WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

KESALAHAN-KESALAHAN (BID’AH) DALAM MAJELIS

KESALAHAN-KESALAHAN (BID’AH) DALAM MAJELIS


Berikut ini adalah merupakan kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh ahli
majelis baik secara sengaja maupun tak sengaja, bahkan sebagian kesalahan dilakukan oleh
ahli majelis dan mereka menganggapnya sebagai suatu hal yang baik, padahal syari'at Islam
tidak pernah menuntunkannya. Namun, sebelum menyebutkan kesalahan-kesalahan tersebut,
ada baiknya kita fahami dulu Qo’idah Bid’iyyah (Kaidah-kaidah yang bisa menjadikan amal
tergolong bid’ah) sebagai dasar berpijak, agar tak menimbulkan bias dan mispersepsi.
QO’IDAH BID’IYYAH
1. Ta’rif (Definisi) Bid’ah.
Bid’ah menurut bahasa/etimologi bermakna (ikhtira’) yaitu sesuatu yang
diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, misalnya perkataan orang Arab :
(artinya: Allah telah mengadakan makhluk dari tidak ada menjadi ada tanpa ada contoh
sebelumnya, atau disingkat Allah telah menciptakan makhluk). Atau sebagaimana pula dalam
firman Allah :
artinya : Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya (Al-Baqarah : 117).
Bid’ah menurut istilah/terminologi adalah :
artinya : “Cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk
melebihkan dalam beribadah kepada Allah”9. Hal ini mengacu kepada sabda Nabi _ yang
diriw ayatkan oleh Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha, bersabda Nabi _:
artinya : “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang
tidak ada perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riw ayat Muslim, bersabda
Nabi _ :
artinya : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari
perkara ini (agama) maka ia tertolak. (HR Muslim) 10
2. Dalil haramnya bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.11
•Dalil dari Al-Qur’an :
9 Al-I’tisham I/37
10 Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 23-26
11 Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 91-105
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia;
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan
kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu bertakwa.”12
Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky13, menafsirkan (dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan
السبل (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.
•Dalil dari hadits Rasulullah _
Dari Ummul Mu’minin 'Aisyah Radhiallahu ‘anha bersabda Rasulullah _ “Barangsiapa
yang mengada-adakan di dalam urusan (agama) ini suatu perkara yang tidak ada
perintahnya maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi), dalam riwayat Muslim, bersabda Nabi
_ : “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada perintahnya dariku dari
perkara ini (agama) maka ia tertolak.” (HR Muslim)
Bersabda Rasulullah _ : "Adapun setelah itu, sesungguhnya sebenar-benar kalam adalah
Kalam Allah _ dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad _. Sedangkan seburukburuk
suatu perkara adalah perkara yang mengada-ada (muhdats) dan tiap-tiap muhdats itu
Bid’ah dan tiap kebid’ahan itu neraka tempatnya." (Muttafaq ‘alaihi)
Dari ‘Irbadh bin Sariyah, bersabda Rasulullah _ : “Barangsiapa yang hidup
sepeninggalku nanti, akan melihat perselisihan yang banyak, maka peganglah
sunnahku dan sunnah Khalifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk, genggamlah
dengan kuat dan gigitlah dengan gerahammu, jauhilah olehmu perkara yang muhdats
(mengada-ada), karena tiap muhdats itu bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim)
Dari hadits di atas, dinyatakan bahwa كل بدعة ضلالة (Tiap bid’ah itu sesat), yakni
hal ini menunjukkan secara terang dan nyata bahwa tidak ada bid’ah hasanah, karena
Rasulullah _ telah menjelaskan secara gamblang bahwa (Tiap bid’ah itu
sesat). Para ulama’ sepakat bahwa kata كل (Kullu) yang diikuti oleh ism
naaqirah (obyek indefinitif) bukan ‘ism ma’rifat (obyek definitif) tanpa adanya
istitsna’ (pengecualian), maka ia terkena keumuman dari kata كل (Kullu) tersebut.
Sehingga bermakna, bahwa semua bid’ah tanpa terkecuali adalah sesat!!! Maka
batallah pernyataan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa bid’ah itu ada
yang hasanah.
12 QS Al-An'am (6) : 153
13 Beliau adalah Sa'id bin Jubair, ulama’ Tabi'in yang ahli tafsir dan pakar di zamannya
Imam Malik, sebagaimana dinukil oleh Imam Syathibi dalam I’tisham14,
menyatakan secara tegas bantahan terhadap orang-orang yang menyatakan
keberadaan bid’ah hasanah, beliau rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam dan menganggapnya
sebagai suatu hal yang hasanah, sungguh ia telah menuduh Rasulullah _
mengkhianati risalahnya, karena Allah _ telah berfirman : Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka apa-apa yang bukan bagian
agama pada hari itu (ayat ini diturunkan) maka bukanlah pula termasuk agama pada
hari ini.”15
3. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.
Tauqifiyyah maksudnya adalah (Tidaklah
ditetapkan dan diamalkan kecuali jika berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah)16
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ubudiyah17 menjelaskan tentang dua
pondasi dasar dalam ibadah, yakni :
1. Tidak boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah ta'ala semata (ikhlash)
2. Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan-Nya dan
haram beribadah dengan berbagai macam bid’ah.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in18 berkata : “Bahwa asal di
dalam ibadah adalah batal dan haram sampai tegak dalil yang memerintahkannya.”
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya19, mengatakan : “Bahwa di dalam masalah ibadah
hanya terbatas pada nash, tidak bisa dipalingkan dengan berbagai macam qiyas
(analog) dan ra'yu (akal fikiran). “
Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan berkonklusi) kaidah
ushul fiqh yang berbunyi :
yang artinya, “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram
atau hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash, dalil atau hujjah
yang memalingkannya. Maksudnya adalah terlarang dan haram beribadah hingga
telah terang dan jelas bagi kita akan dalilnya dari Kitabullah atau hadits Rasulullah _.
Sehingga dengan kaidah ini, syari'at Islam akan senantiasa murni dan terjaga dari
kontaminan-kontaminan hawa nafsu dan apa-apa yang bukan dari Islam, akan terjaga
dari penyelewengan para munharifin (kaum yang menyimpang), dan Islam tetap
14 Al-I’tisham (I/49)
15 ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20
16 Lihat Kitabut Tauhid ‘Aliy Lishshoffil awwal Syaikh Sholih Fauzan Al Fauzan hal. 11.
17 Ubudiyah, hal. 127
18 I’lamul Muwaqqi’in juz I hal. 334
19 Tafsir Al-Qur’anil Adhim (IV/258)
menjadi agama yang terbedakan dari agama lainnya yang dengan segala
kesempurnaannya tak membutuhkan penambahan dan pengurangan. Karena jika kita
menambahkan sesuatu dalam agama ini padahal agama ini telah sempurna, ataupun
menguranginya, berarti pada hakikatnya kita menganggap sesuatu itu kurang, sehingga
perlu kita tambahkan dan kita kurangi.20
4. Pembagian Ibadah dan dhowabithnya
Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah :
artinya : “Suatu nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah _ dan
diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir maupun bathin”.
Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i menjelaskan syarat
yang harus dipenuhi dalam ibadah, bahwa sebagaimana ketika Fudhail bin Iyadh
menerangkan ayat
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya”21. Beliau menerangkan bahwa (yang lebih baik
amalnya) adalah “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)”. Jadi
syarat mutlak dalam ibadah adalah :
1. Ikhlash lillahi _ dan menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar22 maupun
syirik akbar23.
2. Mutaba’ah li Rasulillah dan menjauhkan diri dari bid’ah dan muhdats.
Syaikh 'Utsaimin melanjutkan, “Perlu diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan
dapat tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam
enam perkara:
1. Sebab, yakni jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab
yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud
(tertolak). Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27
Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah
_, adalah bid’ah, dikarenakan sholat tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang
tidak ditetapkan dengan syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah
sunnah. Namun karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya
menjadi bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya, jika tidak
maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang menyembelih kuda untuk kurban
adalah tidak sah, karena menyelisihi syari'at dalam ketentuan jenis hewan
kurban, yang disyari'atkan hanyalah unta, sapi dan kambing.
20 Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 69-73
21 QS Al-Mulk (67) : 2
22 Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja, seperti
riya’, sum’ah, dan lain-lain.
23 Syirik yang membatalkan keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam serta menghapus seluruh amalnya, seperti
menyembah berhala atau wali-wali selain Allah, tabaruk (ngalap berkah) pada mayit, dan lain-lain.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika
menyelisihinya maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang sholat dhuhur 5
rakaat, dengan menambah bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi
termasuk bid’ah yang nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara membasuh kaki
terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya, karena
menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada orang yang menyembelih binatang kurban pada
hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak
sebagaimana yang diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di Masjid, maka tidak sah
I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan di masjid, tidak pada selainnya.
Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah Bid’ahnya menukil pembagian
ibadah menjadi dua macam, yakni :
1. Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh
Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara
khusus dan terperinci. Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan
berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas) jumlah, waktu,
tempat maupun sifatnya. Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah
_ bersabda, “Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini
adalah umum, tidak diterangkan beliau _ akan batasan waktunya,
bilangannya, dan tempatnya.
2. Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu,
tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh
Rasulullah _. Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang
menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.
5. Ta’rif Sunnah dan sunnah adalah lawan bid’ah.
Sunnah menurut bahasa adalah (jalan/cara), (jalan), dan
(manhaj/metode). Adapun menurut istilah adalah
“Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi _ dari perbuatan atau perkataan atau
persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan beliau _”. Sunnah ditinjau dari
pemahamannya ada dua, yakni :
1. Sunnah menurut fuqoha’ (ahli fiqh), adalah bermakna mandub/hukum.
Maksudnya adalah jika diamalkan mendapatkan pahala namun jika ditinggalkan
tidaklah mengapa dan tidak disiksa.
2. Sunnah menurut muhadditsin (ahli hadits), adalah bermakna hadits,
sebagaimana definisi sunnah menurut istilah di atas, sehingga ada sunnah yang
berhukum wajib dan ada yang sunnah.
Adapun ditinjau dari pelaksanaannya, sunnah dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Sunnah Fi’liyah, yakni Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi _ dari
perbuatan atau perkataan atau persetujuan ataupun sifat akhlak dan penampilan
beliau _. Hukumnya ada yang wajib dan ada yang sunnah, melaksanakannya
adalah suatu kewajiban.
2. Sunnah Tarkiyah, yakni apa-apa yang disangka sebagai suatu sunnah dan
dinisbatkan kepada Rasulullah _, padahal beliau tidak pernah menuntunkannya,
meninggalkannya adalah wajib dan melaksanakannya adalah bid’ah.
Jadi jelas bahwa meninggalkan sunnah adalah suatu bid’ah dan meninggalkan bid’ah
adalah sunnah, kedua-duanya tak dapat dipersatukan untuk selama-lamanya, sebab ia
bagaikan air dan minyak, ia bagaikan langit dan bumi. Sebagaimana dalam kalimat
tauhid terkandung nafyu (penafian/peniadaan) dan itsbat (penetapan), yakni
nafyu terhadap segala bentuk kesyirikan dan itsbat terhadap tauhid ibadah lillah.
Demikian pula bid’ah dan sunnah, mengetahui bid’ah adalah suatu keniscayaan agar
terhindar darinya dan lebih memahamkan akan hakikat sunnah itu sendiri,
sebagaimana ucapan seorang penyair :
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengamalkan keburukan, tetapi untuk
menghindarinya
dan barang siapa yang tidak mengetahui antara kebaikan dan keburukan,
niscaya ia terjerumus ke dalamnya”
Bahkan mengetahui sesuatu dengan cara mengetahui kebalikannya adalah selaras
dengan firman Allah :
“Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”24. Sebagaimana tauhid
tidaklah diketahui kecuali dengan menjauhi lawannya, yakni syirik, dan iman takkan
terealisasi kecuali dengan menjauhi lawannya, yaitu kufur. Demikian pula, sunnah
takkan jelas dan tanda-tandanya takkan terang, kecuali dengan mengenal lawannya,
yaitu bid’ah.
Sungguh indah perkataan Ibnu Qutaibah :
“Hikmah dan qudrah takkan sempurna melainkan dengan menciptakan lawannya agar
masing-masing diketahui dari pasangannya. Cahaya diketahui dengan adanya
kegelapan, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan
adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adnaya kemudharatan, dan rasa
manis diketahui dengan adanya rasa pahit.”25
6. Pembagian Bid’ah dan bahaya serta kerusakannya terhadap ummat.
Telah dijelaskan bahwa bid’ah seluruhnya adalah sesat, dan adalah tidak benar
menganggap bid’ah ada yang hasanah, dengan hujjah dan alasan yang telah
disebutkan. Para ulama’ membagi bid’ah menjadi dua26, yakni :
24 QS Al-Baqarah (2) : 256. Kalimat تِ _ُ __ ___ ْ ِ __ ْ ُ__ ْ َ __َ _َ (barang siapa yang ingkar dengan thaghut) menunjukkan nafyu terhadap
thaghut dan segala bentuk kesyirikan sedangkan _ِ __ __ ْ ِ _ ْمِ__ وَُ (barangsiapa yang iman kepada Allah) menunjukkan itsbat
terhadap Allah sebagai ilah Al-Haq (satu-satunya sesembahan yang benar).
25 Ta’wil Mukhalafil Hadits hal. 14, disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 37-41.
26 ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 147-148
1. Bid’ah Haqiqiyah : Suatu macam bid’ah yang tidak ditunjukkan sedikitpun suatu
dalil syar'i dari segala sisi, baik secara ijmal (global), apalagi secara tafshil
(terperinci). Contoh : Peringatan Maulid Nabi27, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an,
Tahlilan28, Demonstrasi29, dan lain-lain.
2. Bid’ah Idhafiyah : Suatu macam bid’ah yang jika ditinjau dari satu sisi ia
memiliki dalil/hujjah, namun jika ditinjau dari sisi lain, tak ada tuntunan syariatnya
dari Rasulullah _. Dengan cara, memutlakkan ibadah muqoyyad ataupun
sebaliknya, memuqoyyadkan ibadah mutlak, tanpa ada keterangannya dari
Rasulullah. Contoh : Dzikir jama’i30, membasuh kaki hingga lutut ketika
berwudhu’, membaca yasin tiap malam jum’at31, dan lain-lain.
Termasuk dalam kerangka cemburu kepada Allah, Rasul-Nya dan agama-Nya, adalah
menafikan hal baru yang disandarkan kepada agama, menjauhinya dan mentahdzirnya
(memperingatkan ummat dari bahayanya). Sebab praktek bid’ah akan menimbulkan
beberapa kerusakan sebagai berikut:
1. Orang-orang awam akan menganggap dan meyakininya sebagai suatu yang
benar atau baik.
2. Menimbulkan kesesatan bagi ummat dan menolong mereka untuk mengerjakan
yang salah.
3. Jika yang melakukan bid’ah itu orang yang alim, dapat menimbulkan khayalak
mendustakan Rasulullah _. Karena mereka menganggap ini sunnah dari
Rasulullah _ padahal beliau _ tak pernah menuntunkannya.
4. Sunnah menjadi samar dengan bid’ah, akibatnya seluruh sendi agama menjadi
samar pula, sehingga kesyirikan, khurofat dan takahayul menjadi samar.
5. Padamnya cahaya agama Allah, karena kebid’ahan merupakan sumber
perpecahan dan penghalang turunnya pertolongan Allah, akibatnya ummat Islam
selalu terlingkupi kehinaan dan kekalahan.
27 Masalah ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang nyata, dan tidak khilaf para ulama’ Salaf tentangnya. Telah banyak pula
bantahan para ulama’ baik Salaf dan kholaf tentang peringatan Maulid Nabi yang bid’ah ini. Syaikhul Islam menerangkan
bahwa bid’ah ini pertama kali dihembuskan oleh para zanadiqah (munafiqin) Syi'ah ketika mereka berkuasa pada era bani
Fathimiyyah. Syi'ah dan Shufi merupakan dedengkot utama tersebarnya bid’ah, syirik dan khurofat di tengah-tengah ummat
Islam. Namun, sangat menyedihkan, ketika sebagian harokah da’wah yang merebak saat ini, mereka terjebak dengan bid’ah
semacam ini. Termasuk juga peringatan-peringatan hari besar Islam lainnya.
28 Tahlilan atau peringatan kematian telah banyak dijelaskan oleh para ulama’ akan bid’ah dan bahayanya. Budaya di Indonesia
dengan 40 hari, 100 hari, 1000 hari, dan seterusnya adalah adat yang berangkat dari keyakinan syirik dan khurafat bid’ah,
peninggalan dari sisa-sisa I’tiqad agama Hindhu yang paganis dan berhalais.
29 Tidak syak lagi, demonstrasi atau Mudhoharoh, yang seolah-olah telah menjadi wasilah dalam amar ma’ruf nahi munkar
terutama terhadap penguasa dan memperjuangkan penegakan syari'at Islam, adalah bid’ah baru yang berasal dari sistem
kufur yang tak dikenal di dalam Islam, yaitu Demokrasi. Menegakkan demonstrasi pada hakikatnya adalah tasyabbuh ‘alal
kuffar (meniru golongan kafir) dalam metode dan cara. Padanya terdapat kerusakan-kerusakan seperti ikhtilat, keluarnya
wanita-wanita ke jalan, khuruj terhadap pemerintah, dan lain-lain.
30 Dzikir Jama’i yang sekarang lagi digandrungi masyarakat, dan laku bak kacang goreng, adalah metode ibadah yang bid’ah.
Karena Islam tak pernah mengajarkan berdzikir secara jama’ah dan dipimpin oleh seorang Imam. Hal ini menunjukan bahwa
metode da’wah ala dzikir jama’i, seperti acara Indonesia berdzikir yang dipimpin oleh Arifin Ilham –semoga Allah memberi
hidayah pada penyusun dan pada beliau- adalah metode ibadah yang bid’ah. Dikatakan bid’ah, karena pada satu sisi,
memang ada dalil yang menunjukkan anjuran berdzikir, namun pada sisi kaifiyat pelaksanaan, sesungguhnya tak ada satupun
dalil yang warid dari Rasulullah _ menerangkan akan metode berdzikir demikian. Sehingga dikatakan termasuk sebagai
bid’ah idhafi.
31 Pada hakikatnya, membaca Al-Qur’an adalah termasuk sunnah Rasulullah _, namun yang menjadi permasalahan adalah jika
kita mengkhusukan suatu surat atau ayat dari Al-Qur’an, dan juga mengkhusukan waktu tertentu, seperti membaca surat
Yasin setiap malam Jum’at, tanpa didasarkan dari dalil, atau tidak beranjak dari hujjah. Maka amalan ibadah ini, disebabkan
oleh pengkhususan waktu dan jenis ayat yang tak pernah dituntunkan oleh Nabi, maka amalam tersebut menjadi amalan
bid’ah.
7. Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah
Imam Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani rahimahullah dalam kitabnya Ahkamul Jana-iz wa bid’uha32 menjelaskan
delapan perkara yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah :
1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun
dari hasil ijtihad.
2. Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada Allah, namun
Rasulullah _ melarangnya atau tidak menuntunkannya.
3. Setiap perkara yang tidak mungkin di syariatkan kecuali dengan nash
(tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka ia adalah bid’ah, kecuali amalan
sahabat.
4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.
5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa
ada dalil yang mendukungnya.
6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’
7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.
8. Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi oleh manusia
seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada dalil khususnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal yang diada-adakan dalam
permasalahan agama adalah tercela dan jelek sekali. Karena sebagaimana perkataan
Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa
“Sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan,
pelaku maksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena ia mengetahui bahwa
maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah yang
mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai suatu sunnah.
Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :
“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik”33. Maka
janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia
menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud Radhiallahu
‘anhu berkata :
“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.”34
32 Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242.
33 Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam Al-Madkhal ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-
Sunnah (no 70) dengan tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.
34 Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan An-Nakha'i. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil
Bida’ hal. 20.
KESALAHAN (BID’AH) DALAM MAJELIS
Menginjak kesalahan-kesalahan (bid'ah-bid'ah) dalam majelis, di antaranya :
1. Ra'isul majelis mengajak jama’ah (ahli majelis) membaca atau mengucapkan
basmalah secara bersama-sama, dengan suara yang jahr (keras) dalam rangka
membuka majelis.35 Termasuk pula membaca Al-Fatihah pada permulaan majelis
sebagai pembuka.
2. Membuka majelis dengan senantiasa melazimkan tilawah Al-Qur’an, yakni dengan
cara menyuruh seseorang membaca ayat dari Al-Qur’an.36 Mengenai hal ini, dalam
kitab Al-Bida’37, Syaikh Muhammad bin Shalih 'Utsaimin rahimahullah, ditanya
sebagai berikut :
Pertanyaan : Pembukaan muhadharah (ceramah) dan nadwah (pertemuan) dengan
membaca sesuatu dari Al-Qur’an, apakah termasuk perkara yang disyari'atkan?
Jawab : Saya tak mengetahui sunnah yang demikian dari Rasulullah _, padahal
Nabi ‘alaihi sholatu wa salam pernah mengumpulkan para sahabatnya ketika
hendak perang atau ketika hendak membahas perkara penting kaum muslimin,
tidaklah aku ketahui, bahwa Nabi membuka pertemuan tersebut dengan sesuatu
dari Al-Qur’an. Akan tetapi jika pertemuan atau muhadharah tersebut mengambil
suatu tema/bahasan tertentu dan ada seseorang yang ingin membaca sesuatu dari
Al-Qur’an yang ada hubungannya dari bahasan tema tersebut untuk dijadikannya
sebagai pembuka, maka tidaklah mengapa. Dan adapun menjadikan pembukaan
suatu pertemuan atau muhadharah dengan ayat Al-Qur’an secara terus menerus
seolah-olah sunnah yang dituntunkan, maka yang demikian ini adalah tidak layak
diamalkan.38
3. Selalu mengucapkan atau memulai dengan salam setiap hendak berbicara dalam
majelis, baik saat akan memberikan usulan di tengah-tengah majelis ataupun setiap
35 Bid’ah dari amalan ini adalah dari segi :
- Mengucapkan basmalah secara bersama-sama, padahal Rasulullah _ tak pernah menuntunkan mengucapkan
basmalah secara jama’i (bersama-sama).
- Mengucapkannya dengan jahr (keras), dimana dhowabithnya jika dilazimkan (disenantiasakan) akan terjerumus
kepada sunnah baru (bid’ah).
- Membacanya basmalah adalah masyru’ (disyari'atkan) pada permulaan melakukan sesuatu, namun biasanya, ra'isul
majelis membacanya pada pertengahan majelis, ini berarti menyelisihi sunnah.
Ini semua, jika disenantiasakan atau dilakukan terus menerus, maka tak syak lagi termasuk bid’ah.
36 Bid’ah tilawah ini ditinjau dari segi :
- Menyenantiasakan membaca Al-Qur’an pada pembukaan majelis atau muhadharah (pengajian,ceramah), maka hal ini
termasuk memuqoyyadkan ibadah qiro’ah Al-Qur’an dengan waktu khusus, yakni pada saat akan bermajlis, padahal
tak ada satu pun sunnah yang menunjukkan hal demikian. Apalagi jika timbul perasaan ataupun pikiran, jika tidak
tilawah, ada yang kurang dalam majelis tersebut , maka ini adalah bid’ah yang nyata.
- Menyuruh seseorang membaca Al-Qur’an, padahal biasanya ra'isul majelis yang membuka majelis telah membaca
ayat-ayat Al-Qur’an pada muqoddimahnya, maka yang demikian pada hakikatnya telah mencukupi.
- Terkadang, ayat yang dibaca berlainan dengan bahasan atau tema majelis/muhadhoroh. Misalnya, dalam
muhadhoroh yang membahas mengenai pernikahan, dibacakan ayat-ayat tentang qishahs atau jihad. Ini adalah
kurang sesuai atau tidak pada tempatnya.
37 Al-Bida’ wal Muhdatsat wa ma la ashla lahu hal. 539-540, kitab ini merupakan kitab kumpulan dari fatwa-fatwa Kibaril Ulama’
dan Lajnah Da’imah seputar permasalahan bid’ah.
38 Dari penjelasan Syaikh 'Utsaimin rahimahullah tersebut, tampak bahwa :
- Jika sekiranya tilawah Al-Qur’an disenantiasakan secara terus menerus, seakan-akan sunnah yang dituntunkan, maka
dikhawatirkan terjerumus kepada bid’ah.
- Jika sekiranya dilakukan pada sesekali waktu, dan mengambil tema yang ada hubungannya dengan bahasan, maka
yang demikian adalah diperbolehkan, selama tidak dilaksanakan terus menerus.
dimintai pendapat. Yang termasuk sunnah adalah mengucapkan salam setiap akan
masuk atau meninggalkan majelis.39
4. Mengakhiri majelis dengan mengajak jama’ah (ahli majelis) untuk membaca
sholawat, hamdalah, istighfar dan kafaratul majelis secara bersama-sama, dengan
suara yang jahr dan secara terus menerus.40
5. Mengakhiri majelis dengan selalu berdo’a, di mana ahli majelis mengamini bacaan
do’a ra'isul majelis. Lebih parah lagi jika ra'isul majelis menyebut “Al-Fatihah!!!” pada
akhir do’a dengan keras, dan jama’ah membacanya secara bersama-sama,
kemudian mengusap wajah dengan telapak tangan. 41
6. dan kesalahan-kesalahan lainnya yang menyelisihi kaidah amaliyyah sehingga
termasuk ibadah, dan kesalahan-kesalahan lainnya yang bersifat adab,
sebagaimana dalam penjelasan di depan.
Demikianlah risalah ini kami susun, semoga dapat mengambil manfaat orangorang
yang memang bermaksud beristifadah (memetik manfaat) dengan risalah ini.
Kesalahan dan kekurangan dari risalah ini berasal dari kelemahan kami dan syaithan
yang senantiasa menghembuskan was-was dan kesamar-samaran. Adapun yang haq
maka datangnya mutlak dari Allah, jika ada di antara
ikhwah yang tidak puas dengan materi risalah ini, maka kami siap untuk berdiskusi
dalam rangka, bukan untuk jidal/debat buta. Sesungguhnya yang
kita ikuti dalah hujjah dan dalil, bukanlah individu, sebagai pengejawantahan firman
Allah :
artinya : “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in
menjelaskan bahwa, (Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu), jika seorang muslim berselisih pendapat dalam suatu hal, di sinidalam
bentuk naaqirah (indefinitif), yang menunjukkan bahwa permasalahan yang
diperselisihkan bukan terbatas masalah agama saja, namun masalah umum
39 Salam adalah termasuk ibadah mutlak, dan untuk memuqoyyadkan dibutuhkan dalil khusus. Adapun selalu mengucapkan
salam selama di tengah-tengah majelis adalah termasuk perkara yang tak ada tuntunannya dari Rasulullah _. Karena dalil
yang warid dari Rasulullah _ adalah salam setiap hendak meninggalkan majelis ataupun memasukinya.
40 Yang menjadi titik rawan terjerumusnya kepada bid’ah amalan ini adalah :
- Membacanya dengan bersama-sama/jama’i, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan kaifiyat yang demikian dari
hadits-hadits Rasulullah _.
- Membacanya secara jahr, kecuali do’a kafaratul majelis, karena sesungguhnya telah warid hadits tentangnya.
- Mengkhususkan hamdalah, sholawat dan istighfar, dalam menutup suatu majelis, padahal untuk menetapkannya
dibutuhkan dalil dari Rasulullah _.
- Menyenantiasakannya atau melakukannya secara terus menerus (istimrar).
41 Berdo’a pada akhir majelis pada asalnya diperbolehkan, karena mengingat bahwa do’a termasuk ibadah mutlak, yang tidak
terikat dengan waktu. Namun menyenantiasakannya berarti termasuk memuqoyyadkan waktunya tanpa ada dasarnya dari
Rasulullah _. Adapun membaca amin dengan keras dan mengusap wajah serta menyebut Al-Fatihah!!! Adalah termasuk
kaifiyat baru yang tak dituntunkan Nabi.
seluruhnya, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), dalam bentuk Amr (perintah). Dalam kaidah ushul dikatakan
(Hukum asal dari perintah adalah wajib), maka merupakan kewajiban mengembalikan
segala perselisihan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, jika hujjah pada risalah ini
lebih kuat maka merupakan kewajiban atas siapa saja untuk menerimanya, namun jika
hujjah dalam risalah ini lemah, maka tak ada alasan untuk menerimanya.
Adapun jika antum menolak tentang bahaya bid’ah dan keterangan kami di atas,
sembari mengatakan bahwa bid’ah itu adalah masalah furu’ dan khilafiyah, di mana
antum berpendapat bahwa bid’ah ada yang hasanah, berarti antum telah :
1. Menganggap agama tidak sempurna sehingga butuh penambahan, revisi dan
metode baru dalam berislam.
2. Menuduh Rasulullah _ berkhianat tidak menyampaikan risalahnya, dan
menuduh beliau menyembunyikan sebagian risalah Islam. Padahal Islam telah
sempurna ketika Allah _ mewahyukan kepada Nabi _ surat Al-Maidah ayat 3
pada saat haji wada’
3. Menganggap diri antum lebih ‘alim dari Allah dan Rasul-Nya. Sehingga antum
menambahkan sesuatu yang tak pernah diturunkan oleh Allah dan dituntunkan
Rasul-Nya, sehingga antum menempatkan diri antum sebagai syari’ (sang
pembuat syari'at, Allah) dan bahkan menganggap antum lebih alim dari-Nya.
Sebagaimana ucapan Imam Syafi’i :
“Barangsiapa yang menganggap baik perbuatan bid’ah maka sungguh ia telah
menempatkan dirinya sebagai syari’ (pembuat syari'at)”
4. Mendustakan firman Allah _ dan menuduh-Nya berdusta, karena Ia telah
berfirman :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”
(Al Maidah : 3).
5. Mendustakan hadits Nabi _ :
”jauhilah olehmu perkara yang muhdats (mengada-ada), karena tiap muhdats itu
bid’ah dan tiap bid’ah itu sesat.” (HR Muslim) dan yang semakna dengannya.
6. Menuduh sahabat-sahabat Rasulullah _ berdusta, karena Abu Dzar Al-Ghifari42
mengatakan :
“Rasulullah _ meninggalkan kami dan tak ada seekor burung yang
mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau menyebutkan kepada
kami ilmu tentangnya.”
42 Mu’jamul Kabir (1647) dan sanadnya shohih.
7. Memecah belah agama ini menjadi bid'ah-bid'ah, karena hakikat dari bid’ah
adalah perpecahan dan hakikat dari sunnah adalah persatuan.
Kami akhiri dengan firman Allah _ :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”43 (Al Maidah : 115).
Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad, kepada keluarganya dan kepada sahabat-sahabatnya.
43 QS Al-Maidah : 115

0 komentar:

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker