WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Shalat Sunnah Rawatib Di Waktu Zhuhur

Janganlah luput dari amalan yang utama ini, wahai saudaraku.

Dari Abdullah bin As Sa’ib, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat 4 raka’at (2 raka’at salam, 2 raka’at salam) setelah waktu zawal (matahari bergeser ke barat), sebelum shalat zhuhur (dilaksanakan).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah waktu dibukakannya pintu langit. Aku suka jika amalan sholehku naik pada saat itu.” (HR. Tirmidzi no. 478. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Ahmad Syakir menshohihkan hadits ini)

Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat 4 raka’at sebelum zhuhur. Shalat ini biasa disebut pula dengan shalat zawal dan dia termasuk shalat rawatib qobliyah zhuhur.

Seputar Shalat Sunnah Rawatib Zhuhur

Shalat rawatib zhuhur dapat dikerjakan dengan 3 cara berikut.
1. Shalat 4 raka’at sebelum dan 4 raka’at sesudahnya.
2. Shalat 4 raka’at sebelum dan 2 raka’at sesudahnya.
3. Shalat 2 raka’at sebelum dan 2 raka’at sesudahnya.

Semua cara ini bisa dikerjakan.

Di antara dalil yang menunjukkan rincian di atas adalah :

Pertama

Dari Ummu Habibah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menjaga shalat 4 raka’at sebelum zhuhur dan 4 raka’at sesudahnya, maka Allah mengharamkan neraka baginya.”(HR. Tirmidzi no. 428 dan Ibnu Majah no. 1160. Syaikh Al Albani menshohihkan hadits ini dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah)

Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum dan sesudah zhuhur, juga keutamaan bagi yang selalu merutinkannya.

Kedua

Dari Abdullah bin Syaqiq, beliau mengatakan bahwa beliau menanyakan pada ‘Aisyah tentang shalat sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah lantas menjawab, “Beliau biasanya mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum zhuhur di rumahku. Lalu beliau keluar untuk shalat zhuhur bersama para sahabat. Kemudian beliau masuk rumah dan mengerjakan shalat 2 raka’at.”

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya pula shalat 4 raka’at sebelum dan 2 raka’at sesudah zhuhur.

Namun perlu diperhatikan bahwa mengerjakan shalat 4 raka’at di sini adalah dengan 2 raka’at kemudian salam dan 2 raka’at kemudian salam. Karena keumuman hadits tadi dikhususkan dengan hadits : Shalat sunnah pada malam dan siang hari adalah dengan 2 raka’at salam dan 2 raka’at salam.(HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah menshohihkan hadits ini)

Ketiga

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, “Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 10 raka’at : 2 raka’at sebelum zhuhur dan 2 raka’at sesudahnya.”

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya pula shalat 2 raka’at sebelum dan 2 raka’at sesudah zhuhur.

Intinya, setiap muslim bisa memilih ketiga cara ini, bahkan bisa berganti-ganti.

Bagaimana jika luput dari shalat 4 raka’at sebelum zhuhur?
Kalau luput dari shalat 4 raka’at sebelum zhuhur maka boleh mengerjakannya ketika selesai melaksanakan shalat zhuhur. Dalilnya adalah :

Aisyah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika luput mengerjakan 4 raka’at sebelum zhuhur, beliau mengerjakannya sesudah melaksanakan shalat zhuhur.

Bagaimana jika luput dari dua raka’at ba’da zhuhur?
Boleh mengqodho shalat ini setelah shalat ashar sebelum matahari menguning, namun hendaknya hal ini tidak dijadikan kebiasaan.
Dalam shohih Bukhari Muslim diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disibukkan dengan masuk islamnya beberapa orang dari kaum ‘Abdul Qoys. Lalu beliau luput dari shalat 2 raka’at ba’da zhuhur dan mengqodhonya setelah shalat ashar.

Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh Allah melaksanakan amalan ini.

Ingatlah saudaraku bahwa orang yang senantiasa melaksanakan amalan wajib, lalu menyempurnakannya dengan amalan sunnah, mereka inilah orang-orang yang termasuk wali Allah yang disebut As Sabiquun Al Muqorrobun. Mereka inilah yang akan mendapatkan keutamaan sebagaimana disebutkan dalam Hadits Wali. Allah akan senantiasa memberi petunjuk pada penglihatan, pendengaran, kaki dan tangan mereka. Jika orang seperti ini meminta pada Allah, niscaya Allah akan memberinya. Jika dia meminta perlindungan pada Allah, niscaya Allah akan melindunginya.

Ya Allah, kami meminta pada-Mu surga dan segala sesuatu yang mendekatkan kami padanya. Ya Allah kami berlindung pada-Mu dari neraka dan segala sesuatu yang mendekatkan kami padanya.

Sumber rujukan :

Bugyatul Mutathowwi’ fi Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Al Bazmul ; Al Adzkar, An Nawawi ; Al Furqon, Ibnu Taimiyah

Bahaya Mengejek: Celana Kebanjiran, Awas Ninja,

Bukankah kita sering mendengar ucapan seperti ini:

Celana kebanjiran
Jenggotmu seperti kambing
Awas ninja (sindiran untuk wanita yang memakai cadar)

Namun, pernahkah kita melihat orang-orang yang berpakaian telanjang dihinakan seperti ini? Sekarang dunia sudah terbalik. Orang yang melaksanakan agama dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –lah yang terhina. Bagaimana hukum mengejek atau mengolok-olok orang yang komitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Berikut penjelasannya.

Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
” Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah [9] : 65-66).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut. Disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata,”Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh”.
(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata kepada orang tersebut, ”Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.”
Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ’anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ’alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersendau gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ’alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, ”Wahai Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”
Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, ”Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, ”Kami tadi hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah),
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
” Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah [9] : 65-66). Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Dinukil dari Imam Syafi’iy bahwa beliau ditanyakan mengenai orang yang bersenda gurau dengan ayat-ayat Allah Ta’ala. Beliau mengatakan bahwa orang tersebut kafir dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah [9] : 65-66)” –Demikianlah dinukil dari Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul-
Ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah, Rasulullah dan ayat-ayat Allah adalah suatu bentuk kekafiran. Dan barangsiapa mengolok-olok salah satu dari ketiga hal ini, maka dia juga telah mengolok-olok yang lainnya (semuanya). (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 59)

Perlu diketahui bahwa mengolok-olok Allah dan agama-Nya ada dua bentuk :
Pertama, yang bentuknya jelas dan terang-terangan sebagaimana terdapat dalam kisah turunnya surat At Taubah ayat 65-66.
Kedua, yang bentuknya sindiran dan isyarat seperti isyarat mata atau menjulurkan lidah.
Dan termasuk dalam mengolok-olok adalah mengolok-olok orang yang komitmen dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti mengatakan ‘agama itu bukanlah pada tampilan rambut’. Perkataan ini dimaksudkan untuk mengejek orang-orang yang berjenggot. Atau termasuk juga ucapan-ucapan yang lainnya yang hampir sama. (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 62)

Berikut ini kami akan menukilkan perkataan ulama lainnya untuk mendukung pernyataan di atas.
[Perkataan Pertama]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar dan faqih di Saudi Arabia pernah ditanyakan, ”Apakah termasuk dalam dua ayat yang disebutkan sebelumnya (yaitu surat At Taubah ayat 65-66, pen) bagi orang-orang yang mengejek dan mengolok-olok orang yang memelihara jenggot dan yang komitmen dengan agama ini?”
Beliau rahimahullah menjawab, ”Mereka yang mengejek orang yang komitmen dengan agama Allah dan yang menunaikan perintah-Nya, jika mereka mengejek ajaran agama yang mereka laksanakan, maka ini termasuk mengolok-olok mereka dan mengolok-olok syari’at (ajaran) Islam. Dan mengolok-olok syari’at ini termasuk kekafiran.
Adapun jika mereka mengolok-olok orangnya secara langsung (tanpa melihat pada ajaran agama yang dilakukannya baik itu pakaian atau jenggot), maka semacam ini tidaklah kafir. Karena seseorang bisa saja mengolok-olok orang tersebut atau perbuatannya. Namun setiap orang seharusnya berhati-hati, jangan sampai dia mengolok-olok para ulama atau orang-orang yang komitmen dengan Kitabullah dan Sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul ‘Aqidah, hal. 120)
[Perkataan Kedua]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, pernah menjabat ketua Lajnah Da’imah (semacam Komite Fatwa MUI) dan juga pakar hadits, pernah ditanyakan, ”Saat ini banyak di tengah masyarakat muslim yang mengolok-olok syari’at-syari’at agama yang nampak seperti memelihara jenggot, menaikkan celana di atas mata kaki, dan selainnya. Apakah hal ini termasuk mengolok-olok agama yang membuat seseorang keluar dari Islam? Bagaimana nasehatmu terhadap orang yang terjatuh dalam perbuatan seperti ini? Semoga Allah memberi kepahaman padamu.”
Syaikh rahimahullah menjawab, ”Tidak diragukan lagi bahwa mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syari’at-Nya termasuk dalam kekafiran sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
”Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah [9] : 65-66).
Termasuk dalam hal ini adalah mengolok-olok masalah tauhid, shalat, zakat, puasa, haji atau berbagai macam hukum dalam agama ini yang telah disepakati.
Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot, yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) atau semacamnya yang hukumnya masih samar, maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.
Kami menasehati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen dengan syari’at-Nya. Kami menasehati untuk berhati-hati melakukan perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syari’at ini dalam rangka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah seseorang takut akan murka dan azab (siksaan) Allah serta takut akan murtad dari agama ini sedangkan dia tidak menyadarinya. Kami memohon kepada Allah agar kami dan kaum muslimin sekalian mendapatkan maaf atas segala kejelakan dan Allah-lah sebaik-baik tempat meminta. Wallahu waliyyut taufiq. (Lihat Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid, Madarul Wathon Linnashr, hal.61-62)
[Perkataan ketiga]
Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia, semacam komite fatwa MUI di Indonesia) no.4127 tentang mengolok-olok hijab (jilbab) muslimah.
Pertanyaan :
Apa hukum orang yang mengolok-olok wanita yang memakai hijab (jilbab) syar’i dengan menjuluki bahwa wanita semacam itu adalah ifrit (setan) atau dijuluki ‘kemah yang bergerak’ atau ucapan olok-olok lainnya?
Jawaban :
Barangsiapa mengejek muslimah atau seorang muslim yang berpegang teguh dengan syari’at Islam maka dia kafir. Baik mengejek tersebut terhadap hijab (jilbab) muslimah yang menutupi dirinya sesuai tuntunan syari’at atau boleh jadi dalam masalah lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat riwayat dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, ”Seorang laki-laki ketika perang Tabuk berkata di suatu majelis (kumpulan) : Aku tidak pernah melihat semisal ahli baca Al Qur’an (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, pen) yang paling perutnya buncit, sering berdusta dengan lisannya, dan paling takut (pengecut) ketika bertemu musuh.” Lalu ada seseorang yang berkata :’Engkau dusta. Engkau adalah munafik. Sungguh, aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berita ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan turunlah ayat mengenai mereka. Lalu Abdullah bin ‘Umar berkata, ”Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kakinya tersandung batu sembari berkata, ’Wahai Rasulullah, kami tadi hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (dengan membawakan ayat yang turun tadi, pen),”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At Taubah [9] : 65-66).
(Dalam ayat di atas) Allah menjadikan ejekan kepada orang mukmin adalah ejekan kepada Allah, ayat-Nya dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya serta shahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota : Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan
Wakil Ketua : Abdur Rozaq Afifi
Ketua : Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz

Setelah diketahui bahwa bentuk mengolok-olok atau mengejek orang yang berkomitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk kekafiran, maka seseorang hendaknya menjauhinya. Dan jika telah terjatuh dalam perbuatan semacam ini hendaknya segera bertaubat.

Semoga firman Allah Ta’ala berikut bisa menjadi pelajaran.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar [39] : 53)

Jika seseorang bertaubat dari berbagai macam dosa termasuk berbagai hal yang dapat mengeluarkannya dari Islam dan dia melakukan hal ini dengan memenuhi syarat-syaratnya, maka taubatnya tersebut akan diterima.

Adapun syarat taubat adalah :
1.Taubat dilakukan dengan ikhlas dan bukan riya’ atau sum’ah (ingin dipuji orang lain).
2.Menyesal dengan dosa yang telah dilakukan.
3.Tidak terus-menerus dalam dosa. Jika meninggalkan yang wajib, segeralah melaksanakannya dan jika melakukan sesuatu yang haram, segeralah meninggalkannya.
4.Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di waktu akan datang.
5.Taubat tersebut dilakukan pada saat waktu diterimanya taubat yaitu sebelum kematian datang dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat. (Lihat pembahasan syarat Taubat di Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin)

Semoga kita menjadi hamba Allah yang bertaubat dan hamba Allah yang disucikan. Amin Ya Mujibad Da’awat.

Apakah Orang yang Shalat Jama’ah di Rumah Mendapatkan 27 Derajat?

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa shalat jama’ah adalah shalat yang sangat utama sekali. Keutamaan shalat ini disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
SHOLATUL JAMA’AH AFDHOLU MIN SHOLATIL FADZDZI BI SAB’IN WA ‘ISYRIINA DAROJAH [Shalat jama'ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat] (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu bagaimanakah orang yang bersengaja shalat jama’ah di rumah bersama keluarganya, apakah dia juga mendapatkan keutamaan seperti disebutkan dalam hadits tadi?
Mari kita lihat apa kata ulama-ulama besar Saudi Arabia yang berada di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) mengenai hal ini.

Fatwa no. 6036, pertanyaan no.3

PERTANYAAN: Apakah orang yang shalat jama’ah di rumah bersama anak atau saudaranya -misalnya- akan mendapatkan keutamaan 27 derajat? Apakah shalat seperti ini dinamakan shalat jama’ah?

JAWAB:
Yang nampak jelas dari dalil (hadits) bahwa keutamaan 27 derajat yang dimaksudkan adalah untuk mereka yang melakukan shalat jama’ah di masjid atau untuk mereka yang melakukan shalat jama’ah, namun mereka tidak memiliki masjid atau pula untuk orang yang terkena udzur syar’i sehingga tidak bisa pergi ke masjid, lalu orang-orang yang kena udzur seperti ini shalat di rumah. (Inilah mereka yang berhak mendapat keutamaan 27 derajat tadi).
Adapun orang yang sebenarnya mampu ke masjid, namun dia tetap shalat jama’ah di rumah atau ladangnya atau tempat lainnya, mereka tidak akan mendapatkan keutamaan 27 derajat ini.
Wal ‘ilmu ‘indallah.

Ketua Al Lajnah Ad Da’imah: Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz.

Setelah melihat fatwa di atas, masihkah kita kaum pria khususnya melakukan shalat jama’ah di rumah? Tentu saja orang yang ingin mencari pahala yang lebih akan pergi ke masjid dengan melihat keutamaan 27 derajat tadi.

Mudah-mudahan Allah memudahkan kita dan memberi taufik pada kita untuk melaksanakan amalan yang utama ini.

Diposting melalui HP, dari Panggang, Gunung Kidul, 1 Muharram 1430 H.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

“Mengenal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam antara yang mencintai dan melecehkan”

Mengapa Kita Harus Mengenal Rasul?

“Mengenal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam antara yang mencintai dan melecehkan”

book1Sesungguhnya, alam kubur adalah tempat persinggahan akhirat yang pertama. Jika seseorang selamat di dalamnya, maka yang sesudahnya lebih mudah baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْقَبْرُ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ

”Kubur adalah tempat persinggahan akhirat yang pertama. Barangsiapa yang selamat darinya, maka jenjang berikutnya akan lebih mudah. Dan barangsiapa yang tidak selamat darinya, maka sesudahnya akan lebih berat.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

Di dalam kubur nantinya, seorang hamba akan ditanyai tiga perkara yaitu (1) siapa Rabbmu, (2) apa agamamu, dan (3) siapa nabimu. Seorang mukmin akan begitu mudah menjawab pertanyaan tersebut karena Allah-lah yang mengokohkan dia.
Adapun, orang munafik atau ragu dalam keimanannya akan berkata,”Hah! Hah! Aku tidak tahu, aku mendengar manusia berkata demikian, aku pun ikut mengatakannya! Maka orang yang demikian akan dipukul dengan tongkat dari besi. Semua makhluk akan mendengarnya kecuali manusia. Seandainya manusia mendengar kejadian, sungguh mereka akan jatuh pingsan. (Lihat at-Tanbihaat al-Mukhtashoroh Syarh al-Wajibat al-Mutahattimat al-Ma’rifah ’ala kulli muslim wa muslimah, Ibrahim bin Syaikh Sholih bin Ahmad al-Khurashi, hal. 15)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Qotadah, dari Anas bin Malik berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ قَالَ يَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ قَالَ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ قَالَ فَيُقَالُ لَهُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا

“Sesungguhnya seorang hamba apabila dimasukkan dalam kuburnya, dan para kerabatnya telah meninggalkannya, maka sungguh, dia akan mendengar bunyi (kepergian) sendal mereka.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”(Pada saat itu, pen), dua malaikat mendatanginya, lalu mendudukinya, dan mengatakan padanya,”Apa yang kamu katakan tentang laki-laki ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)?” “
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Adapun mu’min, dia akan menjawab,’Saya bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Maka dikatakan padanya: “Lihat tempat dudukmu di neraka, sungguh Allah telah menggantimu dengan tempat duduk di surga.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Maka hamba tersebut melihat keduanya.” (HR. Muslim, lihat pula Shohih Imam Bukhari)

WAJIBNYA BERIMAN PADA RASUL
Iman kepada para rasul merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani. Karena para rasul adalah sebagai perantara antara Allah dan hamba-Nya dalam menyampaikan risalah (wahyu) dan dalam rangka menegakkan hujjah Allah bagi para hamba-Nya.
Iman kepada para rasul adalah dengan membenarkan wahyunya dan menetapkan nubuwahnya (kenabiannya). Sungguh, para rasul adalah orang-orang yang jujur (shidiq) terhadap yang disampaikan dari Allah. Sungguh, mereka telah menyampaikan risalah (wahyu) dan menjelaskan pada manusia tentang sesuatu yang tidak boleh mereka jahil (bodoh) padanya. Dalil tentang wajibnya beriman pada para Rasul amat banyak. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman:

وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ

“Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (Al Baqarah: 177)

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Al Baqarah: 285)

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.” (An Nisa’: 150-151)

Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa Allah menggandengkan keimanan kepada Rasul dengan keimanan kepada-Nya, malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Dan dijelaskan pula tentang hukuman KAFIR bagi siapa yang membedakan antara (keimanan, pen) kepada Allah dan Rasul-Nya karena dia telah beriman pada sebagian dan kufur kepada sebagian yang lain. Dan seorang hamba tidak bisa beriman dengan benar kecuali dengan mengenal dan menempuh jalan rasul .

HAMBA SANGAT BUTUH PADA RASUL
Pengutusan para rasul merupakan nikmat Allah bagi para hamba-Nya. Karena kebutuhan hamba pada para rasul sangat mendesak (primer). Seorang hamba tidak mungkin mengatur kondisi dan menegakkan agama tanpa mereka. Kebutuhan hamba kepada rasul melebihi kebutuhan mereka pada makan dan minum. Karena Allah Ta’ala telah menjadikan para rasul sebagai perantara antara Dia dan hamba-Nya, dalam mengenal Allah, mengetahui sesuatu yang bermanfaat atau membahayakannya, juga dalam mengenal rincian syari’at berupa perintah, larangan, dan hal yang dibolehkan, dan menjelaskan apa yang dicintai Allah dan dibenci-Nya. Tidak ada jalan mengetahui yang demikian kecuali dari para rasul, karena akal tidak dapat menunjuki pada rincian perkara ini dan sungguh diketahui hal yang mendesak ini secara umum. Allah Ta’ala berfirman,

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيه

”Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al Baqarah: 213)

Kebutuhan hamba kepada risalah (wahyu) lebih besar dari pada banyaknya kebutuhan pasien pada dokternya. Karena tidak adanya dokter, hanya akan membahayakan badan. Sedangkan tidak adanya risalah (wahyu) akan membahayakan hati . Kehidupan penghuni dunia akan tetap ada, selama adanya atsar (pengaruh) risalah. Jika atsar (pengaruh) risalah ini hilang dari dunia, maka terjadilah hari kiamat. (Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, hal. 177-178, diambil dari Program Aplikasi Maktabah Syaikh Sholih Al Fauzan)

Hukum: Makmum Mengeraskan Bacaan Takbir di Belakang Imam

Sering kita menyaksikan seperti ini ketika shalat jama’ah. Ketika imam bertakbir ‘ALLAHU AKBAR’, makmum pun ikut menyeruakan takbirnya dengan kerasnya.

Apakah memang hal seperti ini dianjurkan bagi makmum?
Mari kita lihat fatwa ulama-ulama besar Saudi Arabia yang berada di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) mengenai hal ini.
Fatwa no. 10892

PERTANYAAN: Apabila imam mengucapkan takbiratul ihram ‘Allahu Akbar’, lalu makmum yang berada di belakang imam bertakbir Allahu Akbar dengan suara begitu kerasnya, namun untuk takbir selain takbiratul ihram, mereka tidak mengeraskan suara seperti tadi; apakah mengeraskan suara takbir ketika takbiratul ihram seperti ini dibolehkan?

JAWAB:
Yang disyari’atkan bagiimam adalah mengeraskan suaranya pada setiap takbir, sehingga orang-orang yang di belakang imam dapat mendengarnya. Adapun makmum yang disyariatkan baginya adalah tidak mengeraskan suaranya, baik ketika takbiratul ihram maupun takbir lainnya. Makmum cukup bertakbir dengan suara yang dapat didengarnya sendiri. Bahkan kalau kita nilai, takbir bagi makmum dengan suara keras seperti ini adalah suatu perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah) dan bid’ah adalah suatu hal yang terlarang berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
MAN AHDATSA FI AMRINA HADZA MAA LAYSA MINHU FAHUWA RODDUN.
[Barangsiapa yang mengada-ada suatu perkara dalam agama ini yang tidak ada landasan dalam agama ini, maka amalannya tertolak] (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik. Shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad, pengikut, dan sahabatnya.

Ketua Lajnah Ad Da’imah: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz

Dalam fatwa Lajnah yang lain (no. 11317) dijelaskan bahwa makmum tidak perlu menjaherkan (mengeraskan) bacaan takbirnya. Makmum cukup bertakbir dengan suara yang dapat didengarnya sendiri, dengan menggerakkan bibirnya. Begitu juga dengan orang yang shalat sendirian (munfarid), dia tidak perlu menjaherkan takbirnya. Demikian fatwa lajnah yang kami sarikan.

Semoga kita selalu mendapat ilmu yang bermanfaat dan diberi taufik untuk melakukan amal sholeh.

Diposting melalui HP, dari Panggang, Gunung Kidul, pada waktu ‘Ashar, 1 Muharram 1430 H.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

TRADISI NYELENEH DI BULAN SURO



Suro, satu nama bulan yang tidak asing lagi di telinga masyarakat kita khususnya masyarakat jawa. Bulan ini malah lebih masyhur ketimbang nama aslinya, yaitu Muharrom. Kata ‘suro’ ini diambil dari ‘asyuro’, yaitu hari kesepuluh pada bulan Muharrom dalam penanggalan tahun Hijriah. Namun permasalahan yang akan dibahas di sini bukanlah nama, akan tetapi ada apa di balik bulan suro ini. Kaum muslimin sekalian, kalau kita mau buka mata, tentunya di depan kita sudah jelas terpampang adanya berbagai keyakinan terkait dengan bulan suro ini. Keyakinan-keyakinan tersebut yang jelas tidak didasari dalil dan hanya sekedar ikut-ikutan adat nenek moyang saja. Suro diyakini sebagai bulan yang keramat, gawat dan penuh bala. Gugon tuton atau tahayul ini begitu kental merasuk ke dalam nadi kehidupan masyarakat, hingga muncul beragam tradisi, sebagai cerminan kepercayaan mereka. Jika diteliti dengan seksama ternyata tradisi-tradisi yang berkaitan dengan bulan suro umumnya berbasis bid’ah, khurofat dan kesyirikan. Wallohul musta’an. Berikut ini beberapa contoh umum dari kepercayaan dan tradisi tersebut :

Melemparkan sesajian atau tumbal ke lautan

Tradisi ini kebanyakan dijumpai di daerah pesisir laut selatan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan tradisi ini maka amarah penunggu laut dapat tercegah serta nantinya dapat mendatangkan keberkahan laut berupa ikan yang banyak. Para pembaca sekalian, jika dilihat, maka tradisi ini -tidak ragu lagi- merupakan bentuk kesyirikan. Dengan berbuat seperti itu seseorang telah mengakui adanya sekutu bagi Alloh dalam hal pemberian rizki dan penangguhan bahaya. Padahal tidak ada yang kuasa untuk memberi manfaat berupa rezeki maupun yang lainnya kecuali Alloh.. Tidak ada yang kuasa menimpakan bahaya, bencana dan kecelakaan selain Alloh. Alloh pulalah yang Mahakuasa untuk melepaskan bahaya dan bencana tersebut. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, Dan nikmat apa saja yang engkau miliki, maka datangnya dari Alloh. Bila kamu ditimpa oleh kemudhorotan, maka hamya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (An Nahl : 53).

Namun, banyak orang yang percaya seyakin-yakinnya, bahwa Nyi Roro Kidullah yang berkuasa atas itu semua. Apakah di benak mereka yang mengatur rizki dan menetapkan jumlah ikan ialah Nyi Roro Kidul? Apakah kekuasaan Alloh dianggap di bawah kekuasaan Roro Kidul? Maha Suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan! Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya : ”Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Al Baqoroh 107). Maka adakah jalan lain bagi orang yang masih punya akal pikiran untuk menyekutukan Alloh ??

Tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah

Tradisi ini bersumber dari keyakinan masyarakat bahwa bulan suro adalah bulan yang keramat dan penuh bala. Ini membuat masyarakat tidak bernyali untuk mengadakan suatu acara terutama hajatan dan acara pernikahan. Mereka berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa kesialan dan malapetaka bagi diri mereka. Ini merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Alloh ciptakan. Mencela ciptaan Alloh sama saja dengan mencela Alloh. Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, ”Janganlah kamu mencela waktu (dahr), karena Alloh itu yang mengatur silih bergantinya waktu” (HR. Muslim)

Melakukan ibadah-ibadah tertentu di malam suro

Ritual yang umumnya dilakukan biasanya selamatan atau syukuran, sholat asyuro, membaca do’a Asyuro (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun tersebut) dan ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid’ah (hal baru dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rosululloh maupun para sahabatnya. Ibadah-ibadah ini tertolak dan mendapat ancaman keras berupa neraka. Rosululloh bersabda yang artinya, ”Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami maka dia tertolak.” (HR. Muslim). Hadist-hadits yang menerangkan tentang sholat asyuro adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam kitab al-La’ali al-Masnu’ah.

Ngalap berkah

Tradisi ini dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di kraton Kasunan Solo, thowaf di tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, bergadang semalam suntuk dan lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar’i (Al Qur’an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya.

Semoga Alloh Ta’ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid’ahan yang membinasakan.

Aneh Dengan Cadar ?

Inilah yang belum dipahami oleh sebagian orang. Mereka merasa aneh dengan orang yang memakai cadar. Mungkin mereka belum tahu bahwa memakai cadar juga termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah mustahab (dianjurkan).

Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para wanita,
لاَ تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبِسُ الْقَفَّازِيْنَ
“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, Al Baihaqi, Ahmad dari Ibnu Umar secara marfu’ –yaitu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan surat An Nur ayat 59 berkata, ”Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”

Sebagai bukti lainnya juga, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ummahatul Mukminin (Ibunda orang mukmin yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah :

1. Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata, ”Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah kami menyisir rambut.” (HR. Hakim. Dikatakan oleh Al Hakim : hadits ini shohih. Hal ini juga disepakati oleh Adz Dzahabi)
2. Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata, ”Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan memakai cadar.” (HR. Ibnu Sa’ad dan Abdur Rozaq. Semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Ibnu Juraij yang sering mentadlis dan dia meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ‘an/dari)
3. Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, ”Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.” (HR. Ibnu Sa’ad)

Juga hal ini dipraktekan oleh orang-orang sholeh, sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut.

Dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya, ”Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya, ’Semoga Allah merahmati engkau. …’ “ (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Sanad hadits ini shohih)

Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengenakannya bahkan hal ini juga dilakukan oleh wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka.
(Lihat penjelasan ini di kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, 104-109, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah, Media Hidayah’)
Lalu bagaimana hukum menutup wajah itu sendiri?
Apakah wajib atau mustahab (dianjurkan)?
Berikut kami akan sedikit menyinggung mengenai hal tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan).
Rujukan: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 14
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah’

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Jenggot yang Terzholimi

Kalau sudah melihat orang yang berjenggot, pasti sebagian orang merasa aneh dan selalu mengait-ngaitkan dengan Amrozi, cs. Jadi, seolah-olah orang yang berjenggota adalah orang yang sesat yang harus dijauhi dan disingkarkan dari masyarakat. Itulah salah satu ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terzholimi. Berikut kami akan membahas mengenai hukum memelihara jenggot dan pada pembahasana terakhir nanti kami akan menyanggah beberapa kerancuan mengenai masalah jenggot. Semoga bermanfaat.

Jenggot (lihyah) adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu. Jadi, semua rambut yang tumbuh pada dagu, di bawah dua tulang rahang bawah, pipi, dan sisi-sisi pipi disebut lihyah (jenggot) kecuali kumis. (Lihat Minal Hadin Nabawi I’faul Liha, ‘Abdullah bin Abdul Hamid dengan edisi terjemahan ‘Jenggot Yes, Isbal No’, hal. 17)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Saja Berjenggot
Memelihara dan membiarkan jenggot merupakan syari’at Islam dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Marilah kita lihat bagaimana bentuk fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjenggot.
Dari Anas bin Malik –pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan,

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur 40 tahun, lalu tinggal di Makkah selama 10 tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama 10 tahun pula, lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya hanya terdapat 20 helai rambut yang sudah putih.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, Muhammad Nashirudin Al Albani, hal. 13, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Lihatlah saudaraku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat di atas dengan sangat jelas terlihat memiliki jenggot.

Hukum Memelihara Jenggot
Adapun hukum memelihara jenggot adalah wajib karena dalam hadits-hadits yang ada digunakan kata perintah. Menurut kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqh,”Al Amru lil wujub” yaitu perintah menunjukkan suatu kewajiban.
Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini.
Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim no. 623)
Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)
Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) kumis.” (HR. Muslim no. 624)
Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)
Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893)
Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)

Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Kesimpulannya ada lima riwayat yang menggunakan lafazh,
أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا
Semua lafazh tersebut bermakna membiarkan jenggot tersebut sebagaimana adanya.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘alam Muslim, 1/416, Mawqi’ Al Islam-Maktabah Syamilah 5)

Di samping hadits-hadits yang menggunakan kata perintah di atas, memelihara jenggot juga merupakan sunnah fithroh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ

“Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Muslim no. 627)

Jika seseorang mencukur jenggot, berarti dia telah keluar dari fitroh yang telah Allah fitrohkan bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada penggantian pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum [30] : 30)
Selain dalil-dalil di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat tidak suka melihat orang yang jenggotnya dalam keadaan tercukur.

Ketika Kisro (penguasa Persia) mengutus dua orang untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menemui beliau dalam keadaan jenggot yang tercukur dan kumis yang lebat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat keduanya. Beliau bertanya,”Celaka kalian! Siapa yang memerintahkan kalian seperti ini?” Keduanya berkata, ”Tuan kami (yaitu Kisra) memerintahkan kami seperti ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Akan tetapi, Rabb-ku memerintahkanku untuk memelihara jenggotku dan menggunting kumisku.” (HR. Thabrani, Hasan. Dinukil dari Minal Hadin Nabawi I’faul Liha)

Lihatlah saudaraku, dari dalil-dalil yang ada dapat dilihat bahwasanya memelihara jenggot dan memendekkan kumis adalah suatu yang wajib dan bukanlah mustahab yaitu sekedar anjuran. Dalam hadits yang telah kami bawakan menunjukkan bahwa memelihara jenggot adalah suatu perintah dan berarti wajib. Juga hal ini dilakukan untuk menyelisihi orang-orang musyrik dan Majusi serta perbuatan ini adalah fithroh manusia yang dilarang untuk diubah.

Berdasar hadits-hadits di atas, memelihara jenggot tidak selalu Nabi kaitkan dengan menyelisihi orang kafir. Hanya dalam beberapa hadits namun tidak semua, Nabi kaitkan dengan menyelisihi Musyrikin dan Majusi. Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa perintah memelihara jenggot dikaitkan dengan menyelisihi Yahudi.
Namun sebaliknya, kaum muslimin saat ini (entah karena belum tahu atau sudah tahu namun mengabaikan karena masih menganggap hanya sekedar anjuran) dalam kesehariannya malah melakukan hal sebaliknya yaitu memanjangkan kumis dan memotong habis jenggot.

Sedikit Kerancuan

Jika ada yang berkata, ”Sekarang ini orang-orang Cina, para biksu, dan Yahudi ortodok juga memanjangkan jenggot. Kalau demikian memakai jenggot juga dapat dikatakan tasyabuh (menyerupai) orang kafir. Sehingga sekarang kita harus menyelisihi mereka dengan mencukur jenggot.”

Jawaban dari pernyataan di atas telah dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, hal. 220, karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Beliau rahimahullah mengatakan, ”Ini sungguh kekeliruan yang besar. Karena larangan ini berkaitan dengan memelihara jenggot. Jika saat ini orang-orang kafir menyerupai kita, maka tetap saja kita tidak boleh berpaling dari apa yang telah diperintahkan walaupun mereka menyamai kita. Di samping memelihara jenggot untuk menyelisihi orang kafir, memelihara jenggot adalah termasuk fitroh (yang tidak boleh diubah sebagaimana penjelasan di atas, pen). Sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ada sepuluh fitroh, di antaranya memelihara (membiarkan) jenggot’. Maka dalam masalah memelihara jenggot ada dua perintah yaitu untuk menyelisihi orang kafir dan juga termasuk fithroh.”

Juga jawaban lebih memuaskan lagi dapat dilihat pada dua Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia, semacam komite fatwa MUI di Indonesia)
[Fatwa Pertama] Fatwa no. 2258.

Pertanyaan : “Saya pernah mendengar bahwa memelihara (membiarkan) jenggot adalah wajib. Apakah pendapat ini benar? Jika ini benar, aku mohon agar dijelaskan mengenai sebab wajibnya hal ini. Dari yang saya ketahui ketika membaca salah satu buku bahwa sebab wajibnya memelihara jenggot adalah karena kita diharuskan melakukan yang berkebalikan dengan apa yang dilakukan orang kafir (maksudnya kita diperintahkan menyelisihi orang kafir, pen). Akan tetapi saat ini orang-orang kafir malah memelihara jenggot, sehingga saya merasa tidak puas dengan alasan ini. Aku mohon agar aku diberi penjelasan mengenai sebab kenapa kita diperintahkan memelihara jenggot?”

Jawaban :Alhamdulillah wahdah wash sholatu was salamu ‘ala rosulihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam. Wa ba’du
Sesungguhnya memelihara (membiarkan) jenggot adalah wajib dan mencukurnya adalah haram. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan selainnya dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Selisilah orang musyrik, biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” Begitu juga dalam riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (Hal ini berarti) terus menerus dalam mencukur jenggot termasuk al kabair (dosa besar). Maka wajib bagi seseorang untuk menasehati orang yang mencukur jenggot dan mengingkarinya. …
Dan bukanlah maksud menyelisihi majusi dan orang musyrik adalah menyelisihi mereka di semua hal termasuk di dalamnya adalah hal yang benar yang sesuai dengan fithroh dan akhlaq yang mulia. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan menyelisihi mereka adalah menyelisihi apa yang ada pada mereka yang telah menyimpang dari kebenaran dan yang telah keluar dari fithroh yang selamat serta akhlaq yang mulia.
Dan sesuatu yang telah diselisihi oleh orang majusi, orang musyrik, dan orang kafir lainnya adalah dalam masalah mencukur jenggot. Dengan melakukan hal ini, mereka telah menyimpang dari kebenaran dan keluar dari fithroh yang bersih serta telah menyelisihi ciri khas para Nabi dan Rasul. Maka menyelisihi mereka dalam hal ini adalah wajib yaitu dengan memelihara (membiarkan) jenggot dan memendekkan kumis. Hal ini dilakukan dalam rangka mengikuti petunjuk para Nabi dan Rasul dan mengikuti apa yang dituntunkan oleh fitroh yang bersih (selamat). Telah terdapat dalil pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Ahmad, Muslim dan lainnya) …
Jika (pada saat ini) orang kafir malah memelihara jenggot, maka ini bukan berarti boleh bagi kaum muslimin untuk mencukur jenggot mereka. Sebagaimana dalam penjelasan di atas bahwasanya bukanlah yang dimaksudkan adalah menyelisihi mereka dalam segala hal. Namun, yang dimaksudkan adalah menyelisihi mereka pada hal-hal yang mereka telah menyimpang dari kebenaran dan telah keluar dari fithroh yang selamat.
Wa billahit tawfiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota : Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan
Wakil Ketua : Abdur Rozaq Afifi
Ketua : Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz

[Fatwa Kedua] Fatwa no. 4988 (yang sengaja kami ringkas agar tidak terlalu panjang)
Memelihara jenggot termasuk tuntutan fitroh sebagaimana terdapat pada kurun pertama dan juga hal ini merupakan syari’at Nabi-nabi terdahulu sebagaimana merupakan syari’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umum bagi semua makhluk dan wajib bagi mereka untuk melaksanakannya hingga hari kiamat. Allah telah berfirman mengenai Nabi Musa dan saudaranya Harun ‘alaihimas salam serta kepada kaumnya Bani Israil ketika mereka menyembah anak sapi,
وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِنْ قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي (90) قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى (91) قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا (92) أَلَّا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي (93) قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي (94)
“Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan ta’atilah perintahku”. Mereka menjawab: “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami”. Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” Harun menjawab’ “Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku. sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”.” (QS. Thoha : 90-94)
Maka lihatlah, memelihara jenggot adalah sesuatu yang disyari’atkan pada syari’at Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam. Kemudian Nabi Isa ‘alaihis salam membenarkan ajaran yang ada pada Taurat, maka lihyah (jenggot) juga merupakan syari’at Nabi Isa ‘alaihis salam. Mereka semua (Nabi Musa, Harun dan Isa) adalah para rasul Bani Israil yaitu Yahudi dan Nashrani. Jadi, tatkala orang Yahudi dan Nashrani meninggalkan memelihara jenggot, maka mereka telah salah (rusak) sebagaimana mereka telah rusak tatkala meninggalkan ajaran tauhid dan syari’at Nabi-nabi mereka. Mereka juga telah menggugurkan perjanjian yang seharusnya mereka ambil yaitu untuk mengimani Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja dari Yahudi dan Nashrani yang kembali pada ajaran yang sesuai dengan syari’at setiap Nabi di antaranya adalah memelihara jenggot, maka kita tidaklah menyelisihi mereka dalam hal ini karena mereka telah kembali kepada sebagian kebenaran. Sebagaimana pula kita tidaklah menyelisihi mereka jika mereka kembali pada tauhid dan kembali beriman kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan jika memang mereka beriman, kita akan menolong (menguatkan) mereka dan memujinya disebabkan keimanan ini serta kita akan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Wa billahit tawfiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota : Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan
Wakil Ketua : Abdur Rozaq Afifi
Ketua : Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz

Demikianlah Fatwa Kedua Lajnah Ad Da’imah. Semoga perkataan ulama dan fatwa-fatwa di atas bisa menjawab sedikit kerancuan yang menyebar di tengah-tengah masyarakat.

Semoga bermanfaat. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya.

KHULAFA’UR RASYIDIN


Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201) Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202) Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Dan termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah Empat orang Khalifah yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203)

Khilafah merupakan sebuah kedudukan yang sangat agung dan sebuah tanggung jawab yang begitu besar. Karena dengan jabatan tersebut seorang khalifah berkewajiban untuk mengurusi dan mengatur berbagai urusan kaum muslimin. Khalifah lah orang pertama yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Adanya khilafah ini merupakan kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah. Sebab urusan umat manusia tidak akan terurusi dengan baik kecuali dengannya. Khilafah itu bisa didapatkan melalui salah satu dari tiga proses berikut ini :

  1. Keputusan tegas dari khalifah sebelumnya untuk menunjuk/mengangkat calon penggantinya. Sebagaimana yang terjadi pada saat pergantian kepemimpinan sesudah wafatnya Abu Bakar dengan ditunjuknya ‘Umar bin Al Khaththab berdasarkan keputusan Abu Bakar radhiyallahu’anhu sendiri.
  2. Berdasarkan kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi (badan permusyawaratan ulama umat). Baik pemilihan anggota Ahlul halli wal ‘aqdi itu bersumber dari penentuan yang sudah ditetapkan oleh Khalifah terdahulu sebagaimana terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu sebagai khalifah yang dipilih berdasarkan kesepakatan ahli halli wal ‘aqdi yang ditunjuk oleh ‘Umar untuk bermusyawarah, ataupun pemilihan anggota ahlul halli wal ‘aqdi itu bukan berdasarkan dari penentuan oleh Khalifah sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pada pengangkatan khalifah Abu Bakar radhiyallahu’anhu menurut salah satu versi pendapat ulama, dan juga sebagaimana pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
  3. Terjadinya penggulingan kekuasaan sehingga muncul khalifah baru yang berhasil menguasai pemerintahan, sebagaimana proses terangkatnya Khalifah Abdul Malik bin Marwan ketika Ibnu Zubair terbunuh sehingga berakhirlah kekhilafahan di tangannya. (disadur dari Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 156-157)

Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Umat beliau yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian ‘Umar Al Faruq, kemudian ‘Utsman Dzu Nurain, kemudian ‘Ali Al Murtadha, semoga Allah meridhai mereka semuanya…” (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 138)

Nama aslinya adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Aamir dari suku Taim bin Murrah bin Ka’ab. Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan lelaki dewasa. Beliau adalah sahabat yang menemani hijrah beliau. Beliau jugalah orang yang menggantikan Nabi untuk menjadi imam shalat serta amir jama’ah haji. Ada lima orang sahabat yang termasuk orang-orang yang dijanjikan surga yang masuk Islam melalui perantara dakwahnya, mereka itu adalah ; ‘Utsman, Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Beliau wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 13 hijriyah dalam usia 63 tahun. (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad syaikh Utsaimin , hal. 141)

Para ulama berbeda pendapat tentang proses terpilihnya beliau sebagai khalifah. Apakah beliau terpilih berdasarkan nash [dalil tegas] dari Nabi ataukah berdasarkan bai’at (janji setia) seluruh para sahabat kepada beliau. Sebagian ulama sejarah yang pakar di bidang hadits berpendapat bahwa pengangkatan Abu Bakar sebagai khilafah itu berdasarkan nash yang khafi/samar. Sedangkan ulama yang lain dari kalangan mutakallimin berpendapat bahwa beliau terpilih dengan proses pemilihan. Para ulama golongan pertama berdalil dengan hadits yang terdapat di dalam shahih Bukhari dari Jubair bin Muth’im tentang kisah seorang perempuan yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyuruhnya untuk pulang. Maka perempuan itu pun mengatakan kepada beliau, “Bagaimana kalau saya tidak dapat berjumpa dengan anda lagi ?” Seolah-olah yang dimaksudkannya adalah wafatnya beliau. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Apabila engkau tidak menemuiku maka temuilah Abu Bakar.” Begitu pula dalil lainnya yang terdapat di dalam Shahihain dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Panggilkan Abdurrahman bin Abu Bakar untukku, aku akan suruh dia untuk menulis sebuah ketetapan, niscaya tidak akan ada perselisihan terhadap ketetapanku.” Kemudian beliau mengatakan, “Allah lah tempat berlindung, jangan sampai umat Islam menyelisihi Abu Bakar.” Selain itu terdapat juga dalil lainnya seperti pengutamaan beliau sebagai imam apabila Rasulullah tidak bisa menjadi imam, dsb. (lihat Al Is’aad, hal. 71)

Kekhalifahan Abu Bakar berlangsung selama dua tahun tiga bulan dan sembilan hari. Semenjak 13 Rabi’ul Awwal 11 hijriyah hingga 22 Jumadil akhir tahun 13 hijriyah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sahabat yang paling berhak menjadi khilafah sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar radhiyallahu’anhu karena beliau adalah sahabat paling utama dan paling terdepan dalam hal jasanya kepada Islam. Dan juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutamakan beliau sebagai imam shalat (apabila beliau berhalangan). Dan juga karena para sahabat radhiyallahu’anhum telah sepakat untuk mendahulukannya dan memba’iatnya, sedangkan Allah tidak akan pernah mengumpulkan mereka dalam kesesatan. Kemudian orang yang paling berhak sesudah beliau adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu, karena dia adalah orang paling utama sesudah Abu Bakar, dan juga karena Abu Bakar telah berjanji untuk melimpahkan kekhilafahan kepadanya. Kemudian diikuti oleh ‘Utsman radhiyallahu’anhu dengan dasar keutamannya dan keputusan ahlu syura untuk mendahulukan beliau, yaitu orang-orang yang disebutkan dalam sebuah bait sya’ir :
‘Ali, ‘Utsman, Sa’ad dan Thalhah
Zubair dan Dzu ‘Auf, mereka itulah para tokoh yang bermusawarah
Kemudian diikuti oleh Ali radhiyallahu’anhu karena keutamaan yang beliau miliki dan kesepakatan para sahabat yang ada di masanya. Keempat orang itulah khulafaur rasyidun yang telah mendapatkan anugerah hidayah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang mereka, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah sesudahku, gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 142-143)

Khalifah ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Nama beliau adalah Abu Hafsh. Kuniyah Abu Hafsh ini didapatkan beliau dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi melihat sifat tegas yang dimilikinya. Abu Hafsh adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. Beliau juga dijuluki dengan Al Faruq, karena sikap beliau yang sangat tegas dalam memisahkan kebenaran dari kebatilan. Dialah sahabat pertama yang berani berterus terang memeluk Islam. Dengan keislamannya inilah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah kuat. Masuk Islamnya Umar merupakan bukti dikabulkannya do’a beliau, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu di antara dua Umar yang lebih Kau cintai; Umar bin Khaththab atau Amr bin Hisyam/Abu Jahal.” (lihat Fawa’id Dzahabiyah, hal. 10)

Beliau berasal dari suku Adi bin Ka’ab bin Lu’ai. Beliau masuk Islam pada tahun keenam setelah Nabi diutus (bukan 6 hijriyah, sebagaimana tercantum dalam kitab Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal. 71, mungkin penulis lupa atau bisa jadi salah cetak, wallahu a’lam). Beliau masuk Islam setelah sekitar 40 orang sahabat lelaki dan 11 wanita telah masuk Islam sebelumnya mendahului beliau. Abu Bakar menyerahkan urusan kekhalifahan untuk mengatur umat Islam kepada beliau. Beliau pun menunaikan tugas khalifah dengan baik hingga akhirnya mati syahid terbunuh pada bulan Dzulhijjah tahun 23 hijriyah dengan usia 63 tahun (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Utsaimin, hal. 141) Kekhalifahan beliau berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 hijriyah hingga 26 Dzulhijjah tahun 23 hijriyah (Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal. 71, Syarah Lum’ah, hal. 143)

Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abu Abdillah. Sang pemilik dua cahaya. ‘Utsman bin ‘Affan. Beliau berasal dari suku Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Beliau masuk Islam sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya. Beliau menjabat sebagai khalifah sesudah ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhuma berdasarkan kesepakatan ahlu syura. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijah tahun 35 hijriyah dalam usia 90 tahun menurut salah satu pendapat ulama. (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141)

Salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah barangsiapa yang mendahulukan Ali bin Abi Thalib di atas ‘Utsman dalam hal keutamaan maka dia adalah orang yang melontarkan ucapan yang jelek dan apabila ada orang yang menilainya (orang yang berkata jelek itu) sebagai ahli bid’ah maka tidak boleh diingkari, inilah madzhab Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana diterangkan dalam As Sunnah karya Al Khalaal. Dan apabila ada yang mendahulukan ‘Ali di atas Utsman dalam hal hak menjabat khilafah maka dia telah sesat, bahkan lebih sesat daripada keledai tunggangannya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang 12 hari, beliau wafat dalam keadaan mati syahid pada tanggal 18 Dzulhijah tahun 35 hijriyah (lihat Al Is’aad, hal. 71-72)

Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abul Hasan. Putera paman Rasulullah Abu Thalib. Beliau juga dijuluki dengan Abu Turab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan remaja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera jihad pada saat perang Khaibar yang dengan perantara perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran. Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah tahun 35 hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Dengan demikian kehalifahan empat orang khalifah ini berlangsung selama 29 tahun 6 bulan dan 4 hari. Kemudian Al Hasan bin Ali dibai’at menjadi khalifah setelah wafatnya ayahnya. Kemudian pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 hijriyah beliau menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu’anhuma (dan kemudian Mu’awiyah menjadi raja pertama dalam sejarah perjalanan pemerintahan Islam) sehingga genaplah usia khilafah menjadi 30 tahun, membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama 30 tahun (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan dinilai hasan sanadnya oleh Al Albani) Peristiwa itu juga membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin yang akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang bertikai.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itulah tahun 41 hijriyah disebut sebagai ‘Aamul Jama’ah (tahun persatuan) (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141 dan 143, Al Is’aad, hal. 72)

ENSIKLOPEDI KARYA SYAIKH AL-ALBANI

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dilahirkan pada tahun 1333 H bertepatan dengan 1914 M di Schoder, Albania. Beliau wafat pada hari Sabtu, 22 Jumadal Alkhirah 1420 H bertepatan dengan 2 Oktober 1999 M. Berikut ini sebagian pujian para ulama kepada beliau :

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada manusia pada masa sekarang ini di bawah kolong langit yang mengilmui hadits seperti halnya Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani.” Beliau juga pernah ditanya mengenai hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini di setiap permulaan seratus tahun orang yang akan memperbaharui agamanya.” Ketika itu beliau ditanya siapakah pembaharu/mujaddid masa kini. Maka beliau rahimahullah menjawab, “Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliaulah mujaddid pada masa kini dalam pandangan saya, wallahu a’lam.”

Al-Faqih Al-’Allamah Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang saya ketahui dari diri Syaikh [Al-Albani] semenjak pertemuan saya dengan beliau -meskipun hanya sedikit- bahwa beliau adalah seorang yang sangat bersemangat mengamalkan Sunnah dan memerangi bid’ah. Baik [bid'ah] yang terkait dalam hal aqidah atau dalam hal amalan. Adapun, dari sisi telaah saya terhadap karya-karyanya, maka saya mengenal beliau lebih dalam dari situ; beliau ternyata seorang yang memiliki ilmu yang sangat dalam tentang hadits, baik secara periwayatan maupun dirayah/pemahamannya. Allah ta’ala telah mencurahkan kemanfaatan untuk banyak orang melalui karya-karya beliau, dari sisi keilmuan maupun metode pemahaman serta kecenderungan untuk mendalami ilmu hadits. Hal ini merupakan buah [perjuangan] yang sangat berharga bagi kehidupan kaum muslimin, segala puji bagi Allah. Dan jika dilihat dari sisi pengkajian hadits secara ilmiah maka saya persilakan anda untuk membaca karya-karyanya.”

Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah mengatakan, “Satu hal yang saya yakini dan saya beragama kepada Allah dengannya ialah bahwa Syaikh Muhammad Nashirddin Al-Albani -semoga Allah menjaganya- termasuk golongan pembaharu/mujaddid yang menjadi bukti kebenaran sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah membangkitkan di setiap permulaan seratus tahun seorang [ulama] yang memperbaharui [ajaran] agama umat ini.” (diambil dari islamspirit.com)

Seiring dengan kebutuhan umat yang semakin besar terhadap karya-karya beliau yang sering dijadikan rujukan dalam hal penilaian hadits, maka banyak sekali kitab beliau yang diterbitkan dan diterjemahkan. Namun, bagi sebagian orang yang merasa kesulitan untuk mendapatkan kitab-kitab tersebut dalam bentuk aslinya -alhamdulillah- sekarang telah terdapat versi e-book yang dapat didownolad di situs beliau. Dan bagi yang menginginkan kitab-kitab tersebut dalam satu tempat bisa mendownloadnya dari situs islamspirit.com yang telah menyusun kitab-kitab tersebut dalam sebuah ensiklopedi yang berjudul : Al-Jami’ Al-Muyassar li Mua’llafat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, edisi pertama. Di dalam ensiklopedi ini terdapat kitab-kitab beliau yang amat berharga, di antaranya :
1. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah
2. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah
3. Adab Az-Zifaf fi Sunnah Muthahharah
4. Tahdzir As-Sajid min Ittikhadzil qubur masajid
5. Shahih Al-Adab Al-Mufrad
6. Dha’if Al-Adab Al-Mufrad
7. Shifat Shalat Nabi
8. Fitnatu At-Takfir
9. Misykat Al-Mashabih
10. Irwa’ Al-Ghalil
11. Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah
12. Tahrim Alat Ath-Tharb
13. Tamam Al-Minnah fi Ta’liq ‘ala Fiqh As-Sunnah
14. Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadatuhu
15. Dan lain-lain

Semoga Allah mengampuni beliau dan memasukkannya ke dalam Surga.

Bagaimana Shalat Shubuh Ketika Matahari Sudah Terbit?

(Disusun dari Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST)

inilah kondisi sebagian kaum muslimin saat ini. Sedih banget hati ini melihat sebagian saudara kami sudah terbiasa dengan aktivitas semacam ini, sebagaimana kami pernah ceritakan hal ini dalam posting sebelumnya. Sudah jadi kebiasaan memang, bangun di pagi hari pada saat matahari sudah meninggi. Setelah bangun langsung bergegas mandi dan mulailah dia bersiap-siap ke kantor, ke kampus atau ke tempat kuliah, luputlah shalat shubuh darinya. Ini bukanlah kita temui pada satu atau dua orang saja, namun kebanyakan kaum muslimin seperti ini. Mungkin ada yang lebih parah lagi, tidak mengerjakan shalat sama sekali selama hidupnya (dia mengaku beragama Islam dalam KTP) atau dalam mayoritas waktu yang Allah berikan, dia lalai atau meninggalkan shalat lima waktu.
Rasanya air mata ini mau menetes melihat sebagian saudara kami seperti ini. Semua orang pasti sudah tahu bahwa shalat lima waktu itu wajib, bahkan orang kafir pun tahu bahwa umat Islam memiliki kewajiban semacam ini. Kami tidak mungkin menegur langsung satu per satu orang yang lalai dari shalat shubuh setiap harinya atau yang lalai dari shalat 5 waktu yang lain. Karena ada juga yang tidak kami kenal. Kami cuma berharap agar setiap orang yang membaca tulisan ini bisa menyampaikan kepada kerabat, sahabat atau saudara muslim lainnya. Semoga dengan penyampaian Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) berikut, di antara saudara kita bisa terbuka hatinya dan mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.
Fatwa Pertama (Pertanyaan ke-12 dari Fatwa no. 7942, 6/15)

Pertanyaan : Apa hukum orang yang sengaja mengatur waktu bangun paginya yaitu mayoritas waktunya dia bangun setelah matahari terbit, lalu dia shalat shubuh setelah matahari terbit? Dia mengatur seperti ini karena dia memiliki hajat lembur (begadang) di malam hari untuk mengulang pelajaran. Apakah orang seperti ini wajib diingkari?

Jawab :
Wajib bagi kita menunaikan shalat wajib pada waktu yang telah ditentukan.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’ : 103)

(Perlu diperhatikan bahwa) waktu shalat shubuh adalah mulai dari terbit fajar kedua (fajar shodiq) hingga terbit matahari. Lalu alasan yang engkau sampaikan tadi (karena alasan belajar di malam hari hingga semalam suntuk, pen) bukanlah alasan untuk mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya. Namun, seseorang hendaklah mencari sebab agar dia bisa bangun pagi agar dia bisa mengerjakan shalat (Shubuh) di waktunya. Jika orang tersebut tidak melakukan kewajiban semacam ini (mencari sebab tadi, pen), maka dia wajib diingkari. Namun ingatlah, hendakah kita mengingkarinya dengan cara yang penuh hikmah.
Semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikutnya dan para sahabatnya.
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’ : Abdul ‘Azizi bin Abdullah bin Baz

Fatwa Kedua (Pertanyaan pertama dan kedua dari Fatwa no. 8371)

Pertanyaan pertama : Ada seseorang mengerjakan shalat shubuh setelah matahari terbit dan ini sudah jadi kebiasaannya setiap paginya dan hal ini sudah berlangsung selama dua tahun. Dia mengaku bahwa tidur telah mengalahkannya karena dia sering lembur. Dia mengisi waktu malamnya dengan menikmati hiburan-hiburan. Apakah sah shalat yang dilakukan oleh orang semacam ini?
Pertanyaan kedua : Apakah boleh kita bermajelis dan tinggal satu atap dengan orang semacam ini? Kami sudah menasehatinya namun dia tidak menghiraukan.

Jawab :
Diharamkan bagi seseorang mengakhirkan shalat sampai ke luar waktunya. Wajib bagi setiap muslim yang telah dibebani syari’at untuk menjaga shalat di waktunya –termasuk shalat shubuh dan shalat yang lainnya-. Dia bisa menjadikan alat-alat pengingat (seperti alarm) untuk membangunkannya (di waktu shubuh).
Kita diharamkan lembur di malam hari untuk menikmati hiburan dan semacam itu. Lembur (begadang) di malam hari telah Allah haramkan bagi kita jika hal ini melalaikan dari mengerjakan shalat shubuh di waktunya atau melalaikan dari shalat shubuh secara jama’ah. Hal ini terlarang karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang begadang setelah waktu Isya’ jika tidak ada manfaat syar’i sama sekali.
(Perlu diketahui pula bahwa) setiap amalan yang dapat menyebabkan kita mengakhirkan shalat dari waktunya, maka amalan tersebut haram untuk dilakukan kecuali jika amalan tersebut dikecualikan oleh syari’at yang mulia ini.
Jika memang keadaan orang yang engkau sebutkan tadi adalah seperti itu, maka nasehatilah dia. Jika dia tidak menghiraukan, tinggalkan dan jauhilah dia.
Semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikutnya dan para sahabatnya.
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts wal Ifta’ : Abdul ‘Azizi bin Abdullah bin Baz

Kemudian dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang lain (no. 7976) dijelaskan bahwa jika seseorang sengaja tidur sehingga lalai dari shalat dan ketika bangun tidur dia pun sengaja meninggalkan shalat, hal ini dilakukan berkali-kali (bukan hanya sekali); atau mungkin pula dia mengerjakan shalat ketika dia bangun tidur namun di luar waktunya, maka orang-orang semacam ini sama saja dengan orang-orang yang meninggalkan shalat. Juga termasuk orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang sengaja tidur dan tidak mau menunaikan shalat di waktunya, dia tidak mengambil sebab untuk bangun di pagi harinya agar bisa mengerjakan shalat tepat waktu. –Demikian maksud dari Fatwa Lajnah-

Saatnya Menarik Kesimpulan
Orang yang lalai dari shalat shubuh mungkin ada beberapa sebab. Mungkin karena ingin mengulang pelajaran, seperti persiapan kebut semalam (SKS = sistem kebut semalam) yang dilakukan oleh para pelajar atau mahasiswa ketika besok paginya akan menghadapi ujian. Atau mungkin pula karena ada kerjaan yang harus dilembur hingga larut malam. Atau mungkin pula karena malamnya diisi dengan menikmati hiburan seperti di night club dan semacamnya. Atau mungkin pula hal tersebut sudah menjadi kebiasaannya, apalagi sudah diseting (diatur) dengan alarm untuk bangun di pagi pagi pada pukul 6, dan ini sudah rutin setiap harinya. Jika memang alasan-alasannya seperti ini dan dilakukan rutin, tanpa mengambil sebab untuk bangun pagi, maka ini sama saja dengan meninggalkan shalat.
Ingatlah bahwa meninggalkan shalat bukanlah perkara sepele. Dosanya bukan dosa yang biasa-biasa saja. Perlu diketahui bahwa dosa meninggalkan shalat adalah termasuk dosa besar yang paling besar, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama berikut ini.

Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir (pembahasan dosa-dosa besar), hal. 25, Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”
Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, hal. 26-27, juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”

Semoga juga kita merenungkan hadits-hadits berikut ini yang menunjukkan besarnya dosa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan karena malas-malasan.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Oleh karena itu, orang-orang yang meninggalkan shalat seperti yang kami contohkan di atas haruslah bertaubat dengan penuh penyesalan, bertekad tidak akan mengulanginya lagi dan dia harus kembali menunaikan setiap shalat pada waktunya.
Namun, kalau bangun di pagi hari ketika matahari terbit tidak menjadi kebiasaan, maka dia harus mengerjakan shalat tersebut ketika dia ingat atau ketika dia bangun dari tidurnya.

Kita dapat melihat hal ini dalam hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa yang lupa atau tertidur dari shalat, maka kafaroh (tebusannya) adalah dia shalat ketika dia ingat.” (Muttafaqun’ alaih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al Albani)
Dari Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ليس في النوم تفريط إنما التفريط في اليقظة . فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فإن الله تعالى قال : ( وأقم الصلاة لذكري )
“Jika seseorang tertidur, itu bukanlah berarti lalai dari shalat. Yang disebut lalai adalah jika seseorang dalam keadaan sadar (sudah terbangun). Jika seseorang itu lupa atau tertidur, maka segeralah dia shalat ketika dia ingat. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tunaikanlah shalat ketika seseorang itu ingat.” (QS. Thaha : 14).” (HR. Muslim. Shohih. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al Albani)

Bagaimana Mengerjakan Shalat Ketika Matahari Terbit padahal Terdapat Larangan Mengenai Hal Ini?
Dijelaskan dalam Fatwa Lajnah no. 5545 bahwa jika seseorang tertidur sehingga luput dari shalat shubuh, dia terbangun ketika matahari terbit atau beberapa saat sebelum matahari terbit atau beberapa saat sesudah matahari terbit; maka wajib baginya mengerjakan shalat shubuh ketika dia terbangun, baik matahari terbit ketika dia sedang shalat atau ketika mau memulai shalat matahari sedang terbit atau pun memulai shalat ketika matahari sudah terbit, dalam kondisi ini hendaklah dia sempurnakan shalatnya sebelum matahari memanas. Dan tidak boleh seseorang menunda shalat shubuh hingga matahari meninggi atau memanas.
Adapun hadits yang menyatakan larangan shalat ketika matahari terbit karena pada waktu itu matahari terbit pada dua tanduk setan (HR. Muslim), maka larangan yang dimaksudkan adalah jika kita mau mengerjakan shalat sunnah yang tidak memiliki sebab atau mau mengerjakan shalat wajib yang tidak disebabkan karena lupa atau karena tertidur. –Demikian maksud dari Fatwa Lajnah-
Oleh karena itu, jika memang kita lupa atau tertidur sehingga luput menunaikan shalat wajib, maka tidak terlarang kita mengerjakan shalat ketika matahari terbit. Wallahu a’lam bish showab.
Ya Allah, jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang selalu ta’at kepada-Mu.

Silakan disebar kepada saudara muslim lainnya.
Diselesaikan di pagi hari yang penuh berkah di rumah tercinta Pangukan-Sleman, 15 Dzulqo’dah 1429

Yang sangat membutuhkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Download Kitab Kalimatul Haq karya Syaikh Ahmad Syakir


Download kitab KALIMATUL HAQ karya Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah. Kitab ini merupakan tulisan lepas dari Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah tentang berbagai tema aktual pada masa itu (masa Syaikh Ahmad Syakir -ed).Selain itu, kitab ini juga berisi bantahan-bantahan terhadap peneliti lain, yang menunjukkan penguasaan beliau atas hal-ahal aktual di masanya.

Penasaran pengen baca kitabnya? Download ajah di sini

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/30

Penjelasan Tentang Ihya Ulumuddin

Oleh Ustadz Dzulqornain

Tanya

Assalamualaikum,
Ustadz semoga selalu diberi kebaikan dan keberkahan dari Allah,
mohon penjelasan tentang buku ihya ulumuddin, apakah boleh membacanya?
rekomendasi ustadz, beberapa contoh-contoh buku tazkiyatun nafs
yang boleh dibaca ?
terima kasih atas jawabannya.

Jawab oleh Ustadz Dzulqornain:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Berkaitan dengan Buku Ihya Ulumuddin Karya Abu Hamid Al-Ghazaly,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “…Adapun Ihya, terdapat
padanya banyak faeidah. Akan tetapi, terdapat (juga) padanya sejumlah
materi yang tercela.

Padanya terdapat materi-materi rusak dari pembicaraan orang-orang
filsafat berkaitan dengan tauhid, kenabian dan hari kebangkitan.
Apabila dia menyebutkan pengetahuan orang-orang sufi maka kedudukannya seperti orang yang mengambil seorang musuh kaum muslimin lalu dia pakaikan untuknya pakaian kaum muslimin.
Para ulama agama telah menginkari hal ini terhadap Abu Hamid
(Al-Ghazaly) dalam kitab-kitabnya. Sehingga mereka (para ulama)
berkata, “Penyakit (Al-Ghazaly) adalah Asy-Syifa`-yakni (kitab)
Asy-Syifa` Ibnu Sina tentang Filsafat-.”
Dan pada (Ihya`) terdapat hadits-hadits dan atsar-atsar yang lemah,
bahkan banyak yang palsu.

Dan padanya terdapat berbagai perkara dari kesalahan-kesalahan
orang-orang sufi dan kebohongan-kebohongan mereka.
Bersamaan dengan itu, juga terdapat padanya pembicaraan dari
syaikh-syaikh sufi yang arif lagi istiqamah tentang amalan-amalan hati
bersesuaian dengan Kitab dan Sunnah, dan selain dari itu berupa
perkara-perkara ibadah dan adab hal yang sesuai dengan Kitab dan
Sunnah, apa-apa yang lebih banyak dari yang tertolak darinya. Karena
itu ijtihad manusia berbeda tentang (buku ini) dan mereka
memperselisihkannya.” Selasai dari Majmu’ Al-Fatawa 10/551-552.

Adapun buku-buku mengenai Tazkiyah An-Nafs sangatlah banyak ditulis
oleh ulama salaf. Hampir setiap Kitab Sunan atau Jami menyebutkannya,
selain buku-buku khusus yang ditulis oleh para ulama dalam masalah
ini. Sehingga tidak perlu seorang mengambil dari Ihya, apalagi orang
yang belum kuat dasar keilmuan agamanya, agar tidak terpengaruh dengan
materi-materi rusak yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah.
Wallahu A’lam.

Kebiasaan Tidur Pagi Ternyata Berbahaya

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Kita telah ketahui bersama bahwa waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah dan di antara waktu yang kita diperintahkan untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya kita banyak melihat orang-orang melalaikan waktu yang mulia ini. Waktu yang seharusnya dipergunakan untuk bekerja, melakukan ketaatan dan beribadah, ternyata dipergunakaan untuk tidur dan bermalas-malasan.

Saudaraku, ingatlah bahwa orang-orang sholih terdahulu sangat membenci tidur pagi. Kita dapat melihat ini dari penuturan Ibnul Qayyim ketika menjelaskan masalah banyak tidur yaitu bahwa banyak tidur dapat mematikan hati dan membuat badan merasa malas serta membuang-buang waktu.
Beliau rahimahullah mengatakan,

“Banyak tidur dapat mengakibatkan lalai dan malas-malasan. Banyak tidur ada yang termasuk dilarang dan ada pula yang dapat menimbulkan bahaya bagi badan.
Waktu tidur yang paling bermanfaat yaitu :
[1] tidur ketika sangat butuh,
[2] tidur di awal malam –ini lebih manfaat daripada tidur di akhir malam-,
[3] tidur di pertengahan siang –ini lebih bermanfaat daripada tidur di waktu pagi dan sore-. Apalagi di waktu pagi dan sore sangat sedikit sekali manfaatnya bahkan lebih banyak bahaya yang ditimbulkan, lebih-lebih lagi tidur di waktu ‘Ashar dan awal pagi kecuali jika memang tidak tidur semalaman.
Menurut para salaf, tidur yang terlarang adalah tidur ketika selesai shalat shubuh hingga matahari terbit. Karena pada waktu tersebut adalah waktu untuk menuai ghonimah (pahala yang berlimpah). Mengisi waktu tersebut adalah keutamaan yang sangat besar, menurut orang-orang sholih. Sehingga apabila mereka melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka tidak mau tidur di waktu tersebut hingga terbit matahari. Mereka melakukan demikian karena waktu pagi adalah waktu terbukanya pintu rizki dan datangnya barokah (banyak kebaikan).” (Madarijus Salikin, 1/459, Maktabah Syamilah)

BAHAYA TIDUR PAGI
[Pertama] Tidak sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah.
[Kedua] Bukan termasuk akhlak dan kebiasaan para salafush sholih (generasi terbaik umat ini), bahkan merupakan perbuatan yang dibenci.
[Ketiga] Tidak mendapatkan barokah di dalam waktu dan amalannya.
[Keempat] Menyebabkan malas dan tidak bersemangat di sisa harinya.
Maksud dari hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnul Qayyim. Beliau rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya seperti waktu tuanya.” (Miftah Daris Sa’adah, 2/216). Amalan seseorang di waktu muda berpengaruh terhadap amalannya di waktu tua. Jadi jika seseorang di awal pagi sudah malas-malasan dengan sering tidur, maka di sore harinya dia juga akan malas-malasan pula.
[Kelima] Menghambat datangnya rizki.
Ibnul Qayyim berkata, “Empat hal yang menghambat datangnya rizki adalah [1] tidur di waktu pagi, [2] sedikit sholat, [3] malas-malasan dan [4] berkhianat.” (Zaadul Ma’ad, 4/378)
[Keenam] Menyebabkan berbagai penyakit badan, di antaranya adalah melemahkan syahwat. (Zaadul Ma’ad, 4/222)

Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjauhi kebiasaan buruk seperti ini.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya.

Muhammad Abduh Tuasikal, ST

AGAR KAMU LEBIH DICINTAI ALLAH

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Apabila sesuatu menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim [2664] lihat Syarh Nawawi, jilid 8 hal. 260).

Hadits yang mulia ini menunjukkan :

Pertama; Allah ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat, kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat [imannya] lebih dalam daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah [imannya]. Orang mukmin yang kuat adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan 4 hal; [1] ilmu yang bermanfaat, [2] beramal salih, [3] saling mengajak kepada kebenaran, dan [4] saling menasihati kepada kesabaran. Adapun mukmin yang lemah adalah yang belum bisa menyempurnakan semua tingkatan ini.

Kedua; kebaikan pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. Pertama; kaum As-Saabiqun ilal Khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunnah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. Kedua; kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Ketiga; Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek.

Ketiga; perkara yang bermanfaat ada dua macam; perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba membutuhkan perkara agama maka ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut. Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2; ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan ruh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam ilmu hadits, tafsir, dan fiqih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal salih adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki. Pekerjaan yang paling utama bagi orang berbeda-beda tergantung pada individu dan keadaan mereka. Batasan untuk itu adalah selama hal itu benar-benar bermanfaat baginya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu”

Keempat; dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya.

Kelima; apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa ridha dengan takdir Allah ta’ala. Tidak perlu berandai-andai, karena dalam kondisi semacam itu berandai-andai justru akan membuka celah bagi syaitan. Dengan sikap semacam inilah hati kita akan menjadi tenang dan tentram dalam menghadapi musibah yang menimpa.

Keenam; di dalam hadits yang mulia ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Kedua pokok ini telah ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab maupun As-Sunnah dalam banyak tempat. Agama seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu” merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia, bahkan di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah” merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudharatan dengan penuh rasa harap kepada Allah ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna.

Diringkas dari Bahjat Al-Qulub Al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun Al-Akhyar Syarh Jawami’ Al-Alkhbar karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, hal. 40-46.

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker