WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

MEMANG HARUS BEDA 1

MEMANG HARUS BEDA

antara SALAFIYYAH dan HIZBIYYAH

(Harusnya Beda, Kenapa Sama ?)

الكواشف الجلية في الرد على كشف الحقائق الخفية

Sebuah Bedah Ilmiah Membongkar Penyimpangan Buku Beda Salaf dengan “Salafi

(Ditulis oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah Al-Atsariy)

Pergolakan antara tentara kebenaran, dan tentara kebatilan akan senantiasa berjalan sampai akhir zaman. Para pejuang kebenaran harus memiliki kesabaran yang tinggi dan ilmu yang kuat, sebab ia akan diserang oleh musuh-musuh kebatilan dengan berbagai macam senjata syubuhatnya.

Diantara syubuhat yang mereka arahkan kepada dakwah salafiyyah, dan pengikutnya (salafiyyun), adanya sebagian kitab-kitab yang menyudutkan dakwah salaf, dan salafiyyun, seperti: “Aku Melawan Teroris”,(1) “Dakwah Salaf Dakwah Bijak” , “Siapa Teroris Siapa Khawarij” (2) .

Masih segar dalam ingatan terbitnya tiga kitab itu, tiba-tiba muncul lagi kitab baru yang diterjemahkan dari kitab yang berbahasa Arab. Kitab ini juga menyudutkan para salafiyyun, dan memberikan angin segar, dan nafas lega bagi para hizbiyyun di Indonesia, dan Makassar -khususnya-.

Pasalnya, ada sebagian ikhwah Al-Jami’ah Alauddin datang membawa kitab terjemahan itu kepada kami saat ada kajian di Masjid Kampus UIN Alauddin, Makassar. Dia mengisahkan bahwa kitab terjemahan itu ia dapatkan dari kiriman seorang akhwat OrmasWahdah Islamiyyah (WI) kepada ikhwah tersebut. Dia juga mengisahkan bahwa ada seorang ikhwah yang tak mau ikut kajian salaf lagi –wal’iyadzu billah- seusai membaca kitab itu.(3)

Ikhwah ini datang meminta nasihat kepada kami secara pribadi tentang isi kitab itu, walaupun berupa catatan ringkas tentang isi kitab tersebut.

  • Kitab Apa itu?

Kitab itu aslinya berjudul “Kasyful Haqo’iq Al-Khofiyyah ‘Inda Mudda’i As-Salafiyyah”. Lalu diberi judul secara serampangan oleh penerjemah dengan “Beda Salaf dengan “Salafi”" (Harusnya Sama Kenapa Beda?)(4). Kitab ini diterjemahkan oleh Wahyuddin, Abu Ja’far Al-Indunisiy; diterbitkan oleh Media Islamika, Solo pada bulan November 2007 M.

Penulis kitab ini bernama Mut’ab bin Suryan Al-’Ashimiy.(5) Konon kabarnya, ia adalah penduduk Makkah sebagaimana yang dijelaskan oleh Peneberbit dalam kata pengantarnya (hal.9). Tidak lebih dari itu !! Siapakah dia? Wallahu a’lam tentang jati dirinya.

Kemudian kitab BSDS ini terdiri dari dua bagian. Bagian Pertama berupa tulisan asli Muth’ab bin Suryan dari hal. 10-88. Jadi isi kitab aslinya Cuma berisi 78 hal. Bagian Kedua , lalu digembungkan oleh Penerbit dengan tambahan 146 hal yang terdiri dari : cover dalam dari hal. 1-4, pengantar Penerbit dari hal. 5-9, dan tambahan fatwa-fatwa (?) dari hal.89-223. Satu halaman yang tersisa berisi ucapan syukur: tamma bihamdillah. Jadi, tambahannnya hampir 3 kali lipat !! Sebagai amanah ilmiah, semoga saja Penerbit mendapat izin dan ridho dari Penulis sehingga ia boleh menambahkan halaman yang begitu banyak jumlahnya di belakang tulisan Muth’ab, sedang tambahan itu melebihi aslinya!!

  • Judul Kitab dalam Terjemahan

Penerjemah memberi judul bagi kitab itu dengan Beda Salaf dengan “Salafi”. Sedang “Salafi” maksudnya disini adalah orang yang mengaku salafi.

Jika kita menelaah isi kitab, maka kita akan mendapatkan bahwa yang dimaksud dengan orang yang mengaku salafi adalah orang yang suka mencela ulama, dan orang suka men-tashnif (menggolongkan) manusia.(6)

Sebenarnya Penulis dalam hal ini salah kaprah(7) tentang mencela, sampai orang yang mengingkari penyimpangan aqidah sebagian orang juga dianggap mencela. Demikian pula, Penulis dan Penerbit salah kaprah dalam mendudukkan semacam Salman, Safar Al-Hawaliy, A’idh Al-Qorniy, Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna sebagai ulama’, padahal bukan ulama’. Kalau pun ia ulama’, apa salahnya mengingkari mereka dengan cara yang hikmah. Para ulama’ dari dulu mengingkari ulama’ yang lainnya, baik dalam perkara fiqih, maupun perkara aqidah. Tak ada yang menganggap hal itu sebagai celaan. Namun herannya di zaman ini ada sebagian pemuda yang dangkal pemahamannya –termasuk Penulis- menganggap hal itu sebagai celaan dan ghibah. (8)

Ini yang dikatakan oleh Penulis dengan pengaku salafi. Selain itu ia menganggap pengaku salafi itu adalah orang yang suka men-tashnif (menggolong-golongkan)manusia.

Sebenarnya jika kita mau memperhatikan judul Arab maupun judul terjemahan, maka sebenarnya Penulis dan Penerjemah sendiri telah melakukan tashnif.(9) Coba perhatikan judul aslinya yang berbunyi “Kasyful Haqo’iq Al-Khofiyyah ‘Inda Mudda’i As-Salafiyyah” (Menyingkap Hakekat yang Samar di Sisi Pengaku Salafi). Lalu perhatikan juga judul yang disematkan oleh Penerjemah yang berbunyi Beda Salaf dengan “Salafi”.

Perhatikan bagaimana Penulis menggunakan istilah mudda’is salafiyyah, dan Penerjemah menggunakan istilah Salafi –dengan tanda petik- yang artinya sama dengan mudda’is salafiyyah (Pengaku Salafi).

Jadi, Penulis, dan Penerjemah sama-sama men-tashnif (menggolong-golongkan) manusia, sebab jika disana ada orang yang mengaku salafi, berarti disana ada yang Salafi Sejati. Ini adalah tashnif yang dicela oleh Penulis, dan Penerjemah, namun keduanya melakukan hal itu sendiri(10).

Wahai Penulis dan Penerjemah, dengarkan Allah -Ta’ala- berfirman,

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?”. (QS. Al-Baqoroh:44 ).

Ini dari segi judul. Belum lagi isinya !! Insya’ Allah -Ta’ala- Pembaca yang budiman akan melihat lebih dari ini berupa penyimpangan Penulis, dan kecohannya kepada para pembaca dengan memakai “sistem standar ganda” yang tumpul.

  • Inti Pembahasan Kitab BSDS

Jika kita membaca buku terjemahan yang berjudul Beda Salaf dengan “Salafi” (BSDS) dari awal sampai akhir, maka kita akan dapatkan kesimpulan bahwa Penulis BSDS hanya berkisar dalam beberapa perkara (baca:syubhat), diantaranya: Masalah Menggunakan Nama Salafiy atau Atsariy, Larangan Men-tashnif, Tuduhan bahwa Salafiyyun Suka Mencela.

Untuk membantah syubhat-syubhat ini, maka kami akan membawakan beberapa tanya jawab yang akan menghilangkan segala kerancuan tentang manhaj dan dakwah salaf. Berikut tanya jawab tersebut:

  • Terlarangkah Memakai Nisbah As - Salafiy atau Al - Atsariy ???

Penulis BSDS dalam soal 03 (hal. 40), ia menyebutkan ciri khas dan simbol para pengaku salafi, yaitu menggunakan simbol As-Salafiy atau Al-Atsariy diakhir nama mereka atau mengaku dengan lisannya, “Aku adalah salafi”, “Kami adalah salafiyyun”. Jika seorang melakukan hal seperti itu, maka ia dianggap jauh dari intisari yang terkandung.

Dengarkan Penulis berkata dengan ceroboh di bawah judul Slogan Para Pengaku Salafi, “Apa simbol mereka, yaitu orang-orang yang selalu mengaku-aku salafi?”.

Lalu ia jawab sendiri, “Simbol mereka yang dapat dikenali adalah pengakuan “as-salafiyah” atau perkataan mereka, “Kami adalah salafiyyun”, atau “Saya adalah salafi”. Atau mereka sertakan diakhir nama-nama mereka dengan sebutan salafi. Seperti, fulan bin fulan as-salafi atau al-atsari dan demikian seterusnya. Ini merupakan pengakuan yang mengindikasikan jauh dari intisari yang terkandung”.[Lihat BSDS (hal.40)]

Kemudian Penulis membawakan fatwa Syaikh Al-Fauzan yang menyatakan bahwa tidak perlu memakai nama As-Salafiy atau Al-Atsariy, karena beliau khawatir pengakuan itu tidak sesuai dengan perbuatan dan aqidah seorang muslim. Tapi apakah Syaikh melarang secara mutlak? Tentunya tidak !! Bagi orang yang memiliki aqidah dan manhaj sesuai dengan salaf, maka tak apa baginya untuk menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy.

Karenanya, Syaikh Al-Fauzan sendiri pernah berfatwa saat ditanya, “Apakah menggunakan nama As-Salafiy dianggap membuat kelompok (hizbiyyah)?”. Syaikh Al-Fauzan -hafizhahullah- menjawab, Menggunakan nama As-Salafiy –jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa. Adapun jika hanya sekedar pengakuan, maka tidak boleh baginya menggunakan nama As-Salafiy, sedang ia bukan di atas manhaj Salaf. Maka orang-orang Al-Asy’ariyyah -contohnya- berkata, “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Ini tak benar, karena pemahaman yang mereka pijaki bukanlah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Demikian pula orang-orang Mu’tazilah menamai diri mereka dengan Al-Muwahhidin (orang-orang bertauhid).

كل يدعي وصلا لليلى وليلى لا تقر لهم بذاكا

Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila

Sedang Laila tidak mengakui hal itu bagi mereka

Jadi, orang yang mengaku bahwa ia berada di atas madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah akan mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan meninggalkan orang-orang yang menyelisihi (madzhab Ahlus Sunnah.-pent). Adapun jika ia mau mengumpulkan antara “biawak dan ikan pau” –menurut istilah orang-, yakni: mau mengumpulkan hewan daratan dengan hewan laut, maka ini tak mungkin; atau ia mau mengumpulkan antara api dengan air dalam suatu daun timbangan. Maka tak akan bersatu ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan madzhabnya orang-orang yang menyelisihi mereka, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Hizbiyyun(11) yang disebut orang dengan “Muslim Masa Kini”, yaitu orang yang mau mengumpulkan kesesatan-kesesatan orang-orang di zaman ini bersama manhaj salaf. Maka “Tak akan baik akhir ummat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki awalnya”. Walhasil, harus ada pembedaan dan penyaringan”. [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘an As’ilah Al-Manahij Al-Jadidah (hal.36-40) karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy -hafizhahullah-, cet. Darul Minhaj, 1426 H]

Jadi, menamakan diri dengan As-Salafiy, ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “tak ada aibnya orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbahkan diri kepadanya, dan mengasalkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya menurut kesepakatan (ulama’), karena madzhab salaf, tidak ada, kecuali benar”. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (4/149)]

  • Salahkah Ahlus Sunnah (Salafiyyun) ketika Mereka Men-tashnif (mengelompokkan) Manusia ?

Penulis Beda Salaf dengan “Salafi” (BSDS) telah menuduh Salafiyyun secara keji ketika ia menjelaskan tugas Iblis(12) yang diemban oleh para salafiyyun –menurut sangkaan buruk dan kejinya-. Apa tugas Iblis tersebut? Tugas Iblis adalah men-tashnif: mengklasifikasi manusia.(13) Jadi, menurutnya tak boleh seorang menyatakan fulan Tabligh, Ikhwanul Muslimin (IM), Salafiyyun, Shufiy, Syi’ah, Wahdah Islamiyyah (WI), dan lainnya

Silakan dengarkan Penulis BSDS menjelaskannnya tugas Iblis yang dimaksud dalam BSDS (hal.45) di bawah sub judul Tugas Iblis , “Apa pekerjaan pokok yang menyatukan mereka dan dengannya mereka dikenali?”.

Kemudian si Penulis sendiri yang menjawab, Jawab: Tugas utama mereka adalah (mengklasifikasikan manusia)berdasarkan hawa nafsu dan was-was. Itulah yang menjadi kesibukan di setiap majelis dan tempat-tempat berkumpul mereka(14) serta menjadi pekerjaan rutin mereka dengan segala kesungguhan dan potensi diri yang dimiliki tanpa memandang orang selainnya itu baik”. [Lihat BSDS (45)]

Sejak dahulu sampai sekarang para ulama kita masih terus memberikan label bagi kelompok-kelompok sesat, bahkan kelompok-kelompok sesat itu sendiri yang melabeli dirinya.

Perlu kami jelaskan bahwa kata tashnif ditinjau secara bahasa, maka ia bermakna :”Membedakan sesuatu, sebagiannya dari sebagian yang lain”.(15)

Tashnif (membedakan dan mengelompokkan manusia), ini bisa kita dapatkan dalam Kitabullah, As-Sunnah, atsar para salaf.

Bukankah kita kita dapati dalam Kitabullah bahwa Allah -Ta’ala- membagi manusia: mukmin dan kafir, taat & suka maksiat, muslim & munafiq. Bahkan orang mukmin dan kafir dibagi lagi.

Dalam Sunnah kita dapati Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- membagi manusia : mukmin dan kafir, taat & suka maksiat, muslim & munafiq. Bahkan orang mukmin dan kafir dibagi lagi. Yang mukmin ada yang ahlus sunnah & ahli bid’ah. Ahli bid’ah terbagi lagi. Karenanya kita akan dapati Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan golongan Al-Qodariyyah,

القدرية مجوس هذه الأمة

“Al-Qodariyyah majusinya ummat ini”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (4691). Di-hasan-kan oleh Muhaddits Negeri Syam Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy-rahimahullah- dalam Zhilal Al-Jannah (338)]

Demikian pula dalam sunnah disebutkan ciri dan anjuran memerangi orang-orang Khawarij(16)

Sejak dulu para ulama kita telah membedakan ini Mu’tazilah, ini shufiyyah, ini Murji’ah, ini Khawarij, dan ini Syi’ah sehingga istilah-istilah ini terkenal sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Hazm –misalnya- dalam Al-Fishol fil Milal wal-Ahwaa’ wa An-Nihal, Abdul Qohir Ibn Muhammad Al-Baghdady dalam Al-Farq bainal Firoq, Asy-Syahrostany dalam Al-Milal Wa An-Nihal. Demikian pula ulama’-ulama’ mutakhirin pun menggunakan istilah-istilah untuk jama’ah dakwah agar bisa dibedakan dari dakwah Ahlus Sunnah. Misalnya, Syaikh Ibn Baz, Syaikh Al-Albany dalam berbagai kitab dan kasetnya, Syaikh At-Tuwaijiry dalam At-Tahdzir Al-Baligh min Jama’ah At-Tabligh, Syaikh Al-Fauzan dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, Syaikh Ahmad An-Najmy-hafizhohumullah- dan lainnya.

Nah, Apakah menggunakan istilah-istilah (seperti Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, Hizbut Tahrir dan lainnya) terlarang sementara para ulama kita memakainya dalam rangka membedakan mereka dari pengikut dakwah salaf??

Syaikh Ibrahim Ar-Ruhailyhafizhohullah- berkata setelah menerangkan asal kata Salafiyyun, “Dengan ini, nyatalah bahwa penggunaa nama ini (yaitu, nama Salafiyyun,pent)bagi Ahlus Sunnah adalah sesuatu yang syar’i dan kembali -pada asal maknanya- kepada nama-nama mereka (Ahlussunnah) yang Syar’i. Seperti: Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, Al-Firqoh An-Najiyah untuk membedakan antara mereka (Ahlus Sunnah-Salafiyyun, pen) dengan orang-orang yang menisbahkan diri kepada Islam dari kalangan orang-orang yang menyimpang dari aqidah yang benar yang Rasul –Shollallahu alaihi wasallam- meninggalkan ummatnya da atasnya.Karenan ini, para ulama’ muhaqqiqin telah menyebutkan bahwa istilah Salafhanyalah muncul ketika terjadi perselisihan seputar prinsip-prinsip agama diantara kelompok-kelompok ahli kalam, dan semuanya berusaha menisbahkan diri kepada As-salaf Ash-sholih(17). Maka hal ini mengharuskan munculnya kaedah-kaedah yang jelas bagi manhaj salaf yang akan membedakannya dari orang yang mengaku menisbahkan diri kepada Salafiyyah (manhaj salaf)(18).

Sekali lagi, Apakah membedakan kelompok-kelompok yang ada dengan memberi label kepada mereka dengan menggunakan kata Ikhwani, Tablighi, Tahriri, WI, NII bagi kelompok-kelompok yang menyimpang dari rel Salaf merupakan perkara yang salah??

Jawabnya, tentu tidak berdasarkan amaliyyah ulama’. Bahkan Nabi–Shollallahu alaihi wasallam- juga membedakan ini muslim, itu kafir dan beliau juga pernah bersabda dalam memberi label kepada orang-orang yang mengingkari takdir:“Al-Qodariyyah: majusinya ummat ini…”.(19)

Jika kita tidak memberi label kepada kelompok da’wah sufiyyah modern (baca: Jama’ah Tabligh), kepada kelompok da’wah Neo Mu’tazilah(baca: HT) dan lainnya, maka kapankah umat tahu kawan dan lawan mereka. Apakah setelah mereka terjerat dalam kesesatan kelompok-kelompok itu, baru kita berteriak-teriak kepanikan !!

Dulu ketika kami masih di Wahdah Islamiyyah, kami sering kali mendengar kata “ MANIS(20), Jama’ah Tabligh, IM, HT, dan lainnya dari mulut para pengikut WI dan para ustadznya. Bahkan label “MANIS” mereka jadikan bahan untuk menyudutkan Salafiyyun. Bukankah ini juga tashnif?? Mengapa justru fenomena tashnif ini malah diarahkan dan dituduhkan kepada orang lain tanpa hujjah. Ingat, jangan sampai tuduhan yang kita lontarkan telah beranak pianak dan berpindah dari mulut ke mulut, tapi ternyata tidak satu pun tuduhan itu terbukti.

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS.Ash-Shoff: 2-3]

LANJUT

0 komentar:

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker