WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Shalat Orang Yang Sakit

Seorang hamba terkadang diuji oleh Allah dengan sakit yang menimpanya, sakit tersebut bisa berupa sakit yang ringan tetapi tidak sedikit pula seorang hamba yang diuji oleh Allah dengan diberi sakit yang menyebabkan hamba tersebut harus dirawat dirumah sakit sehingga menghabiskan hari-harinya dengan beristirahat diatas dipan. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin dibagi menjadi dua golongan yang berkenaan tentang kewajiban shalat yang harus dilakukannya sebagai seorang muslim, yaitu (1) enggan melaksanakan shalat karena alasan sakitnya -baik sakit ringan atau berat- dan (2) memaksakan diri shalat layaknya ketika masih sehat sehingga sakitnya tambah parah atau tidak kunjung sembuh. Lalu bagaimana sebenarnya hukum melaksanakan ibadah shalat bagi orang yang sakit dan bagaimana tata caranya? berikut pembahasanya. Semoga bermanfaat.

Shalat Orang Yang Sakit

Oleh. Ust. Kholid Syamhudi

Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tak ada satupun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah azza wa jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.al-Baqoroh: 286)

Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin untuk agar bertaqwa sesuai dengan kemampuan mereka. Allah berfirman,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

Orang yang sakit tidak sama dengan orang yang sehat. Masing-masing harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuannya. Dari sini, nampaklah keindahan dan kemudahan syariat Islam.

Diantara kewajiban agung yang wajib dilakukan orang yang sakit adalah shalat. Banyak sekali kaum muslimin yang terkadang meninggalkan shalat dengan dalih sakit atau memaksakan diri melakukan shalat dengan tata cara yang biasa dilakukan orang sehat.

Akhirnya, mereka pun merasa berat dan merasa terbebani dengan ibadah shalat. Untuk itu, solusinya adalah mengetahui hukum-hukum dan tata cara shalat bagi orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.

Hukum-Hukum Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit

Diantara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut:

1. Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya[1], sebagaimana diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

Dan sabda Nabi shollallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Imron bin Husain:“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau shollallahu’alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Bukhori no.1117)

2. Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan menjama’ (menggabung) shalat, shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ baik dengan jama’ taqdim atau takhir,[2] dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:

“Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam telah menjama’ antara Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas radliyallahu’anhu: “Mengapa beliau berbuat demikian?” Beliau radliyallahu’anhu menjawab: “Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR. Muslim no. 705)

Dalam hadits diatas jelas Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam membolehkan kita menjama’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqah) dan sakit adalah masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat Dzuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempercepat Isya’.[3]

3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun selama akalnya masih baik[4]

4. Orang sakit yang berat shalat jama’ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya jka shalat di masjid, maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah[5]. Imam ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu kerena nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di masjid dan berkata:

“Perintahkan Abu Bakar radliyallahu’anhu agar mengimami shalat. (Muttafaqun ‘alaihi)[6]

Tata Cara Shalat Bagi Orang Yang Sakit

Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagai berikut:

a. Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah azza wa jalla berfirman:

وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ….

”Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ ”(QS. Al-Baqarah: 238)

Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais radliyallahu’anha yang berbunyi:

”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 319)

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.[7]

Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ”Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang, ataupun manusia.”[8]

b. Orang yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud, ia tetap wajib berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan ruku’ dengan menundukkan badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.[9]

c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits ’Imron bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, ”Para ulama terlah berijma’ bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.[10]

d. Orang yang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk.[11] Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: ”Yang benar adalah, kesulitan (masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

…….يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …..

”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah:185)

Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa, demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk”[12]. Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya, berdasarkan hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:

”Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat dengan bersila”.[13]

Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirasy.[14]

Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri.[15]

Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumumam hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; dahi –beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-, kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqqun a’alaihi).

Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.[16]

e. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya adalah dengan cara berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ’Imran bin al-Husain radliyallahu’anhu:

”Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Al-Bukhori no.1117)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah bagi keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:

”Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya.” (HR. Muslim no.396).

Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya, sujud lebih rendah daripada ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:

  1. Melakukannya dengan mata. Apabila ruku’, ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata ”sami’allahu liman hamidah” lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
  2. Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
  3. Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan, ”Yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman”:

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

f. Orang yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.[17]

g. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklah ia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah/ 2:286).

h. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)

i. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.

j. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.[18]

k. Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadits Jabir radliyallahu’anhu yang berbunyi:

”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imaa’) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”[19]

Inilah sebagian hukum yang menjelaskan tata cara shalat bagi orang sakit, mudah-mudahan dapat memberikan bimbingan kepada mereka. Dengan harapan, setelah ini mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya.

Sumber: majalah as-Sunnah edisi 12 th XII, Rabiul awwal 1430 H/ maret 2009 M hal.40-44

Footnote


[1] Lihat Fatawa Lajnah ad-Daimah 9/70 (no. 10527)

[2] Lihat Manhaj as-Salikin hal.82

[3] Hal ini ada dalam hadits Hamnah bintu Jahsy yang diriwayatkan Abu Daud dan dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Ghalil no. 188 lihat juga Shahih Fikih Sunnah 1/514

[4] Lihat Fatawa Lajnah ad-Daimah 8/69 (no. 782)

[5] Lihat Manhaj as-Salikin hlm. 82

[6] Lihat Shahih Fikih Sunnah 1/512-513

[7] Lihat al-Mughni 2/571

[8] Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’ 4/459

[9] Lihat al-Mughni 2/572

[10] Al-Mughni 2/570

[11] Al-Mughni 2/571

[12] Syarhu al-Mumti’ 4/461

[13] HR. An-Nasa’i no.1662 dan dishahihkan al-Albani dalam shahih Sunan an-Nasa’i 1/538

[14] Lihat syarhu al-Mumti’ 4/462-463

[15] Demikian yang dirajihkan (dikuatkan) Syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarhu al-Mumti’ 4/463

[16] Syarhu al’Mumti’ 4/466-467

[17] Ibid 4/465

[18] Lihat al-Mughni 2/577, Majmuu’ Fatawa Syaikh bin Baaz 12/243 dan syarhu al-Mumti’ 4/472-473

[19] HR. al-Baihaqi dalam sunan al-Kubro 2/306 dan syaikh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no.323 menyatakan: yang pasti bahwa hadits ini dengan kumpulnya jalan periwayatannya adalah shahih

0 komentar:

Labels

comment

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker