WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

MU’ÂWIYAH BIN ABỈ SUFYÂN SAHABAT YANG TERZHALIMI


Oleh :

Abū Salmâ al-Atsarî

Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullâhu pernah berkata :

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ اَصْحَابِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدْيِقُ!!!

’Jika engkau melihat ada orang yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq!!!..” [Al-Kifâyah karya al-Imâm al-Khâthib al-Baghdâdî (hal. 97); Lihat pula al-Anwârul Kâsyifah karya Syaikh Alî Hasan al-Halabî, Darul Ashâlah, cet. I, 1411 H/1991 M, halaman 11.]

Banyak sekali tuduhan yang dilontarkan kepada para Sahabat Nabi yang mulia, terdepan di antara mereka yang sering dicela dan dihujat adalah Mu’âwiyah bin Abî Sufyân radhiyallâhu ‘anhu.

Syî’ah, Khowârij, Mu’tazilah hingga beberapa pergerakan (harokah) modern turut mengambil bagian di dalam mencemarkan hak sahabat Mu’âwiyah. Kita ambil misalnya, Sayyid Quthb ghofarollôhu lahu wa lanâ, beliau tidak hanya mencela Mu’âwiyah, namun juga ‘Utsmân bin ‘Affân, bahkan lebih dari itu, beliau juga mencela para Nabi seperti Nabi Musa ‘alaihis Salam.

Pembesar Jahmî zaman ini, Hasan ‘Alî as-Saqqof, juga turut mengambil bagian dalam celaan dan cercaan terhadap sahabat yang mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata :

“Mu’awiyah membunuh sekelompok kaum yang shalih dari kalangan sahabat dan selain sahabat hanya untuk mencapai kekayaan duniawi.” [Ta’lîq as-Saqqof terhadap kitab Daf’u Syubahit Tasybîh hal. 237.]

Diantara pencela sahabat Mu’âwiyah dari kalangan kontemporer lainnya adalah, Syaikh Taqîyuddîn an-Nabhânî rahimahullâhu, pendiri harokah (pergerakan) internasional, Hizbut Tahrîr (Partai Pembebasan/Liberation Party). Beliau bahkan meragukan status sahabat Mu’âwiyah, agar sifat ‘adâlah (kredibilitas) Mu’âwiyah dapat dilunturkan dengan mudah sehingga mudah untuk dicela.

Syaikh Taqîyuddîn an-Nabhânî ghofarollahu lahu wa lanâ berkata :

معاوية بن أبي سفيان رأى الرسول واجتمع به, وكل من رأى الرسول واجتمع به فهو صحابي, فالنتيجة أن معاوية بن أبي سفيان صحابي, وهذه النتيجة خطأ, فليس كل من رأى الرسول واجتمع به صحابي, وإلا لكان أبو لهب صحابياً

“Mu’âwiyah bin Abî Sufyân berjumpa dan berkumpul dengan Nabî, sedangkan setiap orang yang berjumpa dan berkumpul bersama nabî adalah sahabat, sehingga konklusinya Mu’âwiyah bin Abî Sufyân adalah seorang sahabat. Konklusi ini salah, karena tidak setiap orang yang melihat dan berkumpul dengan Nabî otomatis adalah seorang sahabat. Jika demikian keadaannya maka tentulah Abū Lahab bisa dikatakan sebagai Sahabat.” [asy-Syakhshiyah al-Islâmîyah Juz I hal. 43].

Pendapat Syaikh an-Nabhânî ini ditegaskan kembali oleh pengikut Hizbut Tahrir, sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab “al-Mulif al-Fikrî” (hal. 148) :

الصحابي وكل من تتحقق فيه معنى الصحبة, وفُسِّر بأنه إذا صحب النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ سنة أو سنتين, وغزا معه غزوة أو غزوتين, ومعاوية أسلم وعمره 13 سنة, ولم يرد أنه ذهب إلى المدينة وسكن فيها في حياة الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ وصاحَبَه, والرسول مكث في مكة مدة قصيرة لا تتحقق فيها معنى الصحبة, وعليه فمعاوية ليس صحابياً

“Sahabat dan setiap orang yang terpenuhi padanya definisi sahabat, telah dijelaskan (bahwa ia disebut sebagai sahabat) apabila ia menyertai Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam selama setahun atau dua tahun dan turut serta di dalam satu atau dua peperangan. Sedangkan Mu’âwiyah, ia masuk Islâm dan usianya masih 13 tahun. Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa ia pergi dan tinggal di Madinah pada masa Rasul Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam masih hidup dan menyertai beliau. Rasulullah tinggal di Makkah selama beberapa waktu yang singkat yang tidak memenuhi lamanya Mu’âwiyah masuk dalam definisi sahabat, karena itulah Mu’âwiyah bukanlah seorang sahabat.”

Akhirnya, dengan mencopot status sahabat Mu’âwiyah, maka sah-sah saja mencela (jarh) dan menghujat (tho’n) Mu’âwiyah, serta menuduhnya dengan berbagai tuduhan keji. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Muhammad asy-Syuwaikî, mantan anggota Hizbut Tahrir di dalam buku beliau, “ash-Showâ`iq al-Hâwiyah” (hal. 37), beliau berkata :

ثم إن نفيهم ـ أي حزب التحرير ـ لصحبة معاوية جعلهم يتطاولون عليه ويجرحونه, فقد جاء في كتاب “نظام الحكم في الإسلام” وهو من منشورات حزب التحرير الطبعة الثانية 1374هـ ـ 1953م والثالثة 1410هـ ـ 1990م والطبعة الرابعة 1417هـ ـ 1996م والطبعة السادسة وأظنها الخامسة لكنهم أخطأوا ربما في الطباعة وهي مؤرخة 1422هـ ـ 2002م وكل هذه الطبعات ذكرت معاوية وتهجمت عليه منذ خمسين عاماً, وذلك في باب (ولاية العهد من الكتاب المذكور), فقالوا عنه: إنه ابتدع منكراً, وإنه يحتال على النصوص الشرعية, وإنه يتعمد مخالفة الإسلام, وإنه لا يتقيد بالإسلام, وإن طريقة اجتهاده على أساس المنفعة لا على أساس الإسلام.

“Sesungguhnya penafian Hizbut Tahrir terhadap status sahabat Mu’âwiyah, menyebabkan mereka dapat mendiskreditkan dan mencela Mu’âwiyah. Di dalam buku “Nizhâmul Hukmi fîl Islâm” yang termasuk publikasi Hizbut Tahrir pada cetakan ke-2 (th. 1374/1953), ke-3 (th. 1410/1990), ke-4 (th. 1417/1996) dan cetakan ke-6 yang saya kira sebenarnya adalah cetakan ke-5 (th. 1422/2002), mungkin salah cetak. Seluruh cetakan buku ini menyebut Mu’âwiyah dan mendiskreditkan beliau semenjak 50 tahun lalu. Hal ini terdapat di dalam Bab “Wilâyatul Ahdi minal Kitâbil Madzkūr”, dimana mereka mengatakan bahwa Mu’âwiyah telah mengada-adakan suatu kemungkaran dan melakukan penipuan terhadap nash-nash syariat. Beliau bersandar kepada sesuatu yang menyelisihi Islâm dan tidak mengikat diri dengan Islâm, serta metode ijtihadnya berdiri di atas landasan keuntungan semata bukan di atas landasan Islâm.”

Demikian pula di dalam buku “al-Kurôsah” atau “Izâlatul Utrubah”, karya para pemuda (Syabâb) Hizbut Tahrir, mereka menuduh Mu’âwiyah bahwa beliau telah melakukan kelicikan dan pengkhianatan, serta mencuri kekuasaan. Hal ini terdapat di dalam bab “Mughtashob as-Sulthah.”

Dengan mengeluarkan status Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai sahabat, mereka dapat dengan mudah menjarh dan mencela Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu, bersamaan dengan itu mereka berkilah : “Kami tidak pernah mencela Sahabat karena seluruh sahabat adalah adil (kredibel), sedangkan Mu’awiyah bukanlah seorang sahabat.”

Sebagai pembelaan terhadap sahabat nabi dan sebagai bentuk nasihat dan amar ma’rūf nahî munkar, maka saya turunkan tanggapan dan jawaban atas pendapat Hizbut Tahrir di atas. Sesungguhnya apa yang saya paparkan di sini adalah sebagai nasehat bagi saudara-saudaraku Hizbut Tahrir agar mereka mau rujuk kembali kepada al-Haq, dan meninggalkan pendapat yang lemah lagi tertolak. Saya menurunkan artikel ini bukan untuk menghujat ataupun mencela, namun murni sebagai nasehat kepada sesama muslim. Maka apabila nasehatku ini benar, terimalah. Dan apabila nasehatku ini salah, buanglah jauh-jauh.

Untuk itu, dengan bertawassul kepada Allôh dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang mulia, saya katakan :

Pertama : Definisi Sahabat Yang Tepat

Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî rahimahullâhu memiliki pendapat tentang definisi sahabat yang tidak mu’tamad (dapat dijadikan sandaran) lagi mu’tabar (diakui). Pendapat beliau ini menyelisihi apa yang diperpegangi oleh jumhur ulama ahlus sunnah.

Imâm an-Nawawî rahimahullâhu berkata :

فأما الصحابي فكل مسلم رأى رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولو لحظة. هذا هو الصحيح في حده وهو مذهب أحمد بن حنبل وأبي عبد الله البخاري في صحيحه والمحدثين كافة

“Sahabat adalah setiap muslim yang melihat Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam walaupun hanya sekilas. Pendapat inilah yang benar mengenai batasan (seseorang dikatakan sebagai) sahabat dan inilah madzhab yang dipegang oleh Ahmad bin Hanbal dan Abū ‘Abdillâh al-Bukhârî di dalam Shahîh-nya serta seluruh ulama ahli hadits.” (Syarhul Muslim 1/35)

Beliau rahimahullâhu juga berkata :

إن الصحيح الذي عليه الجمهور, أن كل مسلم رأى النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولو ساعة فهو من أصحابه

“Sesungguhnya yang benar adalah pendapat jumhur, yaitu seluruh muslim yang melihat Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam walaupun hanya sesaat, maka ia termasuk sahabat beliau.” (ibid : 16:85)

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullâhu berkata :

الصحابي: من رأى رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ في حال إسلام الرائي, وإن لم تطل صحبته له, وإن لم يروِ عنه شيئاً. هذا قول جمهور العلماء, خلفاً وسلفاً

“Sahabat adalah orang yang melihat Rasulullah Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan Islâm ketika melihatnya, walaupun tidak lama dan tidak meriwayatkan satu haditspun dari beliau. Dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, baik kholaf (kontemporer) maupun salaf (terdahulu). (al-Bâ’its al-Hatsîts : II/491).

Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Aqsolânî rahimahullâhu berkata :

أصح ما وقفت عليه من ذلك أن الصحابي من لقي النبي ـ صلى الله عليه وآله وسلم ـ مؤمناً به ومات على الإسلام, فيدخل فيمن لقيه من طالت مجالسته أو قصرت, ومن روى عنه أو لم يروِ, ومن غزا معه أو لم يغزُ, ومن رآه رؤية ولو لم يجالسه, ومن لم يره لعارض كالعمى,….ثم قال: وهذا التعريف مبني على الأصح المختار عند المحققين, كالبخاري, وشيخه أحمد بن حنبل, ومن تبعهما, ووراء ذلك أقوال أخرى شاذة

“Yang paling benar sejauh penelitian saya tentang hal ini adalah, sahabat adalah orang yang menjumpai Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan mengimani beliau dan wafat dalam keadaan Islâm. Termasuk sahabat adalah orang yang menjumpai beliau, baik dalam waktu yang lama maupun singkat, baik meriwayatkan (hadits) dari beliau maupun tidak meriwayatkan, baik yang turut berperang beserta beliau maupun yang tidak, orang yang melihat beliau walaupun belum pernah menemani beliau, dan orang yang tidak melihat beliau disebabkan sesuatu hal seperti buta…” Kemudian al-Hâfizh melanjutkan perkataannya : “Definisi ini dibangun di atas pendapat yang paling benar dan terpilih menurut para ulama peneliti (muhaqqiqîn), semisal al-Bukhârî dan guru beliau, Ahmad bin Hanbal, dan yang meneladani mereka berdua. Adapun pendapat selain ini merupakan pendapat yang ganjil (syâdzah).”

Ibnu Katsîr rahimahullâhu berkata :

وتعرف صحبة الصحابة تارة بالتواتر, وتارة بأخبار مستفيضة, وتارةً بشهادة غيره من الصحابة له, وتارةً بروايته عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ سماعاً أو مشاهدةً مع المعاصرة

“Status sahabat dapat diketahui acap kali dengan (berita) yang mutawatir, atau berita yang mustafîdhah (banyak namun di bawah derajat mutawatir), atau dengan kesaksian sahabat yang lain, atau bisa juga dengan meriwayatkan hadits Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, baik secara simâ’ (mendengar) ataupun menyaksikan, selama satu zaman (dengan Nabi).” (al-Ba’îts al-Hatsîts II/491).

Dari definisi di atas, dapat kita ketahui dengan jelas bahwa Mu’awiyah adalah termasuk sahabat Nabi. Sebab, bukan hanya berjumpa dan melihat Rasulullah, beliau juga meriwayatkan hadits dari Nabi saw dan sebagian sahabat meriwayatkan dari beliau ra.

Kedua : Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu adalah Sahabat

Setelah kita menyimak tentang batasan yang tepat dan terpilih tentang definisi sahabat. Mari kita menelaah bersama, apakah Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat atau bukan.

Sebagai hujjah utama dan pertama, saya turunkan kesaksian Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri dalam dua haditsnya yang mulia.

Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

” اللهم اجعله هادياً مهدياً واهده واهد به . يعني معاوية “. أخرجه أحمد والترمذي وصححه الألباني في (السلسلة الصحيحة/1969)

“Ya Alloh, jadikanlah Mu’awiyah sebagai pembawa petunjuk yang memberikan petunjuk. Berikanlah petunjuk padanya dan petunjuk (bagi umat) dengan keberadaannya.” (HR Ahmad dan Turmudzi. Dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah : 1969)

Apakah mungkin Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa Sallam mendoakan kebaikan tidak kepada sahabatnya?

Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

” اللهم علم معاوية الكتاب والحساب وقه العذاب “. أخرجه أحمد وصححه الألباني في (السلسلة الصحيحة/ 3227)

“Ya Alloh, anugerahkanlah kepada Mu’awiyah ilmu al-Kitab (al-Qur`an) dan al-Hisab (ilmu hitung) serta jauhkanlah beliau dari adzab.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah : 3227).

Kepada siapakah Nabi Shallalallahu ‘alaihi wa Sallam mendoakan kebaikan jika tidak kepada sahabatnya?

Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat yang senada dan semakna. Dari dua hadits di atas, dapat kita tarik kesimpulan dengan tegas dan terang bahwa Mu’awiyah bin Sufyan Radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat Nabi. Sebab, tatkala Nabi saw berkata demikian, hal ini menunjukkan bahwa Mu’awiyah hidup di zaman Rasulullah, bertemu dengan beliau dan mengimani beliau. Lantas, tidakkah ini menunjukkan bahwa Mu’awiyah ra adalah seorang sahabat Nabi yang mulia?!

Ketiga : Kesaksian Siapakah Yang Lebih Diterima?

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rhm beserta murid dan simpatisannya beranggapan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan bukanlah seorang sahabat. Sedangkan para Imam Ahlis Sunnah, seperti Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Ibnul Atsir dalam Usudul Ghabah fi Ma’rifatish Shahabah, ad-Dzahabi dalam Siyaru ‘Alamin Nubala’ , Ibnu Sa’d dalam ath-Thobaqotul Kubra, al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhul Baghdad, Abu Nu’aim dalam Ma’rifati ash-Shahabah dan selain mereka, seperti al-Bukhari, ath-Thabari, Ibnu Qutaibah, Ibnul Jauzi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Hibban, Syaikhul Islam, Ibnu Katsir, Ibnul ‘Imad, as-Suyuthi dan selain mereka, semuanya mengakui bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra adalah salah seorang sahabat nabi yang mulia.

Al-Hafizh al-‘Alla`i rhm berkata dalam kitabnya Tahqiqu Munif ar-Rutbah (hal. 105) :

“وكذلك روى أيضاً عن معاوية جريرُ بن عبد الله البجلي، وأبو سعيد الخدري, وعبد الله بن عمرو بن العاص، وعبد الله بن الزبير، ومعاوية بن خَديج، والسائب بن يزيد، وجماعة غيرهم من الصحابة ـ رضي الله تعالى عنهم ـ.

“Demikian pula, para sahabat juga meriwayatkan dari Mu’awiyah seperti : Mu’awiyah Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan sejumlah sahabat lainnya –semoga Alloh meridhai mereka semuanya-…”

Kesaksian al-‘Alla`i di atas menjelaskan bahwa para sahabat sendiri meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, lantas bagaimana bisa beliau dikatakan bukan sebagai seorang sahabat Nabi saw. Karena itulah Imam Muhammad bin Sirin rhm berkata :

كان معاوية رضي الله عنه لا يتهم في الحديث عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ

“Mu’awiyah ra tidaklah tertuduh di dalam haditsnya dari Nabi saw.”

Sa’id bin Ya’qub ath-Tholiqoni berkata : Saya mendengar ‘Abdullah bin Mubarak berkata :

تراب في أنف معاوية أفضل من عمر بن عبد العزيز.

“Debu di dalam hidung Mu’awiyah, lebih mulia dibandingkan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz.”

سئل المعافى بن عمران: أيهما أفضل معاوية أو عمر بن عبد العزيز؟ فغضب, وقال للسائل: أتجعل رجلاً من الصحابة مثل رجل من التابعين؛ معاوية صاحبه وصهره وكاتبه وأمينه على وحي الله

Al-Mu’afi bin ‘Imran ditanya : “Manakah yang lebih mulia, Mu’awiyah ataukah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz?” Lantas al-Mu’afi pun marah dan berkata kepada sang penanya, “Apakah engkau hendak menjadikan salah seorang sahabat nabi sama seperti tabi’in. Mu’awiyah adalah sahabat, ipar, penulis wahyu dan kepercayaan Nabi saw.” [Lihat al-Bidayah wan Nihayah VIII/140]

Demikianlah kesaksian para imam dan ulama ahlus sunnah, lantas kesaksian siapakah yang lebih utama untuk diterima dan diambil?!!

Keempat : Menjawab Tuduhan dan Syubuhat

Hizbut Tahrir –semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada mereka, kita dan seluruh kaum muslimin-, berdalih dengan atsar Ibnul Musayyib rhm yang berpendapat bahwa status sahabat diperoleh jika ia mengikuti minimal satu atau dua peperangan bersama nabi dan hidup bersama nabi minimal satu atau dua tahun.

Sedangkan Mu’âwiyah, ia masuk Islâm dan usianya masih 13 tahun. Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa ia pergi dan tinggal di Madinah pada masa Rasul Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam masih hidup dan menyertai beliau. Rasulullah tinggal di Makkah selama beberapa waktu yang singkat yang tidak memenuhi lamanya Mu’âwiyah masuk dalam definisi sahabat, karena itulah Mu’âwiyah bukanlah seorang sahabat. Demikian pernyataan penulis al-Mulif al-Fikri hal. 148.

Saya jawab :

- Persyaratan definisi sahabat telah terhimpun pada Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. Sebagaimana telah saya turunkan penjelasannya di atas. Bahwa beliau bertemu dengan Nabi saw dan beriman kepadanya, serta wafat dalam keadaan Islam. Dan inilah pendapat terpilih tentang definisi sahabat. Bahkan Rasulullah saw sendiri memuji dan mendoakan kebaikan untuk beliau, dan para sahabat mengambil riwayat beliau serta para ulama ahlus sunnah terdahulu menyaksikan keutamaan dan status sahabat beliau.

- Taruhlah riwayat Ibnul Musayyib rhm yang dibawakan oleh HT adalah shahih dan maqbul. Hal ini tidak menafikan status sahabat Mu’awiyah, bahkan menegaskan akan status sahabat beliau ra. Nabi saw melakukan peperangan sekurang-kurangnya tiga kali pasca Fathu Makkah, yaitu : perang Hunain, Tha`if dan Tabuk. Ketika itu Mu’awiyah telah masuk Islam dan tentu saja beliau mengikuti ketiga peperangan ini. Nabi juga hidup setelah Fathu Makkah lebih dari dua tahun, dan telah dimaklumi pula bahwa Mu’awiyah telah masuk Islam saat itu, sehingga beliau telah menemani Nabi lebih dari dua tahun, apalagi beliau merupakan salah seorang kepercayaan Nabi dan penulis wahyu beliau saw.

- Realitanya, atsar dari Ibnul Musayyib itu tidak shahih baik secara sanad dan matan. Berikut ini penjelasan para imam ahli hadits tentangnya.

Imam Nawawi rhm berkata dalam at-Taqrib :

وعن سعيد بن المسيب أنه لا يعد صحابياً إلا من أقام مع رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ سنة أو سنتين, أو غزا معه غزوة أو غزوتين, فإن صحَّ عنه فضعيفٌ, فإن مقتضاه أن لا يُعَدَّ جرير البجليُّ وشِبهُه صحابياً, ولا خلاف أنهم صحابة

“Riwayat dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa beliau tidak menganggap seseorang sebagai sahabat kecuali hidup bersama nabi saw satu atau dua tahun atau turut berperang beserta beliau dalam satu atau dua peperangan, sekiranya riwayat ini shahih darinya, maka riwayat ini dha’if (lemah matannya). Karena konsekuensi pendapat beliau ini akan menyebabkan Jarir al-Bajali dan yang serupa dengannya bukan sebagai seorang sahabat, padahal tidak ada khilaf bahwa beliau adalah sahabat.”

As-Suyuthi juga berpendapat senada ketika men-syarh ucapan Imam Nawawi di atas, dan menyatakan bahwa yang serupa dengan Jarir al-Bajali adalah Wa`il bin Hujr yang telah disepakati atas status sahabatnya, namun tidak terpenuhi dengan syarat riwayat dari Ibnul Musayyib di atas.

Imam al-‘Iraqi mengkritik riwayat ini, dan mengatakan :

ولا يصح هذا عن ابن المسيب, ففي الإسناد إليه محمد بن عمر الواقدي ضعيف في الحديث

“Tidak shahih riwayat dari Ibnul Musayyib ini, karena di dalam sanadnya ada Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi, dia adalah dha’if di dalam hadits.” [Tadribu ar-Rawi hal. 376].

Imam Muslim menyatakan bahwa al-Waqidi adalah Matrukul Hadits (haditsnya ditinggalkan). Imam Syafi’i menyatakan : “Buku-buku al-Waqidi penuh dengan dusta.” Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, “Al-Waqidi adalah Kadzdzab (pendusta besar.” [lihat lebih lengkap jarh (celaan) para imam dalam as-Siyar karya Imam Dzahabi IX:454-462].

Sungguh amatlah aneh jika kita berpegang pada pendapat yang lemah dan syadz dan meninggalkan pendapat yang kuat dan masyhur

Beberapa Keutamaan Mu’awiyah ra

- Beliau adalah Paman Kaum Muslimin. Hal ini oleh sebab saudari beliau, Ummu Habibah, adalah isteri Rasulullah saw.

- Beliau adalah salah seorang sahabat yang diisyaratkan Nabi akan berperang di tengah lautan dan akan masuk surga.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw :

عن أم حرام قالت: قال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ : ” أول جيش من أمتي يغزون البحر قد أوجبوا”

Dari Umu Haram ra beliau berkata, Rasulullah saw bersabda : “Pasukan pertama dari ummatku yang perang di lautan maka wajib baginya (surga).” [HR Bukhari : 2924]

Ibnu Hajar mengatakan : “Al-Muhallab berkata : “hadits ini menjelaskan keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang di lautan.” Adapun lafazh “qod aujabu” (maka wajib atasnya) maksudnya adalah : melakukan perbuatan yang wajib atasnya surga.” [al-Fath VI : 120].

- Beliau adalah penulis wahyu dan kepercayaan Rasulullah saw.

- Beliau didoakan memperoleh hidayah dan memberikan hidayah.

- Beliau didoakan menguasai ilmu fiqh dan ilmu hitung.

- Beliau adalah orang yang faqih.

(Majalah Adz-Dzakhiirah)

0 komentar:

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker