WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah

Prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah
Penulis: Ustadz Agus Suaidi, Gresik
Manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah setiap orang dari manapun asalnya yang mengikuti ajaran Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya baik dalam hal keyakinan, amalan maupun ucapan.

Ada enam prinsip utama yang membedakan antara Ahlus Sunnah al Jamaah dan golongan lain.

Pinsip Ahlusunnah yang pertama:
Ikhlas dalam Beribadah

Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan atau memurnikan sesuatu dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syar’i, ikhlas adalah membersihkan dan memurnikan ibadah dari segala jenis kotoran syirik.

Setelah diketahui pengertian ikhlas menurut pengertian syar’i, dapat diambil kesimpulan bahwa orang dikatakan ikhlas dalam beribadah apabila ia bertauhid dan meninggalkan segala jenis syirik.

Perlu diketahui, bahwa seseorang itu dikatakan bertauhid apabila meyakini dengan mantap tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik. Lalu apa saja tiga jenis tauhid yang harus diyakini?

Tauhid yang pertama: Tauhid Rububiyyah, maksudnya kita harus yakin bahwa yang mencipta, yang memberi rezeki dan yang mengatur alam semesta hanya Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tauhid yang kedua: Tauhid Uluhiyyah, maksudnya yakin bahwa yang berhak disembah dan diberikan segala bentuk peribadatan hanyalah Allah Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.

Tauhid yang ketiga: Tauhid Asma’ wa Sifat, maksudnya kita harus yakin bahwa Allah Ta’ala memiliki Nama dan Sifat yang Mulia dan tidak sama dengan makhluk-Nya. Kita harus meyakini seluruh Nama dan Sifat Allah yang ada di dalam Alquran dan Assunnah apa adanya.

Setelah meyakini ketiga jenis tauhid ini, maka wajib meninggalkan dua jenis syirik yang menjadi musuh bagi orang-orang yang bertauhid.

Syirik yang pertama disebut Syirik Akbar, yaitu syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Syirik jenis ini amat banyak jumlah dan macamnya, di antaranya adalah: meyakini ada yang mencipta dan yang mengatur alam ini selain Allah Ta’ala, meminta rejeki atau jodoh kepada orang yang telah mati atau kepada jin, menolak sebagian atau seluruh Nama dan Sifat Allah Ta’ala dan masih banyak bentuk lainnya.

Syirik yang kedua disebut Syirik Asyghar, yaitu syirik kecil yang tidak menyebabkan pelakunya dikeluarkan dari Islam. Namun dosanya lebih besar daripada dosa zina, dosa mencuri atau kemaksiatan lainnya. Di antara amalan yang termasuk jenis syirik ini adalah riya’ (ingin dilihat oleh orang ketika beribadah), sum’ah (ingin didengar ibadahnya oleh orang lain), bersumpah dengan nama selain Allah, memakai jimat dengan keyakinan bahwa kekuatannya bersumber dari Allah. Untuk yang satu ini bila diyakini bahwa sumber kekuatan itu dari jimatnya, maka sudah termasuk Syirik Akbar. Dan masih banyak lagi macamnya.

Siapa saja yang telah meyakini tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis syirik ini, maka dia telah ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Inilah prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus diperjuangkan. Anda bisa melihat, mereka terus berdakwah menegakkan tauhid dan memberantas segala penyakit syirik walaupun banyak kalangan yang menentangnya, mereka memiliki dasar Alquran Surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan cara ikhlas dalam melaksanakan agama-Nya dan Hanif (meninggalkan segala jenis syirik) ...”

Pinsip Ahlusunnah yang kedua:
Bersatu di atas Alquran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah

Banyak aktivis Islam yang saat ini menyerukan persatuan umat. Ada yang menggunakan partai sebagai alat pemersatu, ada juga yang menggunakan suku bangsa bahkan ada juga yang menyatukan umat dengan slogan “yang penting muslim”, walaupun keyakinan dan prinsip hidupnya berbeda-beda. Akibatnya terjadi banyak perpecahan di kalangan mereka karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Kalaupun secara dhohir mereka bersatu, banyak prinsip Alquran dan Assunnah yang dikorbankan dalam rangka menjaga persatuan antara mereka.

Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki prinsip persatuan yang mantap dan akan terus diperjuangkan. Apa itu? Yaitu bersatu di atas Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman salaful ummah.

Mengapa harus bersatu diatas Alquran dan Assunnah? Karena ini memang perintah dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah seluruhnya dan jangan kalian berpecah belah ...”

Ibnu Mas’ud radliyallahu ’anhu berkata: “Tali Allah artinya Kitabullah”. (Tafsir Ibnu Jarir dan lainnya)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik, Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no: 186)

Bila ada yang berkomentar, “Banyak kelompok yang mengklaim dirinya di atas Alquran dan Assunnah, namun kenapa terjadi perbedaan prinsip dan cara pandang yang menyebabkan mereka terpecah belah?” Untuk menjawab pertanyaan ini cukup mudah, “Karena mereka memahami Alquran dan Assunnah dengan kemampuan akal yang disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan kelompoknya”.

Lalu bagaimana seharusnya? Dalam memahami Alquran dan Assunnah wajib merujuk kepada pemahaman dan penjelasan dari Salaful Ummah. Siapa sebenarnya Salaful Ummah itu? Mereka adalah para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang betul-betul paham maksud Al Quran dan Assunnah karena merekalah yang langsung mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mengapa harus sesuai dengan pemahaman mereka, bukankah mereka juga manusia seperti kita? Karena mereka dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka telah diridlai oleh Allah Ta’ala. Di dalam surat At-Taubah ayat 100 disebutkan yang artinya: “Generasi pertama dari kalangan shahabat Muhajirin dan Ashor serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada-Nya”.

Di samping itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita untuk mengikuti pemahaman para shahabat. “Sesungguhnya barang siapa yang masih hidup sepeninggalku nanti,ia akan melihat perbedaan prinsip yang banyak sekali, untuk itu wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham dan jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no: 4607). Inilah prinsip persatuan umat yang harus dijadikan sebagai pegangan.

Barang siapa yang menggunakan cara lain untuk menyatukan umat maka ia akan menuai kegagalan atau mungkin berhasil tetapi bersatu diatas kebatilan. Wallahu A’lam.

Prinsip Ahlusunah yang ketiga:
Larangan Memberontak dan Kewajiban Mentaati Penguasa Muslim yang Sah dalam hal yang ma’ruf (benar)

Menggulingkan kekuasaan pemerintah pada saat ini seolah-olah menjadi tujuan kebanyakan orang. Mereka ingin tokoh idolanya menjadi pemegang tampuk kekuasaan, lebih-lebih bila sang penguasa memiliki banyak kelemahan walaupun masih sah dan beragama Islam, mereka berusaha mati-matian untuk menggulingkan dengan mengatasnamakan rakyat dan keadilan. Ada juga yang memanfaatkan keadaan untuk merebut pangkat dan jabatan dengan cara membela sang penguasa habis-habisan bahkan membenarkan seluruh ucapan dan keputusan walaupun menyimpang jauh dari syari’at Islam. Lalu bagaimana prinsip Al Quran dan Assunnah menurut pemahaman salaful ummah dalam menyikapi sang penguasa ?

Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul dan Ulil Amri (pemimpin/penguasa muslim)...”

Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut:

“Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, mereka adalah pemimpin negara, hakim atau mufti (ahli fatwa). Karena urusan agama dan dunia tidak akan berjalan dengan baik melainkan dengan cara taat dan tunduk kepada Ulil Amri sebagai wujud taat kepada perintah Allah dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya. Akan tetapi dengan syarat penguasa tidak memerintah kita untuk berbuat maksiat. Bila diperintah untuk maksiat maka tidak ada ketaatan sedikitpun kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Al-Khaliq. Barangkali inilah rahasia tidak disebutkannya fi’il amr (kata perintah) ketika Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri dan sebaliknya disebutkan fi’il amr ketika memerintah untuk taat kepada Rasul-Nya. Karena beliau hanya memerintah untuk mentaati Allah, sehingga barang siapa yang mentaati beliau sama saja dengan mentaati Allah Ta’ala. Adapun Ulil Amri baru ditaati bila tidak memerintah untuk bermaksiat.”

Dalam hadits shahih disebutkan, dari Ubadah bin Shomit, Radiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengambil janji setia kepada kami, agar kami mendengar dan taat (kepada penguasa) baik dalam keadaan bersemangat atau lesu, dalam keadaan sulit atau mapan meskipun kami dizalimi, dan agar kami tidak menggulingkan kekuasaan lalu beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat ada kekufuran yang nyata (pada penguasa) dan kalian memiliki dalil dari Allah dalam masalah tersebut.” (HR. Muslim/1709, Nasa’i dan lainnya)

Dari keterangan Al Quran dan Assunnah inilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berprinsip bahwa: Wajib bagi kita mentaati penguasa muslim yang sah dalam hal yang ma’ruf (bukan maksiat) dan haram menggulingkan kekuasaannya dengan alasan apapun kecuali memenuhi dua syarat yang telah dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah setelah membawakan hadits di atas. Apa dua syarat tersebut?

Syarat pertama: Adanya kekufuran yang nyata pada diri sang penguasa dan kita menemukan dalil syar’i dalam masalah kekufuran tersebut.

Syarat kedua: Adanya kemampuan untuk menyingkirkan penguasa tersebut dengan cara yang tidak menimbulkan madlarat yang lebih besar.

Tanpa kedua syarat ini, maka tidak boleh! (Al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqoh Bainal Hakim wal Mahkum hal. 19)

Wahai kaum muslimin, kembalilah kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Wallahul musta’an.

Prinsip Ahlusunah yang keempat:
Menggapai Kemuliaan dengan Ilmu Syar’i

Kita semua sepakat bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Al Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56. Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi kita untuk mengerti, apa yang dimaksud ibadah itu? Apakah ibadah hanya sebatas shalat, puasa, haji atau yang lainnya? Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-’Ubudiyyah halaman 38 menjelaskan bahwa ibadah itu mencakup segala perkara yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala baik berupa ucapan merupakan perbuatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.

Setelah kita mengerti makna ibadah, kita wajib mengerti macam-macam ibadah secara terperinci agar kita bisa menunaikan tugas dengan baik dan benar. Dari sini timbul pertanyaan, dari mana kita bisa mengetahui secara rinci macam-macam ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala? Mampukah akal kita menyimpulkan sendiri perincian tugas ibadah itu?

Untuk mengetahui secara rinci ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala tidak bisa disimpulkan dengan akal kita, tetapi harus ada petunjuk langsung dari Allah Ta’ala yang menugaskan kita untuk beribadah kepada-Nya. Petunjuk itu bernama Al Quran dan Assunnah yang telah dijelaskan secara rinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya radliyallahu ‘anhu. Singkat kata, wajib bagi kita mempelajari Al Quran dan Assunnah agar kita bisa menunaikan tugas ibadah dengan baik dan benar. Perlu diketahui, bahwa Al Quran dan Assunnah itulah yang disebut Ilmu Syar’i sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan lainnya. Lihat “Al-Ilmu Asy-Syar’i” halaman 8-10 karya Abdurrahman Abul Hasan Al-’Aizuri.

Oleh sebab itu, siapa saja yang mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya berarti ia telah menjalankan tugas ibadah dengan baik dan benar, barang siapa yang telah menunaikan tugas ibadah dengan baik, ia layak mendapat kemuliaan dan kehormatan dari Allah Ta’ala. Di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 disebutkan:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian.”

As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya halaman 846 berkata: “Di dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu syar’i, dan buah dari ilmu itu adalah beradab dan beramal atas dasar ilmu tersebut.”

Dalam hadits shahih juga ditegaskan:

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan paham agama ini.”

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah dalam Fathul Bari juz 1 halaman 222 menjelaskan : “Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun”.



Ahlus Sunnah wal Jama’ah memahami hal ini, untuk itu mereka gigih dan bersemangat untuk mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya dengan baik dan benar, mereka punya prinsip yang mantap dan mengagumkan, yakni Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal, untuk menggapai kemuliaan. Wallahul musta’an.

Prinsip Ahlusunnah yang kelima:
Meyakini bahwa Wali Allah Adalah Orang yang Beriman dan Bertakwa

Bila kita amati sejenak keadaan umat, kita akan dapati satu masalah yang sangat memasyarakat di tengah mereka. Adegan-adegan luar biasa yang membuat sebagian orang merasa kagum, ada yang tidak mempan ditusuk senjata tajam, ada yang bisa makan beling seperti makan kerupuk, ada yang tidak penyet digilas mobil, ada yang kepalanya dipenggal lalu bisa langsung sambung dan yang sejenisnya.

Anehnya para penonton yang kebanyakan umat Islam banyak yang memberi gelar kehormatan “WALI ALLAH” kepada para pendekar kebanggaan mereka. Benarkah orang-orang sakti seperti itu disebut Wali Allah? Apa sebenarnya pengertian dan ciri-ciri Wali Allah menurut Al Quran dan As-Sunnah?

Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya :

“Ingatlah, sesungguhnya Wali Allah itu tidak akan takut dan bersedih hati, mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa.” (QS. Yunus: 62)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (2/422) menjelaskan: “Allah Ta’ala menyatakan bahwa wali-Nya adalah orang beriman dan bertaqwa, maka siapa saja yang benar-benar bertaqwa maka ia layak disebut wali Allah Ta’ala”.

Di dalam Al Quran banyak disebutkan ciri-ciri Wali Allah, diantaranya adalah :

Ciri pertama: Beriman dan bertaqwa (QS. Yunus : 62)

Ciri kedua: Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (QS. Ali Imran : 31)

Ciri ketiga: Mencintai dan dicintai Allah Ta’ala karena mereka sayang kepada kaum muslimin dan tegas dihadapan orang kafir, mereka berjihad fii sabilillah dan tidak takut celaan apapun. (QS. Al-Maidah : 54)

Di dalam As-Sunnah As-Shohihah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqoq Bab At-Tawadlu’ (7/190) dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan ciri wali Allah, yaitu mereka rajin mengamalkan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan amalan wajib.

Lalu, apakah hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu termasuk ciri utama Wali Allah?

Perlu diketahui bahwa hal-hal yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang itu ada beberapa jenis:

1. Mu’jizat, terjadi pada nabi dan rasul.

2. Irhash, terjadi pada calon nabi dan rasul.

3. Karamah, terjadi pada wali Allah selain nabi dan rasul.

4. Istidroj atau sihir, terjadi pada wali syaithon.

Dari sini dapat diketahui bahwa Wali Allah itu kadang-kadang diberi hal-hal yang luar biasa dan ini disebut karamah, namun perlu diingat bahwa karamah ini bukan ciri utama Wali Allah dan tidak bisa dipelajari. Adapun adegan-adegan luar biasa yang saat ini semarak di masyarakat lebih condong kepada istidroj atau sihir dengan beberapa alasan :

Alasan pertama, pelakunya tidak memiliki ciri-ciri Wali Allah Ta’ala.

Alasan kedua, hal-hal yang luar biasa yang mereka tampilkan bisa dipelajari, terbukti mereka punya perguruan-perguruan yang mengajarkan seperti itu.

Singkat kata, Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan bahwa Wali Allah itu adalah orang yang berimana dan bertaqwa baik mendapat karamah maupun tidak, Wallahu A’lam.

Prinsip Ahlusunnah keenam :
Mensukseskan Gerakan Tashfiyah (pemurnian) & Tarbiyah (pendidikan)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi dalam kitabnya Fadhlullah As-Shomad (1/17) menyatakan, ada tiga penyebab perpecahan dan kelemahan kaum muslimin saat ini. Pertama: tidak bisa membedakan antara ajaran Islam yang murni dengan ajaran yang disusupkan ke dalam Islam. Kedua: kurang yakin dengan kebenaran Islam. Ketiga: tidak mengamalkan Islam secara utuh.

Benarlah apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabatnya. Dari Abu Najih Al-’Irbadl bin Sariyah radliyallahu ‘anhu ia bercerita: “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kita, nasehat itu membuat hati bergetar: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertinya nasehat ini adalah nasehat perpisahan, untuk itu berilah kami wasiat!” Maka beliaupun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tetap mendengar dan taat (dalam hal yang baik - pent) walaupun kalian diperintah oleh penguasa dari budak Habsyi. Sesungguhnya, siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, pasti melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrosyidin yang mendapat petunjuk, peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham (jangan sampai lepas) dan jauhilah perkara-perkara baru yang disusupkan ke dalam agama karena sesungguhnya setiap perkara baru yang disusupkan ke dalam agama itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ nomor: 2546)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa penyebab perpecahan umat dan kelemahannya adalah tidak bisa membedakan antara sunnah beliau dan bid’ah yang disusupkan ke dalam ajaran agama. Disamping itu beliau juga memberikan solusinya dengan cara berpegang teguh dan mengamalkan sunnah beliau, yakni ajaran Islam yang murni.

Berangkat dari sinilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berusaha sekuat tenaga untuk mensukseskan gerakan Tashfiyah dan Tarbiyah. Lalu apa yang dimaksud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah itu?

Tashfiyah adalah gerakan pemurnian ajaran Islam dengan cara menyingkirkan segala keyakinan, ucapan maupun amalan yang bukan berasal dari Islam. Sedangkan Tarbiyah adalah usaha mendidik generasi muslim dengan ajaran Islam yang murni, yang berdasarkan Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman para Shahabat Radliyallahu ‘anhum ajma’in.

Dalam rangka mensukseskan gerakan ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah terus menerus memperingatkan umat dari segala bentuk penyimpangan baik berupa kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun kemaksiatan, di samping itu juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik yang ada di kitab-kitab yang tersebar di kalangan umat maupun pernyataan-pernyataan sesat dari para penyesat. Dan yang termasuk program ini adalah memisahkan antara hadits shahih dengan hadits dha’if, ini semua dinilai sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban kita semua.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Menyuruh umat untuk mengikuti sunnah dan melarang mereka dari kebid’ahan termasuk amar ma’ruf nahi munkar dan termasuk amal shaleh yang paling utama”. (Minhajus Sunnah: 5/253)

Semoga dengan gerakan Tashfiyah dan Tarbiyah ini, kaum muslimin sadar dan mau kembali ke agama Islam yang murni sehingga pertolongan Allah turun kepada kita. Wallahul musta’an.



Rujukan:

1. Syarh Al-Ushul As-Sittah, Asy-Syaikh Utsaimin.

2. Tanbih Dzamil Uqul As-Salimah, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri

3. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, Asy-Syaikh Abdul Malik Ramdloni.

4. At-Tashfiyyah Wat-Tarbiyyah, Asy-Syaikh Ali Hasan

5. Tafsir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh As-Sa’di.

6. Qowaid wa Fawaid, Asy-Syaikh Nadlim Muhammad Sulthon.

7. Karamatu Auliya’illah, Al-Imam Al-Lalikai.

8. Al-Furqon Baina Auliya ‘ir rahman wa Auliya’ is syaithan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.


Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=164

Al-Firqotun Najiyah Adalah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Al-Firqotun Najiyah Adalah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Kategori Aqidah Ushul Ahlissunnah

AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH


Oleh
Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan




Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku". [Al-Anbiyaa : 92].

Maka kemudian sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka belum pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.

"Artinya : Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar".

Yang kemudian dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama) :

"Padahal milik Allah-lah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami". [Al-Munafiqun : 7].

Demikian pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.

"Artinya : Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran". [Ali Imran : 72].

Walaupun demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.

Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum Anshar tentang permusuhan diantara mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya'ir diantara mereka. Allah membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman".[Ali Imran : 100].

Sampai pada firman Allah.

"Artinya : Pada hari yang diwaktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ....." [Ali-Imran : 106]

Maka kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan mengingatkan mereka ni'mat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. [1]. Dengan demikian gagallah pula makar Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan perpecahan sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas ......".[Ali-Imran : 105].

Dan firman-Nya pula.

"Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah ....".[Ali-Imran : 103].

Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam-pun telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.

"Artinya : Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa'rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku".[2].

Dan sabdanya pula.

"Artinya : Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini". [3].

Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.

"Artinya : Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya".[4]

Perawi hadits ini berkata : "saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali".

Yang demikian tersebut bisa terjadi karena masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi'in dan pengikut para tabi'in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya.

Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya.

Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu 'anhum bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.

"Artinya : Mereka yaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini" [5]

Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman.

"Artinya : Maka mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi kecuali sebagian kecil diantara orang-orang yang telah kami selamatkan diantara mereka, dan orang-orang yang dzolim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka ; dan mereka adalah orang-orang yang berdosa". [Huud : 116].


[Disalin dari buku Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah oelh Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, terbitan Dar Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh Saudi Arabia, penerjemah Abu Aasia]
_________
Foote Note
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150
[2] Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43
[3] Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari'ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I'tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah I nomor 145-147
[4] Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan Muslim 6/juz 16 hal 86-87 Syarah An-Nawawy
[5] Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43

ANTARA AHLUS SUNNAH DAN SALAFIYAH

ANTARA AHLUS SUNNAH DAN SALAFIYAH


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2





ANTARA AQIDAH DAN MANHAJ

Tidaklah ragu bahwa sebagian da'i manhaj dakwah yang baru (yaitu dakwah yang mengikuti salaf dalam pokok-pokok aqidah saja, tidak dalam seluruh sisi agama) bersepakat dengan kita dalam "pokok-pokok aqidah", artinya mereka mengakui aqidah sesuai dengan metode ulama salaf, baik yang berkaitan dengan tauhid uluhiyah, tauhid asma 'wa shifat dan berbagai pembahasan iman yang lain.

Saya katakan "pokok-pokok aqidah" karena di sana ditemukan perbedaan dalam menerapkan beberapa rincian aqidah. Misalnya tauhid uluhiyah dengan tauhid hakimiyah/mulkiyah. (pendapat) yang membedakan dua tauhid diatas, di zaman ini, mula-mula dinukil dari tulisan-tulisan Abul A'la al Maududi, Sayid Qutb, kemudian saudaranya, yaitu Muhammad Qutb, dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Para da'i itu mengambil pendapat mereka, yang hal ini sesuai dengan hasrat para pemuda yang sedang tumbuh semangat dan emosi mereka. Mereka senang mendapatkannya, menjadikannya sebagai tema dakwah serta simbol manhaj mereka.

Andaikan mereka mau sejenak merenungkan, niscaya akan mengetahui kesalahan istilah tauhid hakimiyah dari dua segi :

[1]. Istilah tersebut adalah istilah baru yang tidak ada faedahnya, kecuali hanya membesar-besarkan beberapa masalah daripada masalah-masalah lainnya.

[2]. Tauhid hakimiyah, yang menurut mereka adalah makna dari firman Allah:

"Artinya : Tidaklah menetapkan hukum itu melainkan hak Allah" [Al-An'aam:57]

Adalah bagian dari keumuman makna tauhid uluhiyah. Ini adalah suatu yang sangat jelas. Kalau demikian, membedakannya adalah perbuatan sia-sia.

Tauhid uluhiyah adalah aspek paling penting dalam dakwah para Rasul sebagaimana yang dipaparkan Al-Quran. Tauhid ini merupakan tema konflik yang terjadi antara para Rasul dengan para penentang dan musuh mereka di setiap umat. Tauhid ini hingga sekarang menjadi tema konflik antara pembela kebenaran dan pendukung kesesatan. Bahkan mungkin hal ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Sebagai ujian bagi ahli waris para Rasul dan sebagai sarana untuk meninggikan kedudukan mereka di hadapan Allah.

Pemisahan tauhid uluhiyah dengan hakimiyah ini menyebabkan prioritas dakwah Islam menjadi berantakan. Dalam kitab "Al-Usus Al-Akhlaqiyyah" Al-Maududi menyatakan: "Tujuan hakiki agama (Islam) adalah menegakkan sistem imamah/kepemimpinan yang shalih lagi terbimbing".

Ini adalah ucapan yang tidak berdasar, karena tujuan hakiki agama ini, tujuan penciptaan jin dan manusia, tujuan para Rasul diutus dan tujuan berbagai kitab samawi diturunkan adalah beribadah kepada Allah dan memurnikan ketundukan kepadaNya.

Meski demikian, bentuk perpecahan nampak jelas dalam manhaj dan metode yang ditempuh para da'i tersebut untuk mewujudkan aqidah dan tujuannya. Inilah titik perbedaan antara dakwah salafiyah dengan dakwah-dakwah lainnya, yang hanya mengadopsi aqidah salafiyah namun menyelisihi manhajnya.

Untuk mengetahui perbedaan aqidah dengan manhaj, saya katakan:

Allah Ta'ala berfirman:

“Artinya : Untuk setiap kalian, kami jadikan manhaj dan syariat yang berlainan” [Al Maidah : 48]

Ibnu Abbas berkata, 'Jalan dan sunnah' [Lalikai:66, Thabari 6/271]

Ibnu Katsir dalam tafsirnya 2/105 menyatakan : “Ayat ini berisi informasi tentang berbagai umat yang berbeda-beda agamanya, dari sisi perbedaan syariat dalam hukum amaliah, tetapi sama dalam masalah tauhid”

Jadi ayat ini mengisyaratkan kesatuan dakwah para Nabi dalam aspek tauhid dan perbedaan mereka dalam manhaj, jalan dan metode.

“Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu “ [Al Jatsiyah :18]

Sufyan bin Husain menyatakan (berada di atas suatu syariat), yaitu: 'di atas Sunnah' [Thabari 6/271].

Walhasil syariat Islam ini memilih manhaj yang jelas, kita diperintahkan untuk mengikutinya, yaitu jalan orang-orang beriman. Manhaj ini secara sangat gamblang telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran. Bahkan Allah mendorong untuk mengikutinya dan mencela keras orang yang menyelisihinya, sebagaimna dalam firmanNya:

“Artinya :Barangsiapa menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk/ilmu dan menempuh bukan jalan orang-orang beriman, maka Kami akan palingkan ia ke mana ia mau, dan Kami akan memasukkannya ke dalam jahanam. Itulah sejelek-jelek tempat kembali” [An-Nisaa':15]

Ini merupakan penjelasan yang sangat gambalang dan hujjah yang sangat kuat bagi para hambaNya untuk menyatakan kewajiban menempuh jalan orang-orang yang beriman. Allah juga mengancam kepada orang yang keluar dari jalan orang-orang yang beriman dan menempuh selain jalan mereka. Allah akan meninggalkan mereka di dunia, dan akan menyiksanya di akhirat nanti dengan azab yang menyakitkan.

Akan kami tegaskan lagi manhaj dan urgensinya. Manhaj itu adalah manhaj para shahabat dan orang-orang yang menempuh jalan mereka, baik tabiin maupun tabiut tabiin. Merekalah Salafush Shalih yang mendapat rekomendasi dari Nabi. Karena mereka adalah generasi yang memiliki pemahaman pada masa wahyu diturunkan. Mereka sendiri menyaksikan Al-Quran diturunkan. Tentu, mereka adalah orang yang memiliki pemahaman yang paling dekat dengan kehendak Allah dan RasulNya serta mengetahui sisi-sisi pemahaman hukum.

Maka kita menempuh manhaj mereka, mengikuti petunjuk mereka, menisbatkan diri dan mengajak kepada manhaj itu. Manhaj mereka adalah menekuni dakwah, saling mewasiatkan kebenaran dan komitmen dengan jalan yang lurus.

“Artinya : Katakanlah, inilah jalanku mengajak kepada agama Allah berdasarkan ilmu, aku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik” [Yusuf :108]

“Artinya : Dan Inilah jalanku yang lurus, ikutilah ia dan jangan kalian menikuti berbagai jalan yang lain niscaya kalian akan terpisah dari jalanNya” [Al An'am :153]

Pemahaman salaf merupakan rujukan pokok, karena mereka adalah orang yang berfitrah lurus, beriman yang benar, memiliki kefasihan dan Al Quran turun dengan menggunakan bahasa mereka.

Demikian pula Rasulullah di tengah-tengah mereka. Beliau jelaskan hal-hal yang musykil, beliau singkap hal-hal yang samar/tidak jelas dalam pikiran mereka dan selalu meluruskan jalan mereka.

Nash Al Quran dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan dan ketinggian kedudukan mereka, sudah sampai derajat mutawatir. Kedudukan ini mereka dapatkan, karena mereka pendahulu dalam menempuh jalan-jalan kebaikan. Allah menjadikan mereka sebagai panutan beragama bagi orang-orang sesudah mereka. Allah juga menyanjung orang-orang yang mau mengikuti dan menempuh jalan mereka. Sedangkan pengikut itu mendapatkan keutamaan karena disebabkan keutamaan orang yang diikuti sebagaimana firman Allah:

“Artinya : Orang-orang terdahulu lagi pertama kali masuk Islam di antara muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”.[At Taubah :100]

Inilah cuplikan dan keutamaan manhaj salaf dan keistimewaannya dibandingkan manhaj-manhaj yang baru atau menyimpang. Manhaj yang dibangun di atas kepasrahan mutlak kepada perintah Allah dan RasulNya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan, menoleh kepada istihsan (anggapan baik berdasarkan akal/perasaan) atau mengkonsentrasikan kepada emosi, semangat atau pendapat manusia.

Dalil tentang hal ini, berlimpah ruah dalam Al-Quran dan Sunnah. Di sini akan disebutkan dua diantaranya. Kedua dalil ini merupakan penjelasan yang gamblang berkaitan dengan kerangka umum manhaj yang lurus ini.

Pertama.
“Artinya : Maka tidak, demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam hal-hal yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian mereka tidak mendapatkan kesempitan dalam diri mereka terhadap keputusan yang engkau berikan dan mereka benar-benar memasrahkan diri” [An Nisaa' : 65]

Kedua:
Perkataan Rafi bin Khadij dalam sebuah hadits:
“Artinya : Rasulullah melarang dari hal yang bermanfaat bagi kami. Namun ketaatan kepada Allah dan RasulNya lebih bermanfaat bagi kami” [Hadits Riwayat Muslim no 1548]

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak jelas perbedaan global antara aqidah dan manhaj. Intinya, manhaj itu dibangun berdasarkan kepasrahan yang mutlak. Namun di sini harus dijelaskan bahwa terus-menerus menyimpang dari manhaj akan menyebabkan penyimpangan dalam aqidah dan tauhid itu sendiri. Orang yang mengamati jama'ah-jama'ah dakwah kontemporer akan melihat bukti jelas tentang hal itu.

Bukanlah sudah maklum dalam pembinaan keimanan yang dilakukan Allah, bahwa Allah akan menghukum tindakan dosa dengan mengerjakan dosa yang lain, inilah hukuman dosa yang paling keras.

Seperti itulah karena penyimpangan umat Islam dalam amal dan perilaku, umat ini dihukum dengan terjadinya penyimpangan dalam aqidah dan persepsi.


[Disalin dari terjemahan Mukadimah Kitab Ru'yah Waqi'iyah karya Syaikh Ali bin Hasan al Halabi oleh Ibnu Ahmad al Lambunji dari majalah As Sunnah Edisi 02/Tahun VI/1423H/2002M]

ANTARA AHLUS SUNNAH DAL SALAFIYAH

Di sini juga perlu dijelaskan antara istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan Salafiyah. Suatu hal yang perlu dicermati dari tingkah laku sebagian da'i adalah mereka tidak mau menyebut dakwah mereka dengan dakwah salafiyah, walapun secara tegas mereka menyatakan bahwa aqidah mereka adalah salafi. Mereka hanya mau mempopulerkan dakwah mereka dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mereka mengulang-ulang nama tersebut di berbagai kesempatan, ketika menyampaikan pidato atau ketika menulis buletin. Ini merupakan ketetapan Allah yang agung. Supaya dakwah yang haq nampak beda dengan dakwah-dakwah yang menyerupainya. Agar dakwah yang haq tidak tercampur dari segala hal yang mengaburkannya.

Penjelasan tentang hal itu sebagai berikut: Sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah muncul ketika timbul bid'ah-bid'ah yang meyesatkan sebagian manusia. Maka perlu nama untuk membedakan umat islam yang komitmen dengan sunnah. Nama itu adalah Ahlus Sunnah sebagai lawan Ahlu Bid'ah. Ahlus Sunnah juga disebut Al-Jama'ah, karena mereka adalah kelompok asal (asli). Sedangkan orang-orang yang terpecah dari ahlus sunnah dikarenakan bid'ah dan hawa nafsu adalah orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Sedangkan saat ini, istilah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah telah menjadi rebutan berbagai kaum dan jama'ah yang beraneka ragam. Bisa kita saksikan sendiri, banyak kaum hizbi yang menyebut jama'ah dan organisasi mereka dengan istilah ini. Bahkan beberapa tharekat Sufi melakukan tindakan yang sama. Sampai-sampai Asy'ariyah, Maturidiyah, Barilawiyah dan lain-lainnya mengatakan 'Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah'.

Namun mereka semua menolak untuk menamakan diri mereka dengan Salafiyah. Mereka menjauhkan diri untuk menisbatkan kepada manhaj salaf, terlebih lagi kenyataan dan hakikat mereka (yakni mereka jauh dari mengikuti Salafush Shalih).

Ini adalah suatu yang biasa bagi kita, karena termasuk perkara yang sudah maklum di kalangan para dai yang mengajak kepada Al Quran dan as Sunnah dengan pemahaman ulama salaf, bahwa slogan/prinsip para ahli bid'ah adalah tidak menganut prinsip mengikuti salaf. Karena ittiba' (mengikuti) sesungguhnya mengikuti pemahaman salaf merupakan kata pemutus terhadap perselisihan pemahaman-pemahaman orang-orang di masa kini. Karena sebagian orang menghukumi dengan akalnya, yang lain menghukumi dengan dasar pengalamannya, yang lain lagi menghukumi dengan emosi.

Demikianlah pemahaman mereka, tanpa memperhatikan jalan orang-orang yang beriman (yaitu jalan para sahabat) yang wajib diikuti dan didakwahkan. Jalan orang-orang yang beriman itu pada hakikatnya adalah jalan Salafush Shalih, yang kita menisbatkan diri kepadanya dan kita mengambil petnjuk cahayanya. Karena itu slogan Ahlus sunnah adalah mengikuti salafush shalih dan meninggalkan segala sesuatu yang bid'ah dan baru dalam agama.

Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak 'karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]

Pada zaman ini banyak pengakuan-pengakuan sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah (memang pada hakekatnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan sifat di antara sifat-sifat salafiyah), Maka ada keharusan untuk membedakan diri dari orang-orang yang mengaku-aku Ahlus Sunnah wal Jama'ah (namun mereka menyelisihi sunnah, baik dalam aspek aqidah maupun manhaj) dengan menisbatkan diri dengan manhaj yang mereka ketakutan untuk terang-terangan menyatakannya dan tidak merasa terhormat dengan bernisbat kepadanya. Karena hal itu akan mengadili mereka apakah mereka mencocoki atau menyelisihi manhaj itu yaitu manhaj salaf dalam metode dan tujuan dakwah, atau dalam aqidah, fiqih, persepsi tentang Islam dan perilaku.

Juga perlu dikatakan kepada orang yang mengikngkari penisbatan kepada Salafiyah. Sesungguhnya menisbatkan diri kepada salaf dan terus terang berbangga terhadap setiap orang yang menyelisihi kebenaran, baik menyelisihi dalam perilaku maupun pembuatan teori-teori, dan terang-terangan menyatakan bahwa satu-satunya dakwah yang benar adalah dakwah salafiyah, itu semua bukanlah aib. Tidak ada bahaya bagi pelakunya. Karena salafiyah adalah nisbat kepada salaf. Penisbatan ini tidak pernah terpisah meski dalam sekejap mata dari umat Islam sejak terbentuknya minhaj kenabian. Salafiyah itu mencakup semua umat Islam yang menempuh metode generasi pertama dan orang-orang yang mengikuti mereka, dalam metode mendapatkan ilmu, memahami ilmu dan mendakwahkannya. Jadi Salafiyah tidak lagi terbatas pada fase sejarah tertentu, bahkan harus dipahami bahwa makna salaf terus berjalan sepanjang kehidupan dunia.

Hal ini makin dikuatkan bahwa Salafiyah mencakup setiap bagian dari Islam yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jadi Salafiyah bukanlah suatu corak beragama yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, baik dengan menambah ataupun dengan menguranginya.

Termasuk perkara yang perlu diperhatikan, seandainya umat ini telah berada di dalam bentuk Islam yang benar, tanpa tercampur dengan bid'ah dan hawa nafsu, sebagaimana yang terjadi di masa awal Islam terutama masa salafus shalih, niscaya lenyaplah berbagai sebutan yang berfungsi sebagai pembeda karena tidak adanya penentang.

Karena hal itu maka ikatan wala' (kecintaan) dan bara'(berlepas diri), pembelaan dan permusuhan menurut orang-orang yang menisbatkan diri kepada salaf adalah berdasarkan Islam. Bukan yang lain. Tidak dengan corak tertentu selain Islam. Wala' dan bara' itu hanyalah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah saja.

Dengan ini semua, benar-benar jelas bahwa makna Salafiyah dan hakikat penisbatan kepada salaf adalah nisbat kepada salaf shalih, yaitu semua sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Bukan orang-orang setelah sahabat yang dibelokkan oleh hawa nafsu, yang mereka adalah generasi yang buruk. Generasi yang menyimpang dari salaf shaleh dengan nama atau corak tertentu. Dari sinilah mereka dinamai khalaf (orang yang datang kemudian) dan penisbatannya adalah khalafi.

Jadi Salafiyah tidak memiliki corak yang keluar dari Kitab dan Sunnah. Salafiyah adalah nisbat yang tidak pernah terpisah sekejappun dari generasi pertama. Bahkan Salafiyah adalah bagian dari mereka dan merujk kepada mereka.

Sedangkan orang-orang yang menyelisihi salaf shalih dengan nama atau corak tertentu, bukanlah bagian dari mereka, meski hidup di tengah-tengah mereka atau senantiasa dengan mereka. Karena itulah para sahabat berlepas diri dari Qadariyah, Murjiah dan lain-lain.

Jika demikian maka asas-asas dan kaedah-kaedah untuk mengikuti salaf harus nampak jelas dan tegar. Sehingga tidak merancukan orang-orang yang ingin mengikuti salafus shaleh.

Karena itulah harus ada pembeda antara Ahlus Sunnah dengan para pengaku Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Yaitu dengan sebuah nisbat yang mereka tidak berani menggunakannya. Karena penisbatan itu akan membongkar penyimpangan dan cacat jika dicek/dibandingkan dengan jalan orang-orang yang beriman (yaitu sahabat) dan metode salafus shalih. Pembeda itu adalah Salafiyah. Jalan salaf shalih itulah jalan yang jelas tanpa perlu diragukan. Yakni jalan para sahabat dan tabi'in. Inilah jalan petunjuk dan jalan untuk mendapatkan petunjuk.

“Artinya : Maka janganlah orang-orang yang tidak mau beriman dan mengikuti hawanya menghalangimu darinya sehingga engkau akan binasa’ [Thaha :16]


[Disalin dari terjemahan Mukadimah Kitab Ru'yah Waqi'iyah karya Syaikh Ali bin Hasan al Halabi oleh Ibnu Ahmad al Lambunji dari majalah As Sunnah Edisi 02/Tahun VI/1423H/2002M]

APAKAH POKOK-POKOK AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM AQIDAH

APAKAH POKOK-POKOK AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM AQIDAH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah aqidah dan masalah-masalah agama yang lain ?

Jawaban
Kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah aqidah dan masala-masalah dien yang lain adalah berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga petunjuk dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi” [Ali-Imran : 31]

“Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” [An-Nisa ; 80]

“Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah ; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya” [Al-Hasyr : 7]

Ini, meskipun dalam masalah pembagian ghanimah, maka dalam urusan-urusan syar’i lebih utama lagi, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada manusia pada hari Jum’at, beliau berkata :

“Artinya ; Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitbaullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat adalah neraka” [1]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku, dan sunnah khulafaur rasyidin al mahdiyin setelahku, berpeganglah kepadanya, dan gigitlah dengan geraham dan jauhilah perkara yang diada-adakan, sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” [2].

Nash-nash dalam masalah ini banyak. Jadi jalan ahlus sunnah wal jama’ah dan manhaj mereka adalah berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta sunnah khulafaur rasyidin al mahdiyin setelah beliau. Oleh karena itu merek menegakkan dien dan tidak bercerai-berai sebagai wujud pelaksanaan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” [Asy-Syura : 13]

Mereka itu, meskipun di antara mereka terjadi perselisihan karena ijtihad yang memang diperbolehkan, namun perselisihan ini tidak menyebabkan perselisihan hati-hati mereka, bahkan kamu dapati mereka ini bersatu dan saling mencintai, meskipun terjadi perselihan yang berangkat dari ijtihad.


[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Muslim, Kitabul Jum’ah, Bab Tahfifus Shalat wal Khutbah 867, 43
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitabus Sunnah bab Filuzumis Sunnah 4 : 607

BEBERAPA HAKIKAT DAKWAH AHLUSSUMMAH DAN PERBEDANNYA DENGAN AHLUL BID'AH

Beberapa Hakikat Dakwah Ahlussunnah Dan Perbedaannya Dengan Ahlul Bid'ah

Kategori Manhaj


BEBERAPA HAKIKAT DAKWAH AHLUSSUMMAH DAN PERBEDANNYA DENGAN AHLUL BID'AH





Dakwah apapun jika tidak tegak di atas landasan kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hanyalah akan menjadi fitnah (adzab) yang menyerupai awan (yang membawa adzab) kaum ‘Ad. "Maka tatkala mereka melihat adzab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka. Mereka berkata, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.' Bukan! Bahkan itulah adzab yang kamu minta supaya datang dengan segera, yaitu angin yang mengandung adzab yang pedih." [Al-Ahqaf: 24]

Yaitu dakwah yang tidak menjadikan ilmu hadits sebagai asas dan tidak bersandar kepada pemahaman para sahabat, generasi awal yang utama, dan alim ulama, pada awalnya tampak benar, namun lambat laun akan tampak cacat dan celanya kemudian akan berbalik menjadi fitnah (musibah) bagi umat dan akan menjadi penghalang dari agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya akan mendapat banyak petunjuk ataukah orang yang berjalan tegar di atas jalan yang lurus?" [Al-Mulk : 22]

Berikut ini beberapa hakikat dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah :

Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah yang tegak di atas Al-Qur’an dan Hadits menurut manhaj para salafus shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan alim ulama, serta orang-orang yang mengikuti mereka. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam tanpa tahrif, tamtsil, takyif, atau ta’thil. (Tahrif adalah mengubah lafadz sifat yang disebutkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau menyimpangkannya dari makna sebenarnya. Tamtsil adalah menyamakan/menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Takyif adalah mempertanyakan bagaimana sifat Allah itu atau menggambarkannya. Ta’thil adalah meniadakan seluruh atau sebagain dari sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah)

Adapun selain Ahlus Sunnah, mereka menghukumi Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dengan mendahulukan akal, adat, kasyaf, perasaan, mimpi, ataupun (kepentingan) golongan. Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah menyelisihinya, maka mereka akan menyelewengkannya dan memalingkannya. Dan jika mereka tidak mampu melakukannya, mereka akan menolaknya dengan dalih bertentangan dengan azas yang menjadi dasar mereka, atau berdalih dengan menyatakan bahwa hadits itu ahad (bukan mutawatir) atau dengan dalih bertolak belakang dengan maslahat dakwah. Menurut mereka dakwah harus menurut pemahaman mereka, bukan menurut pemahaman salafus shalih.

Ahlus Sunnah menegakkan wala’ (loyalitas) dan permusuhan berdasarkan manhaj tadi secara adil dan inshaf (tengah-tengah). Sedang-kan selain Ahlus Sunnah, menegakkan wala’ dan permusuhan berdasarkan hawa nafsu dan golongannya; siapa yang sependapat dengan mereka, akan dianggap sebagai orang/teman dekat yang diagungkan walaupun seorang penjahat. Dan siapa yang menyelisihi mereka akan diteror/diintimidasi dan dicampakkan, walaupun seorang alim yang bertakwa.

Penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah amat peduli dengan ilmu-ilmu syar’i. Hal itu tampak pada keridhaannya terhadap ahli ilmu (ulama), (tampak pada kesukaannya) untuk mengambil faidah dari ilmu dan akhlak dari ahli ilmu, (tampak pada komitmennya untuk) bersandar pada dalil-dalil syar’i yang shahih serta beramal sesuai dengan tuntunan ilmu syar’i.

Sebaliknya Ahlul bid’ah menjauhi ilmu-ilmu sunnah dan tokoh-tokohnya serta membenci ilmu sanad dan hadits. Dan mendorong para penuntut ilmu untuk membolak-balik tabloid, majalah, koran-koran harian, mingguan, dan lain-lain. Adapun Ahlus Sunnah tidaklah melarang untuk menela’ah hal-hal tersebut, akan tetapi kepedulian mereka yang utama adalah menela’ah ilmu syar’i. Sedangkan selain mereka hanya peduli dengan ilmu syar’i sekedar untuk membantu hizb (golongan) dan dakwah hizbiyah, atau membuat keonaran dan menghasut Ahlus Sunnah yang masih pemula atau menghujat tokoh ulama ahlus sunnah. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, "Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali orang yang merencanakannya sendiri." [Fathir : 43]

Sejarah dakwah salafiyah telah ada sejak dahulu, mereka mengembalikan prinsip dakwah mereka kepada apa yang ditempuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka. Adapun golongan selain Ahlus Sunnah, memulai dakwah mereka dengan prinsip pendirinya atau tokoh-tokohnya. Dan terkadang sebagian mereka berkata, baik dengan bahasa lisan, atau bahasa kenyataan, bahwa petunjuk Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam tidak layak dipakai pada jaman sekarang ini. Padahal generasi akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.

Menurut Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits adalah golongan yang ditolong (Ath-Thaifatul Manshurah) dan Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah). Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menolong agamanya sejak dahulu sampai sekarang mela-lui mereka. Mereka adalah orang-orang yang berada di atas aqidah dan manhaj (pedoman) Ahlul Hadits. Alim ulama rabbani adalah tokoh mereka, sedangkan masyarakat umum yang beraneka ragam adalah pengikut mereka.

Ahlus Sunnah tidak menerima hadits apapun yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kecuali setelah mengetahui bahwa hadits tersebut adalah benar-benar terpercaya berasal dari beliau. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa hadits yang munkar dan palsu sangat besar peranannya dalam menyuburkan kebid’ahan. Ahlus Sunnah tidak menjelaskan sebuah hadits atau menafsirkan suatu ayat, kecuali setelah mengetahui pendapat-pendapat alim ulama secara terperinci dalam hal itu.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bid’ah lebih berbahaya bagi agama seseorang dari pada maksiat. Hal itu karena pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah tersebut dan ia mengira berada di atas hidayah, berbeda dengan pelaku maksiat. Kadangkala pelaku maksiat mengakui kesalahannya dan berdo’a meminta ampun kepada Allah atas perbuatannya. Sedangkan pada umumnya, pelaku bid’ah berasal dari golongan khusus yang dikenal dengan ilmu, ibadah, zuhudnya serta menjadi panutan orang lain. Oleh karena itu, bahayanya lebih besar dari pada pelaku maksiat yang pada umumnya berasal dari pengikut syahwat yang idak menjadi panutan.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Islam melarang perpecahan kaum Muslimin menjadi jama’ah-jama’ah, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan, bahkan Islam mengharuskan seluruh kaum Muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersatu di atas jalan hidup salafus shalih, bukan di atas pemahaman si fulan A dan si fulan B. Dan jangan katakan (untuk berbangga diri) bahwa jamaah ini lebih dahulu berdiri daripada jamaah lainnya. Itu semua adalah perkataan yang tidak berfaidah.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kelompok-kelompok dakwah hizbiyah (kelompok-kelompok sempalan) memiliki metode yang beraneka ragam, ruwet lagi kacau. Oleh karena itu wajib bagi para pencari kebenaran untuk sadar akan hal ini. Dan kesadaran tersebut hanya bisa diperoleh dengan ilmu dan kedewasaan berpikir, dan menjauhkan diri dari kebodohan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan, dan sikap membabi buta terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengannya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak kepada persatuan dan kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Keduanya sangat urgen di dalam dakwah ini. Ahlus Sunnah tidak akan menyerukan persatuan di atas kesesatan dan persatuan di atas buih-buih kerusakan. Ahlus Sunnah tidak mengajak kepada sesuatu yang bisa mencerai-beraikan kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan mereka sehingga membuat gembira musuh-musuh mereka. Tetapi Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan, kesatuan dan kerukunan di atas sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan di atas kebenaran yang nyata. Apabila bertabrakan dua hal ini, yaitu antara urgensi persatuan dan sunnah, terkadang Ahlus Sunnah mendahulukan urgensi persatuan dan terkadang mendahulukan urgensi berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Hal itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta memperhitungkan maslahat dan mafsadat berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan oleh alim ulama baik yang dahulu maupun yang sekarang, dan masing-masing kondisi punya sandaran di dalam sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Ahlus Sunnah, manhajnya adalah manhaj salaf dan sikap perjuangannya pun adalah sikap perjuangan salaf. Adapun selain ahlus sunnah, manhajnya bisa salafi tapi sikap perjuangannya adalah sikap perjuangan modern, yaitu menyibukkan diri dengan mengomentari penguasa dan tindakan-tindakan mereka, serta tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara Asma’ wa sifat kecuali hanya untuk dihafal dengan model hafalan usang yang tanpa makna. Adapun ahlus sunnah memberikan segala sesuatu sesuai dengan ukurannya sebagaimana yang dilakukan para salaf dan sesuai dengan kaidah-kaidah salaf dalam upaya meraih maslahat yang maksimal serta dalam upaya menghapus dan menekan mafsadah (kerusakan) seminimal mungkin.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencela, menghujat dan melaknat para penguasa di atas mimbar bukan merupakan manhaj (pedoman) salafus shalih (dalam menghilangkan kemungkaran –pent).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menekankan untuk selalu bersabar terhadap kejelekan penguasa walaupun mereka bertindak sewenang-wenang. Ahlus Sunnah juga tidak mengharapkan materi dunia dari penguasa. Dan Ahlus Sunnah memandang wajib menasehati para penguasa tanpa harus menyiarkan aib, tanpa hujatan, dan tanpa merusak di atas muka bumi.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, umat Islam itu bagaikan burung dengan kedua sayapnya. Sayap yang satu adalah alim ulama (bukan ulama su’ –yang buruk- yaitu ulama yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya) dan sayap yang lain adalah para penguasa. Burung tersebut tidak akan sampai ke tujuannya dengan selamat, kecuali dengan kedua sayap tersebut. Tugas alim ulama adalah menjelaskan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tugas para penguasa adalah memerintahkan umat untuk melaksanakannya. Jika terdapat kekurangan pada mereka (ulama dan pemerintah), segeralah dimusyawarahkan untuk mencari solusi terbaik bagi kaum Muslimin. Bukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa, dan bukan pula dengan berburuk sangka kepada alim ulama (ulama Akhirat –pen.)

Menurut Ahlus Sunnah, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan dan pendapat-pendapat yang benar. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak akan menafikan hal itu hanya karena perselisihan yang terjadi dengan mereka. Namun hal itu bukan halangan untuk menasehati kelompok-kelompok tersebut dan memperingatkan umat dari kesalahannya dengan syarat:

[1]. Akibat buruk dari perbuatan mereka akan menyebar kepada umat, tidak terbatas kepada mereka saja, dan

[2]. Peringatan tersebut tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa kebodohan dan perpecahan adalah penyebab lemahnya umat ini. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah bertekad untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah umat dan Ahlus Sunnah mencegah sifat bergolong-golongan dan fanatik yang tercela.

Ahlus Sunnah tidak mengharamkan ilmu pengetahuan umum yang bermanfaat bahkan memandangnya sebagai amalan yang dibolehkan atau sunnah, atau bahkan wajib bagi sebagian orang pada waktu-waktu tertentu. Karena urusan dunia telah dibuka seluas-seluasnya bagi kita dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Kamu lebih mengetahui urusan duniamu."

Ahlus Sunnah tidak setuju dengan metode dakwah melalui pentas-pentas sandiwara sebab hal tersebut minimal mengandung kedustaan. Dan tidak pula melalui nasyid-nasyid sebab mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Juga karena hal itu adalah bentuk tasyabbuh (meniru orang kafir) dan dapat mengabaikan perkara yang lebih penting.

Ahlus Sunnah tidak membenarkan taqlid buta kepada seorang pun, karena semua orang dapat diambil atau ditolak ucapannya, kecuali Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan apa-apa yang benar-benar telah disepakati oleh umat. Karena sesungguhnya umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Ahlus Sunnah mencintai seluruh imam Ahlus Sunnah dan mengikuti mereka jika dalil yang kuat ada pada mereka, tidak mengkhususkan salah satu di antara mereka untuk diikuti, dan Ahlus Sunnah selalu berusaha untuk memberantas fanatik madzhab atau fanatik golongan.

Inilah sebagian dari kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah dan perbedaannya dengan manhaj dakwah lainnya. Kepada sebagian kaum Muslimin yang sementara teracuni dengan berbagai pemikiran dan syubhat, kami ajak untuk kembali menggunakan akal sehat dan nurani yang jernih. Sudah lewat masanya kita menganggap hidup sebagai sebuah eksperimen dimana kita merasa bebas untuk mencoba-coba apa saja, termasuk agama kita. Wallahu Ta’alaa A’lam


[Dikutip dengan perubahan seperlunya dari Fatwa-fatwa Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As Sulaimani Al Mishri dari terjemahan kitab Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah dan Majalah As-Sunnah Edisi 07/Th. III/1419-1998]

BEBERAPA KARAKTERISTIK ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

BEBERAPA KARAKTERISTIK ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia mau melakukan perbandingan antara berbagai keyakinan yang ada di antara umat manusia saat ini, niscaya ia menemukan beberapa karakteristik dan ciri-ciri dari ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang merupakan ‘aqidah Islamiyah yang haq (benar) berbeda dengan lainnya.

Karakter Dan Ciri-Ciri Itu Diantaranya:

[1]. Keotentikan Sumbernya.

Hal ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah semata-mata hanya bersandarkan kepada al-Qur-an, hadits dan ijma’ para ulama Salaf serta penjelasan dari mereka. Ciri ini tidak terdapat pada aliran-aliran Mutakalimin, ahli bid’ah dan kaum Sufi yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau kepada kasyaf, ilham, wujud dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia yang lemah. Mereka jadikan hal tersebut sebagai patokan atau sandaran di dalam masalah-masalah yang ghaib. Padahal ‘aqidah itu semuanya ghaib.

Sedangkan Ahlus Sunnah selalu berpegang teguh al-Qur-an dan Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Ijma’ Salafush Shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi, ‘aqidah apa saja yang bersumber dari selain al-Qur-an, hadits, ijma’ Salaf dan penjelasan mereka itu, maka adalah termasuk kesesatan dan kebid’ahan.[1].

[2]. Berpegang Teguh Kepada Prinsip Berserah Diri Kepada Allah Dan Kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

Sebab ‘aqidah adalah masalah yang ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan (taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah (dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). Maksudnya, hal tersebut adalah apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya (wajib diterima dan diyakini sepenuhnya. Taslim merupakan ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh Allah, seraya berfirman:

"Artinya : Alif Laam Mim. Kitab al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka beriman kepada yang ghaib..."[Al-Baqarah: 1-3]

Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal, maka oleh karena itu Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah ‘aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan Ahli bid’ah dan Ahli Kalam (mutakalimin). Mereka memahami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. Tidak mungkin mereka mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak melapangkan akalnya [2]. dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan ‘aqidah mereka dengan ittiba’ dan mereka tidak membiarkan kaum Muslimin awam berada pada fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada mereka.[3]

[3]. Sejalan Dengan Fitrah Yang Suci Dan Akal Yang Sehat.

Hal itu karena ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jam’ah berdiri di atas prinsip ittiba’ (mengikuti), iqtidha’ (meneladani) dan berpedoman kepada petunjuk Allah, bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ‘aqidah generasi terdahulu (Salaful Ummah). ‘Aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan golongan yang lain itu hanya berupa khayalan dan dugaan-dugaan yang membutakan fitrah dan membingungkan akal belaka.[4].

[4]. Mata Rantai Sanadnya Sampai Kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Para Shahabatnya Dan Para Tabi’in Serta Para Imam Yang Mendapatkan Petunjuk

Tidak ada satu dasar pun dari dasar-dasar ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak mempunyai dasar atau sanad atas qudwah (contoh) dari para Shahabat, Tabi’in dan para Imam yang mendapatkan petunjuk hingga Hari Kiamat. Hal ini sangat berbeda dengan ‘aqidah kaum mubtadi‘ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum Salaf di dalam ber‘aqidah. ‘aqidah mereka merupakan hal yang baru (bid’ah) tidak mempunyai sandaran dari al-Qur'an dan as-sunnah, ataupun dari para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Tabi’in. Oleh karena itu, maka mereka berpegang kepada kebid’ahan sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan.[5]

[5]. Jelas Dan Gamblang.

‘Aqidah Ahlus Sunnah mempunyai ciri khas yaitu gamblang dan jelas, bebas dari kontradiksi dan ketidakjelasan, jauh dari filsafat dan kerumitan kata dan maknanya, karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang sangat jelas yang tidak datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari belakang, dan bersumber dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya. Sedangkan ‘aqidah dan keyakinan yang lainnya berasal dari ramuan yang dibuat oleh manusia atau ta’wil dan tahrif mereka terhadap teks-teks syar’i. Sungguh sangat jauh perbedaan sumber dari ‘aqidah Ahlus Sunnah dan kelompok yang lainnya. ‘Aqidah Ahlus Sunnah adalah tauqifiyah (berdasarkan dalil/nash) dan bersifat ghaib, tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah dimaklumi.[6]

[6]. Bebas Dari Kerancuan, Kontradiksi Dan Kesamaran.

‘Aqidah Islam yang murni ini tidak ada kerancuan padanya, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu karena ‘aqidah tersebut bersumber dari wahyu, kekuatan hubungan para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyah (penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka terhadap al-haq (kebenaran) yang mereka miliki. Orang yang meyakini ‘aqidah Salaf tidak akan ada kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam beragama. Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka tidak pernah lepas dari penyakit bingung, cemas, ragu, rancu dan mengikuti kesamaran.

Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka mutakallimin (ahlu kalam), tokoh filosof dan para tokoh sufi sebagai akibat dari sikap mereka menjauhi ‘aqidah Salaf. Dan kembalinya sebagian mereka kepada taslim dan pengakuan terhadap ‘aqidah Salaf, terutama ketika usia mereka sudah lanjut atau mereka meng-hadapi kematian, sebagaimana yang terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H). Beliau telah merujuk kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (‘aqidah Salaf) sebagaimana dinyatakan di dalam kitabnya, al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah, setelah sebelumnya menganut ‘aqidah mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan antara ‘aqidah mu’tazilah dan ‘aqidah Salaf) dan akhirnya kembali kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal serupa juga dilakukan oleh Imam al-Baqillani (wafat th. 403 H) sebagaimana dinyatakan dalam kitab at-Tamhid, dan masih banyak lagi tokoh terkemuka lainnya. [7]

[7]. ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Merupakan Faktor Utama Bagi Kemenangan Dan Kebahagian Abadi Di Dunia Dan Akhirat.

‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan faktor utama bagi terealisasinya kesuksesan, kemenangan dan keteguhan bagi siapa saja yang menganutnya dan menyerukannya kepada umat manusia dengan penuh ketulusan, kesungguhan dan kesabaran. Golongan yang berpegang teguh kepada ‘aqidah ini yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang diberikan kemenangan dan pertolongan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Akan tetap ada satu golongan dari umatku yang berdiri tegak di atas al-haq (kebenaran), tidak akan membahayakan bagi mereka siapa yang tidak menghiraukannya hingga datang perintah Allah (hari kiamat) tiba dan mereka tetap seperti itu. [8]

[8]. ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Adalah ‘Aqidah Yang Dapat Mempersatukan Umat.

‘Aqidah Ahlus Sunnah merupakan jalan yang paling baik untuk menyatukan kekuatan kaum Muslimin, kesatuan barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan dunia. Hal ini dikarenakan ‘aqidah Ahlus Sunnah mampu mengembalikan mereka kepada al-Qur'an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan jalannya kaum mu’minin yaitu jalannya para Shahabat. Keistimewaan ini tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau lembaga da’wah apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sejarah adalah saksi dari kenyataan ini! Hanya negara-negara yang berpegang teguh kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah sajalah yang dapat menyatukan kekuatan kaum Muslimin yang berserakan, hanya dengan ‘aqidah Salaf maka jihad serta amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak dan tercapailah kemuliaan Islam.[9]

[9]. Utuh, Kokoh Dan Tetap Langgeng Sepanjang Masa.

‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah utuh dan sama dalam masalah prinsipil (ushuludin) sepanjang masa dan akan tetap seperti itu hingga hari Kiamat kelak. Artinya ‘aqidah Ahlus Sunnah selalu sama, utuh dan terpelihara baik secara riwayat maupun keilmuannya, kata-kata, maupun maknanya. Ia diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan, pencampuradukan, kerancuan dan tidak mengalami penambahan maupun pengurangan. Hal tersebut karena ‘aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari al-Qur'an yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakang dan dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsu. [10]

[10]. Allah Menjamin Kehidupan Yang Mulia Bagi Orang Yang Menetapi ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Berada dalam naungan ‘aqidah Ahlus Sunnah akan menyebabkan rasa aman dan kehidupan yang mulia. Hal ini karena ‘aqidah Ahlus Sunnah senantiasa menjaga keimanan kepada Allah dan mengandung kewajiban untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar. Orang yang beriman dan bertauhid akan mendapatkan rasa aman, kebaikan, kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasa aman senantiasa menyertai keimanan, apabila keimanan itu hilang maka hilang pula rasa aman.

Firman Allah:

"Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [Al-An’aam: 82].

Orang yang bertaqwa dan beriman akan mendapatkan rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna di dunia dan akhirat. Adapun orang yang berbuat syirik, bid’ah dan maksiyat mereka adalah orang yang selalu diliputi dengan rasa takut, was-was, tidak tenang dan tidak ada rasa aman. Mereka selalu diancam dengan berbagai hukuman dan siksaan pada setiap waktu. [11]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 33-34
[2]. Hal ini tidak boleh difahami bahwa Islam mengekang akal, menonaktifkan fungsinya dan menghapus bakat berfikir yang ada pada manusia, namun seba-liknya, Islam menyediakan bagi akal banyak sarana untuk mengetahui, mengamati, berfikir dan berkarya, sesuatu yang cukup merangsang keinginannya terhadap ciptaan Allah. Wallaahu a’lam.
[3]. Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 34.
[4]. Ibid.
[5]. Lihat Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (I/9) dan Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 35).
[6]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 35).
[7]. Lihat Majmuu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah IV/72-73 dan Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 35-36.
[8]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1920) dan at-Tirmidzi (no. 2229), dari Shahabat Tsauban Radhiyallahu'anhu.
[9]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 37-38).
[10]. Ibid, hal. 38-39.
[11]. Lihat ‘Aqiidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Mafhumuha, Khashaa'isuha, Khasaa-isu Ahliha (hal. 37) karya Muhammad bin Ibrahim al-Hamd. Cetakan I-1416 H.

CIRI-CIRI AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

CIRI-CIRI AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

[1] Sumber pengambilannya bersih dan akurat. Hal ini karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah berdasarkan Kitab dan Sunnah serta Ijma' para Salafush Shalih, yang jauh dari keruhnya hawa nafsu dan syubhat.

[2] Ia adalah aqidah yang berlandaskan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini adalah iman kepada sesuatu yang ghaib. Karena itu, beriman kepada yang ghaib merupakan sifat orang-orang mukmin yang paling agung, sehingga Allah memuji mereka : " Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya ; petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib". [Al-Baqarah : 2-3]. Hal itu karena akal tidak mampu mengetahui hal yang ghaib, juga tidak dapat berdiri sendiri dalam memahami syari'at, karena akal itu lemah dan terbatas. Sebagaimana pendengaran, penglihatan dan kekuatan manusia itu terbatas, demikian pula dengan akalnya. Maka beriman kepada yang ghaib dan menyerah sepenuhnya kepada Allah adalah sesuatu yang niscaya.

[3] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah yang sejalan dengan fithrah dan logika yang benar, bebas dari syahwat dan syubhat.

[4] Sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat, tabi'in dan para imam, baik dalam ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Ciri ini banyak diakui oleh para penentangnya. Dan memang -Alhamdulillah- tidak ada suatu prinsip pun dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang tidak memiliki dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah atau dari Salafus Shalih. Ini tentu berbeda dengan aqidah-aqidah bid'ah lainnya.

[5] Ia adalah aqidah yang mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang rancu, masih samar-samar maupun yang sulit. Semua lafazh-lafazh dan maknanya jelas, bisa dipahami oleh orang alim maupun awam, anak kecil maupun dewasa. Ia adalah aqidah yang berdasar kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah laksana makanan yang bermanfaat bagi segenap manusia. Bahkan seperti air yang bermanfaat bagi bayi yang menyusu, anak-anak, orang kuat maupun lemah.

[6] Selamat dari kekacauan, kontradiksi dan kerancuan. Betapa tidak, ia adalah bersumber kepada wahyu yang tak mungkin datang kepadanya kebatilan, dari manapun datangnya. Dan kebenaran tidak mungkin kacau, rancu dan mengandung kontradiksi. Sebaliknya, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Allah berfirman : "Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya" [An-Nisaa : 82]

[7] Mungkin di dalamnya terdapat sesuatu yang mengandung perdebatan, tetapi tidak mungkin mengandung sesuatu yang mustahil. Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, atau tidak mampu dipahami. Seperti seluruh masalah ghaib, adzab dan nikmat kubur, shirath, haudh (telaga), surga dan neraka, serta kaifiyah (penggambaran) sifat-sifat Allah. Akal manusia tidak mampu memahami atau mencapai berbagai persoalan di atas, tetapi tidak menganggapnya mustahil. Sebaliknya ia menyerah, patuh dan tunduk kepadanya. Sebab semuanya datang dari wahyu, yang tidak mungkin berdasarkan hawa nafsu.

[8] Ia adalah aqidah yang universal, lengkap dan sesuai dengan setiap zaman, tempat, keadaan dan umat. Bahkan kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengannya.

[9] Ia adalah aqidah yang stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yang terus menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi maupun yang lainnya. Ia adalah akidah yang kekal hingga hari kiamat. Ia akan dijaga oleh Allah sepanjang generasi. Tak akan terjadi penyimpangan, penambahan, pengurangan atau penggantian. Betapa tidak, karena Allah-lah yang menjamin penjagaan dan kekalannya. Ia tidak menyerahkan penjagaan itu kepada seorangpun dari mahluk-Nya, Alah berfirman : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan Kamilah yang akan menjaganya". [Al-Hijr : 9]

[10] Ia adalah sebab adanya pertolongan, kemenangan dan keteguhan. Hal itu karena ia adalah aqidah yang benar. Maka orang yang berpegang teguh kepadanya akan menang, berhasil dan ditolong. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang membela kebenaran, yang tidak akan membahayakan mereka orang yang merendahkan mereka sampai datangnya keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian". [Hadits Riwayat Muslim 3/1524]. Maka barangsiapa mengambil aqidah tersebut, niscaya Allah akan memuliakannya dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya Allah akan menghinakannya. Hal itu telah diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Sehingga, ketika umat Islam menjauhi agamanya, terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang menimpa Andalusia (Spanyol) dan yang lain.

[11] Ia mengangkat derajat para pengikutnya. Barangsiapa memegang teguh aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, semakin mendalami ilmu tentangnya, mengamalkan segala konsekwensinya, serta mendakwahkannya kepada manusia, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya, meluaskan kemasyhuranya serta keutamaannya akan tersebar, baik sebagai pribadi maupun jama'ah. Hal itu karena akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah akidah terbaik yang sesuai dengan segenap hati dan sebaik-baik yang diketahui akal. Ia menghasilkan berbagai pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang tinggi.

[12] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah kapal keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat. Sebaliknya barangsiapa meninggalkannya, niscaya tenggelam dan binasa.

[13] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah kasih sayang dan persatuan. Karena, tidaklah umat Islam itu bersatu dalam kalimat yang sama di berbagai masa dan tempat kecuali karena mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebaliknya, mereka akan berpecah belah dan saling berselisih pendapat jika menjauh darinya.

[14] Aqidah Ahlus Suannah wal Jama'ah adalah aqidah istimewa. Para pengikutnya adalah orang-orang istimewa, jalan mereka lurus dan tujuan-tujuannya jelas.

[15] Ia menjaga para pengikutnya dari bertindak tanpa petunjuk, mengacau dan sikap sia-sia. Manhaj mereka satu, prinsip mereka jelas, tetap dan tidak berubah. Karena itu para pengikutnya selamat dari mengikuti hawa nafsu, selamat dari bertindak tanpa petunjuk dalam soal wala' wal bara' (setia dan berlepas diri dari orang lain), kecintaan dan kebencian kepada orang lain. Sebaliknya, ia memberikan ukuran yang jelas, sehingga tidak akan keliru selamanya. Dengan demikian ia akan selamat dari perpecahan, bercerai berai dan kesia-siaan. Ia akan tahu kepada siapa harus membenci, dan mengetahui pula hak serta kewajibannya.

[16] Ia akan memberikan ketenangan jiwa dan pikiran kepada pengikutnya. Jiwa tidak akan gelisah, tidak akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara orang mukmin dengan Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim dan Pembuat Syari'at. Maka hatinya akan merasa aman dengan takdir-Nya, dadanya akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan pikirannya akan jernih dengan mengetahui-Nya.

[17] Tujuan dan amal pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam beribadah. Ia tidak akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kepada selain-Nya.

[18] Ia akan mempengaruhi prilaku, akhlak dan mua'malah. Aqidah ini memerintahkan pengikutnya melakukan setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia memerintahkan keadilan dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman dan penyimpangan.

[19] Ia mendorong setiap pengikutnya bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.

[20] Ia membangkitkan jiwa mukmin agar mengagungkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebab ia mengetahui bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah haq, petunjuk dan rahmat, karena itu mereka mengagungkan dan berpegang teguh pada keduanya.

[21] Ia menjamin kehidupan yang mulia bagi pengikutnya. Di bawah naungan aqidah ini akan terwujud keamanan dan hidup mulia. Sebab ia tegak atas dasar iman kepada Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, dan tidak kepada yang lain. Dan hal itu -dengan tidak diragukan lagi- menjadi sebab keamanan, kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Keamanan adalah sesuatu yang mengiringi iman. Maka, barangsiapa kehilangan iman, ia akan kehilangan keamanan. Allah berfirman : "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". [Al-An'am : 82]. Jadi orang-orang yang bertakwa dan beriman adalah mereka yang memiliki kemanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna pula, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang musyrik dan pelaku maksiat adalah orang-orang yang selalu ketakutan. Mereka senantiasa diancam dengan berbagai siksaan di setiap saat.

[22] Aqidah ini menghimpun semua kebutuhan ruh, hati dan jasmani.

[23] Mengakui akal, tetapi membatasi perannya. Ia adalah aqidah yang menghormati akal yang lurus dan tidak mengingkari perannya. Jadi, Islam justru tidak rela jika seorang muslim memadamkan cahaya akalnya, lalu hanya bertaklid buta dalam persoalan aqidah dan lainnya. Meskipun begitu, peran akal tetaplah terbatas.

[24] Mengakui perasaan manusia dan membimbingnya pada jalan yang benar. Perasaan adalah sesuatu yang alami pada diri manusia dan tak seorangpun manusia yang tidak memilikinya. Aqidah ini adalah aqidah yang dinamis, tidak kaku dan beku, ia mengaku adanya perasaan manusia serta menghormatinya, tetapi bukan berarti ia mengumbarnya. Sebaliknya ia meluruskan dan membimbingnya sehingga menjadi sarana perbaikan dan pembangunan, tidak sebagai alat perusak dan penghancur.

[25] Ia menjamin untuk memberi jalan keluar setiap persoalan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan atau persoalan lainnya.

Dengan aqidah ini, Allah telah menyatukan hati umat Islam yang berpecah belah, hawa nafsu yang bercerai berai, mencukupkan setelah kemiskinan, mengajari ilmu setelah kebodohan, memberi penglihatan setelah buta, memberi makan dari kelaparan dan memberi mereka keamanan dari ketakutan.


[Tasharrufan (saduran) dari Mukhtasar Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin AN NUR Thn. IV/No. 139/Jum'at I/R.Awal 1419H]

CIRI KHUSUS DAN SIFAT UTAMA AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

CIRI KHUSUS DAN SIFAT UTAMA AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH


Oleh
Dr. Nashir Ibn Abdul Karim Al 'Aql





Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah golongan yang selamat dan kelompok yang dimenangkan oleh Allah. Sekalipun ada perbedaan tingkat di antara mereka namun mereka mempunyai ciri-ciri khusus dan sifat-sifat utama yang membuat mereka berbeda dari golongan lain. Antara lain:

[1]. Memberikan perhatian kepada Kitab Allah dalam bentuk hafalan, bacaan dan tafsiran. Di samping itu juga memberikan perhatian kepada hadits dalam bentuk pengertian, pemahaman dan pemilahan yang shahih dari yang dha'if. Ini disebabkan karena keduanya merupakan sumber utama pengambilan dan dengan disertai pengamalan ilmu yang diperolehnya.

[2]. Masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan iman kepada semua isi Kitabullah, yaitu mengimani seluruh nash yang berkenaan dengan janji maupun ancaman Allah, nash yang berkenaan dengan penetapan asma dan sifat Allah maupun yang berkenaan dengan penolakan hal-hal yang tidak patut bagiNya. Mengimani takdir Allah serta menetapkan bahwa makhluk mempunyai keinginan dan kehendak dan Dia-lah yang berbuat, sebagaimana mereka memadukan antara ilmu dengan ibadah, kekuatan dengan kasih sayang, di samping itu juga mau berusaha dan bekerja tetapi tetap sederhana.

[3]. Mengikuti sunnah, meninggalkan bid'ah dan menjauhkan diri dari perpecahan serta perselisihan dalam agama.

[4]. Mencontoh dan mengikuti jejak para tokoh kebenaran yang dapat dipercaya. Yang dicontoh adalah suru teladannya dalam ilmu, amal dan dakwah. Para tokoh kebenaran itu adalah para shahabat serta orang-orang yang mengikuti manhajnya. Di samping itu juga menjauhi orang-orang yang menyalahi jalan mereka.

[5]. Mengambil jalan tengah, baik dalam pemahaman aqidah maupun dalam amal serta tindak tanduk.; Berada di antara golongan yang berlebihan dan golongan yang melalaikan; berada di antara orang-orang yang melampau batas dan orang-orang yang bermalas-malasan.

[6]. Senantiasa menajaga kesatuan sikap umat Islam ata al-haq dan mempersatukan barisannya atas tauhid dan ittiba' (mengikuti sunnah). Di samping itu juga menjauhkan setiap faktor yang dapat menyebabkan pertentangan dan perselisihan di antara umat. Tidak memiliki keistimewaan atas umat dalam prinsip-prinsip agama, kecuali dengan sebutan sunnah wal jama'ah. Tidak memihak serta tidak memusuhi selain atas ikatan Islam dan Sunnah.

[7]. Berda'wah kepada Allah, beramar ma'ruf nahi munkar, berjihad, menghidupkan sunnah, berusaha untuk tajdid [1] agama serta menegakkan syari'at dan hukum Allah dalam segala urusan yang kecil maupun besar.

[8]. Bersikap adil dan bijaksana dan senantiasa memperhatikan hak Allah Ta'ala, bukan hak pribadi atau golongan. Oleh karena itu mereka tidak bersikap berlebihan terhadap orang yang memihak dan tidak pula berlaku zalim terhadap orang yang memusuhinya. Mereka tidak mengingkari kebaikan yang datang dari siapa saja.

[9]. Kesatuan dalam pemahaman dan kesamaan dalam pandangan, sekalipun berjauhan tempat dan berbeda zman. Inilah salah satu hasi dari kesatuan sumber dan pengambilan.

[10]. Berbuat baik, berkasih sayang, dan sopan santun terhadap seluruh umat manusia.

[11]. Ikhlas dan setia kepada Allah, Kitabullah, Rasulullah, pemimpin umat Islam dan seluruh kaum muslimin.

[12]. Memperhatikan urusan umat Islam, membela kepentingannya dan melaksanakan hak-haknya. Mereka tidak melakukan tindakan menyakiti umatnya.


[Disalin dari buku Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Al 'Aqidah edisi Indonesia PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql, Penerbit GIP Jakarta]
_________
Foote Note
[1] Tajdid, yaitu pembaharuan tentang pemahaman dan pengamalan Islam dengan cara kembali kepada ajaran Qur'an dan Sunnah sedcara murni dan konsekwen.

KAIDAH DAN PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MENGAMBIL

KAIDAH DAN PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MENGAMBIL
DAN MENGGUNAKAN DALIL


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


[1]. Sumber ‘aqidah adalah Kitabullah (al-Qur-an), Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dan ijma' Salafush Shalih.

[2]. Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima, walaupun sifatnya Ahad.[2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terima-malah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7]

[3]. Yang menjadi rujukan dalam memahami al-Qur-an dan as- Sunnah adalah nash-nash (teks al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman Salafush Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari bahasa Arab. Namun jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

[4]. Prinsip - prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Siapapun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal tersebut bagian dari agama. Allah telah menyempurnakan agamaNya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah berfirman:

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maaidah : 3].

RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka amalan-nya tertolak” [3]

[5]. Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari al-Quran dan as- Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang Syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan lainnya.

[6.] Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih. Sesuatu yang qath'i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli (ayat ataupun hadits) harus didahulukan.

[7]. Rasulullah 'Alaihi shallatu wa sallam adalah ma'shum (dipelihara Allah dari kesalahan) dan para Shahabat Radhiyallahu ajmain secara keseluruhan dijauhkan Allah dari kesepakatan di atas kesesatan. Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari mereka yang ma'shum. Jika ada perbedaan di antara para Imam atau yang selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah j dengan me-maafkan orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia adalah orang yang berijtihad.

[8]. Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujadalah (berbantahan) dengan cara yang baik itu masyru‘ah (disyariatkan). Dalam hal yang telah jelas (ada dalil dan keterangannya dalam al-Quran dan as- Sunnah ) dilarang berlarut-larut dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim tentangnya (misalnya tentang Sifat Allah, qadha' dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah Azza wa Jalla). Selanjutnya sudah selayaknya menyerahkan hal tersebut kepada Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka berbantah-bantahan kemudian membacakan ayat: ‘...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud mem-bantah saja...'” [Az-Zukhruf : 58] [4]

[9]. Kaum Muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) al-Quran dan as- Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal ‘aqidah dan dalam menjelaskan suatu masalah. Oleh karena itu, suatu bid‘ah tidak boleh dibalas dengan bid'ah lagi, kekurangan tidak boleh dibalas dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.[5]

[10]. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka." [6]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah (hal. 44-45), Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah fil ‘Aqiidah (hal 5-9) karya Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim al ‘Aql dan kitab-kitab lainnya.
[2]. Hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat atau lebih, tetapi periwayatannya dalam jumlah yang terhitung.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 3250), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), disha-hihkan oleh al-Hakim (II/447-448) dan disepakati adz-Dzahabi. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan.” Dari Shahabat Abu Umamah al-Bahily Radhiyallahu 'anhu
[5]. Maksud dari pernyataan ini adalah tentang bid'ahnya Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, dibantah oleh Musyabbihah (Mujassimah) yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, atau seperti bid'ahnya Qadariyyah yang mengatakan bahwa makhluk mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang tidak dicampuri oleh kekuasaan Allah ditentang oleh Jabariyyah yang mengatakan bahwa makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan makhluk ini dipaksa menurut pendapat mereka. Ini adalah contoh tentang bid'ah yang dilawan dengan bid'ah. Wallaahu a'lam.
[6]. HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih. Lihat Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).

Mengapa Harus Manhaj Salaf ?

Mengapa Harus Manhaj Salaf ?

Salim Al-Hilali
Sebenarnya orang-orang yang berkiprah dalam dunia dakwah Islamiyah banyak sekali dan yang menantikan para pemuda “aktivis dakwah” lebih banyak lagi. Mereka semua sungguh-sungguh bekeja keras untuk memulai kehidupan yang Islami. Di tengah-tangah luapan gelombang dakwah yang sedang pasang ini, akan kita temukan adanya dua kelompok, yaitu kaum tua dan kaum muda. Kaum tua telah puas degan hasil dakwah mereka. Mereka sendiri tidak ikut terjun ke medan dakwah. Adapun kaum muda, mereka menyingsingkan lengan, mengencangkan sarung dan meghentakkan kaki mereka di atas kendaraannya. Namun, yang disayangkan, kedua kelompok ini berada dalam kebingungan dan kebimbangan. Sehingga, adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk segera ditampilkan gambaran Manhaj Salaf guna menyiapkan kehidupan Islami yag kokoh di atas Manhaj Nubuwwah.
Penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari Islam, baik dalam hal aqidah, ahkam (hukum-hukum) maupun akhlak adalah agar Islam kembali berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana keaslian risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam. Ini untuk mendidik generasi muslim di atas Islam yang murni dengan tarbiyah imaniyyah (pendidikan keimanan) yang akan memberikan bekas yang mendalam. Yang demikian itulah manhaj dakwah salafiyyah yang selamat dan Ath-Thaifah Al-Atsariyah (yaitu kelompok yang berpegang dengan pemahaman Rasulullah beserta para shahabatnya) yang mendapatkan pertolongan dalam mengadakan perubahan.
Masalah pertama yang perlu kita bahas adalah : Mengapa harus mahaj salaf ? Menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap muslim yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan akhirat, bahwa dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman
manusia terbaik yaitu para shahabat dan tabi’in, serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat. Ini karena tidak pernah tergambarkan sama sekali adanya sebuah fikrah, pemahaman dan manhaj Salaus Shalih. Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah mejadikan baik generasi awal.
Apbila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta ijma’ dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tesebut tentang wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Shalih, karena ini merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini. Oleh karena itu tidak boleh bagi siapa saja sehebat apapun kedudukannya memahami Islam ini dengan selain pemahaman salaf. Dan siapapun juga yang membenci pemahaman salaf lalu menggantinya dengan bid’ah-bid’ahnya orang belakangan (orang-orang sesudah generasi salaf) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kaum muslimin. Ini adalah hal yang pasti terjadi dan tak bisa diingkari. Maka siapa saja yang mengikatkan diri dengan pemahaman bid’ahnya orang belakangan, dia bagaikan seseorang yang mendirikan bangunan di tepi tebing keruntuhan, di tepi jurang kehancuran, dan di lereng kebinasaan. Cobalah simak penjelasan dari dalil dan hujjah-hujjah berikut ini :
1. Sesungguhnya salafus sholih radhiallahu ‘anhu telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbath:
“Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-selamanya. Itulah kemenangan yang agung.”(AtTaubah:100)
Dengan dalil ayat ini dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikut kepada sebaik-baik manusia. Telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka , maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan. Kalau seandainya sikap ittiba’ mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba’) maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia.”(Al-Bayyinah : 7)
2. Allah berfirman :
“Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah menetapkan keutamaan mereka atas segala umat, dan gelar seutama-utama umat ini mengharuskan mereka istiqamah dalam segala hal. Disamping itu mereka sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya yang terang bernderang (Al-Haq) ini. Sungguh Allah telah menyaksikan bahwa mereka telah beramar makruf dan bernahi munkar dengan penuh kemianan serta mengharap pahala-Nya. Keadaan seperti ini mengharuskan permahaman mereka menjadi hujjah bagi orang yang datang sesudahnya hingga Allah mewarisi bumi ini beserta apa yang ada di atasnya (hari kiamat,pen). Apabila konsekuensi tidak seperti itu, berarti amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan keliru (tidak dipuji dan diterima Allah). Cobalah fikir dan renungkan.
Maka jika ada yang berkata :”Ini (gelar sebaik-baik umat,pen) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi shahabat saja,” saya katakan bahwa mereka (para shahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan di atas, kecuali jika ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama. Secara umum-dan ini yang benar- shahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merkelah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam salallahu 'alaihi wa sallam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini. Oleh karena itu, merekalah yang pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibanding yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan Allah kepada merkea secara sempurna yang tidak diberikan kecuali kepada mereka (para shahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapat pujian dari pada yang lain.
3. Maka dari itu Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah genersiku, kemudian oran-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka. Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”(HR Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll)
Apakah kebaikan yang diterapkan kepada para sahahabat yang dimaksud adalah dalam hal warna kulit mereka? Atau jasad mereka, harta mereka, tempat inggal mereka, atau…? Tidak diragukan lagi bagi orang yang memiliki akal yang sempurna, yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan benar, bahwa bukan itu semua yang dimaksudkan di sini, sama sekali bukan, karena Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuh kalian namun Dia hanya melihat kepada hati-hati dan amal-amal kalian.”(HR Muslim, lihat syarah Nawawi XVI/121)
Dan juga, karena kebaikan dalam Islam ukurannya adalah takwanya hati dan ammal shalih, sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya yang termulia di antara kalian adalah yang paling takwa.” (AlHujurat: 13)
Allah telah melihat kepad hati-hati para shahabat radhiallahu anhum, maka Allah temukan hati mereka adalah sebaik-baik hati-hati para hamba-Nya setelah hati Rasul-Nya salallahu 'alaihi wa sallam. Abdullah bin Mas’ud mengatakan:
“Sesungguhnya Allah telah melihat kepada hati-hati para hamba-Nya maka Allah temukan hati Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam adalah hati terbaik diantara hamba-hamba-Nya. Maka Dia memilihnya dan diutus-Nya dengan risalah, kemudian Dia melihat kepada hati-hati para hamba-Nya setelah nabi-Nya. Maka Dia dapatkan hati-hati para sahabatlah hati-hati terbaik di antara para hamba-Nya. Maka Dia jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang merkea berperang di atas agama-Nya (Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Dishahihkan oleh Hakim dan disepakati Imam Ad-Dzahabi).
Maka Allah berikan kepada para sahabat ini pemahaman dan ilmu yang benar, yang ilmu tersebut tidak didapatkan pada generasi sesudahnya.
Dari Abu Juhifah, dia berkata: “Aku berkata kepada Ali: ‘Apakah kamu memiliki kitab? Atau pemahaman yang diberikan seorang muslim (selain nabi), atau apa yang ada di lembaran-lembaran ini…?’ Jawab Ali :’Tidak kecuali yang kumiliki adalah Kitabullah’.”(HR Bukhari /I-204 Fathul Bari)
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa kebaikan yang dipuji dalam sabda Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam adalah kebaikan dalam hal pemahaman dan manhaj. Oleh karena itu pemahaman shahabat terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hujjah bagi orang-orang yang datang sesudah mereka hingga akhir umat ini.
4. Akan lebih jelas lagi, Allah berfirman :
“Dan demikianlah kami telah menjadian kamu sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi bagi manusia dan Rasul juga menjadi saksi atas kalian.”(Al-Baqarah:143)
Sungguh Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka manusia terbaik dan adil (jujur). Mereka adalah semuila-mulia umat, paling jujur perkataan , perbuatan serta niatnya. Dengan demikian mereka berhak menjadi saksi bagi manusia. Allah mempopulerkan, meninggikan derajat, memuji mereka dan menerima mereka dengan baik, dan karena kesaksian yang diterima oleh Allah adalah kesaksian dengan ilmu dan kejujuran, maka Allah kabarkan dengan Al-Haq yang disandarkan kepada ilmu-Nya. Allah berfirman:
“Kecuali yang bersaksi dengan Al-Haq dan mereka mengetahui.”(Az-Zukhruf: 86)
Apabila syahadah mereka diterima di sisi Allah maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka terhadap Dien ini adalah hujjah bagi orang yang sesudah mereka, sebab kalau tidak sebagai hujjah berarti persaksian mereka tidak benar. Padahal ayat ini telah menetapkannya secara mutlak. Dan umat ini tidaklah memberikan katebelece (kepercayaan) kejujuran terhadap suatu generasi secara mutlak kecuali terhadap generasi para shahabat.
Sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti manhaj salaf serta ahlul hadits telah memberi kesaksian tentang kejujuran mereka secara mutlak dan umum. Oleh sebab itu, mereka mengambil riwayat dan sekaligus penjelasan makna hadits dari mereka (para shahabat) tanpa kecuali. Pada orang selain shahabat, tidak diberikan kesaksian tentang kejujuran mereka kecuali bagi yang memang benar-benar diakui kepemimpinannya dan kejujurannya, dan keduanya (kepemimpinan dan kejujuran) tidak diberikan kepada seseorang kecuali apabila dia berjalan di atas jejak para shahabat radhiallahu anhum.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pemahaman shahabat adalah hujjah bagi selain mereka dalam mengarahkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dari sinilah perintah Allah Ta’ala untuk mengikuti jalan mereka.
5. Allah berfirman :
“Dan ikutilah jalannya orang-orang yng kembali kepada-Ku”(Luqman:15)
Semua sahabat radhiallahu anhum adalah orang-orang yang kembali (dengan ikhlas dan taat) kepada-Nya dan Allah telah memberi hidayah pada baiknya perkataan dan shalihnya amal perbuatan mereka dengan firman-Nya :
“Yang mendengarkan perkataan lalu mereka mengikuti apa yang paling baik dantaranya (Al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yan telah diberi Allah petunjuk dan merekalah orang-orang yang berakal.”(Az-Zumar:18)
Dari sini, wajib bagi kita untuk mengikuti jalan mereka dalam memahami Dienullah, baik dalam memahami Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah mengancam orang-orang yang mengikuti selain jalannya para shahabat dengan neraka Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.
6. Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa:115)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah mengancam kepada orang yang mengikuti selain jalannya kaum mukminin (yaitu para sahabat, karena mereka adalah orang mukminin yang haq). Maka mengikuti jalannya kam mkminin (para sahabat) dalam memahami syari’ah adalah hal yang wajib dan menyelisihnya adalah merupakan kesesatan.
7. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu 'anhu, dia berkata :
“Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam kemudian kami berpendapat: “Kita duduk saja hingga shalat Isya bersama Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam” maka kamipun duduk. Kemudian keuarlah Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam dan berkata : “Kalian masih di sini?”, maka kami mengatakan:”Ya wahai Rasulullah, kami telah shalat (Maghrib) bersamamu kemudian kami berpendapat untuk duduk hingga kami shalat Isya bersamamu,” maka dia berkata: “Kalian memang baik dan kalian benar,”dia (Abu Musa) berkata: “kemudian dia (Rasulullah) menengadahkan wajahnya ke langit dan lama sekali dia seperti itu lalu mengatakan: “Bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit, apabila bintang-bintang itu sirna maka kehancuran akan menimpanya, dan aku adalah pengaman bagi para sahabatku, dan para sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Apabila mereka telah pergi maka akan datang sesuatu yang telah dijanjikan kepada umatku.”(Dikeluarkan oleh Muslim, lihat syarh Nawawi XVI/82)
Sungguh Rasulullah telah membuat perumpamaan bagi para shahabatnya radhiallahu ‘anhum untuk orang-orang Islam setelah mereka seperti kedudukan dia kepada para shahabatnya dan seperti kedudukan bintang-bintang terhadap langit.
Permisalan Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam ini memberi pengertian yang sangat jelas tentang wajibnya mengikuti pemahaman para shahabat radhiallahu anhum dalam memahami Din ini seperti kembalinya umat ini kepada Nabi mereka salallahu 'alaihi wa sallam. Nabi telah mejelaskan Al-Qur’an dan para shahabat radhialllahu anhum pun telah menukil penjelasannya secara utuh untuk disampaikan kepada umat ini.
Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya. Apa saja yang berasal darinya adalah Ar-Rusyd (Al-Haq) dan Al-Huda (petunjuk). Para shahabat semuanya adil (jujur). Mereka tidak berbicara kecuali dengan jujur dari tidak beramal kecuali dengan haq. Dan demikian juga bintang-bintang telah Allah ciptakan sebagai senjata pelempar bagi para setan ketika mereka mencuri berita, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan yaitu bintang-gemintang. Dan kami telah memelihara (dengan sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka, setan-setan itu tak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir mereka dan bagi merekalah siksaan yang abadi, namun barangsiapa (diantara mereka yang mencuri-curi pembicaraan), maka ia akan dikejar oleh suluh api yang sangat menyala.”(Ash-Shafat:6-10)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita (bintang-bintang) dan Kami jadikan bintang-bintang itu sebagai alat pelempar bagi setan dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang meyala-nyala.”(Al-Mulk:5)
Demikian juga para shahabat radhialllahu anhum, mereka adalah hiasan umat ini. Pemahaman, ilmu dan amal mereka adalah benteng dari takwilnya orang-orang bodoh dan benteng dari berbagai aliran Ahlul Batil serta tahrifnya (penyelewengannya) orang-orang yang ghuluw (berlebih-lebihan).
Seperti itu pula, sesungguhnya bintang-bintang itu adalah menara bagi penduduk bumi untuk memberi petunjuk kepada mereka dalam kegelapan, baik di laut maupun di darat. Allah berfirman :
“..dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk.”(An-Nahl:16), dan Allah berfirman:
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.”(Al-An’am:97) demikian pula keadaan para shahabat. Mengikuti mereka akan memberi kesalamatan dari kegelapan syahwat (kebrutalan hawa nafsu) dan syubhat (bahaya pengkaburan), dan siapapun yang berpaling dari pemahaman shahabat maka dia berada dalam kesesatan dimana kegelapan demi kegelapan semakin melilitnya sehingga kalau dia mengulurkan tangannya hampir tidak akan terlihat.
Dengan pemahaman shahabat, kita membentengi Al-Qur’an dan As-Sunnah dari berbagai bid’ah setan dari jenis manusia ataupun jin. Mereka hanya menginginkan timbulnya fitnah dan menghendaki takwilnya untuk merusak apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya. Maka pemahaman shahabat radhiallahu anhum adalah benteng dari segala keburukan dan benteng dari sebab-sebab yang menimbulkannya. Kalau pemahaman para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah maka mustahil pemahaman gernerasi setelah para sahabat menjaga pemahaman para shahabat dan menjadi benteng baginya.
Apabila pengkhususan dan pembatasan ini ditolak yaitu wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman -maka akan semakin jauhlah seorang muslim dari “kebenaran yang mutlak” dan (yang lebih buruk lagi) berbagai firqah dan partai akan menjadi terhalang untuk kembali ke jalan yang benar.
Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan penangkal berbagai pemahaman yang menyimpang seperti : Muta’zilah, Murji’ah, Jahmiyah, Syi’ah, Tassawuf, Sufi, Khawarij, Bathiniyah,dan selain mereka, maka tidak bisa tidak harus ada pemisah. Maka jika ada yang bertanya: “Memang tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasul salallahu 'alaihi wa sallam dan pemhaman para sahabat adalah manhaj yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan darimanapun datangnya, namun apa dalilnya bahwa manhaj salafi adalah merupakan pemahaman Rasul salallahu 'alaihi wa sallam beserta para shahabatnya?”
Saya katakan bahwa jawabannya ada beberapa sisi : (a). Sesungguhnya berbagai pemahaman (firqah-firqah) yang telah saya sebutkan di atas, munculnya adalah setelah masa kenabian dan Khulafaur Rasyidin dan tidak ada satupun dari mereka (firqah-firqah) yang menyandarkan permahamannya kepada para sahabat, bahkan mereka menentang para sahabat. Maka jelaslah bahwa kelompok yang tidak berjalan di atas jalan (pemahaman) kelompok-kelompok di atas dan tidak mengikuti thariqah mereka, maka dia berada pada pokok yang asli (di atas pemahaman Rasul dan para sahabat). (b). Tidak akan kita temukan dalam berbagai kelompok tadi yang sesuai dengan pemahaman shahabat radhiallahu anhum kecuali hanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan dari para pengikut Salafus Shalih dan Ahlul Hadits. Coba perhatikan!
Muta’zilah : Bagaimana mungkin mereka sesuai dengan pemahaman para shahabat radhiallahu anhum padahal tokoh-tokoh mereka telah mencerca dan mencela banyak sahabat yang mulia. Bahkan mereka menolak keadilan (kejujuran) para shabat dan menganggap para shahabat telah sesat, sebagaimana perkataan tokoh mereka Washil bin Atha yang mengatakan:
“Seandainya Ali, Thalhah atau Zubair atau dari pengikut rombongan onta (Aisyah radhiallahu anha), mereka syahid di atas segenggam bunga kol. Maka aku tidak akan meyakini keyakinan mereka!!!” (lihat Al-Farqu bainal Firaq hal.119-120)
Syi’ah : Mereka telah menuduh para shahabat murtad setelah wafatnya Nabi salallahu 'alaihi wa sallam kecuali hanya tiga orang saja (lihat ‘Al Kafi oleh Al-Kilani hal.115 dan di ‘Rijaul Kassi hal. 12-13). Padahal orang yang mengkafirkan para shahabat tidak bisa dihadikan sebagai panutan dan teladan serta tidak ada kemuliaan baginya.
Khawaij : Mereka telah menyempal dari dien dan telah menyempal pula dari jama’ah kaum muslimin. Di antara pokok pemikiran madzhabnya adalah mengkafirkan Ali, anaknya, Ibnu Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah, Muawwiyah. Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang tidak mengambil sahabat sebagai hujjah (ilmu dan amal) bahkan mengkafirkan mereka, bukanlah orang yang berjalan di atas jalannya para shahabat.
Sufiyah/Tassawuf : Mereka telah istihza’ (mempermainkan) dan menginjak-injak warisan para nabi. Mereka juga telah menggugurkan dan tidak mau mengambil ilmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mensifatinya dengan sesuatu yang sudah mati. Tokoh-tokoh mereka mengatakan : “Kalian mengambil ilmu secara mati dari orang yang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami dengan “hatiku yang telah mengilhamkan kepadaku dari Rabbku” (suara batin)!?
Murji’ah : Mereka meyakini bahwa imannya orang munafiqin sama dengan imannya para sahabat As-Sabiqul Awwalun.
Pada prinsipnya, semua firqah menginginkan batalnya kesaksian kita terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dan bahkan mengkritik dan mencelanya. Padahal sebaliknya justru merekalah yang lebih pantas untuk dicela, dicerca dan dicaci. Dengan demikian jelas dan gamblanglah bagi kita bahwa pemahaman salafi adalah merupakan manhaj Al-Firqatun Najiyah dan At-Thaifah Al-Manshurah dalam pemahaman, pengambilan ilmu dan dalil. Kalau begitu, maka siapakah sebenarnya Al-Firqatun Najiyah dan At-Thoifah Al-Manshurah itu?

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker