WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Tetap Tegar Tatkala Fitnah Berkobar


Sesungguhnya kita hidup di jaman yang penuh dengan fitnah. Fitnah berupa kekafiran, kemunafikan, ataupun kebid’ahan dan kemaksiatan. Satu fitnah belum selesai tiba-tiba datang fitnah yang baru. Sementara fitnah itu turun bagaikan derasnya curahan air hujan yang membasahi sudut-sudut pemukiman. Terkadang ia datang secara bergelombang bagaikan ombak lautan. Sehingga membuat kaum muslimin bagaikan sampah yang diseret oleh aliran air, tidak jelas arahnya. Terombang-ambing ke sana kemari. Ketika fitnah ini muncul di permukaan, hanya diketahui oleh segelintir manusia yaitu ahli ilmu, sedangkan kebanyakan manusia baru menyadarinya setelah fitnah itu berkecamuk dan membara di mana-mana.

Fitnah-fitnah itu muncul dari dua sumber utama yaitu dari godaan hawa nafsu dan kerancuan pemikiran alias syubhat. Fitnah yang pertama menyerang pada kekuatan hati manusia untuk konsisten di atas jalan yang lurus. Sedangkan fitnah yang kedua menyerang pada kekuatan hati manusia untuk terus mencari kebenaran yang sesungguhnya. Oleh sebab itulah, setiap muslim diajarkan untuk senantiasa berdoa kepada Allah pada setiap roka’at sholatnya, “Ya Allah, tunjukilah kepada kami jalan yang lurus.” Sedangkan hakikat jalan yang lurus itu adalah mengetahui kebenaran dan melaksanakannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39). Dengan kata lain, kunci keberhasilan untuk mengatasi fitnah-fitnah yang ada adalah dengan mengendalikan dua buah kekuatan, yaitu kekuatan ilmiyah nazhariyah (ilmu dan pemahaman) dan kekuatan amaliyah iradiyah (amal dan tekad). Semakin sempurna kemampuan seseorang dalam menggunakan kedua kekuatan ini maka semakin sempurna pula kebahagiaan hidupnya (lihat al-Fawa’id, hal. 20). Dua hal ini tergabung di dalam sabar dan keyakinan, terjalin di dalam iman dan keistiqomahan.

Berpegangteguhlah dengan agamamu!
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan tiba suatu masa ketika itu orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti halnya orang yang sedang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi [2260] di dalam Kitab al-Fitan, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [957]). Maka di saat-saat seperti sekarang ini ketika banyak orang yang tenggelam dalam pemuasan hawa nafsu tanpa mempedulikan rambu-rambu agama dan sebagian lagi terseret oleh arus pemikiran yang menyimpang dari jalan yang lurus, maka tidak selayaknya kaum muslimin ikut-ikutan hanyut di dalamnya.

Di antara jalan keluar dari berbagai macam fitnah yang ada ini adalah :

  1. Senantiasa bertakwa kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya jalan keluar.” (QS. at-Thalaq : 2). Allah ta’ala menjanjikan, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan berikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaq : 4)
  2. Bertawakal kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. at-Thalaq : 3).
  3. Bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran. Allah ta’ala menjanjikan, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di dalam mencari keridhoan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut : 69).
  4. Membersihkan diri dari segala bentuk kesyirikan dan kezaliman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-An’aam : 82)
  5. Patuh kepada syari’at Rasul dan tidak melenceng darinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintahnya, karena mereka akan tertimpa fitnah (penyimpangan) atau tertimpa azab yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur : 63)
  6. Bertanya kepada ahli ilmu untuk mengatasi masalah umat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)
  7. Kembali kepada bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’ : 59)
  8. Senantiasa mengingat Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku jangan sekali-kali kalian ingkar.” (QS. al-Baqarah : 152)
  9. Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya ada sekelompok orang di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. ali Imran : 104)
  10. Bertaubat dari segala kesalahan. Allah berfirman (yang artinya), “Bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian menjadi orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur : 31)
  11. Mengikuti pemahaman para sahabat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka apabila mereka beriman sebagaimana apa yang kalian imani (sahabat) sungguh mereka telah mendapatkan hidayah.” (QS. al-Baqarah : 137)
  12. Senantiasa berdoa kepada Allah agar dibimbing menuju keridhoan-Nya. Di antara doa yang diajarkan kepada kita adalah ‘Rabbanaa laa tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana, wa hablana min ladunka rahmah, innaka antal wahhab (Ya Allah, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau memberikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau lah Dzat Yang Maha Pemberi karunia) (lihat QS. Ali Imran : 8)
  13. Mendasari ucapan dan tindakan dengan ilmu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isro’ : 36)
  14. Berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan berita. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita maka telitilah terlebih dahulu kebenarannya…” (QS. al-Hujurat : 6)

Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat, dan semoga Allah berkenan melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk istiqomah di atas jalan-Nya hingga ajal tiba. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Keutamaan Abu Bakar


Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam shahihnya :

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ حَدَّثَهُ قَالَ نَظَرْتُ إِلَى أَقْدَامِ الْمُشْرِكِينَ عَلَى رُءُوسِنَا وَنَحْنُ فِي الْغَارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ إِلَى قَدَمَيْهِ أَبْصَرَنَا تَحْتَ قَدَمَيْهِ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا

Zuhair bin Harb menuturkan kepadaku, demikian pula Abdu bin Humaid dan Abdulah bin Abdurrahman ad-Darimi. Abdullah mengatakan; Memberitakan kepada kami, sedangkan dua orang yang lainnya mengatakan; menuturkan kepada kami yaitu Habban bin Hilal. Dia mengatakan; Hammam menuturkan kepada kami. Dia berkata; Tsabit menuturkan kepada kami. Dia berkata; Anas bin Malik menuturkan kepada kami bahwa Abu Bakar as-Shiddiq menuturkan kepadanya. Dia berkata; “Ketika itu aku melihat kaki-kaki orang musyrik berada di atas kepala kami sedangkan kami berada di dalam gua, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya salah seorang di antara mereka melihat ke bawah dua telapak kakinya pastilah dia akan mengetahui kalau kita berada di bawahnya.” Maka beliau menjawab, “Wahai Abu Bakar, bagaimana menurutmu mengenai dua orang yang ternyata selain mereka berdua masih ada Allah yang menjadi pihak yang ketiga?” (HR. Muslim dalam Kitab Fadha’il shahabah)

Hadits yang agung ini mengandung banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah :

  1. Keutamaan para sahabat dan secara khusus Abu Bakar as-Shiddiq
  2. Besarnya perhatian Abu Bakar kepada keselamatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  3. Usaha orang-orang musyrik untuk memberantas dakwah Islam semenjak awal pertumbuhannya
  4. Hendaknya seorang da’i bersabar dalam menghadapi tantangan dakwah yang dihadapinya
  5. Hendaknya seorang da’i selalu bersandar kepada Allah dalam menjalankan dakwahnya
  6. Hendaknya para da’i saling tolong menolong di jalan dakwah dan tidak bercerai-berai
  7. Besarnya keyakinan Nabi akan pertolongan Allah ta’ala
  8. Allah senantiasa membela hamba-hamba-Nya yang memperjuangkan agama-Nya
  9. Hendaknya seorang muslim selalu merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah
  10. Dan faidah lainnya yang belum saya ketahui, wallahu a’lam.

Saudah bintu Zam’ah: Pengisi Kesunyian Hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam


Oleh : Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu Imran Al Atsariyyah

Dalam kesendirian dan kehampaan hati terenggutnya kekasih tercinta, dia hadir membawa nuansa bagi manusia yang paling mulia, dengan keceriaan jiwa yang dimilikinya. Kebesaran jiwanya membuat dirinya senantiasa di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dialah Saudah bintu Zam’ah….

Tersebut satu nama mulia yang tak kan lepas dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengisi kekosongan jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha. Dia Ummul Mukminin Saudah bintu Zam’ah bin Qais bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin ‘Amir bin Lu’ai bin Ghalib Al Qurasyiyyah Al ‘Amiriyyah yang memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibunya adalah Asy Syamus bintu Qais bin Zaid bin ‘Amr bin Labid bin Khaddasy bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najjar.

Bersama suaminya, As Sakran bin ‘Amr Al ‘Amiry, Saudah bintu Zam’ah menyongsong cahaya keimanan yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun dengan itu, ia harus menanggung derita dan siksaan dari orang-orang musyrikin yang hendak mengembalikan mereka ke dalam kesesatan dan kesyirikan. Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat, berhijrahlah Saudah dan suaminya dalam barisan delapan orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka meninggalkan negerinya, mengarungi dahsyatnya gelombang lautan, rela menempuh penderitaan untuk menyelamatkan agama mereka, hingga sampailah mereka di bumi Habasyah. Namun tak berapa lama muhajirin Habasyah ini balik kembali ke negeri mereka.

Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekkah, As Sakran bin ‘Amr meninggal dunia. Baru saja berakhir ujian yang dirasa karena keterasingan mereka di bumi yang jauh dari tanah kelahiran, Saudah bintu Zam’ah harus kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.

Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah merasakan kesedihan dengan hilangnya wanita yang dicintainya, yang beriman kepada beliau saat manusia mengingkarinya, yang menopang dengan hartanya saat manusia enggan memberinya dan yang darinya beliau mendapatkan buah hati. Kesedihan yang teramat dalam, hingga tak seorang pun dari kalangan sahabat beliau yang berani menyinggung masalah pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang shahabiyah, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pertanyaannya, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?”

Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya, “Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?” Khaulah pun menjawab, “Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Siapa yang gadis?” Jawab Khaulah, “Putri orang yang paling engkau cintai, ‘Aisyah putri Abu Bakr.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, “Siapa yang janda?” Khaulah menjawab, “Saudah bintu Zam’ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu.”

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam’ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita muhajirah ini. Beliau ingin membawa Saudah ke sisinya dan meringankan kekerasan hidup yang dihadapinya. Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.

Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikah dengannya. Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan ‘Aisyah bintu Abi Bakr Ash Shiddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin ‘Amr Al ‘Amiry, salah seorang sahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.

Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama tiga tahun lebih hingga tiba saat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyusulnya hadir dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Saudah bintu Zam’ah bersama keluarga Rasulullah yang lain masih tinggal di Mekkah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di Madinah, barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhuma untuk menjemput Saudah dan putri-putri beliau. Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Mekkah untuk membawa Saudah bintu Zam’ah beserta putri-putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid menjemput istrinya, Ummu Aiman, dan putranya Usamah bin Zaid ke bumi hijrah, Madinah.

Hari terus bergulir, usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya semata-mata karena rasa iba beliau dengan keadaannya setelah suaminya tiada. Semakin jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikannya dengan cara yang sebaik-baiknya agar tidak melukai hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan keinginannya ini kepadanya. Maka di hadapan beliau, dengan dada yang sesak, Saudah bintu Zam’ah berbisik lirih, “Tahanlah aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak lagi memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu.”

Wanita mulia yang mengharapkan kemuliaan. Dia utamakan keridhaan suaminya yang mulia, hingga dia berikan pula hari gilirannya untuk ‘Aisyah, istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau pun menerimanya.

Peristiwa ini menyisakan sesuatu yang teramat berarti. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat 128 dari Surat An Nisaa’:
“Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik”.

Tinggallah Saudah di dalam rumah yang dipenuhi cahaya kenabian dengan keadaan tenang, ridha dan penuh rasa syukur kepada Rabbnya yang telah membimbingnya sehingga di dunia ini dia tetap berada di samping hamba Allah yang paling mulia, sebagai ibu bagi kaum mukminin, dan sebagai istri beliau kelak di dalam surga.

Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan, sampai tiba saatnya dia menghadap Rabbnya ‘azza wa jalla pada akhir masa pemerintahan Umar ibnul Khatthab radhiallahu ‘anhu di Madinah An Nabawiyyah.

Jejaknya masih terasa, sejarahnya masih terbaca. Saudah bintu Zam’ah, semoga Allah meridlainya…

Sumber bacaan :
1. Ats Tsiqaat, Ibnu Hibban
2. Al Isti`aab, Ibnu Abdil Bar
3. Al Ishaabah fi Tamyizis Shahabah, Ibnu Hajar Al Atsqalani
4. Siyar A`lamun Nubala, Adz Dzahabi
5. Tahdzibul Kamaal, Al Mizzi
6. Syarah Shahih Muslim, An Nawawi

Menikahi Wanita Yang Cantik…


Setelah membuka arsip2 pada milis dan blog as sunnah pada edisi - edisi dua tiga tahun yang lalu, kami temukan sebuah bacaan yang mengandung ilmu. Mohon tidak disalahgunakan oleh siapapun pembacanya…dan silahkan disimak!

Catatan Admin Salafy ITB: “Postingan email ini di milis salafyITB sudah cukup lama, mungkin masih ada yang tertarik membaca, baik pemberi nasehat dan yang dinasehati alhamdulillah sudah menikah, kecuali yang berkomentar…hehe

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Tulisan ini saya susun sebagai ungkapan persahabatan dan persaudaraan yang tinggi kepada seorang sahabat dalam sms nya beberapa hari lalu, yang mana saya menyangka beliau ini sedang dilanda kegalauan mengenai kedudukan “kecantikan”.

Wabillahi taufiq,

Dalam kitab madzhab Hambali Syarah Muntaha al-Iraadaat (2/621 ) :

ويسن أيضا تَخَيُّرُ الجميلة ، لأنه أسكن لنفسه ، وأغض لبصره ، وأكمل لمودته ؛ ولذلك شرع النظر قبل النكاح

Adalah juga sunnah untuk memilih wanita yang cantik, karena hal tersebut dapat melahirkan rasa ketenangan yang lebih besar dan lebih membantu dia untuk menundukkan pandangan dan cinta yang lebih.Oleh karenanya disyariatkan “Nadzor” sebelum menikah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ta’ala anhu;

قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! أَيُّ النِّسَاءِ خَيرٌ ؟ قال : التِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِليهَا ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَر ، وَلا تُخَالِفُهُ فِي نَفسِهَا وَلا فِي مَالِهِ بِمَا يَكرَهُ

Ya Rasulullah,wanita mana yang terbaik? Beliau berkata salah satunya,” Yang tatkala engkau melihatnya engkau merasa senang,…….(Hadits Shahih,dlm. al-Silsilah al-Sahihah, no.1838)

Beberapa ulama menganggapnya sebagai mustahab, jika seorang pria tatkala hendak menikah MEMULAINYA DENGAN MEMPERTANYAKAN TENTANG KECANTIKANNYA TERLEBIH DAHULU, kemudian baru tentang komitmen agamanya.

Imam al-Bahuuti berkata dalam Syarah Muntaha al-Iradat (2/621):

Secara bebas maksudnya demikian : Dia (seorang pria ) seharusnya tidak bertanya tentang komitmen agama seorang wanita terlebih dahulu hingga dia telah mengetahui hal tentang kecantikannya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,” Jika seseorang pria ingin menikahi seorang wanita,dia mesti bertanya pertama kali TENTANG KECANTIKANNYA, jika kemudian dia mendapat kabar bagus mengenai kecantikan (wanita tersebut), baru dia bertanya mengenai komitmen agama (wanita tadi). Jika ternyata agamanya bagus maka dia seharusnya menikahi wanita tersebut.Jika dia tidak mendapat kabar yang baik mengenai agamanya maka dia akan menolak wanita tersebut atas dasar agamanya.(tentu ini tidak boleh). Oleh keranya janganlah dia bertanya mengenai Komitmen agamanya dahulu,yang jika dia mendengar bahwa agama wanita itu bagus, namun kemudian dia mengetahui wanita tersebut tidak cantik lantas kemudian menolak. Maka dia (pria tadi) telah menolak wanita atas dasar “Kecantikan” bukan atas dasar “agama”-selesai kutipan-

Tentu hal ini menyalahi sabda Nabi ‘alaihi ash sholatu wasalam bahwa kita dianjurkan memilih atas dasar “komitmen agama” seorang wanita.

Yang salah adalah tatkala seorang pria mencari kecantikan tetapi melupakan sisi agama seorang wanita-sebagai pondasi kebahagiaan dan kebaikan yang dia cari. Oleh karenanya Nabi menjelaskan gambaran 4 hal yang umumnya dijadikan dasar dalam pemilihan pasangan.Diakhir hal tersebut berkaitan dengan “komitmen agama / akhlak seorang wanita” .Ini artinya agar kita tidak semata mencari penampilan luar tanpa memperhatikan penampilan dalam.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim (10/52) tatkala mengomentari hadist mengenai “wanita dinikahi karena empat hal…dst, berkata:
الصحيح في معنى هذا الحديث : أن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر بما يفعله الناس في العادة ، فإنهم يقصدون هذه الخصال الأربع ، وآخرها عندهم ذات الدين ، فاظفر أنت أيها المسترشد بذات الدين

“Pandangan yang benar mengenai makna hadist ini adalah bahwa Nabi berkata tentang keumuman manusia apa yang dilakukannya tatkala hendak menikah, bahwa mereka menikah berdasar empat hal ini (harta ,keturunan,kecantikan,agama).Yang paling terakhir dalam pilihan orang adalah mengenai komitmen agama ,maka yang benar adalah engkau selayaknya memilih yang punya komitmen agama.”

Pandangan yang mengatakan mustahabb untuk mencari wanita yang cantik sebagai istrinya tidak lah berarti kecantikan itu hal yang utama.Dan berati bahwa kita harus mendapatkan wanita yang sangat cantik sejagat,karena tidak akan kita dapatkan yang sangat sempurna,mungkin bisa kita dapatkan tapi dengan kelemahan agama dan prilakunya.

Arti mencari yang cantik yang dimaksud adalah jenis / tingkat kecantikan dimana kita sebagai pria bisa menjaga diri dari hal haram dan meredam untuk berpaling atau memandang wanita lain selain istri kita.Toh Definisi cantik akan berbeda-beda pada setiap pria.

Nasehat saya adalah nikahilah wanita yang pada pandangan anda punya tingkat (kecantikan) dimana anda cukup merasa senang dan tenang dengan melihat dia.Hal ini (persoalan kecantikan) akan kau rasakan porsi bedanya bukan sebagai porsi pertama dan utama yang terus menggelayuti pikiran anda setelah anda memulai hidup baru…memulai serial selanjutnya dari problematika-probelamatika hidup kita.

Wassalam
Dari Saudaramu…

Catatan Tambahan

Ada salah seorang saudara kita yang sudah berumah tangga dan dikaruniai anak dua yang paling besar tahun ini masuk SMU. Istrinya cukup jelita, keturunan arab sana, konon adalah yang paling cantik di daerahnya dan menjadi idaman para pemuda di sekitarnya. Saudara kita ini merasa bangga bisa mendapatkannya dan merasa dialah yang paling gagah karena si wanita memilih dia untuk jadi belahan jiwanya.

Pada suatu kesempatan dalam sebuah perbincangan lewat udara dia bertutur memberikan wejangan, kira-kira demikian redaksinya: “Kita memang harus percaya dengan hadits Nabi tentang dinikahinya wanita karena empat perkara, benarlah apa yang dikatakan bahwa nikahilah wanita karena agamanya. Sungguh kecantikan istri kita itu akan memudar atau kita akan merasa biasa bahkan mungkin bosan. Setiap saat setiap hari kita melihatnya dan berjumpa dengannya. Maka kencantikan yang istimewa itu menjadi biasa bahkan tak jarang kita akan melihat bahwa wanita lain terasa jauh lebih cantik darinya.

Namun saya terkadang belakangan ini kerap bertengkar dengannya terutama ketika saya ingatkan dia tentang perkara agama, jilbab, mahram, pergaulan dlsb. Dia memang keturunan arab tapi penerimaan dia tidak sebagai mana mestinya. Maka bersungguhlah untuk berusaha mencari istri yang baik dari sisi agamanya, benar-benar akan mendatangkan ketenangan dan kebaikan dalam rumah tangga…”

Kemudian saudara kita ini menuturkan kisah salah seoarang sahabatnya yang dikenalkan kepada al-haq (salafy) oleh istrinya. Dia begitu setia mengajari dan senantiasa melayani dengan tulus serta ikhlas untuk mengabdi pada sang suami hingga tiba suatu masa si istri mengatakan, silakan jika ingin ta’addud, bila perlu saya bantu mencarikannya. Ternyata si suami sama sekali tidak tertarik karena merasa kurang apa lagi dengan istri tercintanya ini, sementara belum tentu dia akan mendapatkan hal serupa dari istri keduanya.

Dari kisah ini, tentu akan muncul komentar pendukung juga koreksi. Ada beberapa bagian yang patut kita tekankan dan ada pula yang patut kita beri catatan. Silakan para pembaca yang budiman bersikap bijak dalam menempatkannya.

Walhasil, mencari istri cantik dan menarik itu perlu, tapi jangan lengah untuk memperapat filter kedua yakni untuk bagian agamanya. Tentu demi hidup yang lebih baik. Ada sepenggal kalimat yang dahulu, kala masih muda sering saya dengungkan, “kita ini sedang mencari teman hidup, bukan teman tidur”.

Kawan saya di kantor mengatakan: Untuk istri pertamamu, carilah wanita yang benar-benar mengerti agama, karena dengan begitu engkau tidak akan kesulitan untuk mencari istri kedua…

Lekaslah menikah!

Cinta Sepanjang Masa



Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya. Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Suatu hari istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain (yakni ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebutnya.” (HR. Bukhari)

Ya, dialah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan wahyu di Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia.

Saat menikah, Khadijah radhiyallahu ‘anha berusia 40 tahun sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 25 tahun. Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.

Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’. Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Pun, saat suaminya menerima wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga.

Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Sirah Nabawiyah)

Suatu kali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, “Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.” (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”

Saudariku muslimah, maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya?

Maraji:

  1. Rumah Tangga tanpa Problema (terjemahan dari Al Usratu bilaa Masyaakil) karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih
  2. Sirah Nabawiyah (terj) karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury
  3. Al Quran dan Terjemahnya

***

Penyusun: Ummu Abdirrahman
Muroja’ah: ustadz Abu Salman

KAFIR TANPA SADAR MENGUSUNG PEMAHAMAN KHAWARIJ


Muqoddimah
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Kafir Tanpa Sadar oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz. Buku ini adalah salah satu dari buku-buku yang sangat dahsyat menghembuskan syubhat Khawarij dari awal hingga akhir. Yang sangat disayangkan bahwa buku-buku seperti ini sangat marak akhir-akhir ini, hal ini menunjukkan bahwa fitnah Takfir saat ini begitu deras menerpa.

Karena itulah maka insya Allah dalam pembahasan kali ini kami berusaha menyingkap syubhat-syubhat yang berada dalam buku tersebut sebagai nasehat kepada kaum muslimin dan pembelaan kepada manhaj yang haq.

PENULIS DAN PENERBIT BUKU INI
Judul asli buku ini adalah Al-Jami fil-Ilmi Asy-Syarif Al-Iman wa Al-Kufr, ditulis oleh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, diterjemahkan oleh Abu Musa Ath-Thayyar, dan diterbitkan oleh Media Islamika Solo, cetakan pertama September 2006

MENGIKUTI KHAWARIJ DALAM MEMAHAMI AYAT HUKUM
Penulis berkata di dalam hlm. 212 : “Sesungguhnya kekafiran yang disebut di dalam ayat ini (ayat 44 dari Surat Al-Ma’idah) adalah kufur akbar. Ini karena diterangkan dengan kata-kata yang menggunakan alif dan lam ta’rif (al). Sebab, setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar, dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin adalah pendapat yang salah ..”.

Sebelumnya pada hlm. 64 penulis berkata :”Pedoman umum : sesungguhnya, semua kata kafir yang diungkapkan dengan isim yang ber-alif ta’rif.. maksudnya adalah akbar ..”

Kami katakan : Perkataan penulis, “Setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar [1]”, berbenturan dengan sebagian atsar yang datang dari para sahabat yang di dalamnya menyifati sebagian dosa-dosa dengan lafadz kufur yang menggunakan alif dan lam ta’rif, bersamaan dengan itu dosa-dosa tersebut dianggap kufur ashghor [2] dengan kesepakatan para ulama ahli Sunnah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari di dalam Shahihnya 5273 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang di dalamnya istri Tsabit bin Qois berkata :

“Dan akan tetapi aku membenci kekufuran di dalam Islam’’

Dia maksudkan mengkufuri suami sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul bari 9/400

Demikian juga diriwayatkan oleh Nasa’i rahimahullah di dalam Sunan Kubro (118 Isyrotun Nisa) dan Abdurrazzaq di dalam Mushannaf : 20953 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkomentar tentang mendatangi wanita di duburnya “ Itu adalah kekufuran’ dan sanadnya adalah kuat sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Talkhishul Habir 3/181.

Kedua atsar di atas lafadz kufur menggunakan alif dan lam ta’rif dalam keadaan maksudnya adalah kufur ashghor.

Kemudian tentang perkataan penulis, “Dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufrun duna kufrin adalah pendapat yang salah….” Perlu diketahui bahwa yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah para ulama Ahli Sunnah yang terdahulu dan belakangan, di antara mereka adalah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang berkata : “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan, sesungguhnya di adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44]

Ini adalah kufur duna kufrin (kufur asghor)” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadroknya 2/342 dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya, dan disetujui oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrok 2/342 dan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/113]

Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini sebagaimana di dalam nukilan-nukilan di bawah ini.

[1]. Atho bin Abi Robbah rahimahullah seorang tabi’in menyebut ayat 44-46 dari surat Al-Maidah dan berkata : “Kufrun duna kufrin, fisqun duna fisqin, dan dhulmun duna dhulmin’’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah 6/114]

[2]. Thowus bin Kaisan rahimahullah salah seorang tabi’in menyebut ayat hukum dan berkata ; “Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsirnya 6/256 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shohihah 6/114]

[3]. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang maksud kufur dalam ayat hukum maka beliau berkata ; “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari keimanan”.[Majmu Fatawa 7/254]

[4]. Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam membawakan tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dan Atho bin Abi Robbah terhadap ayat hukum dan berkata : “Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agama tetap eksis meskipun tercampur dengan dosa-dosa” [Kitabul Iman hlm. 45]

[5]. Al-Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shohihnya 1/83 :”Bab Kufronil Asyir wa Kufrun duna Kufrin’. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Penulis (Al-Imam Bukhari) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abi Robbah dan yang lainnya” [Fathul Bari 1/83]

Perkataan semakna juga datang dari Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari, Al-Imam Baihaqi, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, Al-Imam Qurthubi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, Syaikh Al-Albani rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Kalau begitu, pendapat siapakah yang diikuti oleh penulis di dalam pemahaman ayat ini?! Tidak lain adalah madzhab Khowarij sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah tatkala mengomentari perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diatas “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan” : “Seakan-akan beliau mengisyaratkan kepada orang-orang Khawarij yang memberontak kepda Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu”. [Silsilah Shahihah 6/113]

Kemudian penulis berkata pada hlm. 216 : “Sesungguhnya ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah (barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi sebagai syarat) yang merupakan bentuk kalimat paling umum..”

Kami katakan : Jika diambil keumuman ayat ini maka konsekwensinya adalah mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak adil di dalamnya, termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan seseorang terhadap dirinya sendiri jika dia maksiat kepada Rabbnya ; karena tatkala dia maksiat kepada Rabbnya maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar kemaksiatan tidaklah menjadikan pelakunya kafir seperti firman Allah.

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya” [Al-Hujurat : 9]

Maka nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan adalah yang memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kufur ashghor, karena itulah maka para ulama sepakat tidak mengambil keumuman ayat ini, berbeda dengan orang-orang Khawarij yang memakai keumuman ayat ini di dalam mengkafirkan para pelaku dosa dan kemaksiatan tanpa melihat kepada dalil-dalil yang lain yang memalingkan ayat ini dari keumumannya.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Telah sesat sekelompok ahli bida’ dari Khawarij dan Mu’tazilah dalam bab ini, mereka berargumen dengan ayat-ayat di dalam Kitabullah yang tidak atas dhahirnya seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44] [At-Tamhid 17/16]

Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi seorang yang sengaja melakukannya dalam keadaan mengetahui hukumnya ..’ [At-Tamhid 5/74-75]

KERANCUAN PENULIS DI DALAM MEMAHAMI DARUL KUFUR DAN DARUL ISLAM
Penulis berkata di dalam hlm. 20 : “Negeri yang menggunakan undang-undang kafir adalah darul kufri (negeri kafir). Jika sebelumnya negeri itu menggunakan hukum syari’ah, lalu berganti dengan undang-undang kafir, sedangkan penduduknya masih Islam maka negeri itu Daru Kufrin Thari (negeri kafir yang tidak asli)”.

Kami katakan ; Penulis mengikuti pemahaman Khowarij yang berpendapat bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia kafir keluar dari Islam secara mutlak tanpa perincian, apakah dia mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak, dan memahami secara rancu tentang hal yang menyebabkan suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam atau Darul Kufur

Yang benar bahwa suatu negeri dikatakan sebagai Darul Islam jika nampak syi’ar-syi’ar Islam dari penduduk negeri seperti shalat lima waktu, shalat jum’at, dan shalat Ied, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut ini.

[1]. Hadits Anas Radhiayallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Rasulullah hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar, beliau menunggu suara adzan, jika belaiu mendengar adzan maka beliau menahan diri, dan jika tidak mendengar adzan maka beliau menyerang” [Muttafaq Alaih, Shahih Bukhari 610 dan Shahih Muslim 1365]

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hadits ini menunjukkan bahwa adzan menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri daerah tersebut, karena adzan tersebut merupakan dalil atas ke-islaman mereka” [Syarah Nawawi pada Shahih Muslim 4/84]

Al-Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Adzan adalah tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Al-Jami Liahkamil Qur’an 6/225]

Az-Zarqoni berkata : “Adzan adalah syi’ar Islam dan termasuk tanda yang membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur” [Syarah Az-Zarqoni atas Muwatho 1/215]

[2]. Hadits Isham Al-Muzanny bahwasanya dia berkata.
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau bersabda :”Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorangpun”.[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya 3/448, Abu Dawud dalam Sunannya 2635 dan Tirmidzi dalam Jaminya 1545 dan dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Sunan Abu Dawud hlm. 202]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :”Hadits ini menunjukkan bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukan agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : Adanya masjid atau mendengar Adzan” [Nailul Authar 7/287]

Berdasarkan uraian di atas maka jika didengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah Darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam, hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata : “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasiq, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi dia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya, setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertaqwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat itu, setiap jengkal tanah yang penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka” [Majmu Fatawa 18/282]

Lalu kapankan suatu negeri Islam menjadi Darul Kufur? Yang rojih dari pendapat para ulama bahwa negeri Islam tidak berubah menjadi darul kufur dengan sekedar dominannya hukum-hukum kekafiran padanya, atau sekedar penguasaan orang-orang kafir padanya, selama para penduduknya masih mempertahankan ke-islaman mereka, bahwa selama mereka masih menegakkan sebagian dari syi’ar-syi’ar Islam khususnya sholat

Al-Kasani berkata : “Tidak ada khilaf di antara para sahabat kami (madzhab Hanafi) bahwasanya darul kufur berubah menjadi darul Islam, dengan nampaknya hukum-hukum Islam padanya, dan mereka berselisih dengan ada Darul Islam berubah menjadi Darul Kufur, Abu Hanifah rahimahullah berkata : Darul Islam tidak berubah menjadi Darul Kufur kecuali dengan tiga syarat : yang pertama dominannya hukum-hukum kafir padanya, yang kedua bersambungnya dengan Darul Kufur, yang ketiga tidak tersisa didalamnya seorang muslim dan seorang dzimmi yang merasa aman dengan jaminan keamanan dari kaum muslimin ..”[Bada’i Shonai 7/130]

Ad-Dasuqy berkata : “Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi Darul Harbi (negeri kafir yang diperangi) sekedar dengan penguasaan orang-orang kafir atasnya, tetapi hingga terputus penegakan syi’ar-syi’ar Islam darinya, adapun selama tetap ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam atau sebagian besar darinya, maka tidaklah dia berubah menjadi Darul Harbi” [Hasyiyah Dasuqy 2/189]

Merupakan kaidah dalam syari’at bahwa : Hukum asal sesuatu adalah dikembalikan pada asalnya. Tidak berubah hukum asal ini kecuali jika ada yang memindahkannya ke hukum yang lainnya dengan cara yang yakin.

Di antara contoh-contoh dalam hal ini adalah negeri Andalusia (Spanyol) yang berubah menjadi Darul Kufur sesudah kaum muslimin diusir darinya, dan sejak syi’ar-syi’ar Islam di situ dihukumi tidak ada.

Di antara contoh-contoh hal ini juga adalah negeri Islam yang para penguasanya tidak menerapkan hukum Islam bersamaan dengan itu para penduduknya menampakkan syi’ar-syi’ar Islam maka negeri itu adalah Darul Islam, karena tidak ada indikasi yang memindahkannya dari hukum asalnya. [Lihat Al-Ghuluw Fifd Din oleh Syaikh Abdurrahman bin Ma’la Al-Luwaihiq hlm 340].

PENULIS MENGHASUNG KEPADA PEMBERONTAKAN
Setelah membabi buta menyifati negeri-negeri Islam yang penguasanya tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwasanya negeri-negeri itu adalah Darul Kufur, maka penulis menghasung para pembaca agar tidak taat kepada mereka, dia berkata di dalam hlm. 19 : “Tiada kewajiban bagi seorang muslim untuk menataati para penguasa tersebut. Demikian pula, tidak wajib baginya mematuhi undang-undang negeri tersebut.
Akan tetapi dia bebas untuk melanggarnya, semau dia..”

Bahkan penulis menganggap bahwa memberontak kepada para penguasa tersebut adalah jihad sebagaimana dia katakan di dalam hlm. 30 :”Mereka memandang bahwa penguasa mereka yang kafir itu adalah orang Islam yang bertaqwa, dan mereka memandang orang-orang muslim yang berjihad sebagai Khawarij yang sesat…”

Tidak diragukan lagi bahwa penulis telah menyelisihi pokok yang agung dari syari’at Islam yaitu wajibnya taat kepada waliyul amr di dalam hal yang ma’ruf sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rosul(Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian…” [An-Nisaa : 59]

Adapun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka di antaranya adalah perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar selalu taat kepada waliyul amr, tidak membatalkan baiat, dan sabar atas kecurangan para penguasa

Dari Ubadah bin Shomit bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiatnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbaiat atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya beliau bersabda : “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti dihadapan Allah” [Shahih Muslim 1709]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Ini adalah perintah agar selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyul amr, yang ini merupakan kezholiman darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah”[Minhajus Sunnah 3/395]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menukil ijma’ para ulama dalam masalah ini dari Ibnu Bathlam yang berkata : “Para fuqoha telah sepakat atas wajibnya taat kepada pemerintah yang menguasainya keadaan, wajibnya berjihad bersamanya, bahwasanya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena dengan ketaatan akan bisa menjaga tertumpahnya darah, dan menenangkan keadaan… mereka mengecualikan hal ini jika telah terjadi kekufuran yang jelas dari penguasa” [Fathul Bari 13/7]

MENUDUH PARA ULAMA SUNNAH SEBAGAI MURJI’AH
Buku ini dari awal hingga akhir sarat dengan tuduhan-tuduhan keji kepada para ulama Ahli Sunnah bahwa mereka adalah Murji’ah, seperti perkataan penulis hlm. 183-187 : “Beberapa ulama yang berpendapat ; tiada kekafiran kecuali dengan keyakinan : Syaikh Al-Albani… intinya pendapat Al-Albani adalah sama dengan pendapat ghulatul Murji’ah … pada kesempatan lain Al-Albani membatasi kekafiran pada ingkar (juhud)”

Penulis juga berkata di dalam hlm. 215 : “Ketahuilah bahwa kesalahan Al-Hudhaibi (di atas) telah dilakukan oleh mayoritas ulama zaman sekarang, yang dalam hal ini mereka taklid kepada Ibnu Abil Izz dan Ibnul Qayyim… Pendapat mereka ini tidak ada dasarnya, tidak ada pula dalilnya yang diterima…”

Kami katakan : Tuduhan Khawarij bahwa Ahlus Sunnah adalah Murji’ah bukan perkara baru, Al-Imam Ishaq bin Rahuwiyah berkata ; Suatu saat Abdullah bin Mubarok datang ke kota Ray maka berdiri menghampirinya seorang dari ahli ibadah –dugaan terkuat dia ini mengikuti pemikiran Khawarij- dia berkata kepada Abdullah bin Mubarok rahimahullah : “Wahai Abu Abdirrahman apa pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan minum khamr?” Abdullah bin Mubarok berkata : “Aku tidak mengeluarkannya dari keimanan”. Orang tersebut berkata ; “Wahai Abu Abdirrahman dalam usia setua ini engkau menjadi Murji’ah?!, Abdullah bin Mubarok berkata : “Orang-orang Murji’ah tidak setuju dengan kami, mereka mengatakan : Amalan-amalan kami diterima dan dosa-dosa kami diampuni, dan seandainya aku tahu bahwa satu amalan baikku diterima maka aku akan mempersaksikan bahwa diriku di surga”. [Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shohih]

Tentang tuduhan irja’ kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah maka telah dibantah oleh para ulama Sunnah di antaranya Syaikh Dr Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh yang berkata : Yang kami yakini dan yang kami pertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala : Bahwasanya Syaikh Ali hafizhahullah dan gurunya –Syaikh Al-Albani rahimahullah paling jauh di antara manusia dari madzhab Murji’ah- sebagaimana telah kami katakan sebelumnya.

Demikian juga Syaikh Al-Albani jika ditanyakan kepadanya : “Apakah definisi Iman? “Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan.

Bahkan nash-nash Syaikh Al-Albani rahimahullah menashkan bahwa definisi iman adalah : “Keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan’ [Lihat Tanbihat Mutawaimah hlm 553-557]

PENUTUP
Inilah yang bisa kami sampaikan kepada para pembaca tentang jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini, sebetulnya masih banyak hal-hal lain dari buku ini yang perlu dijelaskan, tetapi Insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang bahaya buku ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikutinya. Amin

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 5 th. Ke 7 1428/2007 [Des 07-Jan 08], Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu – Gresik, Jatim 61153]

Kebutuhan terhadap Ilmu


Allah ta’ala berfirman,

يَرْفَعْ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang mendapatkan karunia ilmu beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah : 11).

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang beriman yang berilmu lebih utama dan diangkat derajatnya lebih tinggi oleh Allah ta’ala daripada orang beriman yang tidak berilmu (Fath Al-Bari, 1/92. Asy-Syamilah).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,

أيها الناس : افهموا هذه الآية ولْتُرغِّبْكم في العلم ، فإن الله يرفع المؤمن العالم فوق مَن لا يعلم درجات

“Wahai manusia, pahamilah ayat ini (Al-Mujadilah : 11) niscaya ia akan memotivasi kalian untuk menimba ilmu, karena sesungguhnya Allah mengangkat orang beriman yang berilmu di atas orang (beriman) yang tak berilmu.” (Dinukil oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul Masiir, Asy-Syamilah).

Allah ta’ala berfirman,

نَرْفَع دَرَجَات مَنْ نَشَاء

“Kami mengangkat derajat orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Al-An’aam : 83 dan Yusuf : 76).

Zaid bin Aslam rahimahullah mengatakan bahwa maksudnya Allah akan mengangkat manusia dengan sebab ilmunya (Fath Al-Bari, 1/92, Asy-Syamilah).

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat dengan kitab suci ini sebagian orang dan menghinakan sebagian yang lain.” (HR. Muslim [1353]).

Allah ta’ala berfiirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Katakanlah; Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thaha : 114).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata mengomentari ayat ini, “Ayat ini mengandung penunjukan yang sangat jelas untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu selain dari tambahan ilmu. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i -sebagaimana disebutkan oleh Al-Alusi rahimahullah dalam tafsir Ruhul Ma’ani, pent- yang akan membuahkan faedah bagi setiap orang yang terbebani syariat sehingga dia akan mengerti apa yang wajib dilakukannya dalam urusan ibadah atau pun muamalahnya, ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, perintah Allah yang harus dilakukannya, menyucikan Allah dari berbagai sifat kurang dan cela. Poros ilmu-ilmu tersebut adalah pada ilmu tafsir, fiqih, dan hadits.” (Fath Al-Bari, 1/92. Asy-Syamilah).

Dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menimba ilmu, maka Allah akan menuntunnya berjalan di atas jalan di antara jalan-jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena meridhai penimba ilmu. Orang yang berilmu niscaya akan dimintakan ampunan oleh segala makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan oleh ikan yang berada di kedalaman air (laut). Sesungguhnya keutamaan seorang alim di atas seorang ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan pada malam purnama dibandingkan seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan dinar dan dirham, (namun) mereka meninggalkan warisan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mendapatkan jatah warisan yang sangat banyak.” (HR. Abu Dawud [3157] disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Targhib wa Tarhib, 1/63/68. Asy-Syamilah).

Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari [69,2884,6768] dan Muslim [1719,1721,3549]).

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan salah satu pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini adalah besarnya keutamaan bertafqquh/mendalami agama. Beliau juga menyimpulkan dari hadits ini bahwa; orang yang tidak berusaha untuk mendalami agama -tidak mau mempelajari pokok-pokok ajaran Islam dan cabang-cabangnya- maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan. Hadits ini juga menunjukkan besarnya keutamaan menimba ilmu agama dibandingkan ilmu-ilmu yang lainnya (Fath Al-Bari, 1/115. Asy-Syamilah).

Tercabutnya ilmu tanda dekatnya kiamat

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا

“Sebagian tanda hari kiamat adalah; ketika ilmu diangkat, kebodohan merajalela, khamr diminum, dan zina terjadi secara terang-terangan.” (HR. Bukhari [78] dan Muslim [4824]).

Hadits yang mulia ini dicantumkan oleh Al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitabul Ilmi bab terangkatnya ilmu dan tampaknya kebodohan, kemudian Bukhari membawakan ucapan Rabi’ah, “Tidak selayaknya orang yang memiliki ilmu untuk menyia-nyiakan dirinya.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, maksud ucapan Rabi’ah ini adalah bagi orang yang mampu memahami dan mencerna ilmu tidak selayaknya meninggalkan kesibukan untuk belajar karena hal itu akan menyebabkan terangkatnya ilmu (Fath Al-Bari, 1/131. Asy-Syamilah). Yang dimaksud terangkatnya ilmu adalah kematian orang yang membawanya (para ulama). Khamr diminum, maksudnya seringnya hal itu terjadi dan kabarnya tersiar ke mana-mana (Fath Al-Bari. Asy-Syamilah).

Dari Abdullah bin Amr bin Al-’Ash radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari dada manusia. Namun Allah mencabut ilmu dengan wafatnya para ulama, sampai-sampai apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang alim, maka orang-orang pun mengangkat pemimpin yang bodoh-bodoh. Mereka berfatwa tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari [98] dan Muslim [4828]).

Hadits yang mulia ini dicantumkan oleh Al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitabul Ilmi bab bagaimana cara tercabutnya ilmu. An-Nawawi rahimahullah berkesimpulan dari hadits ini bahwa di dalamnya terkandung maksud anjuran untuk menjaga ilmu serta mengambilnya dari ahlilnya (Al-Minhaj, 9/32. Asy-Syamilah).

Dicopet Oleh Setan dalam Shalat



Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dari ‘Aisyah, beliau berkata,

سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الالتفات في الصلاة ؟
“Saya bertanya mengenai memalingkan muka ketika shalat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
هو اختلاس يختلسه الشيطان من صلاة العبد
“Itu adalah copetan yang dicopet oleh setan dalam shalat seseorang.” (HR. Bukhari) [Bukhari: 16-Kitab Shifat Shalat, 11-Bab Memalingkan Muka Ketika Shalat, dan 63-Kitab Bad’ul Kholqi, 11-Bab Sifat Iblis dan Tentaranya]

Pelajaran Berharga
Pertama, dilarang memalingkan wajah ketika shalat kecuali jika dalam keadaan butuh atau ada maslahat. Misalnya dalam keadaan butuh adalah ketika seseorang diliputi dengan banyak was-was dari setan, maka dia diperintahkan untuk meludah ke kirinya sebagaimana hal ini akan dijelaskan pada kiat khusyu’ selanjutnya. Contoh ketika ada maslahat adalah ketika makmum harus melihat gerakan ketika shalat jama’ah, apalagi kalau berada di ujung shaf.
Kedua, memalingkan wajah dan leher dihukumi makruh, namun jika lebih dari itu, sampai memalingkan seluruh badan sampai membelakangi kiblat, maka ini dihukumi haram dan dapat membatalkan shalat. Adapun memalingkan wajah, namun hanya sedikit, maka ini tidak membatalkan shalat sebagaimana hal ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Ketiga, hikmah dimakruhkannya memaligkan wajah ketika shalat adalah karena hal ini dapat menghilangkan kekhusu’an dalam shalat.
Keempat, memalingkan wajah merupakan tipu daya setan karena ini adalah hasil copetannya yang terjadi ketika shalat yang hal ini dapat mengurangi nilai shalat seseorang di sisi Allah.
Kelima, para ulama memaknakan hukum memalingkan wajah di sini adalah makruh (tidak sampai haram) karena hal ini tidak sampai membatalkan shalat, cuma mengurangi nilai shalat di sisi Allah.

****
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Dahsyatnya Fitnah Akhir Zaman

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :

Ishaq bin Manshur menuturkan kepada saya. Dia berkata; Abu Dawud at-Thoyalisi mengabarkan kepada saya. Dia berkata; Ibrahim bin Sa’d menuturkan kepada kami dari ayahnya, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi fitnah/gempuran cobaan, orang yang tidur di saat itu lebih baik daripada orang yang terjaga. Orang yang terjaga lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berlari. Maka barangsiapa yang mendapatkan tempat kembali atau untuk berlindung hendaknya dia segera mencari perlindungan dengannya.” (Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dalam Shahihnya di Kitab al-Fitan, bab maa takuunu fitnatul qa’id fiha khairun minal qaa’im [hadits no. 7081], diterjemahkan dari Shahih Muslim cet Darul Kutub Ilmiyah, hal. 1105).

Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan di dalam Shahihnya :

Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami dari Malik bin Anas di dalam riwayat yang dibacakan di hadapannya dari Abu Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali sampai pada suatu ketika seorang lelaki melewati kuburan seseorang maka dia pun berkata, ‘Aduhai alangkah enaknya kalau aku sekarang berada di tempatnya.’.” (Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya di Kitab al-Fitan, bab laa taquumus sa’ah hatta yughbatha ahlul qubur [hadits no. 7115], diterjemahkan dari Shahih Muslim cet Darul Kutub Ilmiyah, hal. 1114).

Kedua hadits di atas memberikan banyak pelajaran berharga, di antaranya :

  1. Dalam situasi fitnah maka seorang mukmin memerlukan ketegaran iman dan kesabaran ekstra
  2. Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya
  3. Ketika fitnah berkecamuk maka orang yang selamat darinya adalah yang berusaha sekuat tenaga untuk tidak ikut campur karena hal itu justru semakin memperkeruh suasana
  4. Diperintahkannya kita untuk menghindari tempat-tempat timbulnya fitnah
  5. Yang menjadi ukuran adalah benar dan tidaknya tindakan yang diambil, bukan berapa banyak tindakan atau kegiatan yang dilakukan
  6. Kewajiban mengimani hari kiamat dan tanda-tandanya
  7. Demikian parahnya kondisi fitnah yang terjadi menjelang kiamat
  8. Bolehnya mengangankan kematian bagi orang yang menjumpai fitnah dalam hal agama yang membuatnya khawatir akan keselamatan dirinya
  9. Kewajiban bersabar ketika menghadap fitnah yang ada
  10. Kewajiban untuk membekali diri dengan ilmu dalam mengatasi fitnah-fitnah tersebut
  11. Kewajiban mengimani adanya alam kubur
  12. Seorang yang beriman akan merasakan kebahagiaan di kuburnya
  13. Hendaknya banyak-banyak mengingat kematian
  14. Hendaknya setiap orang berintrospeksi diri dan mengukur kemampuan dirinya dalam menghadapi fitnah yang ada
  15. Dan faidah lainnya yang belum saya ketahui, wallahu a’lam.

MENGKAFIRKAN TANPA SADAR (1)


Oleh : Abu Abdurrahman bin Thoyib As-Salafi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ciri-ciri Khawarij : “Akan muncul di akhir zaman sekelompok orang yang masih ingusan dan bodoh. Mereka membaca al-Qur’an, namun iman mereka tidak sampai kepada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari sasarannya. Dimana saja kalian bertemu mereka, maka bunuhlah mereka karena dalam pembunuhan tersebut ada pahala bagi orang yang membunuhnya pada hari kiamat”. [HR. Bukhari 6930]

Diantara ciri Khawarij juga, adalah apa yang disebutkan oleh para ulama, bahwa mereka sering membawakan sebuah ayat al-Qur’an dan ditafsirkan menurut hawa nafsu dan kebodohan mereka, ayat itu adalah “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Maidah : 44]

Inilah ucapan para ulama tentang hal diatas :

1. Imam al-Hafiz Abu Bakar Muhammad bin al-Husein al-Ajurri Radhiyallahu ‘anhum berkata : “Diantara syubhat Khawarij adalah firman Allah Azza wa Jalla : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Maidah : 44] Mereka membacanya bersama firman Allah : “..namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.(QS. Al-An’am : 1). Apabila mereka melihat seorang penguasa yang tidak berhukum dengan kebenaran, mereka berkata : Orang ini telah kafir, maka dia telah mempersekutukan Tuhannya. Oleh karenanya, para pemimpin-pemimpin itu adalah orang-orang musyrik (Asy-Syariah. 1/342).

2. Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata: “Telah tersesat sekelompok ahli bidah dari golongan khawarij dan Mutazilah dalam bab ini. Mereka berdalil dengan atsar-atsar ini dan yang semisalnya untuk mengkafirkan orang-orang yang berbuat dosa. Mereka berhujjah dengan ayat-ayat dalam al-Qur’an bukan secara dzohirnya, seperti firman Allah ta’ala : ”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” QS.Al-Maidah:44, (At-Tamhid, 17/16).

3. Al-Jashshash berkata : ”Khawarij telah menakwilkan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, meski tanpa adanya pengingkaran” (Ahkamul Quran, 2/534).

4. Syaikhul Islam, Hujjatul ahlussunnah wal jama’ah, al-Imam al-Allamah Abu Muzhoffar as-Samani berkata : ”Ketahuilah, bahwa khawarij berdalil dengan ayat ini untuk mengatakan : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia kafir. Tapi ahlus sunnah berkata : Dia tidak kafir dengan hanya meninggalkan hukum (Allah), (Tafsir Abi Muzhoffar As-Sam’ani, 2/42).

5. Al-Imam al-Qodhi Abu Ya’la berkata : ”khawarij berhyjjah dengan firman Allah ta’ala : ”Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS.Al-Maidah:44). Dzohirnya dalil mereka ini mengharuskan pengafiran para pemimpin yang dzolim, dan ini adalah pendapat khawarij. Padahal yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang yahudi”.(Masaaailil Iman, 340-341).

6. Abu Hayyan berkata : ”Khawarij berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat kepada Allah itu kafir. Mereka mengatakan : Ayat ini adalah nash untuk setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bahwa dia itu kafir. (Al-Bahrul Nuhith, 3/493).

7. Abdullah al-Qurthubi menukil perkataan al-Qusyairi : ”Mahzabnya khawarij adalah, barangsiapa yang mengambil uang suap dan berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir.” (Al-Jami’li ahkamil Quran, 6/191).

Sungguh benar apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kelompok Khawarij ini akan senantiasa muncul hingga akhir zaman nanti. Dan tidak ada yang lebih membuktikan akan hal tersebut disaat ini terutama di Indonesia, melainkan munculnya buku yang berjudul: ”Kafir tanpa Sadaryang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz, yang masih misterius identitasnya. Siapakah dia sebenarnya.?!

Penulis misterius ini mengatakan dalam (hal.16-19): ”Urgensi ini dapat kita pahami, jika kita pahami, jika kita memahami bahwa negeri-negeri yang diperintah berdasarkan undang-undang buatan manusia sebagaimana keadaan berbagai negeri kaum muslimin pada hari ini mempunyai dampak hukum yang sangat berbahaya, yang harus diketahui setiap muslim. Ini agar orang binasa, menjadi binasa karena ilmu; dan orang yang hidup, menjadi hidup karena ilmu. Diantara hukum-hukum tersebut ialah :

1. Sesungguhnya, para penguasa negeri-negeri tersebut kafir dengan kufur akbar, yang berarti keluar dari Islam.

2. Para hakim di negeri tersebut adalah kafir dengan kufur akbar, yang dengan demikian, haram hukumnya bekerja menjadi hakim. Dalil atas kafirnya para penguasa dan hakim tersebut diatas adalah firman Allah : ”Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Maidah: 44]

3. Sesungguhnya, tidak boleh berhukum atau menyelesaikan perkara pada berbagai pengadilan di negeri-negeri itu, juga tidak boleh melaksanakan keputusan-keputusannya. Barangsiapa dengan sukarela, berhukum pada undang-undang mereka maka dia juga kafir.

4. Sesungguhnya, anggota lembaga perundang-undangan (dewan legislatif) di negeri-negeri itu, seperti parlemen, dewan perwakilan rakyat, dan yang serupa dengannya, mereka kafir kufur akbar. Sebab merekalah yang mengesahkan berlakunya undang-undang kafir ini, merekalah yang membuat undang-undang yang baru.

5. Sesungguhnya, orang-orang yang ikut memilih anggota parlemen itu, mereka kafir secara kufur akbar, sebab dengan memilih anggota parleman, mereka telah menjadikan angota parleman itu sebagai rabb-rabb yang membuat undang-undang selain Allh. Karena yang dijadikan dasar adalah hakikat sesuatu, bukan namanya. Dan semua orang yang mengajak atau memberi motivasi untuk mengikuti pemilihan itu pun kafir. Dalilnya atas kafirnya para wakil rakyat (anggota parlemen) adalah firman Allah : ”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang menyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?” [QS. Asy-Syuura: 21]…

6. Sesungguhnya, haram hukumnya membaiat para penguasa seperti itu….

7. Sesungguhnya, para tentara yang menjadi pembela negeri kafir tersebut adalah orang-orang kafir yang kufur akbar…

8. Sesungguhnya, tiada kewajiban bagi seorang muslim untuk mentaati para penguasa tersebut…

9. Sesungguhnya, negeri yang menggunakan undang-undang kafir adalah daru kufrin (negeri kafir)….

Sungguh kejam dan kejinya ucapan ini ! Mungkin tidak ada seorang muslim yang tersisa di muka bumi ini, melainkan dia saja. Mulai dari penguasa/presiden sampai kepada tentaranya, mungkin juga pak hansip tidak luput dari takfirnya ini.

Dan yang sangat disayangkan lagi, buku yang bernuansa dan berciri khas Khawarij yang kejam ini diberi kata penghantar dan rekomendasi oleh seorang ketua MMI Majelis Mujahidin Indonesia (saat buku ini diterbitkan), Ustadz Abu Bakar Ba’asyir semoga Allah memberinya hidayah.

Beliau mengatakan dalam kata pengantar ( hal. 8 ) : ”Oleh karena itu, saya sangat mendukung kalau kitab al-Jami’ kaya Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz itu diterjemahkan dan diterbitkan, terutama Bab Imam (mungkin yang benar Bab Iman) dan Kufur yang akan diterbitkan ini. Saya menganjurkan pada umat Islam, agar membaca buku ini dengan benar, terutama para pelajar dan mahasiswa, baik pesantren, madrasah dan sekolah umum, sehingga mereka memahami benar perbedaan antara iman dan kafur. Sebab ini merupakan persoalan yang sangat penting dan mendesak. Sehingga kami pun menjadikan buku ini sebagai kajian rutin di pondok”.

Ina lillahi wa inna ilaihi raji’un, buku yang penuh dengan bala’/bencana ini dijadikan kajian rutin di pondok?! Jadi apakah para santrinya nanti?! Pengibar bendera khawarij ataukah para takfiriyun (tukang vonis kafir)?!

Tidakkah pak Ustadz sadari, bahwa dengan merekomendasikan buku ini, justru menjadi boomerang bagi pa Ustadz sendiri. Bukankah pak Ustadz pernah berhukum atau menyelesaikan perkara pada pengadilan di negeri ini, yang tidak berhukum dengan hukum Allah?! Bukankah pak Ustadz ketika menjadi warga Indonesia, minimal pernah mematuhi peraturan negara atau membayar pajak negara, atau yang lainnya?! Berarti pak Ustadz menjalankan selain hukum Allah?! Bukankah semua ini berarti, mengkafirkan (diri sendiri) tanpa sadar?!

”Jika engkau tidak tau maka ini musibah. Dan apabila engkau sudah tahu maka musibahnya lebih parah”

Terlebih lagi diantara konsekwensi hal di atas dari sisi hukum hijrah, seperti yang dikatakan dalam (hal 24) : ”Orang beriman wajib berhijrah dari lingkungan orang-orang kafir dengan sekuat kemampuan yang dimiliki..”. Kenapa pak Ustadz tidak hijrah saja dari negeri ini, yang tidak berhukum dengan hukum Allah?! Bukankah negeri ini kafir dan dihuni oleh orang-orang kafir, menurut buku panduan pak Ustadz?!

”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. [QS. Ash-Shaf: 2-3]

Jika penulis berdalil dengan ayat 21 dari surat asy-Syuura, untuk mengjkafirkan orang-orang yang ikut memilih anggota parleman, dikarenakan mereka telah menjadikan anggota parlemen itu sebagai rabb-rabb yang membuat undang-undang selain Allah, seperti dalam point 5, maka selayaknya juga, dia mengkafirkan orang-orang yang berbuat bid’ah seperti orang-orang yang merayakan maulid Nabi, dzikir berjamaah, tahlilan, karena mereka juga menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu dalam membuat syariat.

Inti kesalahan dan kesesatan Khawarij serta yang lainnya adalah kekeliruan dalam memahami/menafsirkan ayat al-Quran. Imam Ibnu Abil Izzi mengatakan : ”Kejelekan/kekeliruan dalam memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, merupakan sumber segala bentuk dalam agama Islam. Dan ini merupakan pangkal kesalahan dalam masalah ushul (prinsip) atau furu (cabang), terlebih lagi jika ditambah dengan adanya niat yang jelek. Wallahu al-Mustaan (Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, 2/580).

Penulis ”Kafir Tanpa Sadar” tidak sadar telah menyelisihi penafsiran para ulama salaf tentang ayat surat al-Maidah ayat 44 diatas, baik dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta ulama ahlussunnah setelah mereka. Inilah ucapan mereka tentang hal ini, dan silahkan para pembaca menghukumi sendiri, siapa yang salah dalam mentafsirkan, si penulis dan yang memberi rekomendasi atau para ulama salaf ?! :

1. Ali bin Abi Tholhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang tafsir firman Allah ta’ala : ”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS.Al-Maidah :44). Beliau berkata : ”Barangsiapa yang mengingkari hukum Allah, maka dia kafir. Dan barang siapa yang mengingkarinya, tapi tidak berhukum dengannya maka dia itu dzolim dan fasik” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Jami’ul bayan, 6/166 dan selainnya).

2. Thawus berkata dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya : ”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :44). Beliau berkata : ”Bukan kekafiran yang mereka maksudkan”. Dan lafadz yang lain : ”Kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama”. Dan dalam lafadz yang lain : ”Kufrun duuna kufrin, dzulmun duuna dzulmin dan fisqun duuna fisqin”. Dan dalam lafadz yang lain juga : ”Itu menyebabkan kufur, tapi tidak seperti orang yang kafir kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan Rasul-Rasul-Nya”. (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam sunannya (4/1482/749), Ibnu Baththah dalam ”Al-Ibanah, 2/736/1419 dan lain-lain).

3. Thawus berkata : ”Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari agama” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ayh-Thabari dalam Jami’ul bayan, 6/166 dan selainnya).

4. Berkata Ibnu Thawus : ”Bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab_Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ayh-Thabari dalam Jami’ul bayan, 6/166 dan selainnya).

5. Atha berkata : ”Kufur duuna kufrin, dzulmun duuna dzulmin dan fisqun duuna fisqin.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ayh-Thabari dalam Jami’ul bayan, 6/166 dan selainnya).

6. Ali bin Hasan berkata : ”Kekafiran, tapi tidak seperti kufur syirik. Dan kefasikan, tapi bukan kefasikan syirik. Dan keszaliman, tapi bukan kedzaliman syirik.” (HR.Abdun bin Humaid dalam ”Ad-durul Al mansur, 6/88-89).

7. Isma’il bin Sa’id berkata : Aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang ayat : ”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :44). Aku bertanya apa itu kekafiran ? Beliau menjawab : Kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama.(Suaalaat Ibnu Hani, 2/192). Dan ketika Abu Daud as-Sajistani (Dalam Suaalaat nya hal.209) bertanya kepada beliau tentang firman Allah : ”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :44). Beliau menjawab dengan ucapan Thawus dan Atha’ yang telah disebutkan diatas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan di dalam Majmu Fatawa (7/254) dan murid beliau Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dalam Hukmu Tarkish Sholat (59-60), bahwasanya Imam Ahmad ditanya tentang kekafiran yang tercantum dalam surat al-Maidah tersebut, m aka beliau mengatakan kekafiran yan g tidak mengeluarkan dari agama, seperti keimanan tanpa sebagainya. Demikian pula dengan kekafiran hinggadatang suatu hal yang tidak diperselisihkan lagi.

8. Mujahid berkata tentang tiga ayat ini (Surat al-Maidah : 44, 45 dan 47) : ”Barangsiapa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah dalam ke adaan dia menolak al-Qur’an maka dia kafir, dzolim dan fasik.” (Lihat Mukhtashar tafsir AL-khaazin, 1/310).

9. Ikrimah berkata : ”barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan juhud/ingkar terhadapnya, maka dia telah kafir. Dan barangsiapa yang mengikrarkan (akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah-pent) tapi dia tidak menjalankannya, maka dia dzolim dan fasik.” (Lihat Mukhtashar tafsir AL-khaazin, 1/310).

10. Khzin berkata dalam Tafsirnya (1/310-ringkasan) : ”Ini adalah perkataan Ibnu Abbas, dan juga pilihannya az-Zujaj.” (Lihat Mukhtashar tafsir AL-khaazin, 1/310).

11. Imam Muhammad bin Jarir ath-Thobari (syaikhnya Ahli tafsir) berkata dalam Jumi’il Bayan (6/166-167) : ”Yang lebih benar dari perkataan-perkataan ini menurut-ku adalah, perkataan orang yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada orang-orang kafir dari ahli kitab, karena yang sebelum dan sesudahnya bercerita tentang mereka. Merekalah yang dimaksudkan dalam ayat ini, dan konteks ayat ini juga mengabarkan tentang mereka, keberadaan ayat ini sebagai kabar tentang mereka lebih utama. Jika dikatakan : Sesungguhnya Allah ta’ala menjadikan ayat ini umum bagi setiap yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana anda bisa menjadikannya khusus ?. Maka dijawab : Sesungguhnya Allah menjadikannya umum tentang suatu kaum yang mereka itu mengingkari hukum Allah yang ada dalam kitab-Nya (al-Qur’an). Maka mengabarkan tentang mereka, bahwa dengan sebab mereka meninggalkan hukum Allah mereka menjadi kafir. Demikian juga, bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan mengingkarinya maka dia kafir, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas. Karena dia telah mengingkari hukum Allah setelah dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkan hukum tersebut, maka hal ini sama dengan pengingkaran kepada kenabian Nabi Muhammad setelah pengetahuannya tentang beliau.”

12. As-Sam’ani berkata dalam Tafsir Al-Qur’an (2/24) : ”Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :44). Al-Bara bin Azib berkata (dan ini adalah ucapan al-Hasan) : ”Ayat ini untuk orang-orang musyrikin”. Abdullah bin Abbas berkarta : ”Ayat ini untuk kaum muslimin”. Yang beliau maksud adalah kufur duuna kufrin. Dan ketahuilah, bahwa prang-orang khawarij berdalil dengan ayat ini, mereka mengatakan : ”Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka dia kafir. Sedangkan ahlus sunnah berkata : ”Dia tidak kafir, hanya karena meninggalkan hukum (Allah)”. Ayat ini ada dua penafsiran : Yang pertama maknanya bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan menolak dan juhud/mengingkari, maka dia kafir. Yang kedua maknanya, orang yang tidak berhukum dengan semua hukum Allah maka dia kafir. Orang kafir adalah yang me ninggalkan semua huku Allah, berlainan dengan orang muslim”.

13. Ibnul Jauzi berkata : ” Dalam Zaadul Masiir (2/366-367) : ”yang dimaksud dengan kekafiran dalam ayat tersebut ada dua : Da kafir kepada Allah dan dia kufur dengan hukum tersebut, tapi tidak sampai mengeluarkan dari agama.

Kesimpulannya :

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan juhud/mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya, padahal dia mengetahui bahwa Allahlah yang menurunkannya, seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi, maka orang ini kafir.

Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Alah, karena hawa nafsu tanpa adanya pengingkaran maka dia dzolim dan fasik.

Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Tholib dari Ibnu Abbas, bahwa beliau berkata : ”Barang siapa yang juhud/mengingkari hukum Allah, maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengingkarinya, tapi tidak berhukum dengnnya maka dia itu dzolim dan fasik”.

14. Al-Baghawi berkata dalamMa’alimut Tanzil (2/41) : ”Para ulama berkata : ”Ini jika dia membantah hukum Allah dalam keadaan terang-tarangan dan sengaja. Adapun yang masih tersembunyi baginya atau salah dalam penafsiran, maka dia tidak (kafir)”.

15. Abu Bakr al-Jashshaash berkata dalam Ahkamul Qur’an (2/439) : ”Firman Allah ta’ala : ”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir”, tidak terlepas maksudnya dari kufur syirik dan juhud/pengingkaran, atau kufur nikmat tanpa adanya pengingkaran. Bila maksudnya adalah pengingkaran terhadap hukum Allah atai dia berhukum dengan selainnya dan telah dijelaskan bahwa itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam, dan pelakunya mudtad jika sebelumnya dia muslim.

Oleh karena itulah, sebagian orang mengatakan bahwa ayat ini turun pada Bani Israil dan berlaku untuk kita. Maksudnya adalah : ”Sesungguhnya orang yang mengingkari (wajibnya) berhukum dengan hukum Allah, atau dia berhukum dengan selain hukum Allah kemudian dia berkata : ”Ini adalah hukum Allah”, maka dia kafir seperti kafirnya Bani Israil ketika mereka berbuat hal itu. Dan jika meksudnya adalah kufur nikmat, maka hal itu terjadi karena tidak adanya rasa syukur terhadapnya, tanpa adanya pengingkaran maka pelakunya tidaklah keluar dari Islam. Tapi yang lebih jelas adalah makna yang pertama, karena kemutlakkan nama kufur terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah”.

Mengkafirkan para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak, tanpa perincian adalah metode khawarij, sejak dahulu hingga sekarang, seperti yang dilakukan oleh si penulis ”Kafir Tanpa Sadar”, yang tidak sadar akan kesesatannya ini. Dan seperti yang dia dikatakan sendiri pada (hal.68) : ”Adapun khawaraij, mereka menganggap kafir sesuatu yang bukan kekafiran, seperti dosa besar yang tidak sampai kepada tingkat kafir”. Ini adalah ucapan yang dia tujukan untuk dirinya sendiri tanpa dia sadari. Allahul Musta’an.

Labels

comment

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker