WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Waspada Terhadap Kemungkaran di Hari Raya

Waspada Terhadap Kemungkaran di Hari Raya

Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari

Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[1].

Diantara Kemungkaran Itu Adalah :

Pertama : Berhias Dengan Mencukur Jenggot.

Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[2] yang telah dikenal.

Kedua : Berjabat Tangan Dengan Wanita Yang Bukan Mahram.

Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [Hadits Shahih, Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

Ketiga : Tasyabbuh (Meniru) Orang-Orang Kafir Dan Orang-Orang Barat Dalam Berpakaian Dan Mendengarkan Alat-Alat Musik Serta Perbuatan Mungkar Lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” [3]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

“Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : ‘Kembalilah kepada kami besok!’ Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-bai hingg hari kiamat” [4]

Keempat : Masuk Dan Bercengkerama Dengan Wanita-Wanita Yang Bukan Mahram.

Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau.

“Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita”. Maka berkata salah seorang pria Anshar : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu” Beliau berkata : “Al-Hamwu adalah maut” [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]

Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan “Al-Hamwu”

“Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa’ adalah kerabat dekat suami seperti ayah[5], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka… Dan sabda beliau : “Al-Hamwu adalah maut” maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan “Al-Hamwu adalah mau” merupakan do’a kejelekan…” ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]

Kelima : Wanita-Wanita Yang Bertabarruj (Berdandan Memamerkan Kecantikan) Kemudian Keluar Ke Pasar-Pasar Atau Tempat Lainnya.

Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari’at Allah. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Hendaklah mereka 9wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat” [Al-Ahzab : 33]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : …….. dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[6], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[7]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian” [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]

Keenam : Mengkhususkan Ziarah Kubur Pada Hari Raya : Membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]

Ketujuh : Boros Dalam Membelanjakan Harta Yang Tidak Ada Manfaatnya Dan Tidak Ada Kebaikan Padanya.

Allah berfirman.

“Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An'am : 141]

“Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan” [Al-Isra : 26-27]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang … dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan” [8]

Kedelapan : Kebanyakan Manusia Meninggalkan Shalat Berjama’ah Di Masjid Tanpa Alasan Syar’i Atau Mengerjakan Shalat Ied Tetapi Tidak Shalat Lima Waktu. Demi Allah, Sesungguhnya Ini Adalah Salah Satu Bencana Yang Amat Besar.

Kesembilan : Berdatangannya Sebagian Besar Orang-Orang Awam Ke Kuburan Setelah Fajar Hari Raya ; Mereka meninggalkan shalat Ied, dirancukan dengan bid’ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]

Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[9] dan ranting-ranting pohon !!

Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.

Kesepuluh : Tidak Adanya Kasih Sayang Terhadap Fakir Miskin.

Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya” [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]

Kesebelas : Bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah.

Bid’ah itu banyak sekali[10]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.

“Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati” [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]

Hadits ini tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya.
[2]. Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza’ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya “Adillah Tahrim Halqil Lihyah” hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia menyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga “Majallah Al-Azhar” 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul “Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin” -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.
[3]. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah.
[4]. Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma’ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua’im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan. [tidak di salin, -penyalin]
[5]. Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim, lihat “Al-Mughni” 6/570
[6]. Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, “An-Nihayah” 4/382
[7]. Berkata Al-Qadli ‘Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a’lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.
[8]. Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas’ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Zur’ah di sisi Ad-Darimi Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu’adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.
[9]. Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma’alimus Sunan 1/27 dan ta’liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103
[10]. Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A’yadul Islam 58 pasal Bida’ul Iedain

Petunjuk Nabi Dalam Shalat ‘Ied

Petunjuk Nabi Dalam Shalat ‘Ied

28Sep2008 Kategori: Fiqh Muslimah, Tahukah Engkau Saudariku?
  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menunaikan shalatnya di masjid kecuali sekali saja, yaitu karena hujan.
  2. Pada saat hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian terbaik (terindah).
  3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan kurma -dengan jumlah ganjil- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘ied. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru beliau memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
  4. Dianjurkan untuk mandi sebelum pada hari ‘ied sebelum ke tanah lapang, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar yang dikenal semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan (menuju tanah lapang) sambil berjalan kaki. Beliau biasa membawa sebuah tombak kecil. Jika sampai di tanah lapang, beliau menancapkan tombak tersebut dan shalat menghadapnya (sebagai sutroh atau pembatas ketika shalat).
  6. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri (agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrinya) dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha (supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya).
  7. Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali setelah matahari terbit, lalu beliau bertakbir dari rumahnya hingga ke tanah lapang.
  8. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan shalat tanpa ada adzan dan iqomah. Tidak ada juga ucapan, ‘Ash Sholatul Jami’ah‘. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sahabatnya tidak menunaikan shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’diyah) shalat ‘ied.
  9. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘ied dua raka’at terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Tidak disebutkan bacaan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa bacaan ketika itu adalah berisi pujian dan sanjungan kepada Allah ta’ala serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu Umar (yang dikenal semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
  10. Setelah bertakbir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al-Qamar” pada raka’at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada raka’at pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
  11. Setelah menunaikan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
  12. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
  13. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan ‘Alhamdulillah…‘ dan tidak terdapat dalam satu hadits pun yang menyebutkan beliau memulai khutbah ‘ied dengan bacaan takbir. Hanya saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak bacaan takbir.
  14. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jamaah untuk tidak mendengar khutbah.
  15. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan shalat ‘ied saja dan tidak menghadiri shalat Jum’at.
  16. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied.

Pembahasan ini disarikan dari kitab Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

Yang Afdhal bagi Wanita, Melakukan Shalat Tarawih di Rumahnya

Yang Afdhal bagi Wanita, Melakukan Shalat Tarawih di Rumahnya

Oleh: Asy-Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh Al-Fauzân hafizhahullâh Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan ditanya:
Mana yang lebih utama bagi wanita, dia shalat tarawih di rumahnya, atau shalat bersama muslimin di masjid?
Maka beliau menjawab:
Yang paling utama bagi wanita, melakukan shalat di rumahnya, dan dia boleh melakukan shalat di masjid bersama jamâ’ah, baik shalat wajib, shalat tarawih, shalat kusuf (gerhana) dan shalat jenazah, dengan syarat dirinya tertutupi dengan hijab yang sempurna dan tidak menghiasi badannya dan pakaiannya dan tidak menggunakan parfum pada badannya dan pakaiannya.
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ وَليَخْرُجْنَ تَفَلاَتٍ
“Janganlah kamu melarang hamba-hamba (wanita) Allah pergi ke masjid-masjid Allah, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka, dan hendaklah mereka keluar dengan memakai pakaian yang apek.”
Maksudnya: tidak memakai perhiasan dan tidak memakai parfum.
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita boleh keluar ke masjid dengan syarat yang telah disebutkan, yaitu menghiasi dirinya dengan sifat malu dan berhijab, meninggalkan perhiasan dan parfum dan berdiri di belakang shaf laki-laki. Meskipun dia telah menetapi syarat-syarat ini, maka dia shalat di rumahnya lebih baik baginya, karena hal itu lebih menjaga dirinya sehingga tidak terfitnah pada dirinya, dan tidak menimbulkan fitnah untuk yang lainnya. Adapun jika dia tidak menetapi syarat-syarat ini, maka keluarnya ke masjid adalah perbuatan haram, dia berdosa dan meskipun bertujuan shalat.
(Dinukil dari فتاوى المرأة المسلمة كل ما يهم المرأة المسلمة في شؤون دينها ودنياها (Wanita Bertanya Ulama Menjawab, Kumpulan Fatwa tentang Wanita I), hal. 152, penyusun: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin ‘Abdul Wahhab, penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin, Penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1 Muharram 1427H/Februari 2006M)

Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan

Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan

Oleh : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.
Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi Shallallahu `alaihi wasallam fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.
Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:
وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ
“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”
Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ، لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةَ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)
Puasa Semestinya Membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya.
Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi1. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Ia berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُوْنَ
“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan: “Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.”2
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.”3
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ
“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (At-Taubah: 71)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى معْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”4
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2 HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3 HR. Al-Bukhari no. 7376
4 HR. Muslim no. 6793

Mudik Lebaran Penuh Berkah

Mudik Lebaran Penuh Berkah

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, sebentar lagi bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan ini akan segera berakhir, dan akan segera datang hari raya yang dinanti-nanti kaum muslimin yaitu ‘Idul Fithri. Banyak di antara kaum muslimin yang hidup di perantauan kembali ke kampungnya untuk merayakan lebaran bersama sanak keluarganya. Lantas hal-hal apa sajakah yang harus kita siapkan agar mudik kita berbarokah? Simaklah tips-tips ketika melakukan perjalanan jauh berikut ini dan semoga bermanfaat.
Persiapan Sebelum Mudik
Seseorang yang hendak mudik atau melakukan perjalanan jauh bukan hanya mempersiapkan barang-barang dan bekal untuk perjalanan. Persiapan lain yang hendaknya dilakukan di antaranya:
[1] Melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan.
[2] Bertaubat kepada Allah dari berbagai kemaksiatan karena kita tidak mengetahui apa yang terjadi ketika di perjalanan nanti.
[3] Menyelesaikan berbagai persengketaan seperti utang-piutang, nafkah yag wajib, dan wasiat kepada ahli waris.
[4] Mencari teman perjalanan karena dapat menimbulkan bahaya jika berjalan sendiri (HR. Bukhari)
[5] Mencari teman perjalanan yang sholeh yang dapat menjaga agama dan menegurnya jika berbuat salah.
[6] Dianjurkan untuk melakukan perjalanan jauh pada hari kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari & Abu Daud), juga pada pagi hari karena Allah memberkahi umat ini di waktu paginya (HR. Abu Daud & Tirmidzi, Hasan), dan boleh juga pada awal malam karena pada waktu itu bumi dilipat artinya didekatkan jaraknya (HR. Abu Daud & Hakim, shohih).
[7] Berpamitan dengan orang yang ditinggalkan sambil berdo’a kepada mereka: “Astawdi’ullaha diinaka, wa amanataka, wa khowatiima ‘amalika (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)” (HR. Ahmad & Tirmidzi, shohih) (Lihat Adab Harian Muslim Teladan, 61-69)
Ketika Dalam Perjalanan
Hendaknya ketika dalam perjalanan membaca do’a sebagaiman do’a yang diajarkan oleh suri tauladan kita sebagai berikut: “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Subhanalladzi sakhkhoro lana hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamunqolibuun. Allahumma inni nas’aluka fi safarina hadzal birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alaina safarona hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shohibu fis safar, wal kholifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsa’is safar wa kaabatil manzhori wa su’il munqolabi fil maali wal ahli.” (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Mahasuci Allah yang menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada keluarga dan harta), dan ketika kembali dari perjalanan jauh ucapkanlah do’a: Ayibuna taa’ibuna ‘abiduna lirobbina hamidun (Kami kembali, kami selamat, bertaubat, tetap beribadah dan tetap memuji Rabb kami) (HR. Muslim). (Lihat Hisnul Muslim)
Jangan lupa dalam perjalanan ketika melewati jalan mendaki untuk membaca ‘Allahu Akbar’ dan ketika ketika melewati jalan menurun membaca ‘Subhanallah’. Juga jangan lupa untuk banyak berdo’a ketika safar karena di antara tiga do’a yang pasti dikabulkan adalah do’a seorang musafir. Maka perbanyaklah do’a ketika itu karena sesungguhnya Allah selalu mendengar do’a seorang hamba dan Allah Maha Mengabulkan do’a. (Lihat Adab Harian Muslim Teladan, 69-72)
Beberapa Keringanan Ketika Safar
Ada beberapa keringanan yang boleh dilakukan musafir ketika bepergian jauh yang dianggap oleh masyarakat (secara ‘urf) sebagai perjalanan jauh tanpa melihat jarak yang ditempuh. Di antaranya:
[1] Apabila seorang musafir tidak mengalami kesulitan ketika melakukan perjalanan jauh maka lebih baik baginya untuk berpuasa. Namun jika mendapatkan kesulitan, maka lebih baik tidak berpuasa. (Lihat Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 198)
[2] Mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua raka’at dan ini hukumnya wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, dan Utsman selalu mengqoshor shalat ketika safar hingga mereka wafat. (Lihat Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 143-144)
[3] Mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap ke arah yang dituju oleh kendaraan (HR. Abu Daud & Ibnu Hibban, hasan). Sedangkan shalat fardhu hendaknya dikerjakan dengan turun dari kendaraan (HR. Bukhari & Ahmad) dan jika tidak mampu untuk turun, “Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun [64] : 16)
[4] Menjama’ shalat jika tidak mampu mengerjakan shalat di setiap waktunya. Jadi, menjama’ shalat bukanlah keharusan ketika safar. Ketika seseorang itu mampu mengerjakan shalat di tiap waktunya maka tidak perlu ada jama’ ketika safar. (Lihat Minhajul Muslim, 190)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa meneguhkan kita dalam keimanan dan memberkahi serta memudahkan safar kita. Amin Ya Mujiibas Saa’iliin.

Mencicipi Makanan

Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Mencicipi Makanan
Fiqh Muslimah

Tidak mengapa mencicipi makanan jika diperlukan, yaitu dengan menempelkannya pada ujung lidah untuk mengetahui rasa manis, asin atau lainnya. Namun, tidak ditelan, melainkan diludahkan, Hal ini tidak merusak puasanya. (Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Ibnu Jibrin)

Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Sucinya Wanita Setelah Shubuh

Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Sucinya Wanita Setelah Shubuh

Jika keluarnya darah berhenti ketika terbit fajar atau sesaat setelah terbit fajar, maka puasanya sah dan berarti telah melaksanakan kewajiban tersebut, walaupun baru mandi besar setelah lewat subuh. Tetapi jika baru berhenti setelah lewat subuh, maka harus berpuasa pada hari itu, tapi tidak dianggap telah menyelesaikan kewajiban ibadah puasanya, dan harus mengqadha’ hari tersebut di luar Ramadhan. (Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Ibnu Jibrin)

Berhari Raya Bersama Pemerintah

Berhari Raya Bersama Pemerintah…!

penulis : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Hukum asal penentuan awal bulan Syawwal (Hari Raya ‘Iedhul Fithri) adalah dengan ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber-iedlul Fithri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka kalian perkirakanlah.” (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

“Memperkirakan” ketika hilal terhalang oleh awan atau lainnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lain sebagai berikut: “Berpuasalah kalian jika kalian melihatnya (hilal) dan ber’iedhul Fithrilah kalian jika kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Maka jika yang terhalang adalah hilal Syawwal, genapkanlah bulan Ramadlan 30 hari.
Penentuan Ramadlan, Syawwal, Haji dan Lain-lain Adalah Tanggung Jawab Penguasa

Hari Raya adalah suatu amalan yang bersifat jama’i (dilakukan secara berjama’ah), maka penguasalah yang berkewajiban untuk ru’yatul hilal atau orang-orang khusus yang mereka tugaskan, atau merekalah yang menerima berita-berita dari orang yang melihat hilal dan menentukan sah atau tidak sahnya. Oleh karena itu kita tidak bisa melaksanakan hari raya sendiri-sendiri dengan melihat hilal sendiri-sendiri.

Kewajiban rakyat -kaum muslimin - adalah mentaati penguasanya pada hasil keputusan mereka, hingga terjadilah kebersamaan yang dikehendaki oleh syariat Islam.

Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahmahullah dalam Tamamul Minnah: “Sesungguhnya untuk melihat hilal atau mencari berita tentang hilal dari negeri-negeri lain pada hari ini adalah perkara yang mudah, sebagaimana sudah dimaklumi. Namun yang demikian perlu perhatian serius dari para penguasa negara-negara Islam hingga (persatuan) akan terwujud menjadi kenyataan insya Allah tabaraka wa ta’ala”. (Tamamul Minnah, hal. 398)

Perintah untuk mentaati penguasa tersebut adalah terus berlangsung walaupun penguasa tersebut dhalim atau fasik

Berkata Imam ash-Shabuni rahimahullah dalam Aqidatus Salaf hal. 102: “Ahlul hadits berpendapat untuk menegakkan shalat Jum’at dan dua hari raya dan lain-lain dari shalat-shalat jama’ah di belakang setiap penguasa muslim yang baik atau pun yang jahat. Dan berpendapat untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bersama mereka, walaupun penguasa tersebut dhalim dan jahat”.

Berkata Imam al-Barbahari rahimahullah: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak mengurangi kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan nabi-Nya sholallahu ‘alaihi wasallam. Kejahatannya untuk diri mereka sendiri, sedangkan ketaatan dan kebaikanmu bersamanya tetap sempurna -Insya Allah. Yakni kebaikan berupa shalat jama’ah, Jum’at dan jihad bersama mereka dan segala sesuatu dari ketaatan yang dikerjakan bersama mereka, maka pahalamu sesuai dengan niatmu”. (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 116)

Berkata Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah: “Haji dan jihad terus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau yang jahat, sampai hari kiamat; tidak terbatalkan dan tidak gugur (dengan kefasikan mereka). (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan syarh Ibnu Abil ‘Izz, hal. 287)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Dan mereka (ahlus sunnah wal jama’ah) memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari’at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum’at, dan hari raya bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama’ah, jihad dan menegakkan nasehat untuk umat”. (Aqidah Wasithiyah, Ibnu Taimiyah, hal. 257)

Berkata Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: “Yang demikian karena tujuan kaum muslimin adalah menyatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena penguasa yang fasik tidak lepas dari kedudukannya sebagai penguasa yang harus ditaati dan tidak boleh ditentang, apalagi jika sampai berakibat menelantarkan kewajiban-kewajiban dan menumpahkan darah”. (Syarh Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Shalih Fauzan, hal. 216)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: “Mereka (ahlus sunnah wal jama’ah) berpendapat untuk menegakkan haji bersama para penguasa walaupun mereka fasik. Bahkan walaupun merekaeminum khamr ketika haji. Mereka tidak berkata: “Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya”. Karena mereka berpendapat bahwa mentaati penguasa adalah wajib walaupun mereka fasik, selama kefasikannya tidak membawa pada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya bukti…”. (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 337)

Beliau berkata pula: “Demikian pula menegakkan hari raya-hari raya bersama para penguasa yang mengimami shalat mereka. Apakah ia orang baik ataukah orang jelek. Dengan jalan yang damai ini, jelaslah bahwa agama Islam ini merupakan jalan tengah di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang-orang yang melalaikan”. (sumber yang sama hal. 336)

Berkata Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah: “Telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta ijma’ para salaful ummah bahwa para penguasa, pemimpin shalat, hakim, panglima perang dan pengurus zakat ditaati dalam perkara-perkara ijtihad. Dan tidaklah mereka mentaati anak buahnya dalam perkara ijtihad, tetapi rakyatlah yang harus mentaatinya dalam masalah-masalah tersebut. Dan hendaklah mereka menyerahkan pendapatnya kepada penguasa tersebut, karena kepentingan umum dan persatuan serta bahayanya perpecahan dan pertikaian adalah lebih diperhatikan daripada masalah-masalah pribadi atau kelompok.” (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 376)

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah: “Jika ada yang bertanya: “Mengapa kita mesti shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Jum’at dan hari raya?” Kita katakan bahwa mereka adalah penguasa kita yang kita beragama dengan mentaati mereka, karena perintah Allah Subhanahu Wata’ala Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian…” (an-Nisaa’: 59)

Dan sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Sesungguhnya akan terjadi setelahku kedhaliman-kedhaliman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalami masa tersebut dari kami?” Beliau menjawab: “Tunaikanlah hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian.” (HR. Muslim)

Yang dimaksud “hak-hak mereka (para penguasa)” adalah ketaatan kepada mereka pada selain kemaksiatan. (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 339)

Dengan kita mengikuti ucapan-ucapan para ulama di atas, niscaya akan terwujud kebersamaan yang disebutkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits yang sudah kita sebutkan, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Puasa itu adalah hari ketika kalian seluruhnya berpuasa, Iedlul Fithri adalah hari di mana seluruh kalian berbuka (yakni tidak berpuasa lagi -pent.) dan Iedlul Adha adalah hari ketika kalian seluruhnya menyembelih kurban.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)

Adapun cara para penguasa menentukan hari raya tersebut, apakah dengan ru’yah atau dengan hisab, maka merekalah yang bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala

Hadits di atas di samping merupakan dalil untuk berpuasa bersama kaum muslimin, juga merupakan dalil berhari raya bersama mereka.

Berkata ash-Shan’ani dalam Subulus Salam 2/72: “Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal (bulan sabit) tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’iedlul Fithri atau pun berkurban”.

Disamping itu ada pula hadits mauquf yang semakna dengan ini dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dikeluarkan oleh al-Baihaqi dari jalan Abu Hanifah, Ia berkata: Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa -pent.). Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!” Masruq berkata: “Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedlul Adha). Maka Aisyah pun berkata: Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedlul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa). (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani, hal. 442)

Disebutkan pula ucapan senada oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Tahdzibu as-Sunan, 3/214: “Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: “Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan Sabit dengan mengukur hisabnya atau menghitung tempat-tempat terbitnya, boleh baginya berpuasa dan beriedlul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya”. Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya bulan sabit sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa”. (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Demikian pula tentunya siapa yang melihat hilal Syawwal sendirian, namun penguasa tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berhari raya sendirian.

Berkata Abul Hasan as-Sindi dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah, setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat di atas sebagai berikut: “Tampaknya makna hadits ini adalah bahwa perkara-perkara tersebut bukan haknya pribadi-pribadi seseorang tertentu. Dan tidak boleh seseorang menyendiri dalam masalah tersebut, tetapi urusan ini dikembalikan kepada imam dan jama’ah kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi setiap pribadi mengikuti kebanyakan manusia dan penguasanya. Dengan demikian jika seseorang melihat hilal, tetapi penguasa menolaknya, maka semestinya dia tidak tidak menetapkan perkara-perkara tadi pada dirinya sendirian, sebaliknya wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia”. (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Maka nasehat kita kepada para penguasa adalah: tentukanlah awal bulan Ramadlan, Syawwal dan lain-lain dengan ru’yatul hilal di mana pun hilal itu terlihat, walaupun di negara-negara lain.

Dan nasehat kita kepada kaum muslimin adalah: taatilah penguasa; berpuasa dan ber’iedhul Fithrilah bersama mereka, dan janganlah berpecah-belah.
Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 84/Th. II, tanggal 24 Ramadlan 1426 H/28 Oktober 2005 M, judul asli Berhari Raya Bersama Kaum Muslimin dan Penguasanya, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Doa Saat Keheningan Malam Lailatul Qadar

Doa Saat Keheningan Malam Lailatul Qadar

malam...

hening malam...

Penulis: ‘Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr

Imam At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah beliau berkata,” Aku bertanya wahai Rasululloh jika aku telah mengetahui kapan malam lailatul qodar itu, maka apa yang aku katakan pada malam tersebut?” Beliau menjawab,” Katakanlah

“Ya Allah sesungguhnya engkau Maha pemaaf, engkau senang memaafkan kesalahan maka maafkanlah aku.”

Doa yang barokah ini sangat besar maknanya dan mendalam penunjukannya, banyak manfaat dan pengaruhnya, dan doa ini sangat sesuai dengan keberadaan malam lailatul qodar. Karena sebagaimana disebutkan di atas malam lailatul qodar adalah malam dijelaskan segala urusan dengan penuh hikmah dan ditentukan taqdir amalan-amalan hamba selama setahun penuh hingga lailatul qodar berikutnya. Maka barangsiapa yang dianugerahi pada malam tersebut al ‘afiyah ( kebaikan ) dan al’afwa ( dimaafkan kesalahan) oleh Robbnya maka sungguh dia telah mendapat kemenangan dan keberuntungan serta kesuksesan dengan sebesar-besarnya. Barangsiapa yang diberikan al afiyah di dunia dan di akherat maka sungguh dia telah diberikan kebaikan dengan seluruh bagian-bagiannya. Dan tidak ada yang sebanding dengan Al ‘afiyah tersebut.

Imam Al Bukhori telah meriwayatkan dalam Adabul Mufrad, dan At Tirmidzi dalam As Sunan dari beliau berkata : aku berkata wahai Rasululloh,Al-Abbas bin Abdil Muthollib ajarkan sesuatu (doa) yang aku gunakan meminta kepada Alloh , Rasululloh menjawab,’ Mintalah kepada Alloh al ‘afiyah, maka pada suatu hari aku berdiam diri kemudian aku datang lagi pada Rasululloh aku katakan,” Wahai Rasululloh ajarkan kepadaku sesuatu yang aku gunakan meminta kepada Alloh, maka beliau berkata kepadaku : “Wahai Abbas, wahai pamannya rasullulloh mintalah kepada Alloh al ‘afiyah didunia dan di akherat.”

Imam Bukhori meriwayatkan dalam Adabul Mufrad, dan At Tirmidzi dalam As-Sunan dari Anas bin bahwasannya beliau berkata : telah datang kepada nabi seseorang yangtMalik berkata : wahai Rasullulloh doa apa yang afdhol? Beliau menjawab: mintalah kepada Alloh al ‘afwa wal ‘afiyah ( ampunan dan kebaikan ) didunia dan akherat. Kemudian orang tersebut datang di hari besoknya sembari berkata : wahai nabiyulloh doa apa yang afdhol? Beliau menjawab : mintalah kepada Alloh al ‘afwa wal ‘afiyah ( ampunan dan kebaikan ) didunia dan akherat, maka apabila kamu di beri al ‘afiyah di dunia dan akherat berarti sungguh kamu telah mendapat kemenangan.”

Imam Bukhori meriwayatkan dalam Adabul Mufrad dari Ausath bin Ismail beliau berkata : aku berkata setelah meninggalnya Rasullullohttelah mendengar Abu Bakar Ash Shiddiq : ” Nabi pernah berdiri pada tahun pertama di tempat berdiriku ini kemudian Abu Bakar menangis lalu berkata : wajib bagi kalian untuk jujur, karena dia bersama dengan kebaikan, dan keduanya berada di surga. Dan tinggalkan dusta karena dia bersama dengan kejahatan yang keduanya di neraka. Mintalah kepada Alloh al-mu’afah (saling memberi maaf), karena tidak ada yang datang setelah al yakin yang lebih baik dari pada al-mu’afah. Janganlah kalian saling memutus hubungan, dan jangan saling membelakangi, saling hasad, saling membenci, dan jadilah kalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara.

Untuk ini sesungguhnya termasuk kabaikan bagi seorang muslim untuk memperbanyak doa yang barokah ini disetiap waktu dan dimanapun terlebih dimalam lailatul qodar yang akan dijelaskan segala urusan dengan penuh hikmah dan ditentukan taqdir dan hendaknya seorang muslim mengetahui bahwasannya Alloh Maha mengampuni lagi Maha mulia lagi Maha pemurah yang senang memberi maaf.

“Dan dialah yang menerima Taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan- kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS. As Syura : 25)

Dan Alloh senantiasa terus dan tiada henti hentinya dikenal sebagai dzat yang suka memaafkan kesalahan-kesalahan dan disifati dengan pemberi ampunan. Setiap orang sangat membutuhkan kepada pemberian maaf-Nya dan ampunan-Nya. Janganlah seorang merasa tidak butuh dari keduanya. Sebagaimana dia senantiasa membutuhkan rahmat serta kasih sayang-Nya. Maka kita memohon kepada-Nya untuk memasukkkan kita kepada golongan yang dia maafkan dan menjadikan kita termasuk golongan yang dirahmatinya. Dan agar kita diberikan kemudahan dan kemampuan untuk mentaatinya. Semoga Alloh berikan petunjuk kita kepada jalan yang lurus. (Amin Yaa Rabbal ‘alamin Wal Hamdulillah ‘ala kulli ni’matihi.Pent).

(dikutip dari kitab Fiqhul Ad’iyyah wal adzkar karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr. Hal 265 - 269. Alih Bahasa : Al Ustadz M. Rifai.)

Yang Pertama Dari Wanita Penggenggam Bara Api…

Yang Pertama Dari Wanita Penggenggam Bara Api…


Dialah wanita shalihah itu, yang hidup bersama sang suami dalam naungan kerajaan Fir’aun. Suaminya adalah orang dekat Fir’aun, sedangkan ia sendiri adalah pembantu dan pengasuh puteri - puteri Fir’aun.

Allah Ta’ala mengaruniakan keimanan kepada keduanya. Sang suami tidak sabar memberitahukan kepada Fir’aun, sehingga Fir’aun pun membunuhnya.

Sang isteri tetap bekerja di rumah Fir’aun sebagai penyisir rambut puteri - puteri Fir’aun. Ia menafkahi anak - anaknya dan memberi mereka makan sebagaimana kasih sayang seorang induk burung yang memberi makan anak - anaknya.

Suatu hari…, ketika ia menyisir rambut seorang puteri Fir’aun, terjatuhlah sisir dari genggamannya.

“Bismillah.” ucapnya.

“Allah,,,??? Kenapa bukan ayahku?” sergah sang puteri Fir’aun.

“Tidak, tetapi Allah!” Rabb-ku, Rabb-mu dan Rabb ayahmu.” jawab sang penyisir kepada puteri Fir’aun.

Namun sang puteri tidak rela apabila ada yang disembah selain ayahnya. Dan segera ia kabarkan hal itu kepada ayahnya. Fir’aun merasa heran ada orang di dalam istananya yang menyembah selainnya. Fir’aun pun memanggil sang penyisir rambut.

“Siapa rabb-mu?” tanyanya.

“Rabb-ku dan Rabb-mu adalah Allah.” jawabnya.

Dia pun menyuruhnya untuk segera murtad dari agamanya. Fir’aun kemudian mengurung dan memukuli sang penyisir, namun usaha Fir’aun tersebut tak juga membuat sang penyisir murtad. Fir’aun minta disediakan tungku/panci dari tembaga yang dipenuhi minyak lalu dibakar hingga mendidih.

Wanita tersebut diberdirikan di hadapan tungku tadi. Melihat siksaan itu, ia malah yakin bahwa dirinya hanyalah sebuah jiwa yang ketika keluar, ia pun akan segera menjumpai Allah Ta’ala. Fir’aun tahu, insan terkasih wanita itu adalah kelima buah hatinya , anak - anak yatim yang ia perjuangkan dan ia nafkahi. Dia hendak menambah siksaannya dengan menghadirkan kelima anaknya yang masih belia.

Mata mereka tampak kebingungan, mereka anak - anak manis itu tidak tahu hendak digiring ke mana…Ketika melihat sang ibu, mereka langsung mendekap erat sambil menangis. Sang ibu lantas tundukkan badan, memeluk, mencium dan mengecup mereka sambil menangis tersedu. Ia dekap yang terkecil di antara mereka. Ia dekap ke dadanya dan ia peluk…

Melihat pemandangan ini, Fir’aun memerintahkan tentaranya untuk mengambil anak sulungnya. Para tentara itu segera menyeret untuk menceburkannya ke dalam minyak yang tengah mendidih. Sang anak memanggil - manggil ibunya. Ia meminta tolong sambil memelas di hadapan para tentara dan mengiba kepada Fir’aun. Ia terus meronta, berusaha melepaskan dan melarikan diri.

Ia memanggil - manggil adik - adiknya, ia pukuli para tentara dengan kedua tangan mungilnya. Para tentara pun menampar dan mendorongnya. Sang ibu hanya bisa memandang dan melepaskan kepergiannya.

Tak lama berselang anak kecil itu pun dilempar ke dalam minyak. Sang ibu hanya bisa menangis sambil memandanginya, sedangkan saudara - saudaranya menutup mata mereka dengan tangan - tangan mungil mereka. Hingga tatkala daging tubuh bagian atasnya yang ringkih meleleh dan tulang belulangnya yang putih mengambang di atas minyak. Fir’aun lantas memalingkan pandangannya kepada sang ibu dan menyuruhnya untuk kufur kepada Allah. Namun sang ibu menolak.

Fir’aun pun murka, ia menyuruh untuk mengambil anak keduanya. Ia ditarik paksa dari sisi sang Ibu. Ia meraung - raung minta tolong. Hanya beberapa saat berselang, iapun dilemparkan ke dalam minyak. Lagi - lagi sang ibu, hanya bisa tertegun memandangnya. Hingga tulang - belulangnya yang putih mengapung dan bercampur dengan tulang saudaranya. Sang ibu tetap tegar dalam agamanya. Ia yakin akan perjumpaan dengan Rabb-nya.

Fir’aun kembali menyuruh para tentara untuk mengambil anak ketiga. Ia langsung diseret dan didekatkan ke tungku yang tengah mendidih itu. Ia segera diangkat dan diceburkan ke dalam minyak tadi. Ia pun mengalami nasib serupa dengan kedua kakaknya.

Tetapi sang ibu tetap kokoh dalam agamanya…

Fir’aun kemudian menyuruh untuk melempar anak keempat ke dalam minyak. Para tentara segera mendatanginya. Ia masih kecil. Ia masih bergelayut di baju Ibunya. Ketika para tentara menariknya, ia menjerit sambil memegangi kedua kaki sang ibu, sedangkan sang ibu berusaha menggendongnya bersama adiknya.

Ia berusaha melepas kepergiannya, mencium dan mengecupnya sebelum berpisah. Para tentara itu pun memisahkan keduanya. Mereka raih kedua tangan mungil lalu menyeretnya, sementara ia terus dan terus menangis minta tolong. Ia merajut dengan kata - kata yang belum dapat dimengerti. Akan tetapi mereka tidak juga mengasihaninya…

Beberapa saat kemudian ia pun ditenggelamkan ke dalam minyak yang mendidih. Jasadnya lenyap dan suaranya hilang, disusul sang ibu mencium aroma daging. Tulang belulangnya yang kecil nan putih naik ke permukaan minyak yang menyemburkannya. Sang ibu memandangi tulang belulang itu. Sang anak telah meniggalkannya ke negeri lain. Ibu hanya bias menangis, tercacah oleh perpisahan dengan buah hati…

Teringatlah dalam benak sang ibu, betapa dahulu ia mendekapnya ke dada dan menyusukannya. Seringkali ia terjaga ketika si buah hati bangun dari tidurnya dan menangis karena tangisannya. Entah berapa malam ia telah habiskan di pangkuan sang ibu sambil memain - mainkan rambutnya. Entah berapa kali sang ibu harus ambilkan mainan - mainannya dan ia kenakan pakaian kepadanya…

Namun tetap ia paksakan dirinya untuk tetap tegar dan terus bertahan.

Para tentara itu memandangi dan segera mendatanginya. Mereka renggut anak kelima yang masih menyusu itu dari kedua tangan ibundanya, padahal ia sedang mengulum puting ibunya…

Terlepas dari ibunya, se kecilpun menjerit dan menangislah wanita malang itu. Tatkala Allah ta’ala melihat penghinaan besar terhadap sang ibu, juga kehilangan dan kesedihannya akan kepergian sang anak, Dia buat si kecil yang masih dalam buaian itu berbicara…!

“Wahai Ibu,” sapanya

“Bersabarlah, kerena sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.”

Suara itu tak terdengar lagi olehnya. Si bungsu segera dibenamkan ke dalam tungku bersama saudara - saudaranya yang lain. Sang bayi ditenggelamkan ke dalam minyak ketika mulutnya masih menyisahkan susu dan di tangannya tersangkut sehelai rambut sang ibu dan di bajunya tersisa air mata sang ibunda…

Kelima anaknya-pun pergilah sudah…Di sana, tulang - belulang mereka berkilapan dari dalam tungku. Gumpalan - gumpalan daging mereka tersembur bersama minyak. Wanita malang itu hanya mampu melihat…pada tulang belulang kecil itu…

Tulang belulang siapa? Mereka tak lain adalah putra - putranya yang telah memenuhi rumahnya dengan tawa dan bahagia…mereka adalah permata hatinya…belahan jiwanya…yang ketika berpisah dengan mereka seakan hatinya tercabut dari rongga dadanya.

Sering mereka berlarian dan berhamburan ke hadapannya…lalu sang ibu mendekap erat mereka di dadanya. Lalu ia kenakan baju mereka dengan tangannya. Ia usap linangan air mata mereka dengan jemarinya…Tetapi sekarang…inilah mereka, yang dirampas dari hadapannya, mereka dibunuh di depan kedua matanya. Mereka tinggalkan ia sendiri…mereka pergi darinya…dan sebentar lagi ia akan bersama mereka.

Bisa saja ia menyelamatkan mereka dari siksa ini dengan kalimat kufur yang ia perdengarkan kepada Fir’aun. Namun ia sadar, apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan kekal.

Kemudian tatkala tak ada lagi yang tersisa kecuali dirinya, para tentara pun segera mendatanginya bagai anjing - anjing buas. Mereka mendorongnya ke depan tungku. Ketika mereka mengangkat tubuhnya dan hendak melemparkan ke dalam minyak, ia pandangi tulang - belulang anaknya. Terbayang olehnya kebersamaan mereka dalam kehidupan ini. Lalu ia palingkan pandangannya kepada Fir’aun.

“Aku minta kau kabulkan permintaanku…!” ucapnya.

“Apa permintaanmu…???” teriak Fir’aun.

“Kumpulkanlah tulang - tulangku dengan tulang anak anakku dan kuburkan dalam satu kuburan,” pintanya.

Ia pejamkan matanya, lalu ia pun dilemparkan ke dalam tungku. Jasadnya pun mengambang dan tubuhnya pun terpanggang.

Subhanallah…

Agung nian ketabahan wanita penyisir rambut ini…Betapa banyak pahalanya.

Pada malam isra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat sebagian besar kenikmatan yang diraihnya. Maka, beliau ceritakan hal itu kepada para sahabat. Dalam riwayat al Baihaqi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan…

“Ketika aku di isra’kan, terhembuslah kepadaku aroma yang harum semerbak. Akupun bertanya, “aroma apa ini?” Maka dikatakan kepadaku,” Ini adalah wanita penyisir rambut puteri Fir’aun dan anak - anaknya.”

Allahu Akbar…

Wanita itu berlelah sebentar, namun kemudian banyak bersenang - senang…

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup[1] disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka[2], bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (QS. Ali ‘Imran : 169-172)

Wanita mukminah ini telah pergi menemui Penciptanya dan kini ia telah berada di sisi Rabb-nya.

Saat ini diharapkan ia tengah berada di kebun - kebun dan dungai di tempat yang ia senangi, di sisi Raja yang berkuasa. Saat ini juga keadaannya lebih baik disbanding ketika di dunia, lebih berlipat nikmat dan kecantikannya…

Nabi yang mulia bersabda…

“Seandainya seorang wanita penduduk surga muncul ke hadapan penduduk bumi, niscaya teranglah antara keduanya dan ia pun akan memenuhinya dengan aroma wangi. Sungguh, kerudung yang ada di kepalanya lebih baik daripada dunia dan isinya…!” (HR. Al Bukhari no.2796 dari Ans ibn Malik)

Kemudian beliau menuturkan lagi…

“Barangsiapa yang masuk surga, maka ia akan mendapatkan kenikmatan dan tidak akan pernah sengsara, pakaiannya tidak pernah usang, dan masa mudanya tidak akan sirna. Di dalam Surga, ia memiliki apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga manusia dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Barangsiapa masuk surge, maka dia akan terlupa akan kesengsaraan di dunia.” (HR. Muslim, dlm buku Silsilah ash Shahihah no. 1086)

Maka, dari benak hati kita yang mana… kita tidak mau menyusul ibunda sang penyisir rambut ini…???

Wahai akhwat, renungkanlah…

Wahai ikhwan, perhatikanlah…

Wahai diri kami yang hina ini, bersegeralah menuju kebaikan…

(dikutip dari risalah Kemuliaan Muslimah Penggenggam Bara Api,Dr. Muhammad ibn ‘Abdirrahman al ‘Uraifi, Media Tarbiyah I/10-18)

Memakai Obat Pencegah Haid

Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Memakai Obat Pencegah Haid


Soal:
Bagaimana hukumnya wanita memakai obat pencegah haidh di bulan Ramadhan?

Jawab:
Wanita yang memakai obat pencegah haidh, apabila tidak membahayakan dirinya ditinjau dari sisi medis, maka tidaklah mengapa dengan syarat ia tetap meminta izin kepada suaminya. Yang aku (Syaikh Ibn Utsaimin) ketahui, obat-obat semacam ini membahayakan wanita, karena haidh merupakan darah yang keluar secara alami. Apabila dicegah pada waktunya maka akan membahayakan tubuh. Kemudian perlu diperhatikan pula, obat-obat semacam ini menjadikan kebiasaan para wanita menjadi tidak teratur, akibatnya mereka akan bimbang dan ragu (apakah mereka telah suci atau belum -red) ketika shalat atau saat bersenggama dengan suaminya.


Oleh karena itu, aku tidak mengatakan itu haram, hanya aku tidak menganjurkannya. Selayaknya bagi para wanita untuk ridha menerima takdir yang Allah takdirkan. Dikisahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Aisyah radhiallahu ‘anha sedang menangis pada waktu haji Wada’. Saat itu Aisyah radhiallahu ‘anha sudah mengenakan pakaian ihram. Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam bertanya,

“Ada apa denganmu wahai Aisyah? Apakah engkau haidh?”

Aisyah radhiallahu’anha menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati, “Yang demikian itu adalah sesuatu yang Allah telah tetapkan bagi para wanita.”

Maka, selayakanya bagi para wanita untuk bersabar dan mencari pahala dari Allah ketika meninggalkan shalat dan puasa karena haidh. Sesungguhnya, pintu dzikir terbuka luas, ia bisa berdzikir, bertasbih, shadaqah, berlaku baik kepada manusia dengan perkataan maupun perbuatan dan ini adalah amalan yang paling utama. (Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/304, lihat pula fatw Lajnah Da’imah 5/400)

Tetes Parfum yang Kau Tebarkan, Di Kala Engkau Sendirian…

Tetes Parfum yang Kau Tebarkan, Di Kala Engkau Sendirian…

Akhir - akhir ini, fenomena yang acapkali kita temui di sekeliling kini semakin merebak. Bahkan tidak jarang seorang muslimah dengan untaian kerudungnya yang panjang, pun terjangkiti oleh keruhnya fenomena ini. Entah disebabkan rasa berani yang ada pada dirinya disertai dengan mulai pudarnya rasa malu, atau entah karena minimnya ilmu terhadap dien yang mulia ini sehingga mereka mengorbankan kesucian dan kemuliaan yang Allah titipkan padanya.

Mereka tak sadar…Semua perasaan condong padanya, perbuatan harampun terjadi karenanya. Mengundang terjadinya pembunuhan, permusuhan pun disebabkan karenanya. Sekurang-kurangnya mereka adalah insan yang disukai di dunia.

Wahai teman - temanku, jauh sebelumnya Allah menyatakan bahwa fitnah yang paling besar adalah wanita, bahkan ia sebagai sumber keindahan. Allah Ta’ala berfirman: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (QS. Ali Imran: 14).

Rasulullah ‘alaihi ash shalatu wa sallam memberikan peringatan dari fitnahnya sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari sahabat Abu Said Al Khudri, beliau bersabda: “Hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Isroil adalah wanita”

Pada riwayat lain dalam Shahih Muslim dari Sahabat Jabir Rasulullah mengisyaratkan dengan sabdanya: “Sesungguhnya wanita menghadap dalam bentuk syaitan, dan membelakangi dalam bentuk syaitan.”

Para wanita menyerupai syaitan karena ia sebagai penyebab timbulnya fitnah bagi laki-laki seperti pernyataan Rasulullah di atas. Oleh karena itu hendaklah para wanita bertaqwa kepada Allah denga menjaga dirinya dan menjaga kaum lelaki dari fitnah yang ditimbulkan karenanya.

Dan salah satu bentuk taqwa kepada Allah yang bias kalian berikan adalah mendatangkan MAHRAM saat engkau hendak bepergian.

Dalam kitab shahihain,Abdullah Ibn ‘Abbas Radliallahu’anhuma meriwayatkan, bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Tidak (dibenarkan seorang) wanita bepergian kecuali dengan mahramnya” (HR Muslim : 2/977)

Ketentuan di atas berlaku untuk semua bentuk safar (bepergian) bahkan termasuk di dalamnya pergi haji. Bepergiannya wanita tanpa diiringi mahram bisa memperdaya orang-orang fasik, sehingga bisa saja mereka tak segan-segan memangsanya. Di sisi lain, wanita berada pada posisis lemah dan tak berdaya, sehingga tak jarang ia justru terbujuk oleh laki-laki, paling tidak, dengan kesendiriannya itu, kemuliaannya sebagai wanita ia pertaruhkan.

Demikian pula halnya dengan perjalanan melalui udara walaupun dia diantar oleh mahramnya sampai ke atas pesawat, dan di jemput mahramnya yang lain saat tiba di tempat tujuan.

Kita akan mempertanyakan, siapakah yang duduk di sebelah wanita tersebut sepanjang perjalanan? Juga, seandainya terjadi kerusakan sehingga pesawat mendarat di bandara transit, atau terjadi keterlambatan atau perubahan jadwal, apa yang bakal terjadi? Sungguh, kemungkinan itu acap kali terjadi.

Perhatikan betapa tegas aturan syariat Islam dalam soal mahram. Untuk menjadi mahram dalam perjalanan disyaratkan adanya empat hal : muslim, baligh, berakal, dan laki-laki. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“…Bapaknya, anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya atau mahram dari wanita tersebut: (HR Al Bukhari, lihat Fathul Baari :11/26)

Selain itu kebiasaan yang menjadi fenomena umum di kalangan wanita adalah keluar rumah dengan menggunakan parfum yang wanginya menjelajahi segala ruang. Hal yang menjadikan laki-laki lebih tergoda karena umpan wewangian yang manghampirinya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam amat keras mamperingatkan masalah tersebut. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Perempuan manapun yang menggunakan parfum kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium wanginya maka dia seorang pezina” (HR Ahmad, 4/418; shahihul jam’: 105)

Sebagian wanita melalaikan dan meremehkan masalah ini, sehingga dengan sembarangan memakai parfum. Tak peduli di sampingnya ada sopir, penjual, saptam, atau orang lain yang tak mustahil akan tergoda.

Dalam masalah ini, syariat Islam amat keras. Perempuan yang telah terlanjur memakai parfum jika hendak keluar rumah ia di wajibkan mandi terlebih dahulu seperti mandi jinabat, meskipun tujuan keluarnya ke masjid. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid (dengan tujuan) agar wanginya tercium orang lain maka shalatnya tidak diterima sehingga ia mandi sebagaimana mandi jinabat” (HR Ahmad, 2/444, Shahihul Jam’ :2073.)

Setelah berbagai peringatan kita sampaikan, akhirnya kita hanya bisa mengadu kepada Allah soal para wanita yang memakai parfum dalam pesta dan berbagai pertemuan yang diselenggarakan. Bahkan parfum yang wanginya menyengat hidung itu tak saja digunakan dalam waktu-waktu khusus, tetapi mereka gunakan di pasar-pasar di kendaraan dan di pertemuan-pertemuan umum hingga di masjid-masjid pada malam-malam bulan suci Ramadhan.

Syariat Islam memberi batasan, parfum wanita muslimah adalah yang tampak warnanya dan tidak keras semerbak wanginya.

Maka jagalah dirimu wahai akhwat, niscaya kalian akan terjaga…! Maka jagalah dirimu wahai akhwat, niscaya para ikhwan akan terjaga…! Dan semoga, Allah Rabb seru sekalian alam, akan melindungi kami para ikhwan serta kalian para akhwat, dari segala FITNAH YANG MELANDA.

Barakallahu Fiykum…

Ummu Sulaim binti Malhan

Ummu Sulaim binti Malhan

Nama lengkapnya adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Naja al-Anshaiyah al-Khazrajiyah.
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dihiasi pula dirinya dengan ketabahan, kebijaksanaan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berpikir dan kefasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena, beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama malik bin Nadhar untuk segera menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid mulai muncul, orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam. Ummu Sulaim termasuk golongan petama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya di dalam masyarakat jahiliyah penyembah behala yang beliau buang tanpa ragu.
Adapun kalangan petama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik, suaminya, yang barru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?” Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku telah beriman.”
“Demi Allah, orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam, maka itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain dari itu.” (Lihat an-Nasa’i VI/144).
Sungguh ungkapan tesebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol di hatinya secara sempurrna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cedas, dan apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darrinya untuk dipeisti, atau ibu bagi anak-anaknya?”
Tanpa terasa lisan Abu Thahah mengulang-ulang, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang hak kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.” Kemudian beliau pun dinikahkan Islam sebagai mahar. Oleh karena itu, Tsabit meiwayatkan hadis darri Anas:
“Aku belum penah mendengarr seorang wanita yang paling mulia dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thahah dengan kehidupan suami istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan orang da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama, yakni Ummu Sulaim. sehingga, pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin malik yang menceitakan kepada kita bagaimana pelakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmenya tehadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempuna), sebelu kamu menafkahkan sebagian hata yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92).
Seketika Abu Thalhah bediri menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfiman di dalam kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah degan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
“Bagus… bagus… itulah harta yang menguntungkan… itulah harta yang mnguntungkan…. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada anak kerabatnya dan Bani dari pamanya.”
Allah memuliakan kedua orang suami istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan dengan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika anak tersebut bemain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tesebut untuk meghibur dan bermain dengannya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?” (Al-Bukhari VII/109).
Allah berkehendak untuk menguji keduanya denga seorang anak yang cakap dan dicintai. Suatu ketika Abu umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahya apabila kembali dari pasar, petama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenag sebelum melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka Ibu mukminah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik. Sang ibu membaringkannya di temp[at tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan semangat menyambut suaminya dan menjawab seperti biasanya, “Apa yang dilakukan oleh anakku?” Beliau menjawab, “Dia dalam keadaan tenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena kahawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu Sulim mendekati beliau dan memperssiapkan makan malam baginya, lalu beliau makan dan minum, sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanya pun berbuat sebagaimana layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan telah mencampurinya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya, maka beliau memuji Allah karena abeliau tidak membuat risau suaminya dana beliau bioarkan suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipan tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.” Kemudian Ummu Sulim berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?” Abu Thalhah berkata, “Berarti mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah dan Allah telah mengambil, maka tabahkanlah hatimua dengan meninggalnya anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”
Beliau mengulangi kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya beliau pergi menghadap Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengabarkan kepadanya tentang apa yang telah terjadi, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, selanjutnya Anas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni menggosokkan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata, “Berikanlah nama bayi ya Rasulullah!” beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”
Ubadah, salah seorang rijal sanad berkata, “Aku melihat dia memiliki tujuh orang anak yang kesemuanya hafal Alquran.”
Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka aberdua yang manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah berkata, “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan berkata, ‘Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar’. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada di rumahnya, namun beiau menjawab, ‘Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya sama. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya’. Maka berdirilah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata, ‘Saya, ya Rasulullah’. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim), “Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya menjawab, ‘Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak’. Abu Thalhah berkata, ‘ Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk, maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah aberada di tangan, maka berdirilah dan matikanlah lampu’. Hal itu dilakukan oleh Ummu Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut, sementara kedua istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah’.”
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadis disebutkan, maka turunlah ayat:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9).
Abu Thalhah tak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan kabar gembira itu kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dlam Alquran yang senantiasa dibaca. Selain berdakwah di lingkungannya, Ummu Sulaim juga turut andil dalam berjihad bersama pasukan kaum muslimin.
Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim, bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau termasuk ahli jannah.

Sumber: kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi

Tafsir Juz Amma (6)

Tafsir Juz Amma (6)

Tema :Kajian Tafsir Juz ‘amma
Bahasan : Al Fatihah Ayat ke empat
Karangan :syaikh Muhammad Bin Sholih Al ‘Utsaimin
Pembicara : Ustadz Zaid Susanto Lc
Tempat : Masjid Siswa Graha Yogyakarta
Waktu : tiap rabu maghrib-isya
Tanggal : 13 Agustus 2008

Pembahasan yang sebelumnya dikemukankan ayat 1-3.
Bahasan pertemuan sekarang adalah tafsir ayat keempat surah Al Fatihah, untuk selengkapnya silahkan dengarkan kajian selengkapnya
semoga bermanfaat bagi kita semua

Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama Orang-orang yang Ruku’

Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama Orang-orang yang Ruku’

Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).
Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: “Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya (yanga artinya): “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43), Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Muthlaqnya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya.” (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).

Perintah Melaksanakan Shalat Berjama’ah dalam Keadaan Takut

Perintah Melaksanakan Shalat Berjama’ah dalam Keadaan Takut


Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman (yang artinya): “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata”. (An-Nisa`:102).

Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: “Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi.” (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker