WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  
Showing posts with label Fiqih. Show all posts
Showing posts with label Fiqih. Show all posts

Keutamaan Doa Keluar Rumah

Setan pertama berkata kepada setan kedua yang ingin menganggumu. Ia berkata “Kaifa laka birajulin?” ” Bagaimanakah engkau dengan seseorang yang engkau tidak punya kekuatan untuk menganggunya. Seseorang yang telah diberi hidayah oleh Allah untuk mengingat Allah, dan telah Allah cukupi, Allah lindungi dari gangguanmu dan Allah jaga dari tipu dayamu. Adalah suatu hal yang sia-sia menganggunya. Lebih baik kamu balik saja dan cari orang lain yang bisa diganggu?”

Percakapan kedua setan ini terdapat pada bagian akhir hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Dikatakan kepadanya, ‘Engkau telah dicukupkan, dijaga, dan diberi petunjuk.’ Maka, setan menjauh darinya. Maka, dikatakan kepada setan yang lain ‘Bagaimanakah engkau dengan orang yang telah diberi petunjuk , telah dicukupkan dan telah dijaga?’”


Mengapa Setan Menjauhimu ?

Saudariku, percakapan dua setan tersebut akan mereka katakan saat engkau keluar dari rumah dengan membaca “Bismillahi tawakkaltu ‘alaallahi, walaa haula wa laa quuwata illa billah” yang artinya “Dengan nama Allah. Aku bertawakal kepada-Nya, dan tiada daya dan kekuatan, kecuali karena pertolongan Allah.” (HR. Abu Dawud 4/325)

Ketika engkau membaca kalimat yang ringan ini saat keluar dari rumah maka engkau akan mendapatkan tiga hal yang agung yaitu kecukupan, penjagaan dari segala keburukan dan petunjuk. Dan karenanya setan akan menyingkir dan menjauhimu. Maka setan akan memberi nasihat kepada kawannya sesama setan yang ingin menganggumu dengan berkata “Mau kamu apakan, tidak bisa, sia-sia, kamu apakan seseorang yang telah mendapatkan hidayah, telah dicukupi dan telah diberi petunjuk oleh Allah? Sudahlah kamu cari yang lain saja yang tidak membaca doa ini. Ganggu dia, orang ini tidak usah, kamu cuma dapat capek dan repot saja. Cari orang lain yang tidak membaca do’a ini.”

Maka Allah akan mengatakan kepada engkau yang telah membaca do’a ini. Engkau akan dipalingkan dari segala keburukan, terjaga dari segala gangguan dan keburukan yang samar, yang tak terlihat dan tak nampak serta mendapatkan hidayah yaitu mendapatkan hidayah taufik untuk meniti jalan yang haq dan yang benar dimana engkau diberi taufik untuk mengutamakan mengingat Allah begitu keluar rumah. Dan engkau akan terus-menerus mendapatkan taufik disetiap perbuatan, perkataan dan setiap keadaanmu. Taufik Allah janjikan bagi dirimu yang membaca kalimat ini saat keluar rumah. Subhanallah.

Saudariku, seandainya keutamaan yang diberikan hanya satu saja sudah sangat besar apalagi kita akan mendapatkan mendapatkan tiga keutamaan yang semuanya sangat penting bagi kehidupan manusia. Semua orang membutuhkannya, namun mengapa diri ini sulit untuk membacanya. Satu keutamaan saja sudah sangat besar dan tidak terbayangkan nilainya. Maka seandainya pahala yang akan diberikan hanya hidayah yang dalam hadits ini maknanya adalah taufik, yaitu akan mendapatkan taufik dan akan dibimbing sehingga akan hanya meniti kebenaran dalam ucapan, dalam perbuatan dan dalam keadaan dan sikap. Masyaa Allah, ini adalah suatu yang besar dan bernilai.

Sesungguhnya kita telah menyia-nyiakan banyak hal dengan kelalaian kita dalam berdzikir pada Allah subhanahu wa Ta’alaa. .Semoga Allah beri taufik.

Penyusun: Ummu Zubaidah Putrisia Hendra Ningrum Adiaty
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Maroji’ :
1.Syarah Hisnul Muslim min Adkaari Alkitaabi wa Assunnati, buah karya Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qathani dengan pensyarah Majdi bin ‘Abdul Wahab Ahmad. Penerbit Darul Haq. hal. 106-107
2.Rekaman Kajian Sabtu-Minggu Pagi “Syarah Hisnul Muslim” oleh Ustadz Aris Munandar dengan penyelenggara takmir Masjid Al-Ashri Pogung Rejo.

***

Artikel muslimah.or.id

Menyikat Gigi Tanpa Pasta Gigi Saat Berpuasa

Berpuasa seringkali menyisakan bau mulut yang kurang nyaman bila tercium oleh orang lain. Meskipun demikian, dalam sebuah hadits telah disebutkan bahwa bau mulut orang yang berpuasa bagaikan wangi misk di sisi Allah. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.”[1]

Untuk meminimalisir bau mulut, seringkali kita menyikat gigi dengan pasta gigi. Dalam kondisi berpuasa, apakah kita tetap boleh menyikat gigi dengan menggunakan pasta gigi? Apakah hal ini boleh disamakan dengan kebolehan bersiwak saat berpuasa? Mari kita kaji pembahasan ini bersama.

Hukum Bersiwak Saat Berpuasa

Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya tentang hukum bersiwak ketika sedang melakukan puasa Ramadhan. Beliau memaparkan, “Tidak diragukan lagi bahwa bersiwak merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dianjurkan. Bersiwak memiliki keutamaan yang besar. Terdapat berbagai riwayat shahih yang menunjukkan dianjurkannya bersiwak, dapat kita lihat pada perbuatan maupun perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengamalkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Hendaklah kita berusaha bersiwak, terlebih-lebih lagi pada saat diperlukan atau pada waktu yang disunnahkan untuk bersiwak, seperti sebelum berwudhu, ketika akan melaksanakan shalat, ketika hendak membaca al-Quran, ketika ingin menghilangkan bau mulut yang tak sedap, serta saat bangun tidur sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keadaan-keadaan tadi merupakan saat yang ditekankan untuk bersiwak. Dan asalnya, siwak itu disunnahkan di setiap waktu. Orang yang berpuasa pun dianjurkan untuk bersiwak sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Pendapat yang tepat, bersiwak dibolehkan sepanjang waktu, dianjurkan untuk bersiwak di pagi hari maupun di sore hari.

Pendapat yang menyatakan tidak bolehnya bersiwak di sore hari sebenarnya bukan berasal dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang tepat terdapat beberapa perkataan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَا لاَ أُحْصِى يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak beberapa kali hingga tidak dapat kuhitung banyaknya, meskipun saat itu beliau sedang berpuasa.”[2]

Oleh karena itu, bersiwak itu disunnahkan bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Namun dengan tetap menjaga agar jangan terlalu kasar (tergesa-gesa) ketika bersiwak karena bisa melukai mulut dan menyebabkan keluarnya darah, atau siwak bisa merusak sesuatu yang ada di mulut . Maka, wajib bagi orang yang terjadi semacam itu untuk mengeluarkan darah atau siwak tersebut dari mulutnya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang bersiwak dengan perlahan-lahan.[3]

Jika Siwaknya Memiliki Rasa

Sebuah pertanyaan disampaikan kepada Syekh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, “Apakah bersiwak dengan siwak yang memiliki rasa membatalkan puasa?”

Syaikh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin menyampaikan jawaban, “Bersiwak boleh dilakukan saat berpuasa, dan hukumnya disunnahkan di setiap waktu. Banyak ulama yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Mereka berpendapat demikian karena bersiwak menyebabkan hilangnya bau mulut yang baunya di sisi Allah bagaikan wangi misk.

Para ulama yang meneliti lebih jauh menguatkan pendapat bahwa bersiwak saat berpuasa tidaklah makruh, bahkan dianjurkan untuk bersiwak di pagi dan sore hari.
Adapun jika siwak tersebut memiliki rasa, maka wajib bagi orang yang bersiwak untuk membuang ludahnya ke tanah atau menyekanya dengan sapu tangan. Secara umum, sesungguhnya rasa itu hanya ada di kulit siwak dan tidak selamanya akan ada pada siwak tersebut. Adapun jika siwak tersebut berasa seperti rasa salah satu jenis sayuran atau yang semisalnya, dari segi bahwa rasanya dapat terkecap dengan ludah, maka wajib bagi orang yang bersiwak tersebut untuk memuntahkan air liurnya tadi, karena jika dia sengaja menelan sesuatu dan mengecap rasanya maka puasanya batal. Wallahu a’lam.[4]

Dari fatwa beliau tersebut, dapat dipahami bahwa alasan tidak bolehnya menggunakan siwak yang memiliki rasa saat berpuasa adalah karena rasa dari siwak tersebut bisa terkecap oleh ludah dan akhirnya tertelan masuk ke tenggorokan. Padahal, telah kita ketahui bersama bahwa menelan makanan dan minuman ke dalam kerongkongan dengan sengaja termasuk salah satu pembatal puasa.

Dalam kitab Haqiqatush Shiyam, pada Pasal “Hal-hal yang Membatalkan Puasa dan yang Tidak Membatalkan Puasa”, Syaikh al-Albani menyatakan, “Pembatal-pembatal puasa ada yang berdasarkan nash dan ijma’ (kesepakatan para ulama), yaitu: makan, minum, dan berjima’ (hubungan intim dengan istri). Allah Ta’ala berfirman,

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

‘Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, serta makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam (yaitu fajar). Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai (datangnya) malam….’ (QS. Al-Baqarah: 187)

Ayat ini menunjukkan bahwa di saat tidak puasa diizinkan untuk berhubungan intim dengan istri. Maka bisa dipahami bahwa puasa haruslah menahan diri dari berhubungan intim dengan istri, makan dan minum.”[5]

Hukum Menggunakan Pasta Gigi Saat Berpuasa

Dalam hal ini, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya, “Apakah seseorang yang berpuasa boleh menggunakan pasta gigi padahal dia sedang berpuasa di siang hari?”

Beliau menjawab, “Melakukan seperti itu tidaklah mengapa selama tetap menjaga sesuatu agar tidak tertelan di kerongkongan. Sebagaimana pula dibolehkan bersiwak bagi orang yang berpuasa baik di pagi hari atau sore harinya.” [6]

Pertanyaan yang serupa juga pernah disampaikan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, “Apa hukum menggunakan pasta gigi bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadan?”

Beliau menjelaskan, “Penggunaan pasta gigi bagi orang yang sedang berpuasa tidaklah mengapa jika pasta gigi tersebut tidak sampai masuk ke dalam tubuhnya (tidak sampai ia telan, pen). Akan tetapi, yang lebih utama adalah tidak menggunakannya karena pada pasta gigi terdapat rasa yang begitu kuat yang bisa jadi masuk ke dalam perut seseorang tanpa dia sadari. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Laqith bin Shobroh,

بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali bila engkau sedang berpuasa.”[7]

Dengan demikian, yang lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa adalah tidak menggunakan pasta gigi. Waktu untuk menggunakan pasta gigi sebenarnya masih bisa di waktu lainnya. Jika orang yang berpuasa tersebut tidak menggunakan pasta gigi hingga waktu berbuka, maka berarti dia telah menjaga dirinya dari perkara yang dikhawatirkan merusak ibadah puasanya.”[8]

Kesimpulan

  • Bersiwak disunnahkan untuk dilakukan dalam keadaan apa pun, baik sedang berpuasa ataupun tidak.
  • Hukum menggunakan sikat gigi dianalogikan (diqiyaskan) dengan hukum menggunakan siwak.
  • Hukum menggunakan sikat gigi dengan pasta gigi dianalogikan (diqiyaskan) dengan hukum menggunakan siwak yang memiliki rasa.
  • Pada asalnya, hukum menggunakan sikat gigi dengan pasta gigi saat berpuasa adalah boleh. Namun untuk lebih berhati-hati dari tertelannya pasta gigi ke dalam kerongkongan, maka sebaiknya pasta gigi tidak digunakan ketika puasa, bisa ditunda setelah waktu berbuka tiba atau sebelum masuk waktu shubuh. Sebagai gantinya, ketika sedang berpuasa, sebaiknya menyikat gigi dilakukan tanpa memberikan pasta gigi pada sikat gigi. Wallahu a’lam.


[1] HR. Muslim no. 1151.
[2] HR. Tirmidzi no. 725 dan Ahmad 3/445. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[3] Fatawa Ramadhan, Juz 2, nomor fatwa. 441, hlm. 492-493.
[4] Fatwa Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, nomor fatwa. 10774.
[5] Haqiqatush Shiyam, hlm. 10—11.
[6] Fatawa Ramadhan, Juz 2, nomor fatwa. 444, hlm. 495.
[7] HR. Abu Daud no. 2366. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[8] Fatawa Ramadhan, Juz 2, nomor fatwa. 446, hlm. 496

Referensi:

  • Fatwa Syaikh al-Jibrin, http://ibn-jebreen.com (URL: http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=10774&parent=835)
  • Fatawa Ramadan fish Shiyam wal Qiyam wal I’tikaf wa Zakatul Fithr, Para Ulama, www.waqfeeya.com (URL: http://ia311213.us.archive.org/1/items/frskfrsk/frsk.pdf)
  • Haqiqatush Shiyam, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pentahqiq Syekh Nashiruddin al-Albani, www.waqfeeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/2/items/waq93564/93564.pdf)

Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslimah.or.id

ORANG-ORANG SESAT YANG PALING MERUGI

ORANG-ORANG SESAT YANG PALING MERUGI

“Katakanlah hai Muhammad: Maukah kami beritahu kalian dengan keadaan orang-orang yang paling merugi amalannya? Yaitu orang-orang yang sesat upaya mereka dalam kehidupan dunia dan mereka menyangka bahwa mereka sedang berbuat dengan sebaik-baik amalan.” (Al-Kahfi: 103 – 104)

BEBERAPA PENGERTIAN

Hal nunabbi’ukum: “Maukah kami beritahu kalian.” Yakni kaum Muslimin disuruh memberitahukan kepada segenap orang yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak diridlai oleh-Nya. Yaitu orang-orang yang telah menyimpang dari tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. (Al-Alusi, dan Ibnu Katsir dalam tafsir keduanya).

Al-akhsarina a’maala: “orang-orang yang paling merugi amalannya”. Yakni orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka dalam beramal dalam rangka tujuan mereka untuk mencapai keuntungan dan keutamaan. Sehingga akibatnya beramal dengan cara demikian itu, mereka terjatuh dalam kerusakan dan kehancuran dan mereka tidak akan mencapai tujuannya. (Al-Imam At-Thabari dalam Tafsirnya)

Alladzina dhalla sa’yuhum: “Yaitu orang-orang yang sesat upaya mereka”. Yakni segala upayanya untuk mencapai keutamaan di sisi Allah akan batal dan sia-sia. (Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir).

Fil hayatid dun-ya: “Dalam kehidupan di dunia”. Yakni segala upaya mereka selama di dunia ini akan diketahui batal dan sia-sianya nanti di akhirat. (Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani).

Wahum yahsabuuna: “Dan mereka menyangka”. Yakni mereka dalam beramal tidak berdasarkan ilmu, tetapi hanya berdasarkan perkiraan dengan tanpa dasar ilmu dan juga berdasarkan sangka baik kepada pimpinannya yang diikutinya dengan membabi buta. Padahal para pimpinan mereka itu mengerti mana yang benar dan mana yang bathil. Namun karena demi kepentingan ambisi ketokohannya, maka sang pemimpin lebih mengutamakan kebathilan dan meninggalkan kebenaran. (Abul Faraj Ibnul Jauzi Al-Baghdadi dalam Zadul Masir fi Ilmit Tafsir).

Annahum yuhsinuna shun’a: “Bahwasanya mereka merasa melakukan sebaik-baik amalan”. Yakni mereka merasa di atas kebenaran dalam menjalankan amalannya dan mereka menyangka sebagai pihak yang dicintai Allah Ta`ala dengan amalannya itu. Di sini menunjukkan bahwa adanya orang yang beramal dengan sangkaan bahwa amalannya adalah sebaik-baik amalan, akan tetapi amalannya itu ternyata sia-sia di sisi Allah Ta`ala. Yang menyebabkan sia-sianya amalan itu adalah karena kerusakan aqidah atau karena amalan itu diniatkan untuk dilihat orang demi mendapat pujian dari mereka. (Ibnu Katsir dalam Tafsirnya dan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an).

BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT KITA AMBIL

1). Surat Al-Kahfi ayat ke 103 dan 104 ini berkenaan dengan keadaan orang-orang yang sesat dalam beragama. Adapun orang-orang yang sesat dalam beragama berkenaan dengan konteks ayat ini adalah:

a. Para pendeta dari kalangan Yahudi dan Nashara yang mengasingkan diri di tempat peribadatan mereka dengan niat untuk mensucikan diri dari dosa. Padahal mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada Allah dan kufur kepada kenabian Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. Demikian diriwayatkan penafsiran ini oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dari Sa’ad bin Abi Waqqas radliyallahu `anhu, Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu.

b. Al-Allamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah meriwayatkan dalam Fathul Qadirnya, bahwa sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa yang dituju oleh ayat ini adalah kaum musyrikin Makkah yang merasa yakin di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam, padahal perbuatan syirik yang mereka lakukan telah menggugurkan segenap amalan shalih mereka.

c. Al-Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa sayyidina Ali bi Abi Thalib menafsirkan pula bahwa yang dituju ayat ini adalah orang-orang Khawarij, yang beribadah kepada Allah berdasarkan sangkaan mereka sehingga tersesat dalam kebid’ahan yang demikian besar dan akhirnya menjerumuskan mereka untuk menjadi anjing-anjing neraka.

d. Al-Imam Ismail bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya, bahwa yang dituju oleh ayat ini ialah semua pihak secara keseluruhan dan bukan satu pihak tertentu saja. Yaitu semua pihak yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak diridlai-Nya, tetapi dia menyangka bahwa dia dalam kebenaran dan merasa yakin pula bahwa amalannya bakal diterima oleh Allah, padahal dugaannya itu salah.

2). Al-Qur’an diturunkan dan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam diutus oleh Allah Ta’ala sebagai penutup para Nabi dan Rasul, adalah untuk memberikan kepastian kepada manusia dan jin tentang apa itu kebenaran dan apa pula yang dinamakan kebathilan. Hal ini difirmankan oleh Allah Ta`ala dalam beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka dari itu janganlah kamu menjadi golongan orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)

Di samping meyakinkan kita bahwa agama yang datang daripada-Nya itu adalah kebenaran, Allah Ta`ala juga meyakinkan kita bahwa apa saja yang disembah selain Allah adalah bathil.

“Yang demikian itu menunjukkan bahwa Allah itu adalah sesembahan yang haq dan yang disembah selain Allah adalah bathil dan bahwasanya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (Luqman: 30)

Kemudian Allah Ta`ala memastikan pula bahwa orang-orang kafir (yakni yang menentang) agama Allah, mereka dalam kekafirannya karena mengikuti kebathilan. Sedangkan orang-orang yang beriman kepada agama Allah itu, mereka mengikuti kebenaran.

“Orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah, mereka itu telah sia-sia amalannya. Sedangkan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan meyakini bahwa apa yang diturunkan kepada Muhammad itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka, bagi mereka Allah ampuni segala dosanya dan Allah akan menjadikan keadaan mereka semakin baik. Yang demikian itu terjadi karena orang-orang kafir itu mengikuti kebatilan dan orang-orang yang beriman mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah memberikan permisalan bagi manusia tentang keadaan mereka.” (Muhammad: 1 – 3)

Jadi dengan demikian, kebenaran itu ialah yang pasti datang dari Allah Ta`ala dan yang pasti datang dari-Nya hanyalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. Sedangkan segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang datang dari Allah adalah bathil. Kebenaran itu akan menang dan kokoh sedangkan kebatilan itu akan hancur dan sirna (sebagaimana dinyatakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di surat Al-Anbiya’ 18).

3). Setiap orang siapapun dia, selama hayat masih dikandung badan, tetap terancam oleh kemungkinan tersesat dari jalan Allah tanpa menyadari bahwa dirinya sedang tersesat. Bahkan meyakini bahwa dirinya dalam kebenaran, padahal dirinya sedang tersesat. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di surat Al-Kahfi 57:

“Dan siapakah yang lebih dzalim dari orang yang diberi peringatan dengan ayat-ayat dari Tuhannya, kemudian dia berpaling dari peringatan itu dan melupakan apa yang pernah dia lakukan dari perbuatan-perbuatan yang jelek. Kami menjadikan di hati orang yang demikian ini tabir agar tidak dapat memahami Al-Qur’an dan pada telinga mereka ada ketulian untuk tidak dapat mendengar nasehat. Dan bila engkau ajak mereka kepada petunjuk Allah, mereka tidak akan mau menerima petunjuk itu selama-lamanya.” (Al-Kahfi: 57)

Demikian dahsyatnya kesesatan itu, sehingga nasehat apapun tidak akan berguna bagi orang yang celaka ini. Kesesatan yang demikian itu adalah karena lebih menyenangi penyimpangan dari ajaran agama Allah. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah dalam firman-Nya sebagai berikut (yang artinya):

“Dan bahwasanya agama ini adalah Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan jangan mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan yang lain itu akan memisahkanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertaqwa.”

Dalam menafsirkan ayat ini Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah diberitakan oleh Abdullah bin Mas’ud dan Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhum demikian: “Kami bersama Nabi shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam di suatu hari. beliau membikin garis di tanah dengan jari beliau, kemudian beliau menyatakan: “Ini adalah jalan Allah (yakni agama Allah).” Kemudian beliau membikin garis ke sebelah kanan dan garis ke sebelah kiri, dan beliaupun menyatakan setelah itu “Ini adalah jalan-jalan penyimpangan. Di atas setiap jalan-jalan penyimpangan itu ada syaithan yang menyeru orang untuk menempuhnya.” Kemudian beliau membaca ayat ini.” (HR. Al-Ajurri dalam As-Syari’ah riwayat ke 11 – 13, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya juga dalam Musnadnya jilid 1 halaman 435 – 465, dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya jilid 2 halaman 318. Juga diriwayatkan oleh yang lainnya).

Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwa masing-masing jalan penyimpangan itu mempunyai juru dakwah yang menyerukan manusia untuk menempuh jalan itu. Para juru dakwah yang demikian ini dinamakan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dengan nama “syaithan”. Yang berarti bisa jadi dari kalangan manusia dan bisa jadi pula dari kalangan jin.

4). Oleh karena itu dalam beragama kita tidak boleh memegang suatu keyakinan hanya dengan dugaan semata tanpa mempunyai kepastian dalil. Dan tidak boleh hanya dengan ikut-ikutan, tanpa mengerti duduk permasalahannya secara ilmiah. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada adanya hari akhirat itu mereka akan menamakan para Malaikat dengan nama-nama perempuan. Padahal mereka tidak punya ilmu tentangnya. Mereka hanya mengikuti dugaan semata dan sesungguhnya dugaan itu tidak akan berguna sedikitpun untuk mencapai kebenaran.” (An-Najm: 27 – 28).

Juga Allah Ta`ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti segala sesuatu yang kamu tidak ada ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta akal pikiran, semua itu adalah nikmat Allah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat.” (Al-Isra’: 36)

Karena bila orang dalam beragama itu hanya ikut-ikutan, maka dia dengan mudah akan terjatuh kepada kesesatan yang melalaikannya dari ancaman masa depan kehidupan akhirat yang mengerikan.

5). Juga dalam menilai segala sesuatu, apakah ia sebagai sesuatu yang baik ataukah sebagai sesuatu yang buruk. Apakah seseorang itu sebagai kawan ataukah lawan, semua ini haruslah diputuskan dengan kepastian ilmiah dan tidak boleh hanya dengan ikut-ikutan semata. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, bila datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa satu berita, maka telitilah kebenaran berita itu. Agar jangan sampai kalian menghukumi satu kaum dengan ketidakmengertian, sehingga akibat perbuatan kalian itu, akhirnya kalian menyesal karenanya.” (Al-Hujurat: 6)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga telah memperingatkan:

“Cukup seseorang itu dikatakan telah berdusta, bila dia menceritakan apa saja yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya juz 1 hal. 15 no. 5 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).

Yakni setiap menerima berita, tanpa meneliti kebenaran beritanya langsung menyampaikannya tanpa memiliki rasa tanggung jawab dengan pemberitaannya itu.

6). Adalah termasuk ancaman serius yang menyebabkan orang itu tersesat, bila dia berteman dengan orang-orang yang telah terjatuh dalam kesesatan beragama, apakah itu ahlus syirik (yakni orang-orang yang berbuat kemusyrikan), ataukah ahlul bid’ah (yakni orang-orang yang menjalankan agama dengan cara yang sesat), ataupun ahlul ma’ashi (yakni orang-orang yang suka bermaksiat melanggar larangan-larangan agama). Duduk bercengkerama dengan orang-orang yang demikian itu dilarang oleh Allah Ta`ala dan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya sebagai berikut:

“Dan sungguh Allah telah menurunkan atas kalian Kitab (yakni Al-Qur’an) yang bila kalian mendengar ayat-ayat Allah padanya, maka orang-orang kafir mengingkarinya dan memperolok-olokkannya. Maka dari itu janganlah kalian duduk dengan mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lainnya. Karena bila kalian tetap duduk dengan mereka dalam keadaan mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah itu, maka berarti kalian serupa dengan mereka (yakni serupa dalam kekafiran). Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di neraka Jahannam.” (An-Nisa’: 140)

Juga Allah Ta`ala memperingatkan:

“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka sehingga mereka berpindah pembicaraan pada masalah lain. Dan apabila syaithan menjadikan kamu lupa dari larangan ini, maka janganlah kamu duduk dengan orang-orang yang dzalim itu setelah engkau teringat (dengan larangan tersebut). Dan tidak ada pertanggungan jawab sedikitpun atas orang-orang yang bertaqwa terhadap perbuatan orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah itu, bila meninggalkan majlis yang memperolok-olok itu. Akan tetapi kewajiban orang-orang yang bertaqwa itu adalah mengingatkan mereka dengan meninggalkan majlis mereka itu, semoga dengan peringatan demikian itu mereka dapat kembali bertaqwa.” (Al-An’am: 68 – 69)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda:

“Dari Anas beliau memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah bersabda : …….Dan permisalan teman yang shalih seperti orang yang membawa minyak wangi misik. Kalaupun tidak mengenai kamu minyaknya, engkau terkena bau wanginya. Sedangkan permisalan teman yang jelek, ialah seperti tukang las, yang bila tidak terkena angusnya, ya terkena asapnya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya juz 4 hal. 260 hadits ke 4829 Kitabul Adab Bab Man Yu’maru An Yujaalas).

Juga Beliau shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda:

“Seseorang itu di atas agama teman dekatnya, oleh karena itu hendaknya setiap orang dari kalian memperhatikan, siapa teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dalam Sunan keduanya dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu, lihat Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul juz 6 hal. 667 no. 4967 karya Al-Imam Al-Mubarak bin Muhammad ibnul Atsir Al-Jazari).

Yakni bila seseorang berteman dekat dengan orang yang rusak pemahaman dan pengamalan agamanya, maka dia akan demikian pula keadaan agamanya. Demikian pula bila dia berteman dekat dengan orang yang lurus pemahaman dan pengamalan agamanya, maka diapun akan demikian keadaan agamanya.

Penutup

Demikianlah berbagai peringatan dari Allah dan Rasul-Nya kemudian para Ulama’ tentang bahaya kesesatan yang kerap dikemas oleh syaithan dengan berbagai keindahan yang menarik. Sehingga bila kita tidak ditunjuki oleh Allah dan diberi hidayah dan taufiq-Nya kepada kebenaran, niscaya kita akan mudah terjerumus dalam berbagai kesesatan yang menggiring kita kepada kemurkaan Allah dan adzab-Nya. Hidayah dan taufiq Allah itu akan dapat kita raih dengan pertolongan-Nya dan ijin-Nya melalui taqwallah yang disertai ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta merujuk kepada bimbingan para Ulama’ Ahlil Hadits yang telah wafat maupun yang masih hidup.

Disalin dari http://alghuroba.org/123

Berobat Dengan Barang Haram??

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya, jika para dokter berkata kepada orang yang sakit : “Tidak ada lagi obat untukmu selain makan daging anjing khul Islam Ibnu atau babi”, bolehkah ia memakannya? Atau jika ia diberi resep berupa khamr atau nabidz[1], bolehkah ia meminumnya?

Beliau menjawab :

Tidak boleh berobat dengan khamr dan barang haram yang lain dengan dalil-dalil berikut :

1. Hadits Wail bin Hujur radliyallahu ‘anhu bahwa Thariq bin Suwaid Al-Ju’fiy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang khamr. Beliaupun melarang khamr. Maka Thariq berkata : “Saya hanya membuatnya untuk obat.” Beliau bersabda :

.إنه ليس بدواء ولكنه داء

“Sesungguhnya ia bukan obat tapi justru penyakit.” ( HR Ahmad dan Muslim ). [2]

2. Dan Abu Darda radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله أنزل الداء وأنزل الدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام

“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obat dan menciptakan obat untuk setiap penyakit. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan barang haram!” ( HR Abu Dawud ). [3]

3. Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berobat dengan barang haram.” Dan dalam sebuah riwayat : “Maksudnya adalah racun.” ( HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi ). [4]

4. Abdurrahman bin Utsman radliyallahu ‘anhu berkata : “Seorang tabib menyebut suatu obat disisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan bahwa salah satu ramuannya adalah katak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membunuh katak.” ( HR Ahmad, Abu Dawud dan Nasai ). [5]

5. Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata tentang minuman yang memabukkan :

إن إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kalian pada apa yang Dia haramkan atas kalian.” ( HR Bukhari dan diriwayatkan oleh Abu Hatim bin Hibban dalam shahihnya secara marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ). [6]

Dalil-dalil ini dan sejenisnya jelas menunjukkan haramnya berobat dengan barang haram dan jelas mengharamkan (pengobatan dengan) khamr yang merupakan induk keburukan dan sumber segala dosa.

Adapun perkataan para dokter yang mengatakan bahwa penyakit tersebut tak bisa disembuhkan kecuali dengan obat ini, maka ini adalah perkataan orang yang tidak tahu, dan tidak akan diucapkan oleh orang yang (benar-benar) tahu kedokteran, apalagi orang yang mengenal Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kesembuhan tidak memiliki suatu sebab tertentu yang pasti. Tidak seperti rasa kenyang yang memiliki sebab tertentu yang pasti. Karena ada orang yang disembuhkan Allah tanpa obat, dan ada yang disembuhkan oleh Allah dengan obat-obat dalam tubuh –baik yang halal maupun haram-. Terkadang obat dipakai tapi tidak membawa kesembuhan, karena ada syarat yang tak terpenuhi atau adanya penghalang. Tidak seperti makan yang merupakan sebab rasa kenyang. Karenanya Allah membolehkan memakan barang haram bagi orang yang mudltor (terpaksa) ketika terpaksa oleh kelaparan, karena rasa laparnya hilang dengan makan dan tidak hilang dengan selain makan. Bahkan bisa mati atau sakit karena kelaparan. Karena (makan) adalah satu-satunya jalan untuk kenyang, Allah membolehkannya. Tidak seperti obat-obatan yang haram ( bukan satu-satunya jalan untuk sembuh).

Bahkan bisa dikatakan bahwa berobat dengan obat-obatan yang haram adalah tanda adanya penyakit dalam hati seseorang, yaitu pada imannya. Karena jika ia adalah bagian dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang beriman, maka Allah tidaklah menjadikan kesembuhannya pada apa yang diharamkan.Oleh karena itu, jika ia terpaksa makan bangkai atau sejenisnya, wajib baginya untuk memakannya menurut pendapat yang masyhur dari keempat imam madzhab. Sedangkan berobat (dengan barang halal sekalipun), hukumnya tidak wajib menurut sebagian besar ulama.[7] Bahkan mereka berbeda pendapat, apakah yang lebih afdol berobat atau meninggalkannya karena tawakkal.

Dan diantara dalil yang memperjelas hal ini, ketika Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi dsb, Dia tidak menghalalkannya kecuali untuk orang yang terpaksa (mudltor) dengan syarat tidak berlebihan dan tidak dalam keadaan maksiyat, sebagaimana disebutkan dalam ayat : (( Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.)) [8] Dan kita ketahui bahwa berobat tidaklah termasuk kategori terpaksa, sehingga tidak boleh berobat dengannya.

Adapun barang haram yang dibolehkan karena hajah ( kebutuhan ) [9] -maksudnya dibolehkan tidak hanya karena dlarurah ( keterpaksaan ) – seperti memakai sutera, telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi memberikan rukhshah ( keringanan ) bagi Zubair bin ‘Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf radliyallahu ‘anhuma untuk memakai sutera karena gatal pada tubuh beliau berdua. Ini boleh menurut pendapat yang benar di kalangan ulama karena memakai sutera hanya diharamkan jika dalam keadaan tidak perlu. Karenanya dibolehkan untuk wanita mengingat kebutuhan mereka untuk berhias dengannya, dan dibolehkan bagi mereka untuk menutup aurat dengannya tanpa pengecualian. Demikian pula kebutuhan untuk berobat dengannya. Bahkan hal itu mestinya lebih dibolehkan lagi. Sutera diharamkan karena unsur berlebih-lebihan, pamer dan kesombongan. Unsur-unsur ini tidak ada ketika ada kebutuhan. Demikian pula boleh memakai sutera karena dingin, atau karena tak punya penutup aurat selain sutera.

(Diterjemahkan dan diringkas oleh Ustadz Abu Bakr Anas Burhanuddin, Lc., M.A. dari Majmu’ Fatawa 24/266-276)

[1] Nabidz : Minuman memabukkan yang terbuat dari juice anggur, kurma, dll yang dibiarkan sampai memabukkan. ( Al-mu’jam Al-wasith 897 )

[2] HR Muslim Kitab Asyribah no.12

[3] HR Abu Dawud Kitab Thibb no. 3874

[4] HR Ahmad 2/305, Ibnu Majah Kitab Thibb bab 11, Tirmidzi Kitab Thibb bab 7.

[5] HR Ahmad 3/453, Nasai Kitab Shaid bab 36, Abu Dawud Kitab Thibb bab 11.

[6] HR Bukhari Kitab Asyribah bab 15.

[7] Lihat bantahan secara rinci terhadap orang yang mengkiaskan bolehnya berobat dengan barang haram atas bolehnya makan makanan haram karena dlarurah, di Majmu’ Fatawa 24/268!

[8] (QS. Al-Maidah:3).

[9] Syaikhul Islam menyebutkan kaidah “Ma ubiha lil hajati jazat tadawi bihi wama ubiha lidl dlarurati fala yajuzut tadawi bihi” (Apa yang dibolehkan karena kebutuhan boleh dipakai berobat, dan apa yang dibolehkan karena keterpaksaan tidak boleh dipakai berobat).

Sumber : http://serambimadinah.com/

Laba Penjualan, Ada Batasnya Atau Tidak?

Pertanyaan:
Adakah patokan dan batas keuntungan penjualan yang ditentukan syariat? Ataukah memang tidak ada batasnya, sehingga keuntungan boleh mencapai 2x lipat atau berkali-kali lipat?

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan -hafizhahullah- menjawab:
Tidak ada batas keuntungan dalam penjualan. Karena Allah Ta’ala menghalalkan jual-beli tanpa mengkaitkannya dengan batas keuntungan tertentu. Allah Ta’ala berfirman:

إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kamu” (QS. An Nisa: 29)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al Baqarah: 282)

Maka keuntungan itu tidak terbatas, jika memang keuntungan yang direncanakan tersebut masih dibenarkan dan masih sesuai dengan aturan syariat. Namun tidak boleh jika keadaannya:

  • Keuntungan tersebut tidak sesuai dengan aturan syariat, misalnya keuntungan ribawi atau berupa tambahan pembayaran yang tergolong riba
  • Besarnya keuntungan tersebut sampai membuat orang faqir tidak bisa memenuhi kebutuhan mendesaknya. Seseorang tidak boleh membuat orang lain tidak bisa memenuhi kebutuhan mendesaknya dengan memberi tambahan harga yang memberatkan. Yang seperti ini tidak boleh, karena keadaannya mendesak.

Jika keuntungan yang direncanakan tersebut masih wajar (tidak jauh dari harga pasaran, pent.), atau memang dipengaruhi oleh kenaikan harga-harga barang, maka tidak mengapa.

(Muntaqa Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, jilid 5 fatwa no. 306)

Hukum Lelaki Shalat Memakai Celana Panjang

Apa hukumnya shalat memakai celana panjang tanpa memakai jubah/gamis/sarung? Apakah shalatnya tetap sah? Adakah batasan hukum celana yang sehari-hari kita pakai selain membuang isbal? Jazakumullahu khairan katsira.

Abu Dzar
Alamat: Tangerang
Email: ibnustaxxxx@gmail.com

Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Pada asalnya hukum memakai pakaian apapun dibolehkan dalam Islam, kecuali pakaian-pakaian tertentu yang termasuk dalam dalil-dalil yang menunjukkan pelarangan. Selain itu Islam tidak menetapkan model pakaian tertentu untuk shalat. Selama pakaian tersebut memenuhi syarat maka boleh dipakai untuk shalat, apapun modelnya.

Dengan demikian, yang perlu kita pegang adalah bahwa hukum asal memakai celana panjang adalah mubah. Namun para ulama memang membahas keabsahan shalat orang yang saat shalat dengan memakai celana panjang pada 2 keadaan berikut:

1. Celana panjang yang dipakai masih menampakkan warna kulit dan menampakkan bentuk tubuh (ketat)

Pada kondisi ini para ulama ijma (bersepakat) bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:

لو ستر بعض عورته بشيء من زجاج بحيث ترى البشرة منه لم تصح صلاته بلا خلاف

Jika sebagian aurat sudah tertutupi dengan sesuatu yang berbahan kaca, sehingga masih terlihat warna kulitnya, maka tidak sah shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama” (Al Majmu’, 3/173)

Bahkan jika warna kulit hanya terlihat dengan samar, tetap tidak sah shalatnya. Dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, ulama besar mahdzab Hambali, beliau berkata:

والواجب الستر بما يستر لون البشرة فإن كان خفيفا يبين لون الجلد من ورائه فيعلم بياضه أو حمرته لم تجز الصلاة فيه لأن الستر لا يحصل بذلك

Menutup aurat sampai warna kulit tertutupi secara sempurna, hukumnya wajib. Jika warna kulit masih tampak oleh orang dibelakangnya namun samar, yaitu masih bisa diketahui warna kulitnya putih atau merah, maka tidak sah shalatnya. Karena pada kondisi demikian belum dikatakan telah menutupi aurat” (Al Mughni, 1/651)

2. Celana panjang yang dipakai telah menutupi warna kulit secara sempurna namun masih menampakkan bentuk tubuh (ketat)

Pada kondisi ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama mengatakan shalatnya tidak sah. Diantaranya Ibnu Hajar Al Asqalani, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:

عن أشهب، فيمن اقتصر على الصلاة في السراويل مع القدرة: يعيد في الوقت، إلا إن كان صفيقاً

Aku mendengar ini dari Asyhab, bahwa orang yang mencukupkan diri shalat dengan memakai celana panjang padahal ia sanggup memakai pakaian yang tidak ketat, ia wajib mengulang shalatnya pada saat itu juga, kecuali jika ia tidak tahu malu” (Fathul Bari, 1/476)

Tidak sahnya shalat orang yang memakai pakaian ketat juga merupakan pendapat Syaikh Ibnu Baz, mantan ketua Komite Fatwa Saudi Arabia, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab: “Jika celana pantalon ini menutupi aurat dari pusar sampai seluruh paha laki-laki, longgar dan tidak ketat, maka sah shalatnya. Namun lebih baik lagi jika di atasnya dipakai gamis yang dapat menutupi hingga seluruh pahanya, atau lebih baik lagi sampai setengah betis, karena yang demikian lebih sempurna dalam menutupi aurat. Shalat memakai sarung lebih baik daripada memakai celana panjang jika tidak ditambah gamis. Karena sarung lebih sempurna dalam menutupi aurat” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz , 1/68-69, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480 )

Dalam penjelasan Syaikh Ibnu Baz ini juga ditegaskan bolehnya shalat dengan memakai celana panjang tanpa ditambah gamis atau sarung, asalkan tidak ketat.

Namun sebagian ulama berpendapat shalatnya tetap sah jika ia telah menutupi warna kulit dengan sempurna walaupun bentuk tubuh masih terlihat (ketat). Sebagaimana pendapat Imam An Nawawi, bahkan beliau membantah ulama yang berpendapat shalatnya tidak sah:

فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوهما صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكى الدارمي وصاحب البيان وجها أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر

Jika warna kulit telah tertutupi secara sempurna dan bentuk tubuh semisal paha dan daging betis atau semacamnya masih nampak, shalatnya sah karena aurat telah tertutupi. Memang Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan menyampaikan argumen yang menyatakan tidak sahnya shalat memakai pakaian yang masih menampakkan bentuk tubuh. Namun pendapat ini jelas-jelas sebuah kesalahan” (Al Majmu’, 3/173)

Demikian juga pendapat Ibnu Qudamah, beliau menyatakan sahnya shalat memakai pakaian yang ketat namun beliau tidak menyukai orang yang melakukan hal tersebut:

وأن كان يستر لونها ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا

Jika warna kulit sudah tertutupi dan bentuk tubuh masih nampak, shalatnya sah. Karena hal tersebut tidak mungkin dihindari (secara sempurna). Namun orang yang shalat memakai pakaian ketat adalah orang yang tidak tahu malu” (Al Mughni, 1/651)

Sebagian ulama juga berpendapat shalatnya sah namun pelakunya berdosa dikarenakan memakai baju ketat. Sebagaimana pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, ulama besar di Saudi Arabia saat ini, beliau berkata: “Baju ketat yang masih menampakkan bentuk tubuh wanita, baju yang tipis dan terpotong pada beberapa bagian, tidak boleh memakainya. Baju ketat tidak boleh digunakan oleh laki-laki maupun wanita, terutama bagi wanita, karena fitnah wanita lebih dahsyat. Adapun keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika pakaian ketat ini dipakai seseorang untuk shalat, dan telah cukup untuk menutupi auratnya, maka shalatnya sah karena aurat telah tertutup. Namun ia berdosa karena memakai pakaian ketat. Sebab pertama, karena dengan pakaian ketatnya, ia telah meninggalkan hal yang disyariatkan dalam shalat, ini terlarang. Sebab kedua, memakai baju ketat dapat mengundang fitnah karena membuat orang lain memalingkan pandangan kepadanya, apalagi wanita.” (Muntaqa Fatawa Shalih Fauzan, 3/308-309)

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa letak perbedaan pendapat di antara para ulama adalah dalam memutuskan apakah memakai pakaian ketat dalam shalat itu sudah termasuk menutup aurat atau tidak. Dengan demikian ini adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, yang masing-masing pendapat dari ulama tersebut harus dihormati.

Namun yang paling baik adalah menghindari hal yang diperselisihkan dan mengamalkan hal yang sudah jelas bolehnya. Sehingga memakai pakaian yang longgar dan lebar hingga tidak menampakkan warna kulit dan tidak menampakkan bentuk tubuh adalah lebih utama.

Kemudian perlu digarisbawahi, seluruh penjelasan di atas berlaku bagi setiap orang yang memiliki kemampuan dalam pakaian, ia berkecukupan dalam berpakaian dan mampu mengusahakan untuk memiliki pakaian yang longgar dan tidak ketat. Adapun orang yang tidak berkemampuan untuk berpakaian yang longgar, misalnya orang miskin yang hanya memiliki sebuah pakaian saja, atau orang yang berada dalam kondisi darurat sehingga tidak mendapatkan pakaian yang longgar, maka shalatnya sah dan ia tidak berdosa. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah yang menceritakan dirinya ketika hanya memiliki sehelai kain untuk shalat, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ

Jika kainnya lebar maka gunakanlah seperti selimut, jika kainnya sempit maka gunakanlah sebagai sarung” (HR. Bukhari no.361)

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kalian semampu kalian” (QS. At-Taghabun 16 )

Labels

comment

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker