WWW.INISIAL.CO.CC   Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka."(hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Yang MEROKOK, dilarang buka blog saya...!!! image Klik! untuk mampir ke blog saya SILAKAN KLIK!
تبرئة العلامة الهرري مما افتراه عليه المدعو عبد الرحمن دمشقية في كتابه المسمى "الحبشي شذوذه وأخطاؤه"  والكتاب المسمى "بين أهل السنة وأهل الفتنة" وغيرهما من الإصدارات من مناشير وشرط  

Ittiba’: Meneladani Nabi Shallahu’alaihi wa sallam (1)


ittiba

ittiba

Ust. Kholid Syamhudi

Ittiba’ kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam adalah salah satu inti dan pondasi dasar agama islam. Juga merupakan syariat paling agung yang diterima dan diketahui dengan pasti. Dalil-dalil syar’i yang shahih, yang menjelaskan dan menegaskan hal ini sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. An-Nisaa: 80)

Akan tetapi ketika pemahaman telah kacau dan kaki telah tergelincir, hal itu tidak menghalangi adanya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang menyimpang dari meniti dan menetapi jalan tengah yang lurus. Sehingga kebutuhan untuk menjelaskan dan menerangkan hal ini menjadi lebih besar dan lebih wajib.

Oleh karena itu, di dalam pelajaran ini aku akan berusaha memberikan perhatian kepadanya untuk menampakkan hakikat dan hukum ittiba’, menerangkan kedudukan dan tanda-tandanya serta menjelaskan jalan yang membantu untuk mewujudkannya dan sebagian penghalang-penghalangnya. Dengan berharap kepada Robbku (Penguasaku) Yang maha pengampun agar memberikan petunjuk kepada kebaikan dan memperbaiki niat ini. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu dan berhak menjawab do’a.

ITTIBA’ MENURUT BAHASA

Ittiba’ adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (mengikuti). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Dikatakan ittiba’ kepada al-Qur’an, yaitu mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan ittiba’ kepada Rasul shallahu’alaihi wa sallam, yaitu meneladani, mencontoh dan mengikuti jejak beliau.[1]

ITTIBA’ MENURUT ISTILAH SYAR’I

Yaitu meneladani dan mencontoh Nabi shallahu’alaihi wa sallam di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal seperti amalan beliau sesuai dengan ketentuan yang beliau amalkan, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan disertai dengan niat dan kehendak padanya.

Ittiba’ kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam di dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi shallahu’alaihi wa sallam sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya – apakah merupakan kewajiban, kebid’ahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya… dst – dengan alasan karena beliau shallahu’alaihi wa sallam meyakininya.

Ittiba’ kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam di dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau shallahu’alaihi wa sallam:

(( صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ))

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.[2]

Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.

Sabda beliau shallahu’alaihi wa sallam:

(( لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا ))

“Janganlah kalian saling hasad dan janganlah kalian berbuat najasy.”[3]

Ittiba’ kepadanya adalah dengan meninggalkan hasad dan najasy.

Sabda Nabi shallahu’alaihi wa sallam:

(( مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ ))

“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya maka pada hari kiamat dia dikekang dengan tali kekang dari api.” [4]

Ittiba’ kepadanya adalah dengan menyebarkan ilmu yang shahih dan bermanfaat serta tidak menyembunyikannya.

Sebagaimana ittiba’ kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam di dalam perbuatan adalah dengan melakukan amalan seperti yang beliau lakukan, sesuai ketentuan yang beliau lakukan dan dengan sebab karena beliau melakukannya.

Kami katakan “seperti yang beliau lakukan” karena meneladani sesuatu tidak akan terwujud jika terdapat perbedaan bentuk dalam tatacara perbuatan.

Makna perkataan kami “sesuai dengan ketentuan yang beliau lakukan” adalah adanya kesamaan di dalam tujuan dan niat perbuatan itu – berupa keikhlasan dan pembatasan terhadap perbuatan itu dari segi wajib atau sunnahnya – karena tidak dapat dikatakan meneladani jika berbeda tujuan dan niatnya meskipun sama bentuk perbuatannya.

Dan kami katakan “dengan sebab karena beliau melakukannya” karena meskipun sama bentuk dan niat perbuatannya, jika maksud melakukannya bukan untuk meneladani dan mencontoh maka tidak akan dikatakan sebagai ittiba’.

Sebagai contoh untuk menjelaskan ittiba’ di dalam perbuatan; Jika kita ingin meneladani Nabi shallahu’alaihi wa sallam di dalam puasa beliau maka kita harus berpuasa sebagaimana tatacara puasa Nabi shallahu’alaihi wa sallam. Yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa jalla. Maka jika salah seorang di antara kita menahan dirinya hanya dari sebagian perkara yang membatalkan puasa berarti dia belum ittiba’. Sebagaimana jika dia menahan diri pada sebagian waktu saja.

Dan kita juga harus berpuasa sesuai dengan ketentuan Nabi shallahu’alaihi wa sallam dalam berpuasa dari segi niatnya. Yaitu dengan puasa ini kita mengharapkan wajah Allah dan untuk melaksanakan kewajiban atau sebagai qadha atau sebagai nadzar. Atau meniatkannya sebagai puasa sunnah sesuai dengan alasan Nabi shallahu’alaihi wa sallam berpuasa.[5]

Sebagaimana juga kita melakukan puasa tersebut dengan alasan karena beliau shallahu’alaihi wa sallam melakukannya. Oleh karena itu seseorang yang melakukan amalan yang sama bentuk dan tujuannya dengan orang lain – selain Nabi shallahu’alaihi wa sallam – tidaklah dianggap meneladani orang tersebut jika keduanya sama-sama melakukannya dengan niat melaksanakan perintah Allah dan ittiba’ kepada Rasul-Nya shallahu’alaihi wa sallam.

Sedangkan ittiba’ kepada Nabi shallahu’alaihi wa sallam di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi shallahu’alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallahu’alaihi wa sallam meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.

Sebagai contoh untuk menjelaskannya; Nabi shallahu’alaihi wa sallam meninggalkan (tidak melakukan) shalat ketika terbit matahari. Maka seorang yang meneladani beliau juga meninggalkan shalat pada waktu itu sesuai dengan ketentuan beliau shallahu’alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallahu’alaihi wa sallam meninggalkannya.[6]

MUKHOLAFAH LAWAN ITTIBA’

Lawan dari ittiba’ adalah mukholafah (penyelisihan). Mukholafah juga terjadi di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan perkara-perkara yang ditinggalkan.

Adapun penyelisihan di dalam keyakinan, seorang hamba meyakini suatu keyakinan yang berbeda dengan keyakinan Nabi shallahu’alaihi wa sallam. Contohnya, seseorang yang menganggap (meyakini) halalnya suatu perkara yang jelas-jelas diketahui keharamannya di dalam agama Islam. Atau mewajibkan sesuatu yang jelas-jelas diketahui halal atau haramnya hal itu di dalam agama Islam. Contoh lain, seorang hamba membuat sesuatu hal yang baru di dalam agama Allah, sesuatu yang bukan dari agama. Dan juga seperti orang yang memiliki keyakinan bahwa orang-orang yang menyelisihi syariat Allah dan risalah Nabi shallahu’alaihi wa sallam adalah wali-wali Allah dan orang-orang yang Dia cintai.

Mukholafah di dalam perkataan adalah dengan tidak menerapkan makna dan kandungan perkataan yang berupa kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan.

Mukholafah di dalam perbuatan adalah dengan menyimpang dari yang semisal dengannya sedangkan hal itu merupakan kewajiban.

Mukholafah di dalam perkara yang ditinggalkan adalah dengan melaksanakan apa yang beliau shallahu’alaihi wa sallam tinggalkan sedangkan hal itu merupakan perkara yang haram.

Dan tidak ada mukholafah di dalam meninggalkan perkara-perkara yang mandub (sunnah, disukai) dan melaksanakan yang makruh. Akan tetapi mukholafah terjadi hanya di dalam meninggalkan perkara yang wajib dan melaksanakan perkara yang haram. Baik terjadi di dalam perkataan, perbuatan atau perkara-perkara yang ditinggalkan.[7]

(Bersambung)


[1] Lihat lisanul ‘arab (1/416-417), al-Mu’jamul Wasith (1/81)

[2] Al-Bukhari no. 631 lihat Fath al-Bari (2/131-132)

[3] Muslim (4/1986) no. 2564

[4] At-Tirmidzi (5/29) no. 2649 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi (2/336) no. 2135

[5] Jika ada tatacara dan tujuan yang khusus bagi Nabi shallahu’alaihi wa sallam seperti puasa wishol (puasa sejak terbit fajar sampai waktu sahur -pen) atau kewajiban shalat malam, maka tidak boleh menyamai beliau di dalam kekhususan tatacara dan tujuan ini. Akan tetapi perkara ittiba’ berkaitan dengan tujuan-tujuan dan tatacara yang beliau n syariatkan kepada umatnya.

[6] Lihat al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (10/409) dan al-Ihkam karya al-Amidi (1/226, 227)

[7] Lihat al-Ihkam karya al-Amidi (1/227)

0 komentar:

Labels

comment

Artikel cari disini

Download E book

Hire Me Direct
eXTReMe Tracker