dan betapa sempurna ketenangan dan ketenteraman suami yang isterinya juga seorang hafizhoh.

Ya, isteri yang hafizhoh. Suami mana yang tidak menaruh kepercayaan penuh pada isterinya, bila isterinya seorang hafizhoh? Suami mana yang masih was-was akan isterinya di rumah tatkala ia harus beranjak berjalan di muka bumi mencari karunia Ilahi bila isterinya seorang yang rapih dalam memelihara diri dan kehormatannya, dan rapih dalam memelihara harta yang dipercayakan kepadanya oleh suaminya? Suami mana yang masih tidak merasa aman akan isterinya bila isterinya seorang yang hafizhoh, memelihara hak-hak Alloh dan hak-hak suaminya di kala suaminya tidak hadir di sisinya dan dengan sangat setia dan senantiasa sabar dalam penantian sebagaimana yang diperintahkan Dzat Yang Maha Rohman?

Sungguh benar, seorang yang sholihah itu ialah mawar yang mekar semerbak harum mewangi hanya untuk Alloh , Robbnya, dan untuk suaminya tercinta. Adalah seorang wanita sholihah itu, yang istiqomah agamanya, yang senantiasa taat pada suaminya dan memelihara hak-hak suaminya yang ada pada dirinya dan pada harta
suaminya. Dan adalah wanita terbaik itu seperti yang dituturkan oleh Rosululloh dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ : أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فيِ نَفْسِهَا وَلاَ فيِ مَالِهِ

Dari Abu Huroiroh berkata: “Nabi ditanya tentang wanita seperti apa yang paling baik, beliau bersabda: ‘Yaitu wanita yang menyenangkan suami bila ia memandangnya, menaatinya bila ia perintah, dan tidak menyelisihi sesuatu yang ia tidak suka pada dirinya dan pada hartanya.’”(1)

Engkaukah wahai saudariku wanita sholihah itu? Engkaukah wahai saudariku mawar yang elok di taman itu? Wahai saudariku para isteri, jadilah engkau mawar-mawar dambaan dan pujaan, yang didamba oleh suamimu yang kau cintai dan dipuji oleh Dzat Yang Maha Tinggi. Dan bila bukan engkau mawar-mawar indah di taman itu wahai saudariku, maka seraya memohon ma’unah dari Alloh , perbaikilah mereka wahai saudaraku para suami, perbaikilah isteri-isterimu, dan Alloh jualah Dzat Yang akan melimpahkan taufiq-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
sumber: http://almawaddah.or.id (silahkan merujuk ke web tersebut untuk mengambil manfaat yang lebih banyak tentang keluarga sakinah dsb.)

Berdzikir dengan “Tasbih” Bolehkah?

Oleh. Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali AM.

Muqoddimah

Kebanyakan orang di tempat kita menganggap bahwa termasuk ciri khas seorang muslim yang taat kepada Alloh adalah selalu berdzikir dengan biji tasbih di tangan. Gambaran ini semakin kuat dengan gambar tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi Islam tampil dengan busana muslim lengkap dengan tasbihnya yang sengaja dibuat dan dijual untuk keuntungan duniawi seperti gambar-gambar wali songo dan lainnya, ditambah lagi tayangan sinetron religi yang sarat dengan kebatilan, apabila menampilkan tokoh agama, hampir dipastikan ada biji tasbih di tangannya.

Dzikir dengan Tasbih

Ada di antara mereka yang selalu terlihat menjalankan tasbih di tangannya walaupun sedang mengobrol dengan rekannya, padahal terkadang pembicaraannya bertolak belakang dengan dzikir. Yang lebih merasa kurang puas, ada yang menggantungkan tasbihnya di leher walaupun mulutnya tidak terlihat berdzikir, tetapi—anehnya—orang menganggap dia selalu berdzikir (mengingat Alloh).
Sebagian lagi meyakini bahwa biji tasbih yang digantungkan di leher adalah ciri khas para malaikat yang sedang berdzikir. Ada pula yang mengatakan bahwa termasuk peninggalan (warisan) Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah biji tasbih. Ada lagi yang menjadikannya sebagai sarana pengobatan alternatif, dan masih banyak tujuan lain digunakannya biji tasbih ini dan tidak mungkin kami sampaikan semuanya.

Hal-hal di atas terjadi tidak lain karena makin jauhnya kaum muslimin dari agamanya. Oleh karena itu, para ulama yang cemburu akan agamanya segera bangkit menjelaskan hakikat biji tasbih ini. Mereka menulis tentang asal-usul dan hukum tasbih dalam agama Islam yang mulia ini (1) . Dan tulisan ini sekadar menyadur dari tulisan mereka. Mudah-mudahan Alloh melapangkan hati kita untuk menerima setiap kebenaran.

Sekilas Tentang Tasbih

Berdzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan petunjuk dengan cara yang paling mudah yang dapat dilakukan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Demikianlah yang diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, dan awal generasi yang setelah mereka. Lalu orang-orang yang datang setelah mereka beranggapan bahwa berdzikir hanya sebanyak hitungan ruas-ruas jari tidak cukup. Berdzikir dalam jumlah yang banyak tidak dapat dilakukan melainkan harus dihitung dengan sesuatu seperti batu kerikil atau biji-bijian, menurut mereka.

Tidak ada satu pun hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih tentang berdzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian. Yang ada hanyalah riwayat-riwayat hadits yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu).

Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid Rohimahulloh menjelaskan(2) bahwa biji tasbih tidak dikenal dalam agama Islam. Ia hanya perkara baru dalam agama (Islam). Biji tasbih adalah alat bantu ibadahnya orang Buddha dan menjadi ciri khusus agama mereka saat itu. Lalu biji tasbih dipakai orang Hindu di India oleh sekte wisnu atau siwa, kemudian juga dipakai oleh orang-orang Nasrani khususnya para pendeta dan rahib-rahibnya, setelah itu berkembang ke sebelah barat Asia. Agama Buddha terpecah menjadi dua aqidah (keyakinan): Mahayana dan Hinayana. Mahayana tersebar di sebagian besar Asia utara seperti Nepal, Tibet, Cina, Jepang, Mongol, Korea, dan lainnya. Sedangkan Hinayana banyak tersebar di Asia Selatan seperti India bagian selatan, Bangladesh, Burma (Myanmar), dan lainnya. Tatkala agama Nasrani muncul, barulah para pendetanya menggunakan biji tasbih ini untuk ibadah mereka. Adapun kaum muslimin maka tidak mengenal biji tasbih ini, kecuali orang-orang muslim yang tidak mengetahui asal usulnya mengambil cara agama lain untuk ibadah mereka.

Sendainya hadits-hadits tersebut dianggap sah(3) , justru yang lebih tampak dari kisah-kisah itu menunjukkan bahwa Rosululloh mengingkari kerikil dan biji-biji tasbih yang digunakan untuk berdzikir dan beliau memberi petunjuk yang lebih afdhol, lebih bagus, lebih sempurna, dan lebih mudah. Dan perkataan “lebih afdhol” atau “lebih bagus” bukan berarti kerikil atau biji tasbih dibolehkan, tetapi justru selain ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya hukumnya dilarang, sebagaimana firman Alloh:

(…. آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩

…. Apakah Alloh yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia? (QS. an-Naml [27]: 59)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Alloh itu lebih bagus daripada sekutu-sekutu selain-Nya, dan bukan berarti sekutu-sekutu itu juga bagus dan dibolehkan (untuk disembah). (Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 11)

Makna Tasbih

“Biji tasbih” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah السُّبْحَةَ , atau مِسْبَحَةٌ , atau مَسَابِيْحُ , atau تَسَابِيْحُ , tetapi pemakaian makna ini hanya menurut kebiasaan yang berjalan saja (4).
Adapun kata السُّبْحَةَ atau التَّسْبِيْحُ dalam hadits-hadits yang shohih maknanya bukan biji tasbih melainkan sholat sunnah, sebagaimana dalam hadits Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ayahnya mengabarinya:

أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ صَلَّى السُّبْحَةَ بِاللَّيْلِ فِى السَّفَرِ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

Bahwa beliau pernah melihat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat sunnah pada malam hari ketika sedang safar di atas kendaraan menghadap ke arah perjalanannya. (HR. al-Bukhori: 1104)

Dzikir Ada Dua Macam

Berdzikir adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat diperintahkan. Dzikir terbagi menjadi dua macam:

1. Dzikir secara mutlak, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka dzikir semacam ini tidak boleh (5)dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang dikhususkan seperti seribu kali dan semisalnya.
Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١

Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. al-Ahzab [33]: 41)

Membatasi suatu ibadah yang tidak dibatasi oleh Alloh adalah menambah syari’at Alloh. Alloh tidak mengikat dengan jumlah tertentu dalam dzikir jenis ini merupakan kemurahan dan kemudahan dari Alloh. Setiap hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan kemampuannya tidak terikat dengan jumlah dzikir tertentu (6).

2. Dzikir muqoyyad, yaitu dzikir-dzikir yang dianjurkan supaya dilakukan dengan hitungan tertentu seperti ucapan Subhanalloh 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali, dan hitungan paling banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100 kali, sebagaimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ قَالَ “سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ” فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barang siapa mengucapkan Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. al-Bukhori: 6042 dan Muslim: 2691)

Berdzikir Disyari’atkan untuk Menggunakan Ruas-Ruas Jari atau Ujung-Ujungnya

Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir muqoyyad adalah dengan menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya, sebagaimana perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:

وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)

Makna اْلأَنَامِلُ

Adapun tentang maknaالأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).

Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya.

Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya.

Dari keterangan di atas jelas bahwa berdzikir disyari’atkan dengan ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari. Dan inilah cara yang paling mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan kemudahan, sehingga kaum muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya tanpa menggunakan alat bantu seperti kerikil, biji-bijian, butiran-butiran tanah liat, atau alat penghitung modern, dan semisalnya.

Sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam Mengingkari Biji Tasbih

Para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka selalu melakukan yang terbaik buat diri dan agama mereka. Oleh karena itu, tatkala menjumpai satu penyimpangan dalam bentuk ibadah mereka segera mengingkarinya. Dalam sebuah hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu menjumpai kaum muslimin berkumpul di masjid menjadi beberapa halaqoh berdzikir dengan biji tasbih, lalu masing-masing ketua halaqoh itu menyuruh anggotanya supaya bertakbir 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertahlil 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertasbih 100 kali, maka mereka lakukan. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan tidak menerima alasan mereka walaupun niat mereka baik dan sekadar menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir mereka, Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu berkata:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ، أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟! قَالُوْا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ! مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ، قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

“Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian ini sedang berada di atas agama yang lebih bagus daripada agamanya Muhammad, atau (kalau tidak) maka kalian ini sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrohman (Ibnu Mas’ud), yang kami inginkan hanyalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. ad-Darimi, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2005)

Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah

Ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran bagi mereka yang membolehkan penggunaan biji tasbih dalam berdzikir, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan kepalsuan sehingga semuanya tidak bisa dijadikan hujjah, di antaranya;

1. Hadits palsu yang disandarkan pada Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘anhu:

نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السَّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضْلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ اْلأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ

“Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi.”

Takhrij hadits:

Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashor Musnad al-Firdaus: 4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah: 2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Author: 2/166-167.

Keterangan:
Hadits di atas adalah MAUDHU’/PALSU (7), dikarenakan beberapa sebab:

  • Sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rowi (periwayat)nya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Di antara rowinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya.
  • Abdush Shomad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khothib al-Baghdadi (14/41), beliau mengatakan: “Para ulama (pakar hadits) telah melemahkannya.”
  • Hadits ini secara makna juga batil karena beberapa perkara (8):
    a. Biji tasbih termasuk perkara baru, tidak pernah digunakan pada zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Munculnya biji tasbih ini setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli bahasa Arab yang mengatakan:

إِنَّ لَفْظَةَ السَّبْحَةِ مُوَلَّدَةٌ لاَ تَعْرِفُهَا الْعَرَبُ

“Sesungguhnya kata subhah (biji tasbih) adalah istilah baru yang tidak dikenal oleh orang Arab).”

b. Hadits di atas menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir.

Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma berkata: “Aku melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1/235, at-Tirmidzi: 4/255, Ibnu Hibban: 2334, al-Hakim: 1/547, al-Baihaqi: 2/253, dishohihkan al-Albani dalam Shohih Abu Dawud: 1346)

Demikian pula bertentangan dengan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir, beliau bersabda:

وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)

2. Hadits palsu yang disandarkan pada Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:

كَانَ النَّبِيُّ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

“Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan kerikil.”

Takhrij hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qosim al-Jurjani dalam Tarikh-nya: 68, dari jalan Sholih bin Ali an-Naufali, menceritakan kepadanya Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami, menceritakan kepadanya Ibnul Mubarok dari Sufyan ats-Tsauri dari Samiy, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu terangkat (sampai) kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Keterangan (9):

Hadits di atas MAUDHU’/PALSU karena Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami tertuduh dusta.

Imam adz-Dzahabi—dalam Mizanul I’tidal—berkata: “Dia (al-Qudami) adalah salah satu rowi lemah, demikian dalam al-Lisan dikatakan bahwa Ibnu Adi dan ad-Daruquthni melemahkannya.”
Ibnu Hibban berkata: “Dia membalik hadits-hadits. Barangkali (kira-kira) dia telah membalik riwayat Imam Malik lebih dari 150 hadits. Dia juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad satu kitab yang kebanyakan (hadits)nya terbalik.”

Imam al-Hakim dan an-Naqqosy berkata: “Dia juga meriwayatkan hadits dari Malik banyak hadits yang palsu.”
Abu Nu’aim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.”

3. Hadits Shofiyah bintu Huyay istri Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam (10), beliau berkata:

:دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ وَ بَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آَلاَفِ نُوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ حُيَيْ، مَا هَذَا؟ قُلْتُ


أُسَبِّحُ بِهِنَّ، قَالَ: قَدْ سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَلَى رَأْسِكَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا، قُلْتُ: عَلِّمْنِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. قَالَ: قُوْلِي: سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Wahai Bintu Huyay, apa ini?’ Aku menjawab: ‘(Biji kurma) ini kupakai untuk bertasbih.’ Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak sejak aku beranjak dari sisi kepalamu daripada (tasbihmu) ini.’ Aku berkata: ‘Ajari aku (yang lebih banyak dari ini) ya Rosululloh!’ Beliau bersabda: ‘Ucapkan

سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

(Aku bertasbih sebanyak apa yang Alloh ciptakan dari segala sesuatu apa pun).’”

Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 4/274, Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Fawa‘id: 37/255/1, al-Hakim: 1/547, dari jalan Hasyim bin Sa’id dari Kinanah maula Shofiyah dari Shofiyah.

Keterangan:
Hadits ini DHO’IF/LEMAH (11), didho’ifkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan: “Hadits ini ghorib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalannya Hasyim bin Sa’id al-Kufi dan sanad beliau tidak dikenal.”
Ibnu Ma’in berkata tentang Hasyim al-Kufi: “Dia tidak ada apa-apanya.”
Ibnu Adiy berkata: “Apa yang diriwayatkan tidak dapat dikuatkan dengan yang lain.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dia adalah dho’if (lemah).”

Demikian juga salah satu rowi hadits ini bernama Kinanah, dia rowi yang majhul (tidak dikenal), tidak ada yang menyatakan dia terpercaya kecuali Ibnu Hibban. Akan tetapi, terdapat penguat lain meriwayatkan dari Kinanah seperti Zuhair, Hudaij (keduanya putra Mu’awiyah), Muhammad bin Tholhah bin Mushorrif, dan Sa’dan bin Basyir al-Juhani, empat orang tersebut semuanya terpercaya ditambah lagi riwayat Yazid al-Bahili hanya beliau dinyatakan terpercaya oleh beberapa ulama dan dinyatakan dho’if oleh yang lainnya. Oleh karena itu, cacat hadits ini hanyalah pada Hasyim bin Sa’id al-Kufi yang majhul (tidak dikenal) sehingga hadits ini dho’if, dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Berdzikir Dengan Kedua Tangan atau Tangan Kanan Saja?

Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.

Pendapat pertama (12)mengatakan bahwa berdzikir boleh menggunakan kedua tangannya baik kiri atau kanan. Dalilnya:

  • Keumuman hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan “tangannya”, dan tangan mencakup tangan kanan dan kiri, sebagaimana dalam sebuah hadits;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَدِهِ

Dari Abdulloh bin Amr bin Ash Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangannya.” (HR. at-Tirmidzi: 3486)

  • Adapun lafazh hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya, maka hadits ini tergolong hadits syadz (ganjil) yaitu hadits yang menyelisihi riwayat yang lebih shohih yaitu riwayat yang umum mencakup semua tangan.

Pendapat kedua (13) mengatakan bahwa berdzikir hanya dengan tangan kanan saja lebih afdhol. Dalilnya:

  • Ada sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya saja, sebagaimana hadits berikut;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

Dari Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1330 dan dishohihkan oleh al-Albani (14)dalam Sislsilah Dho’ifah: 1002)

Pendapat yang Kuat

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

Pendapat yang kuat insya Alloh adalah pendapat yang kedua yaitu berdzikir hanya dengan tangan kanan saja tidak selayaknya dengan tangan kiri, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah hlm. 320), beliau berkata: “Sungguh telah sah dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa berdzikir dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat kebanyakan hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi berdzikir dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan sunnah yang sah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.”

Pendapat ini sejalan dengan hadits lain yang muttafaq ’alaihi tentang menggunakan anggota badan yang kanan dalam perkara yang terpuji, di antaranya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِ هِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian kanan baik dalam bersandal, bersisir, bersuci, dan setiap urusannya.” (HR. al-Bukhori 1866 dan Muslim 268)

Adapun perkataan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanan saja termasuk hadits syadz (ganjil/janggal), maka pendapat ini tidak benar karena keduanya tidak bertentangan, justru satu dengan yang lain saling melengkapi dan menjelaskan yang masih umum/global.

Beberapa Mafsadat Biji Tasbih

Setelah jelas bahwa biji tasbih tidak disyari’atkan dalam berdzikir, kita juga menjumpai beberapa perkara terjadi pada orang yang menggunakan biji tasbih, di antaranya:

  • Penggunaan biji tasbih akan mengabaikan sunnah Rosul Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang lebih mulia dan akhirnya terjatuh kepada larangan Alloh yang ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana dalam firman-Nya:

…. Apakah engkau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?…. (QS. al-Baqoroh [2]: 61)

  • Menggunakan biji tasbih membuat pelakunya lalai dengan apa yang ia ucapkan, dan kita bisa menyaksikan banyak di antara mereka yang menggunakan biji tasbih sedangkan matanya ke sana kemari, karena mereka sudah tahu benar jumlah dzikirnya sesuai dengan jumlah biji tasbih. Berbeda dengan orang yang berdzikir dengan jari-jarinya, dia lebih khusyuk, tidak lalai, dan berusaha mengetahui hitungan dzikirnya dengan jari-jarinya(15).
  • Menggunakan biji tasbih sangat dikhawatirkan menimbulkan riya‘ (niat ingin dilihat) dan sum’ah (niat ingin didengar) di dalamnya. Kita jumpai banyak di antara mereka mengalungkan biji tasbih yang sangat panjang dan besar, seakan-akan jiwanya berkata kepada kepada manusia: “Lihat wahai manusia, aku selalu berdzikir sebanyak jumlah biji tasbih ini(16).”
  • Menggunakan biji tasbih adalah ciri khusus ibadahnya orang Buddha dan Hindu, apabila kita melakukannya maka kita terjatuh pada pelanggaran terhadap larangan menyerupai mereka, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4347)

Penutup

Dzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna, yang telah diamalkan oleh generasi terbaik umat ini. Dalam ibadah agama Islam tidak pernah mengenalkan biji tasbih kepada pemeluknya. Oleh karena itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak menggunakannya dalam ibadah. kemudian sebagian orang setelah generasi terbaik ini, bersusah payah ingin ibadahnya lebih banyak dan lebih mantap menurut pikiran mereka, lalu mereka meniru kebiasaan orang Buddha, Hindu, dan para pendeta Nasrani dalam ibadahnya, dan tatkala para sahabat mengetahui hal baru ini mereka segera mengingkarinya, untuk menjaga kemurnian agama Islam ini, lalu selanjutnya para ulama kemudian juga mengikuti jalan para salafush sholih dalam berdzikir dan mengingkari hal-hal yang baru dalam agama ini.

Wallohu A’lam.

Labels

comment

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker