WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

7 Golongan Yang Mendapatkan Naungan Allah Ta’ala


Tema : 7 Golongan yang Mendapatkan Naungan Allah Ta’ala di Hari Kiamat

Pemateri : Syaikh DR.Shaleh Bin Sa’ad As Suhaimy

Penerjemah : Ustadz Badrusalam

Dalam Kajian ini Syaikh menjelaskan kepada kita tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan di hari kiamat,siapakah mereka dan bagaimana penjelasannya? mari kita simak bersama,smoga bermanfaat

icon for podpress Standard Podcast: Hide Player | Play in Popup | Download

Bahasa Arab Dasar 63: Macam-Macam Isim Inna


Diagram Isim Inna Murob Dan Mabni

Isim Inna terbagi dua, yang berupa isim Mu’rob dan Mabni.

A. Isim Inna yang berupa isim mu’rob

Contoh:

إِنَّ مُحَمَّدًا جَالِسٌ (Sesungguhnya Muhammad duduk)

إِنَّ الإِمْتِحَانَ سَهْلٌ (Sesungguhnya Ujian itu mudah)

إِنَّ الْمَرْأَتَيْنِ حَاضِرَتَانِ (Sesungguhnya dua wanita itu hadir)

إِنَّ الاَّعِبِيْنَ مُجِدُّوْنَ (Sesungguhnya para pemain itu bersungguh-sungguh)

B. Isim inna yang berupa isim mabni

Contoh:

إِنَّهَا قَائِمَةٌ (Sesungguhnya dia -perempuan- berdiri)

إِنَّكَ أُسْتَاذٌ (Sesungguhnya kamu adalah seorang ustadz)

إِنِّي طَالِبٌ (Sesungguhnya aku adalah seorang pelajar)

Dengarkan Kajian:

Klik Untuk DownloadDownload

Download Audio “Perang Pemikiran” (Ghazwul Fikr)

Dan tiada henti-hentinya mereka selalu memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka mampu…” (Al Baqarah [2] : 217).

Maka benarlah firman Allah ta’ala di atas, karena memang kini perang secara fisik antara Islam melawan musuh-musuhnya, seolah-olah belum terjadi…sehingga kita tidak pernah sedikitpun berfikir tentang bagaimana mempertahankan diri dibalik sebuah tameng dalam menghadapi serangan-serangan musuh-musuh Islam tersebut. Tetapi dibalik itu, musuh-musuh Islam tidak akan menyerah untuk terus menggunakan berbagai cara dan tidak pernah kehabisan akal untuk “meracuni” kaum muslimin yang dapat membinasakan secara perlahan-lahan. Terasa sulit untuk menghancurkan kaum muslimin dengan cara berperang fisik, maka mereka meracuni kaum muslimin dengan syubhat dan mencoba untuk mengkaburkan kebenaran Islam, syariatnya, atau sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Inilah “perang pemikiran” yang mereka lakukan yang pada kenyataanya membuahkan hasil yang bagi kita merupakan kenyataan yang menyedihkan. Lalu apakah sebenarnya perang pemikiran itu ?? apa saja faktor-faktor penyebab berhasilnya perang pemikiran yang dilancarkan musuh-musuh Islam ? Dan bagaimana kiat-kiat untuk menjaga diri dari perang pemikiran ini ? Simaklah ceramah berikut ini yang disampaikan oleh Ust. Mubarok Bamuallim -hafizhahullah- yang disampaikan oleh beliau ketika mengisi kajian umum di STIKOM Surabaya

Semoga bermanfaat….Barokallahufik

DOWNLOAD PERANG PEMIKIRAN

Download Audio “Hukum gambar dalam pandangan al-Quran dan as-Sunnah”

Bagaimanakah hukum gambar ditinjau dari al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ? Gambar apa saja yang kita diperbolehkan untuk menggambarnya dan menyimpannya? dan gambar yang bagaimana pula yang kita dilarang untuk menggambarnya ?? dan jika memang hal tersebut terlarang, bagaimana ancaman terhadap orang yang melakukannya ??

Simaklah jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas dalam ceramah yang berjudul “Hukum Gambar” berikut yang disampaikan oleh Ust. Aris Munandar -hafizhahullah-.

Semoga bermanfaat dan Semoga kita diberi hidayah untuk memahami materi ceramah dan mengamalkannya. Amin

DOWNLOAD HUKUM GAMBAR

Penjelasan (Syarah) Hadits Niat

Materi : Penjelasan (Syarah) Hadits Niat

Penyaji : Syaikh Prof.DR.Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al Badr- hafidzohumallah

Penterjemah : Ustadz Abu Abdul Muhsin Firanda

Waktu : Ahad Malam, 20 Jumadits Tsani 1430 H/14 Juni 2009

Jam : 21.00 WIB

Alhamdulillah atas segala nikmat yg telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita semua,mulai ahad malam 20 Jumadits tsani 1430 H ,Syaikh Prof.DR.Abdur Rozzaq Bin Abdul Muhsin Al Badr berkenan meluangkan waktu ditengah kesibukan beliau, memberikan tausiyahnya kepada kaum Muslimin pendengar radio Rodja .semoga Allah Ta’ala memberkahi setiap waktu yang beliau miliki.

Dalam pertemuan pertama ini beliau menjelaskan hadits Niat,hadits ini menurut para ulama merupakan salah satu asas diantara 3 hadits yang menjadi asas dalam Dinul Islam ini. beliau jelaskan beberapa alasan mengapa hadits ini penting untuk kita kaji dipertemuan pertama ini, sebagaimana hal ini juga dilakukan oleh para kebanyakan ulama dalam kitab-kitabnya.

untuk lebih jelasnya silahkan anda simak kajian yg penuh manfaat ini.

icon for podpress Syarah hadits Niat: Hide Player | Play in Popup | Download

Syarah Hadits Jibril

Kajian Live dari Madinah an Nabawiyah

Tema : Syarah Hadits Jibril

Pemateri : Ustadz Abu Abdul Muhsin Firanda

Waktu : Setiap Senin malam jam 20.45 WIB

Berikut ini Kajian syarah hadits Jibril yg sementara terdiri dari 2 file ,berupa muqodimah pembahasan serta penjelasan untuk bagian pertama,semoga bermanfaat

icon for podpress Muqodimah: Hide Player | Play in Popup | Download

icon for podpress Syarah Hadits Jibril01: Hide Player | Play in Popup |Download

Hadits-Hadits Pilihan Shahih al-Bukhari Bab Puasa


Wajibnya puasa Ramadhan

Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu, dia mengisahkan

أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَائِرَ الرَّأْسِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا فَقَالَ أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا فَقَالَ أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الزَّكَاةِ فَقَالَ فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَالَ وَالَّذِي أَكْرَمَكَ لَا أَتَطَوَّعُ شَيْئًا وَلَا أَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ شَيْئًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ إِنْ صَدَقَ

Ada seorang Arab badui yang rambutnya berdiri datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sholat yang diwajibkan Allah kepadaku.” Beliau menjawab, “Sholat lima waktu kecuali jika kamu ingin menambah sholat yang lain sebagai tambahan.” Lalu dia berkata, “Beritahukanlah kepadaku puasa yang diwajibkan Allah kepadaku”. Beliau menjawab, ”Puasa di bulan Ramadhan, kecuali apabila kamu mau melakukan puasa lain sebagai tambahan.” Lalu dia berkata, “Beritahukanlah kepadaku zakat yang diwajibkan Allah kepadaku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberitahukan kepadanya syari’at-syari’at Islam. Lalu lelaki itu berkata, “Demi Tuhan yang memuliakanmu. Aku tidak akan menambah dan mengurangi apa yang Allah wajibkan kepadaku barang sedikit pun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia pasti beruntung jika dia jujur.” atau “Dia pasti masuk surga jika dia jujur.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, dia berkata:

أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِهِ حَتَّى فُرِضَ رَمَضَانُ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Kaum Quraisy dahulu biasa melakukan puasa ‘Asyura di masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin berpuasa pada hari itu -’Asyura- maka silakan berpuasa. Dan barang siapa yang tidak ingin berpuasa silakan berbuka.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Keutamaan Puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

“Puasa adalah perisai. Maka janganlah dia berkata-kata kotor dan berbudat bodoh. Apabila ada orang lain yang memerangi atau mencacinya, hendaklah dia katakan, ‘Aku sedang puasa’ (dua kali). Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ta’ala daripada bau minyak kasturi. Dia rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Puasa dapat menghapuskan dosa

Dari Hudzaifah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ

“Fitnah/dosa pada diri seseorang karena keluarga, harta, atau tetangganya akan terhapus dengan sholat, puasa, dan sedekah.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Pintu ar-Royyan bagi orang-orang yang berpuasa

Dari Sahl radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang bernama ar-Royyan. Orang-orang yang berpuasa akan memasukinya pada hari kiamat. Tidak ada seorangpun yang memasukinya selain mereka. Akan ada yang berseru, ‘Manakah orang-orang yang berpuasa?’. Maka bangkitlah mereka. Dan tidak akan memasukinya selain mereka. Apabila mereka telah masuk, maka pintu itu akan ditutup sehingga tidak akan ada lagi yang masuk melewatinya seorang pun.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menginfakkan dua pasang hartanya di jalan Allah maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Wahai hamba Allah, ini adalah kebaikan.’ Barang siapa yang tergolong ahli sholat maka dia akan dipanggil dari pintu sholat. Barang siapa yang tergolong ahli jihad maka dia dipanggil dari pintu jihad. Barang siapa yang tergolong ahli puasa, maka dia akan dipanggil dari pintu ar-Royyan. Barang siapa yang tergolong ahli sedekah, maka dia akan dipanggil dari pintu sedekah.” Abu Bakar radhiyallahu’anhu berkata, “Ayah dan ibuku sebagai penebusmu, wahai Rasulullah. Bahaya apalagi yang perlu dikhawatirkan oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu tersebut. Apakah ada orang yang dipanggil dari semua pintu tersebut?” Maka Nabi menjawab, “Iya ada. Dan aku berharap kamu termasuk di dalamnya.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Boleh menyebut ‘Ramadhan’ tanpa kata ‘Bulan’

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ

“Apabila Ramadhan telah datang maka dibukakan pintu-pintu surga.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

“Apabila bulan Ramadhan telah masuk dibukakanlah pintu-pintu langit dan dikunci pintu-pintu Jahannam, dan syaitan-syaitan pun dirantai.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Pahala bagi orang yang berpuasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang menghidupkan malam Qadar -dengan ketaatan- karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu. Dan barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Anjuran meningkatkan kedermawanan di bulan Ramadhan

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, dia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan memberikan kebaikan. Beliau paling dermawan ketika di bulan Ramadhan yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril ‘alaihis salam biasa menemuinya setiap malam di bulan Ramadhan sampai apabila Jibril telah selesai -menyampaikan wahyu- maka Nabi shallallahu ‘alaihhi wa sallam menyetorkan hafalan al-Qur’annya kepada Jibril. Apabila Jibril ‘alaihis salam menemuinya maka beliau adalah orang yang paling ringan dalam berderma lebih daripada angin yang bertiup.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Wajib meninggalkan ucapan dusta

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan mengamalkannya maka Allah sudah tidak lagi memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Tidak boleh membalas cacian dengan cacian

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Allah berfirman, “Semua amal anak Adam baginya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang kalian sedang menjalani puasa janganlah dia berkata-kata kotor dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci atau memeranginya hendaklah dia katakan, ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa.’ Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa jauh lebih harum daripada bau minyak kasturi. Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan. Ketika dia berhariraya dan ketika dia berjumpa dengan Rabbnya maka dia akan bergembira dengan puasanya.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Manfaat puasa bagi orang yang khawatir terjerumus dalam zina

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, dia berkata: Dahulu kami bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Barang siapa yang mampu menikah hendaklah dia menikah. Sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa. Sesungguhnya puasa akan mengekang hawa nafsunya.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Berpuasa dan berhari raya dengan melihat hilal

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Ramadhan dan bersabda,

لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

“Janganlah kalian berpuasa kecuali apabila kalian telah melihat hilal dan janganlah kalian berhari raya sampai kalian melihatnya. Apabila ia tertutup dari pandangan kalian maka genapkanlah.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,b

“Bulan itu terkadang terdiri dari dua puluh sembilan hari. Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal). Apabila ia tertutup dari pandangan kalian maka sempurnakanlah bilangan -bulan Sya’ban- menjadi tiga puluh.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَخَنَسَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ

“Bulan itu demikian dan demikian (dengan membuka kedua telapak tangannya).” Kemudian beliau melipat ibu jarinya pada kali yang ketiga -menunjukkan angka 29- (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

“Berpuasalah ketika kalian telah melihatnya. Dan berhari rayalah ketika kalian telah melihatnya. Apabila ia tersembunyi dari pandangan kalian maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا فَلَمَّا مَضَى تِسْعَةٌ وَعِشْرُونَ يَوْمًا غَدَا أَوْ رَاحَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّكَ حَلَفْتَ أَنْ لَا تَدْخُلَ شَهْرًا فَقَالَ إِنَّ الشَّهْرَ يَكُونُ تِسْعَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا

Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya selama satu bulan. Ketika sudah berlalu dua puluh sembilan hari ternyata beliau sudah berangkat di awal atau di akhir siang -untuk mengumpuli istri-. Maka ada yang bertanya kepada beliau, “Bukankah anda telah bersumpah untuk tidak mengumpuli istri selama sebulan?”. Maka beliau menjawab, “Bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Menentukan masuknya Ramadhan bukan dengan hisab

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

“Sesungguhnya kami ini -bangsa Arab- adalah bangsa yang buta huruf. Kami tidak bisa baca tulis dan tidak pandai berhitung. Bulan itu terkadang demikian, dan terkadang demikian.” Maksudnya terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

“Janganlah salah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa sat atau du hari sebelumnya kecuali bagi orang yang sudah biasa mengerjakan puasa maka dia boleh berpuasa di hari itu.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dihalalkan berhubungan bagi pasangan suami istri di malam harinya

Dari al-Barra’ radhiyallahu’anhu, dia berkata:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ } فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ }

Dahulu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila seseorang sedang berpuasa kemudian datang saat berbuka namun tertidur sebelum sempat menikmati makanan maka dia tidak boleh makan di malam hari itu dan siang hari berikutnya sampai sore. Qais bin Shurmah al-Anshari radhiyallahu’anhu suatu ketika sedang berpuasa, ketika datang waktu untuk berbuka maka dia menemui istrinya dan berkata, “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya berkata, “Tidak. Akan tetapi aku akan pergi untuk mencarikannya untukmu.” Pada hari itu dia sibuk bekerja sehingga membuatnya kedua matanya berat dan akhirnya tertidur. Kemudian datanglah istrinya, lalu ketika dia melihat suaminya tertidur maka dia berkata, “Ah, kamu tidak mendapatkan apa-apa.” Ketika waktu sudah menginjak pertengahan siang maka dia pun jatuh pingsan. Kemudian kejadian itu dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan turunlah ayat ini, “Dihalalkan untuk kalian bercumbu dengan istri kalian pada malam hari bulan puasa.” Maka bergembiralah mereka dengan kegembiraan yang meluap-luap karenanya, dan turun ayat, “Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian -perbedaan- benang yang putih dari benang yang hitam.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Boleh makan dan minum sampai terbit fajar (adzan Subuh)

Dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, dia berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ { حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ فَلَا يَسْتَبِينُ لِي فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ

Ketika turun ayat, “Sampai jelas bagi kalian perbedaan benang yang putih dari benang yang hitam.” Maka aku pun mengambil tali berwarna hitam dan tali berwarna putih dan kuletakkan keduanya di bawah bantalku, kemudian pada waktu malam aku mengamatinya namun perbedaannya juga tidak jelas bagiku. Keesokan harinya aku pun pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku ceritakan hal itu kepadanya. Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu’anhu, dia berkata:

أُنْزِلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } وَلَمْ يَنْزِلْ { مِنْ الْفَجْرِ } فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ { مِنْ الْفَجْرِ } فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Ketika diturunkan ayat, “Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian perbedaan antara benang yang putih dengan benang yang hitam.” Namun, belum diturunkan kelengkapannya, “Yaitu terbitnya fajar.” Ketika itu apabila orang-orang hendak berpuasa maka dia mengikatkan tali berwarna putih dan tali berwarna hitam di kakinya. Dia akan terus makan sampai benar-benar bisa membedakan antara keduanya. Setelah itu, maka Allah turunkan kelengkapan ayatnya, “Yaitu terbitnya fajar.” Maka barulah setelah itu mereka mengetahui bahwa yang dimaksudkan -dengan hitam dan putih- adalah malam dan siang (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Anjuran makan sahur sampai menjelang adzan Subuh berkumandang

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, dia berkata,

أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Bilal biasa mengumandangkan adzan di waktu malam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Dan dia tidak akan mengumandangkan adzan kecuali apabila fajar sudah terbit.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Para Sahabat biasa mengakhirkan makan sahur

Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu’anhu, dia berkata:

كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونُ سُرْعَتِي أَنْ أُدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dahulu aku makan sahur bersama keluargaku kemudian aku pun mempercepatnya agar bisa mendapatkan sujud (sholat) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Jarak antara akhir sahur dengan mulainya sholat Subuh

Dari Anas dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu’anhuma, Zaid berkata,

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami dulu pernah bersantap sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bangkit untuk melakukan sholat.” Aku -Anas- berkata, “Berapakah jarak antara adzan (maksudnya iqomah) dengan makan sahur?”. Zaid menjawab, “Seukuran dengan lamanya waktu yang diperlukan untuk membaca lima puluh ayat.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Anjuran untuk makan sahur

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاصَلَ فَوَاصَلَ النَّاسُ فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَنَهَاهُمْ قَالُوا إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أَظَلُّ أُطْعَمُ وَأُسْقَى

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wishol (tidak berbuka dan tidak sahur) maka orang-orang (para sahabat) pun ikut melakukan wishol sebagaimana beliau. Akibatnya hal itu justru memberatkan mereka, maka beliau pun melarang mereka dari melakukannya. Maka mereka berkata, “Sesungguhnya engkau melakukan wishol.” Nabi menjawab, “Aku tidak seperti keadaan kalian. Pada waktu siang aku diberi makan dan minum.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, sesungguhnya di dalam santap sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Boleh menemui waktu pagi dalam keadaan junub

Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anhuma, mereka berdua menceritakan

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika pernah memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena berkumpul dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Bercumbu rayu bagi orang yang sedang puasa

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium dan mencumbui istrinya, padahal ketika itu beliau sedang berpuasa. Namun beliau adalah lelaki yang paling bisa mengendalikan hawa nafsunya daripada kalian.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Mencium bagi orang yang sedang puasa

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ ضَحِكَتْ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah mencium sebagian istrinya dalam keadaan beliau sedang berpuasa.” Kemudian ‘Aisyah tertawa (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Orang yang berpuasa boleh mandi besar setelah Subuh

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِي رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ حُلْمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpai waktu subuh di bulan Ramadhan dalam keadaan junub, tapi bukan karena mimpi, Maka beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Dari Abu Bakr bin Abdurrahman, dia berkata:

كُنْتُ أَنَا وَأَبِي فَذَهَبْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ مِثْلَ ذَلِكَ

Dahulu aku bersama ayahku pergi bersama-sama kepada ‘Aisyah radhiyallahu’anha untuk menanyakan suatu perkara. Beliau menjawab, “Aku bersaksi atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh beliau pernah memasuki waktu pagi dalam keadaan junub karena berhubungan -dengan istri di malamnya- dan bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” Kemudian kami juga bertanya kepada Ummu Salamah, dan ternyata beliau juga memberikan jawaban yang serupa (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Tidak sengaja makan dan minum tidak membatalkan puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Apabila salah seorang dari kalian lupa kemudian makan dan minum maka sempurnakanlah puasanya (tidak dianggap batal). Karena sesungguhnya Allah lah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)

Peringatan Isra’ Mi’raj


Bulan Rajab, bulan yang dihormati manusia. Bulan ini termasuk bulan haram (Asyhurul hurum). Banyak cara manusia menghormati bulan ini, ada yang menyembelih hewan, ada yang melakukan shalat khusus Rajab dan lain-lainnya.

Di bulan ini juga, sebagian kaum muslimin memperingati satu peristiwa yang sangat luar biasa, peristiwa perjalanan Rasulullah Shallallahu’alaihi dari Makkah ke Baitul Maqdis, kemudian ke sidratul muntaha menghadap Pencipta alam semesta dan Pemeliharanya. Itulah peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Peristiwa ini tidak akan dilupakan kaum muslimin, karena perintah sholat lima waktu sehari semalam diberikan oleh Allah pada saat Isra’ dan Mi’raj. Tiang agama ini tidak akan lepas dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Akan tetapi, haruskah peristiwa itu diperingati? Apakah peringatan Isra’ mi’raj yang dilakukan kaum ini merupakan hal yang baik ataukah satu hal yang merusak agama? Simaklah pembahasan kali ini, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk memahaminya dan menerima kebenaran.

Kapan Isra’ dan Mi’raj terjadi?

Ketika mendengar sebuah peristiwa besar, mestinya ada satu pertanyaan yang akan segera timbul dalam hati si pendengar yaitu masalah waktu terjadi. Begitu pula kaitannya dengannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam .

Kapan sebenarnya Isra’ dan Mi’raj terjadi, benarkah pada tanggal 27 Rajab atau tidak?

Untuk bisa memberikan jawaban yang benar, kita perlu melihat pendapat para ulama seputar masalah ini. Berikut kami nukilkan beberapa pendapat para ulama:

Pertama: Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqaalaniy rahimahullah berkata: “Para ulama berselisih tentang waktu Mi’raj. Ada yang mengatakan sebelum kenabian. Ini pendapat yang aneh, kecuali kalau dianggap terjadinya dalam mimpi. Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi setelah kenabian. Para ulama yang mengatakan peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi setelah kenabian juga berselisih, diantara mereka ada yang mengatakan setahun sebelum hijrah. Ini pendapat Ibnu Saad dan yang lainnya dan dirajihkan (dikuatkan) oleh Imam An Nawawiy dan Ibnu Hazm, bahkan Ibnu Hazm berlebihan dengan mengatakan ijma’ (menjadi kesepakatan para ulama’) dan itu terjadi pada bulan Rabiul Awal. Klaim ijma’ ini tertolak, karena seputar hal itu ada perselisihan yang banyak lebih dari sepuluh pendapat.”

Kemudian beliau menyebutkan pendapat para ulama tersebut satu persatu.

- Pendapat pertama mengatakan: “Setahun sebelum hijrah, tepatnya bulan Rabi’ul Awal”. Ini pendapat Ibnu Saad dan yang lainnya dan dirajihkan An Nawawiy

- Kedua mengatakan: “Delapan bulan sebelum hijrah, tepatnya bulan Rajab”. Ini isyarat perkataan Ibnu Hazm, ketika berkata: “Terjadi di bulan rajab tahun 12 kenabian”.

- Ketiga mengatakan: “Enam bulan sebelum hijrah, tepatnya bulan Ramadhan”. Ini disampaikan oleh Abu Ar Rabie’ bin Saalim.

- Keempat mengatakan: “Sebelas bulan sebelum hijrah tepatnya di bulan Rabiul Akhir”. Ini pendapat Ibrahim bin Ishaq Al Harbiy, ketika berkata: “Terjadi pada bulan Rabiul Akhir, setahun sebelum hijrah”. Pendapat ini dirajihkan Ibnul Munayyir dalam Syarah As Siirah karya Ibnu Abdil Barr.

- Kelima mengatakan: “Setahun dua bulan sebelum hijrah”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbar.

- Keenam mengatakan: “Setahun tiga bulan sebelum hijrah”. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faaris.

- Ketujuh mengatakan: “Setahun lima bulan sebelum hijrah”. Ini pendapat As Suddiy.

- Kedelapan mengatakan: “Delapan belas bulan sebelum hijrah, tepatnya dibulan Ramadhan”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Saad, Ibnu Abi Subrah dan Ibnu Abdilbar.

- Kesembilan mengatakan: ” Bulan Rajab tiga tahun sebelum hijrah”. Pendapat ini disampaikan Ibnul Atsir

- Kesepuluh mengatakan: “Lima tahun sebelum hijroh”. Ini pendapat imam Az Zuhriy dan dirajihkan Al Qadhi ‘Iyaadh.

Oleh karena banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah ini, maka benarlah apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah rahimahullah , bahwa tidak ada dalil kuat yang menunjukkan bulannya dan tanggalnya. Bahkan pemberitaannya terputus serta massih diperselisihkan, tidak ada yang dapat memastikannya.

Bahkan Imam Abu Syaamah mengatakan, “Dan para ahli dongeng menyebutkan Isra’ dan Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Menurut ahli ta’dil dan jarh (Ulama Hadits) itu adalah kedustaan”.

Hukum Memperingati Isra’ dan Mi’raj

Mungkinkah Islam agama yang sempurna ini mensyariatkan sesuatu yang belum jelas ketentuan waktunya? . Cukuplah ini sebagai indikator kuat akan bid’ahnya peringatan Isra’ dan Mi’raj yang banyak diadakan kaum muslimin. Apalagi kita telah tahu bahwa para ulama salaf telah sepakat (consensus) menggolongkan peringatan yang dilakukan berulang-ulang (musim) yang tidak ada syariatnya termasuk kebidahan yang dilarang Rasulullahshallallahu ‘alaihi wassalam berdalil dengan sabda beliau:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Hati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bid’ah dan setiap kebidahan itu sesat”. (Riwayat Attirmidziy dan Ibnu Majah)

dan

 مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

serta:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak”.( Riwayat Muslim)

Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara baru yang tidak pernah dilakukan para sahabat dan tabiin maupun orang-orang alim setelah mereka dari para salaf umat ini. Padahal mereka adalah orang yang paling semangat mencari kebaikan dan paling semangat mengamalkan amal sholeh.

Untuk itu berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika beliau ditanya tentang keutamaan malam Isra’ dan Mi’raj dan malam qadar, “… Dan tidak diketahui seorangpun dari kaum muslimin menjadikan malam Isra’ dan Mi’raj memiliki keutaman atas selainnya, apalagi diatas malam qadar. Demikian juga para sahabat g dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak sengaja mengkhususkan satu amalan di malam Isro’ dan Mi’roj dan mereka juga tidak memperingatinya, oleh karena itu tidak diketahui kapan malam tersebut. Peristiwa isra’ merupakan keutamaan beliau shallallahu ‘alaihi wassalam yang besar, namun demikian, tidak perintahkan mengkhususkan (mengistimewakan) malam tersebut dan tempat kejadian tersebut dengan melakukan satu ibadah syar’i. Bahkan gua Hiro’ yang merupakan tempat turun wahyu pertama kali dan merupakan tempat pilihan Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam sebelum diutus menjadi nabi, tidak pernah sengaja di kunjungi oleh beliau shallallhu ‘alaihi wassalam ataupun salah seorang sahabatnya selama berada di Makkah. Tidak pula mengkhususkan (mengistimewakan) hari turunnya wahyu dengan satu ibadah tertentu atau yang lainnya. Tidak pula mengkhususkan tempat pertama kali turun wahyu dengan sesuatu. Maka barang siapa mengkhususkan (mengistimewakan) tempat-tempat dan waktu-waktu yang diinginkan dengan melakukan satu ibadah tertentu karena termotivasi oleh peristiwa diatas atau yang sejenisnya, maka dia sama dengan ahli kitab yang telah menjadikan hari kelahiran Isa q musim dan ibadah seperti hari natal dan lain sebagainya”

Untuk lebih memperjelas masalah hukum peringatan Isra’ Mi’raj, kami sampaikan fatwa beberapa ulama tentang hukum peringatan ini.

Pertama: An Nahaas rahimahullah

Beliau berkata: “Peringatan malam Isra’ dan Mi’raj adalah bid’ah besar dalam agama dan kebid’ahan yang dibuat oleh teman-teman Syaithon.”

Kedua: Ibnul Haaj.

Beliau berkata: “Diantara kebid’ahan yang mereka buat pada bulan Rajab adalah malam dua puluh tujuh yang merupakan malam Isra’ dan Mi’raj “

Ketiga: Fatwa Syeikh Muhammad bin Ibrohim Ali Asysyeikh rahimahullah dalam jawaban beliau atas undangan yang disampaikan kepada Rabithoh Alam Islamiy untuk menghadiri salah satu peringatan Isra’ dan Mi’raj setelah beliau ditanya tentang hal itu. Lalu beliau menjawab,”Ini tidak disyariatkan, dengan berdasarkan Al-Qur’an, As-sunnah, Istishhab dan akal.

- Al Qur’an, firman Allah

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridha Islam itu jadi agamamu”. (QS. Al Maidah : 3)

dan firmanNya

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa’ : 59)

kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al Quran, kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam maksudnya merujuk ke Sunnahnya setelah beliau meninggal dunia.

Demikian juga firmanNya

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

“Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Alimron: 31)

dan firmanNya

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka orang-orang yang menyalahi perintah-Nya hendaklah mereka takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (QS. An Nur: 63)

- Adapun dalil Sunnah

Pertama : Hadits shohih dalam shohihain dari Aisyah z bahwa Rasululloh n bersabda

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak”.(Riwayat Bukhori dan Muslim)

dan hadits shahih dalam Kitab Shahih Muslim

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak kami perintahkan maka dia tertolak”. (Riwayat Muslim)

Kedua: Hadits riwayat Ibnu Majah, At Tirmidziy dan dianggap shahih oleh beliau serta diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dari Irbaadh bin Saariyah z , beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

“HindarilahHati-hatilah hal-hal yang baru, karena setiap hal yang baru itu bidah”.

Ketiga: Riwayat Ahmad, Al bazaar dari Ghadhiif bahwa Nabi n bersabda

مَا أَحدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلاَّ رَفَعَ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ

“Tidaklah satu kaum berbuat bid’ah kecuali dihilangkan sepertinya dari Sunnah”. Dan diriwayatkan oleh Ath Thobraaniy akan tetapi dengan lafadz:

مَا مِنْ أُمَّةٍ ابْتَدَعَتْ بَعْدَ نَبِيِّهَا إِلاَّ أَضَاعَتْ مِثْلَهَا مِنَ السُّنَّةِ

“Tidak ada umat yang melakukan kebidahan setelah nabinya kecuali dihilangkan sunnah seukuran bid’ahnya”.

Keempat: Riwayat Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Rasululloh shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda

أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ

“Allah tidak akan menerima amalan pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya”.

Dan dalam riwayat Ath Thobraniy dengan lafadz

إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ

“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan perbuatan bid’ahnya”.

- Adapun Istishhaab:

Hal ini tidak ada dasar perintahnya. Pada dasarnya, ibadah itu tauqifiyah, sehingga tidak boleh kita mengaatakan, “Ibadah ini disyariatkan” kecuali ada dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’, dan tidak boleh pula mengatakan, “Ini diperbolehkan karena termasuk dalam maslahat mursalah, istihsaan (anggapan baik), qiyas (analogi) atau ijtihad” karena permasalahan aqidah, Ibadah dan hal-hal yang telah ada ukurannya (dalam Syariat) seperti pembagian warisan dan pidana adalah perkara yang tidak ada tempat bagi ijtihad atau sejenisnya..

- Adapun dalil akal

Jika perayaan Isra’ dan Mi’raj bertujuan untuk mengagungkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri, kita katakan, “seandainya hal ini disyari’atkan, tentunya Beliau shallahu ‘alaihi wassalam merupakan orang pertama yang melaksanakannya”.

Jika perayaan itu untuk mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengenang perjuangan Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam seperti pada maulid Nabi, maka tentulah Abu Bakr radhiallahu ‘anhu adalah orang yang pertama melakukannya , lalu Umar, Utsman, Ali, kemudian orang-orang setelah mereka. Disusul kemudian oleh para tabiin selanjut para imam. Padahal tidak ada seorangpun dari mereka yang diketahui melakukan hal tersebut meskipun sedikit. Maka cukuplah bagi kita untuk melakukan apa yang menurut mereka cukup.”

Beliaupun berfatwa di dalam fatawa wa rasail beliau, “Peringatan Isra’ dan Mi’raj adalah perkara batil dan satu kebidahan. Ini termasuk sikap meniru-niru orang yahudi dan nashrani dalam mengagungkan hari yang tidak diagungkan syari’at. Pemilik kedudukan tinggi Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam lah yang menetapkan syariat. Dialah yang menjelaskan halal dan harom. Sementara para khulafa’ rasyidin dan para imam dari para sahabat dan tabiin tidak pernah diketahui melakukan peringatan tersebut.” Kemudian berkata lagi, “Maksudnya perayaan peringatan Isra dan Mi’raj adalah bid’ah. Maka tidak boleh bekerjasama dalam hal tersebut.”

Keempat: Fatwa Syeikh Ibnu Baaz t :

“Tidak disangsikan lagi, isra’ mi’raj merupakan tanda kebesaran Allah ta’ala yang menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan ketinggian derajat Beliau disisi Allah l . Sebagaimana Isra’ dan Mi’raj termasuk tanda-tanda keagungan Allah dan ketinggianNya atas seluruh makhluk. Allah ta’ala berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِاْلأَقْصَا الَّذِي بَا
رَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat“. (Al Isra’ : 1)

Dan telah telah diriwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang tidak mungkin berdusta dan dijamin kebenarannya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa Beliau diangkat ke langit dan dibukakan pintu-pintunya sampai Beliau melewati langit yang ketujuh. Lalu RabbNya berbicara kepadanya dengan sesuatu yang dikehendakinya dan diwajibkan padanya shalat lima waktu. Allah ta’ala pertama kali mewajibkan padanya lima puluh shalat, lalu senantiasa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam meminta keringanan sampai dijadikan lima shalat. Itulah lima shalat yang diwajibkan tapi pahalanya lima puluh, karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Allah dzat yang harus dipuji dan disyukuri atas segala nikmatNya.

Tidak ada dalam hadits yang shahih penentuan malam terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Semua hadits yang menjelaskan penentuan malamnya menurut ulama hadits adalah hadits yang tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam . Allah ta’ala memiliki hikmah dalam melupakan manusia tentangnya. Seandainya ada penentuannya yang absahpun kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan satu ibadah tertentu, tidak boleh mereka merayakan peringatannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya tidak memperingatinya dan tidak pula mengkhususkan ibadah tertentu padanya. Seandainya peringatannya adalah perkara yang disyariatkan, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah menjelaskannya kepada umatnya, baik dengan ucapan atau perbuatan Beliau. Seandainya pernah dilakukan niscaya akan iketahui serta akan dinukilkan oleh para sahabatnya kepada kita. Karena mereka telah menyampaikan segala sesuatu yang dibutuhkan umat dan tidak melalaikan urusan agama ini sedikitpun, bahkan mereka berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan.

Maka seandainya peringatan malam Isra’ dan Mi’raj disyariatkan niscaya mereka orang pertama yang melakukannya, apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam adalah orang yang sering menasehati umatnya. Beliau telah menyampaikan risalah agama sebaik-baiknya serta telah menunaikan amanah yang diembannya. Maka seandainya mengagungkan dan memperingati malam tersebut termasuk ajaran agama, maka tentunya Beliau tidak melalaikan dan menyembunyikannya.

Karena Nabi tidak mengagungkan dan memperingati malam tersebut, maka jelaslah peringatan dan pengagungan malam tersebut bukan termasuk ajaran Islam.

Begitulah Allah ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dan menyempurnakan nikmat untuk umatnya serta mengingkari orang yang menambah-nambah syariat Islam dengan sesuatu yang tidak diizinkanNya. Allah berfirman dalam Al Qur’an

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”. (QS. Al maidah : 3)

Demikian juga dalam firmanNya

أَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُاْ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَالَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَلَوْلاَ كَلِمَةُالْفَصْلِ لَقُضِىَ
بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمُُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (selain Allah) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih”. (QS. Asy Syura :21)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits-hadits yang shohih telah memperingatkan bahaya bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah itu sesat. Untuk memperingatkan umat ini dari besarnya bahaya bidah dan untuk menghindarkan mereka dari membuat bid’ah. Kami akan sampaikan beberapa hadits, diantaranya hadits yang shohih dalam shohihain dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam , Beliau bersabda

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat-buat dalam perkaraku (agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

dan dalam riwayat Muslim

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya mak dia tertolak”. ( Riwayat Muslim)

Dan dalam shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam berkhutbah pada hari jum’at dan mengatakan

أَمَا بَعْدُ فَإِِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَا
تُهَاوَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Ama Ba’du; “Sesungguhnya sebaik ucapan adalah kitabullah dan sebaik contoh adalah contoh petunjuk Muhammad n , sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang dibuat-buat, dan setiap kebidahan adalah sesat”.

Dalam sunan dari Al Irbaadh bin Saariyah z , beliau berkata

وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَاالْقُلُوبُ وَذَرَفَتْمِنْهَا
الْعُيُونُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُمُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَأُوصِيكُمْبِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَرَعَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَىاخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيوَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِيْتَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَابِا
لنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍبِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah menasehati kami dengan nasehat yang mendalam, hati bergetar dan mata meneteskan airmata. Lalu kami berkata: “Wahai Rasululloh n seakan-akan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat!. Lalu beliau berkata: “aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah ,patuh dan taat, walaupun kalian dipimpin seorang budak, karena siapa yang hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnahnya para khulafa rosyidin yang memberi petunjuk setelahku. Berpeganglah kalian dan gigitlah dia dengan gigi graham kalian serta hati-hatilah dari hal yang baru, karenasetiap hal yang baru itu bidah dan setiap kebidahan itu sesat”. (Riwayat At Tirmidziy dan Ibnu Majah). Dan banyak hadits yang lain yang semakna dengan ini.

Demikian juga peringatan dan ancaman dari perbuatan bid’ah telah ada dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para salaf shalih setelah mereka. Karena perbuatan bid’ah adalah penambahan dalam agama dan syariat yang tidak diizinkan Allah ta’ala serta meniru-niru kaum Yahudi dan Nashroni musuh Allah. Melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menuduh Islam tidak sempurna. Dengan demikian jelas menimbulkan kerusakan dan kemungkaran yang besar, karena Allah telah menyatakan kesempurnaan agama ini melalui firmanNya

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu“. (QS. Al Maidah 3)

Perbuatan bid’ah juga secara terang-terangan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang memperingatkan dan mengancam kebid’ahan.

Mudah-mudahan apa yang telah kami jelaskan dari dalil-dali tersebut cukup memuaskan pencari kebenaran dalam mengingkari dan mengingatkan kebidahan ini- yaitu peringatan malam Isra’ dan Mi’raj -. Sesungguhnya dia bukanlah dari syariat Islam sedikitpun.

Demikianlah keterangan para ulama seputar hukum merayakan peringatan Isra’ dan Mi’raj. Keterangan yang cukup jelas dan gamblang disertai dalil-dalil yang kuat bagi pencari kebenaran. Kemudian masihkah kita melakukannya, padahal peringatan tersebut satu kebid’ahan dan bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan itu merupakan penambahan syariat dalam Islam dan menyerupai kelakuan ahli kitab yang telah membuat bid’ah dalam agama mereka, sehingga menjadi rusak dan hancur.

Sudahkan kita merenungkan bahaya kebidahan terhadap islam?

Cukuplah peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam , para sahabat dan ulama Islam sebagai peringatan bagi kita untuk sadar dan bangkit memperbaiki kondisi kaum muslimin demi mencapai kejayaan Islam.

Mudah-mudahan Allah memudahkan kita untuk memahami tulisan ini dan mudah-mudahan Allah menolong kita dalam menjalankan ketaatan kepadaNya dan untuk meninggalkan perayaan yang telah menghabiskan harta dan tenaga yang banyak akan tetapi justru merusak agama dan amalan kita semua.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel UstadzKholid.com


Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad Al Kinaaniy Al Asqaalaniy, seorang ulama besar dalam hadits dan fiqih, pengarang kitab Fathul bariy Syarah Shohih Bukhori, meninggal tahun 852 H.

Ibnu Hajar, Fathul Bari 7/203.

Lihat ibid

Lihat Zaadul Ma’aad 1/57.

Al Baa’its hal 171.

Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal. 274.

Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad 1/58-59.

Beliau bernama Abu Zakariya Ahmad bin Ibrohim bin Muhammad Addimasyqiy, dikenal dengan Ibnu Nahaas, seorang ulama besar yang meninggal dalam perang menghadapi perancis tahun 814 H.

Lihat Al Bida’ Al Hauliyah hal 279.

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al haaj, Abu Abdillah Al “Abdariy Al Faasiy, meninggal tahun 737 H.

Lihat Al bida’ Al Hauliyah hal. 275, menukil dari Al Madkhol 1/.294.

Beliau bernama Muhammad bin Ibrohim bin Abdillathif bin Abdirrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdilwahaab, dilahirkan di Riyadh tahun 1311 H dan meninggal di bulan Ramadhan 1398 H. Beliau pernah menjabat sebagai ketua Rabithoh alam Islamiy, Rektor Jami’ah Islamiyah dan Mufti agung kerajaan Saudi Arabia sebelum Syeikh Ibnu Baaz.

Lihat Al Bida’ Al hauliyah hal. 276-279 menukil dari Fatawa wa Rasail AsySyeikh Muhammad bin Ibrohim 3/97-100.

Ibid 3/103.

Beliau bernama Abdulaziz bin Abdillah bin Abdirrohman bin Baaz, dilahirkan tahun 1330 H di Riyadh. Beliau seorang alim besar abad ini dan menjadi mufti agung Kerajaan Saudi Arabia menggantikan Syeikh Muhammad bin Ibrohim Ali Asysyeikh sampai meninggal tahun 1420 H.

Lihat catatan kaki kitab Fatawa Lajnah Daimah 3/64-66.

Akibat Memakan Satu Dirham dari Hasil Riba

Serial pertama tentang riba

Di akhir zaman sekarang ini, telah nampak praktek riba tersebar di mana-mana. Dalam ruang lingkup masyarakat yang kecil hingga tataran negara, praktek ini begitu merebak baik di perbankan, lembaga perkreditan, bahkan sampai yang kecil-kecilan semacam dalam arisan warga. Entah mungkin kaum muslimin tidak mengetahui hakekat dan bentuk riba. Mungkin pula mereka tidak mengetahui bahayanya. Apalagi di akhir zaman seperti ini, orang-orang begitu tergila-gila dengan harta sehingga tidak lagi memperhatikan halal dan haram. Sungguh, benarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari no. 2083)

Oleh karena itu, sangat penting sekali materi diketengahkan agar kaum muslimin apa yang dimaksud dengan riba, apa saja bentuknya dan bagaimana dampak bahanya. Allahumma yassir wa a’in. Ya Allah, mudahkanlah kami dan tolonglah kami dalam menyelesaikan pembahasan ini.

Apa yang Dimaksud dengan Riba?

Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 350 dan Al Misbah Al Muniir, 3/345). Juga riba dapat berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa). (Lihat Al Qomus Al Muhith, 3/423)

Contoh penggunaan pengertian semacam ini adalah pada firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ

“Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bertambah dan tumbuh subur.” (QS. Fushilat: 39 dan Al Hajj: 5)

Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda-beda dalam mengungkapkannya.

Di antara definisi riba yang bisa mewakili definis yang ada adalah definisi dari Muhammad Asy Syirbiniy.

Riba adalah:

عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا

“Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya.” (Mughnil Muhtaj, 6/309)

Ada pula definisi lainnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah, riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 7/492)

Hukum Riba

Seperti kita ketahui bersama dan ini bukanlah suatu hal yang asing lagi bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan dalam syari’at Islam. Ibnu Qudamah mengatakan,

وَهُوَ مُحَرَّمٌ بِالْكِتَابِ ، وَالسُّنَّةِ ، وَالْإِجْمَاعِ

“Riba itu diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin).” (Al Mughni, 7/492)

Bahkan tidak ada satu syari’at pun yang menghalalkan riba. Al Mawardiy mengatakan,

“Sampai dikatakan bahwa riba sama sekali tidak dihalalkan dalam satu syari’at pun. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَأَخْذِهِمْ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya.” (QS. An Nisaa’: 161).Maksudnya adalah riba ini sudah dilarang sejak dahulu pada syari’at sebelum Islam. (Mughnil Muhtaj, 6/309)

Di antara dalil Al Qur’an yang mengharamkan bentuk riba adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imron: 130)

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Di antara dalil haramnya riba dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa memakan riba termasuk dosa besar.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ »

“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “[1] Menyekutukan Allah, [2] Sihir, [3] Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, [4] Memakan harta anak yatim, [5] memakan riba, [6] melarikan diri dari medan peperangan, [7] menuduh wanita yang menjaga kehormatannya lagi (bahwa ia dituduh berzina).” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melaknat para rentenir (pemakan riba), yang mencari pinjaman dari riba, bahkan setiap orang yang ikut menolong dalam mu’amalah ribawi juga ikut terlaknat.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)

Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.” (Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64)


Dampak Riba yang Begitu Mengerikan

Sungguh dalam beberapa hadits disebutkan dampak buruk dari memakan riba. Orang yang mengetahui hadits-hadits berikut ini, tentu akan merasa jijik jika harus terjun dalam lembah riba.

[Pertama] Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya dari Perbuatan Zina

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Kedua] Dosa Memakan Riba Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)

[Ketiga] Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah Ta’ala

Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Shalat Roghoib, Shalat yang Begitu Melelahkan

Saudaraku, perlu diketahui bahwa tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajabadalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “

Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent.Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.(Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, ”Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ’anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Jangan berbaring seperti itu!


Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada manusia terbaik sepanjang masa Muhammad bin Abdullah al-Hasyimi, teladan bagi umat dan hamba pilihan-Nya, semoga keselamatan pun tercurah kepada para pengikutnya yang setia mengamalkan sunnahnya hingga akhir masa. Amma ba’du.

Sesungguhnya Sunnah/ajaran yang diwariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum muslimin merupakan harta paling berharga dan rambu-rambu kehidupan yang paling menakjubkan dalam sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Bagaimana tidak? Sedangkan segala perkara mulai dari sejak bangun tidur hingga tidur kembali telah diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Kemudian para sahabat pun mentransfer ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nabi kepada generasi sesudahnya demikian seterusnya dilanjutkan oleh para tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta para imam ahlul hadits di setiap generasi. Hingga akhirnya ajaran Islam itu bisa sampai kepada kita melalui literatur-literatur ulama hadits yang berkhidmat kepada agama, semoga Allah membalas jasa-jasa mereka.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. al-Maa’idah : 3). Inilah sebuah ayat yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga kaum muslimin ketika mengingat keagungan dan kesempurnaan ajaran Islam ini. Sampai-sampai dikisahkan di dalam Shahih Bukhari [hadits no 7268] di dalam Kitab al-I’tisham bi al-Kitab wa as-Snunnah dari penuturan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu bahwa orang Yahudi pun turut mempersaksikan peristiwa agung dan bersejarah ini -yaitu turunnya ayat tersebut al-Maa’idah : 3- sebagai sebuah anugerah yang tiada tara bagi umat Islam, sampai-sampai dia mengatakan kepada Umar, “Seandainya ayat ini turun kepada Yahudi niscaya mereka menjadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya.” (lihat Shahih al-Bukhari cet. Maktabah al-Iman hal. 1450). Subhanallah! Sungguh besar anugerah Allah kepada kaum muslimin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah panutan kita. Beliau berbicara, memerintah, melarang, memuji dan mencela berdasarkan wahyu dari Rabb-nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya akan tetapi dia hanya menyampaikan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm : 3-4). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apa saja yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr : 7). Setiap keputusan dan penilaian syari’at yang dinyatakan oleh beliau merupakan garis tegas yang akan memisahkan antara keinginan Allah subhanahu wata’ala dan hawa nafsu manusia. Sementara ketetapan Allah pasti bijaksana, adapun keinginan manusia senantiasa dilandasi oleh sifat bodoh dan aniaya. Oleh sebab itu tidak selayaknya bagi laki-laki yang beriman maupun kaum perempuannya untuk mencari alternatif solusi lain selain kembali tunduk dan pasrah kepada syari’at dan adab-adab Islam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi orang yang beriman baik lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain dalam mengatasi urusan mereka, barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab : 36).

Saudaraku sekalian -para pemuda yang semoga dirahmati Allah- sesungguhnya kita hidup di masa kemungkaran begitu merajalela di masyarakat. Media-media informasi dan tayangan-tayangan televisi telah berubah menjadi racun yang mengotori hati dan penyakit yang menggerogoti akhlak anak negeri. Sedangkan syari’at Islam yang suci ini tentu saja tidak membuka celah bagi para perusak agama untuk menghancurkan aset umat yang sangat berharga ini -yaitu generasi muda-. Oleh sebab itu, di antara tipu daya Iblis yang patut untuk kita waspadai adalah berbagai sarana dan kebiasaan buruk yang kini banyak bertebaran di dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin.

Di dalam sebuah syair dikatakan, “Aku mengenali keburukan bukan untuk melakukannya, akan tetapi untuk menjaga diri dari bahayanya. Sebab barangsiapa yang tidak bisa membedakan baik dan buruk, sangat dikhawatirkan ia pasti terjerumus dalam keburukan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mewanti-wanti kita untuk menghindari perkara-perkara yang samar demi terbebas dari perkara yang haram. Beliau bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan yang haram juga jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar, banyak orang yang tidak mengetahuinya, maka barangsiapa yang menjaga diri dari perkara yang samar itu tentu dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terperosok dalam perkara syubhat/samar-samar itu niscaya akan terseret ke dalam perkara yang haram.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599]).

Anas bin Malik radhiyallahhu’anhu menceritakan -sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab ar-Riqaq [hadits no. 6492] -yang mengisahkan tentang betapa besar kehati-hatian generasi sahabat demi menjaga diri dari keharaman-, “Sesungguhnya kelak kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian hal itu lebih ringan daripada rambut, namun dalam pandangan kami yang hidup di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hal itu kami anggap termasuk perkara yang menghancurkan.” (lihat Shahih al-Bukhari cet. Maktabah al-Iman, hal. 1318).

Oleh sebab itulah generasi sahabat dan kaum salaf pada umumnya sangat dikenal sebagai manusia-manusia yang sangat wara’ dan bertakwa kepada Allah. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin mencari panutan, maka ikutilah orang yang sudah meninggal, karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah/penyimpangan. Mereka itulah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka itu adalah orang-orang yang paling bersih hatinya di antara umat ini, paling dalam ilmunya serta paling sedikit membeban-bebani diri [dengan sesuatu yang bukan ajaran agama]…” (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah fi Tauhid Asma’ wa Shifat, hal. 59).

Para sahabat begitu mengagungkan sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada di antara mereka yang marah besar kepada temannya gara-gara temannya tidak mau mendengar/menuruti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai dia berkata kepada sahabatnya itu, “Aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya, aku telah sampaikan kepadamu hadits Nabi namun kamu enggan mengikutinya.” Begitulah maknanya. Bahkan ada pula di antara mereka yang mencaci maki anaknya dengan cacian yang sangat keras gara-gara sang anak menentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitulah para pendahulu kita yang shalih. Mereka hidup, bertindak dan bersikap dengan senantiasa menjadikan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai undang-undang kehidupan mereka. Sami’na wa atha’na, itulah semboyan hidup mereka.

Nah, sangatlah jauh berbeda apabila kita coba membandingkan apa yang terjadi di masa silam dengan apa yang sering muncul di masa kini. Bukan saja di kalangan masyarakat awam yang jauh dari ilmu -sebagaimana bisa disaksikan dalam iklan di televisi dan di media periklanan yang lain-, bahkan juga di kalangan orang-orang yang menampakkan batang hidungnya di dalam majelis ilmu. Sebagian di antara mereka begitu mudah melakukan hal-hal yang merusak kehormatan dan bahkan memalukan di hadapan orang banyak. Subhanallah, seolah-olah kehormatan dan harga diri pada jaman sekarang ini sudah tidak ada lagi harganya! Terdorong oleh kewajiban memberikan nasehat kepada sesama kaum muslimin, saya ingin mengingatkan kepada diri saya dan para pembaca yang mulia tentang sebuah syari’at yang mulia, sebuah sunnah yang telah diabaikan oleh banyak orang, sunnah tarkiyah [perkara yang seharusnya ditinggalkan] yang diwariskan oleh al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita.

Imam at-Tirmidzi membuat bab di dalam Sunannya dengan judul ‘Dibenci/makruh berbaring di atas perut (tengkurap)’. Beliau mengatakan; Abu Kuraib menuturkan kepada kami; Abdah bin Sulaiman dan Abdurrahim menuturkan kepada kami dari Muhammad bin Amr; Abu Salamah menuturkan kepada kami riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seseorang yang berbaring di atas perutnya (tidur tengkurap), maka beliau berkata, “Sesungguhnya cara berbaring seperti ini tidak dicintai oleh Allah.” (HR. Tirmidzi : 2692, disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih, 4718 [12], dan dinilainya ‘hasan shahih’ dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi, 2768. asy-Syamilah. Diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad [1187] dari jalan Thikhfah bin Qais al-Ghifari, disahihkan al-Albani dengan teks “Bangkitlah, sesungguhnya ini adalah cara berbaring yang dibenci Allah”, lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad, 3/307 oleh Syaikh Husain bin Audah al-Awaisyah hafizhahullah).

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak selayaknya bagi seorang tidur dengan posisi di atas perutnya [tengkurap]. Terlebih lagi jika dia berada di tempat-tempat yang dikelilingi banyak orang. Sebab apabila orang-orang melihatnya dalam posisi seperti ini maka hal itu adalah pemandangan yang dibenci. Akan tetapi apabila ada orang yang perutnya sedang sakit dan dia ingin berbaring dengan posisi seperti ini dikarenakan hal itu lebih terasa enak baginya maka hal ini tidak mengapa, sebab -saat itu- hal ini dibutuhkan.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin, 2/659).

Imam Ibnu Majah menuturkan kepada kita; Ya’qub bin Humaid bin Kasib menuturkan kepada kami; Isma’il bin Abdullah menuturkan kepada kami; Muhammad bin Nu’aim bin Abdullah al-Mujammir meriwayatkan dari ayahnya, dari Ibnu Thikhfah al-Ghifari, dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan, “Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan melewatiku sedangkan ketika itu aku berbaring di atas perutku (tengkurap). Maka beliau pun membangunkanku dengan menggunakan kakinya seraya berkata, “Hai Junaidib (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya cara berbaring seperti ini [tengkurap] adalah cara berbaring penghuni neraka.” (HR. Ibnu Majah: 3724, disahihkan oleh al-Muhaddits al-Albani di dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah. asy-Syamilah).

Lihatlah saudaraku, mungkin bagi sebagian orang perkara ini dinilai sepele dan remeh. Atau ada yang akan mengatakan, “Perkara kecil kok dibesar-besarkan!”. Atau yang lain mengatakan, “Ini kan cuma makruh saja. Jadi ya gakpapa.” Padahal, sebagian ulama menegaskan bahwa hadits ini menunjukkan haramnya tidur/berbaring dengan cara tengkurap (lihatlah Rasy al-Barad Syarh al-Adab al-Mufrad, hal. 636).

Pendapat ini -pengharaman tidur tengkurap- merupakan pendapat yang cukup kuat. Hal itu didukung oleh sebuah riwayat dalam al-Mu’jam al-Kabir oleh Imam ath-Thabrani, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Thikhfah al-Ghifari -dia adalah salah seorang ahlush shuffah- yang pada suatu malam tidur/berbaring dengan posisi tengkurap, “Janganlah kamu tidur dengan cara seperti itu, karena itu adalah cara berbaring penduduk neraka.” (HR. Thabrani [8148] asy-Syamilah). Di dalam riwayat ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas melarang perbuatan itu. Sedangkan menurut kaidah ushul bahwa hukum asal larangan itu menunjukkan keharaman perbuatan yang dilarang kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa hukumnya adalah makruh (lihat Jam’ al-Mahshul fi Syarh Risalah Ibni Sa’di fi al-Ushul, hal. 52 oleh Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan). Oleh sebab itu di dalam Aun al-Ma’bud [11/80, asy-Syamilah] disebutkan, “Di dalam hadits tersebut terkandung keterangan hukum yang menunjukkan bahwa tidur dengan posisi di atas perut/tengkurap adalah tidak boleh, dan posisi itu adalah posisi tidur syaitan.” Camkanlah hal ini baik-baik wahai saudaraku!

Apakah sesuatu yang tidak dicintai Allah, sesuatu yang dibenci oleh Allah dengan seenaknya akan kita katakan sebagai perkara yang ringan dan sepele?! Apakah dengan mental semacam ini kita akan maju berperang melawan tank dan rudal al-Yahud wa an-Nashara? Laa haula wa laa quwwata illa billaah. Padahal, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d : 11).

Semoga Allah menyejukkan hati kita dengan ketundukan kita dan saudara-saudara kita kepada kebenaran. Ya Allah, tambahkanlah kepada Kami keyakinan kepada-Mu dan ketakwaan lahir maupun batin, sesungguhnya Engkau Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Ya Allah ampunilah kesalahan dan dosa-dosa kami, sesungguhnya Engkau Maha pengampun lagi Maha penyayang. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, 16 Muharram 1430 H
Ditulis oleh hamba yang membutuhkan Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya dan kaum muslimin semua

Labels

comment

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker